"Om!" Nada pun berseru tepat di depan wajah Tama, hingga membuat duda lapuk tersebut tersadar dari lamunanya.Kembali membetulkan duduknya kemudian bersiap-siap untuk mengemudi."Om, musik dangdut," Nada langsung memutar musik kesukaannya, bernyanyi dan berteriak dengan sesukanya.Suara cempreng Nada membuat gendang telinga Tama hampir pecah, meskipun demikian tetap saja Tama terpaksa mendegar dengan perasaan tidak tulus sama sekali.Percuma saja mengecilkan volume suara, karena pada akhirnya Nada akan kembali menaikan volume sesuai dengan keinginannya bahkan bisa lebih keras dari sebelumnya.Sesampainya di kantor, Tama merasa lebih baik, sebab musik yang hampir membuat gendang telinganya pecah akhirnya tidak lagi terdengar.Malahan merasa perjalanan menuju kantor terasa begitu lama."Om, Nada ngapain sih di sini? Bosan tau Om!" Nada pun melemparkan tubuhnya pada sofa, kemudian menghitung berapa jumlah uang yang diberikan oleh Tama pagi tadi.Tama tersenyum miring melihatnya, baginya
"Akhirnya Nada kenyang juga, makasih ya Om," Nada cengengesan karena perutnya benar-benar sudah sangat kenyang."Kita pulang," Tama pun menuju mobilnya.Begitu juga dengan Nada yang menyusul, hingga akhirnya Tama pun membawanya ke sebuah apartemen."Om? Kita ngapain ke sini?" Nada tidak mengerti mengapa Tama membawanya ke apartemen tersebut, bahkan Nada tahu jika apartemen tersebut bersebelahan dengan apartemen milik Kakaknya--Fikri.Bagaimana jika tiba-tiba berpapasan nanti saat keluar, ataupun masuk.Habislah dirinya."Apa kau lupa?" Tama pun melemparkan jasnya dengan asal, kemudian duduk dan menyalakan televisi."Lupa?" Nada ikut duduk di samping Tama karena tidak mengerti dengan maksud dari Tama saat ini.Tama menatap Nada dari ujung kaki sampai ujung rambut, pikirannya memang sangat tidak baik-baik saja."Ambilkan minuman di kulkas!" Titah Tama.Dengan segera Nada pun bangkit dan mencari letak dapur, kemudian kembali dengan membawa banyak minuman, meletakan pada meja kemudian Tam
Nada pun sampai di rumah dengan menumpangi taxi, kemudian memasuki rumah dan langsung menuju kamar."Nada, kamu dari mana aja? Aku khawatir tau, untung aja tadi malam Ibu percaya kalau kamu udah tidur aku bilang, padahal aku bohong lho, untung juga ibu kecapean banget, makanya nggak meriksa kamar dan nggak liat kamu nggak ada di kamar! Sampai Ibu nggak liat kamu di kamar, terus abis aku sama Ibu!" langsung saja Sarah menyambut kepulangan Nada dengan berbagai macam ocehan dan juga kekhawatiran.Bayangkan saja semalaman Nada tidak pulang, sedangkan dirinya bertanggung jawab atas keselamatan Nada."Berarti Ibu nggak tahu aku nggak pulang semalam?""Nggak, pagi tadi juga Ibu langsung ke rumah kamu."Nada pun bernapas lega, setelah mendengarkan penjelasan dari Sarah.Namun Sarah yang masih begitu penasaran dengan Nada.Tidak pulang ke rumah semalam entah kemana perginya."Kamu ke mana, semalam nggak pulang nginep di mana?" Tanya Sarah lagi, jika saja tidak dijawab dirinya bisa mati berdiri
"Om, seharusnya Om tahu gimana rasanya jatuh cinta, Om pernah muda dong?" Tanya Nada.Tama diam saja melihat bibir Nada yang komat kamit tidak jelas, dan malah mendadak membuatnya merasa gemas.Entah apa yang dikatakan oleh wanita tersebut, yang jelas Tama hanya perduli pada bibir itu.Bibir yang seakan menantang tanpa rasa bersalah sama sekali."Pasti pernah 'kan?" Nada yang bertanya tapi dia juga yang menjawab pertanyaan tersebut.Kemudian lanjut mengomel tanpa jeda sama sekali.Sebab Nada sangat ingin membuang Tama dari muka bumi ini.Atau paling tidak sampai mereka tidak akan pernah bertemu lagi, karena bertemu dengan Tama adalah kesialan yang hakiki."Kalau Om jadi Nada gimana? Sedih dong! Pantes saja Om jadi duda, kelakuan Om memang sangat menjengkelkan!" "Lalu?" Tanya Tama dengan santainya, percayalah saat ini tidak perduli dengan apa yang diucapkan oleh Nada.Tama memilih hanya fokus melihat bibir Nada yang sangat menggemaskan tersebut.Mendadak ingin membuat bibir itu menjad
"Dengar nggak sih!" Sulit sekali bagi Nada untuk berbicara dengan seorang Tama.Selain karena sulit mendapatkan jawaban benar, sulit juga untuk dimengerti mengapa lelaki aneh itu suka senyum-senyum sendiri tanpa alasan yang jelas.Padahal menurut Nada tidak ada yang lucu sama sekali.Tetapi malah laki-laki aneh itu lagi-lagi tersenyum melihatnya marah."Om, dari pada gila. Mendingan beliin Nada eskrim," Nada pun membentuk tangannya sedemikian rupa sehingga terlihat seperti seseorang yang bersiap-siap menembak sesuatu.Sesuai arah yang ditunjuk, yaitu penjual es krim yang tak jauh dari penjual bakso dimana barusan keduanya menikmati bakso sederhana namun begitu nikmat.Tama seperti seorang yang sedang mengasuh seorangpun anak kecil.Nada adalah anak kecil dadakan yang mendadak membuatnya menjadi pengasuh dadakan pula."Om, beli es krim!" "Ya."Dengan segera Nada pun berlari menuju penjual es krim, tak disangka ternyata si penjual begitu tampan membuat mata Nada tak mampu berkedip sed
"Om, tolongin!"Akhirnya Tama pun mengulurkan tangannya pada Nada, namun sesaat Nada menerima uluran tangan Tama.Dengan sengaja Tama melepasnya kembali, hingga Nada pun kembali kehilangan keseimbangan.Namun, kali ini Nada mencengkram erat jas Tama. Sehingga Nada tidak terjatuh malah berayun.Dengan refleks tangan Tama melingkar pada pinggang Nada, membuatnya condong pada wanita tersebut.Tama pun sejenak terdiam menatap wajah Nada dari jarak yang begitu dekat.Lagi-lagi wajah Nada mampu membius dirinya, tatapan mata Nada benar-benar memancarkan cahaya yang meneduhkan hati.Tanpa sadar Tama pun memajukan wajahnya dan mencium bibir Nada."Om!" Pekik Nada.Membuat Tama tersadar dari apa yang barusan dilakukannya.Sial!Tama menyadari sebuah kesalahan yang terjadi dengan begitu saja.Tidak!Tama tidak mau jatuh hati pada seorang bocah bau kencur. Harus bisa mempertahankan apa yang sudah menjadi ketetapan yang selama ini sudah berjalan lama.Tetapi, Tama pun tahu Nada hanyalah sebuah mai
Baru saja Nada keluar tetapi Tama sudah merasa tidak nyaman, padahal Nada baik-baik saja di luar sana.Walaupun sedikit kebingungan saat ini."Ya ampun, mana uang ku nggak ada," Nada pun mengusap wajahnya, karena saat dari rumah keluar bersama Tama tanpa membawa uang sama sekali."Nada," sebuah sepeda motor pun berhenti tepat di depannya, ternyata Rifki yang menyapanya.Siapa itu Rifki?Seorang Kakak senior di kampus yang menjadi idaman para mahasiswa.Dan kini malah menyapa dirinya, ini sangat membahagiakan sekali."Aku bersyukur putus dengan Rendy, karena ada Rifki untuk selanjutnya," batin Nada.Nada gadis periang yang tidak pernah galau dalam waktu yang lama mendadak kembali tersenyum penuh kebahagiaan.Awalnya sempat berpikir jika menjadi jomblo dalam waktu hitungan detik setelah resmi adalah sebuah hal yang menyakitkan.Pada kenyataannya tidak demikian, karena kini mendadak bersyukur setelah putus."Hey!" Rifki pun menyadarkan Nada dari lamuannya."Iya?" Tanya Nada dengan senyum
Tama menerima laporan dari orang suruhannya jika Nada saat ini berada di rumah keluarga Adam Agatha Sanjaya, yang tak lain adalah rumah Fikri salah seorang sahabatnya.Tama terdiam dan memikirkan sesuatu, hingga akhirnya dirinya pun menghubungi Nada.Padahal Nada sedang bahagia bersama dengan kedua orang tuanya, bahkan sedang menunggu dua orang yang sangat dicintainya tersebut untuk menikmati telor dadar buatannya."Jawab dulu, siapa tahu penting," kata Kinanti saat mendengar suara ponsel Nada terus saja berbunyi."Ya udah, bentar ya Bunda," Nada mencari tempat aman terlebih dahulu untuk menerima panggilan telpon dari Tama.Karena Nada tidak mau ada yang mendengar pembicaraan mereka.Setelah dipastikan aman, barulah Nada menerimanya."Apa, duda lapuk! Dasar pengganggu!" Nada langsung saja menjawab dengan kekesalan, karena menghubungi saat tidak tepat waktu.Tama diseberang sana tidak perduli, saat ini hanya ingin bertanya dimana keberadaan Nada.Membuktikan apakah wanita itu berbohong
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada