Fikri pun berdiri di atas anak tangga terakhir, tatapannya lulus ke depan.Menyaksikan banyaknya tamu yang sedang berdansa. Bola mata elangnya terus mencari seseorang.Seorang wanita yang bernama Mentari, bukan Diva, yang padahal sudah menjadi tunangannya sendiri.Sampai akhirnya menemukan yang dicarinya, Mentari berdansa bersama dengan Kenan."Apakah calon suamiku ini ingin berdansa dengan ku?" Goda Diva.Diva tersenyum bahagia puas melihat wajah Fikri yang menahan kemarahan.Tentu saja Fikri sangatlah kesal, dan Diva tertawa terbahak-bahak melihat wajah kesal dan harus menahan emosi."Ahahahha," Diva pun semakin tertawa melihat Fikri yang menatapnya dengan tajam.Dari sana Mentari pun tiba-tiba melihat Fikri, Mentari menjulurkan lidahnya seakan kesal saat melihat wajah Fikri saja.Mentari tengah bahagia, karena setelah ini tidak akan mungkin lagi diganggu oleh Fikri.Menurutnya begitu!Lantas bagaimana dengan Fikri?Bisakah Fikri tanpa Mentari?Sulit!"Ayo berdansa dengan ku, calon
Aluna musik pun terdengar dengan merdunya, pesta dansa pun kembali berlanjut.Bertapa terkejutnya Mentari saat melihat siapa yang menjadi teman dansanya saat ini.Fikri!Lelaki sialan yang selalu saja berusaha dihindarinya."Tidak ada yang boleh pergi dari tempatnya, siapapun pasangan dansanya harus menerima," kata pembawa acara dari depan sana, "siapa yang menolak akan diberikan hukuman, yaitu mencium pasangan dansanya."Mentari pun terkejut mendengarnya.Sedangkan Fikri tersenyum. Tama memang sangat berbakat untuk menjadi sahabat sejatinya.Sebab, itu semua Tama yang merencanakan. Sesuai dengan keinginan Fikri yang ingin berdansa dengan Mentari.Saat berada di kamarnya beberapa saat lalu, Tama pun menyusulnya.Kemudian mengatakan Mentari berdansa dengan Kenan."Kau harus membuat Mentari berdansa dengan ku, atau burung playboy mu aku potong!" Ancam Fikri lalu pergi.Tama pun memegangi celananya, merasa ngilu. Apa lagi itu adalah modalnya selama ini untuk mendekati para wanita di luar
Di waktu yang sama dan di tempat lainnya, di mana pesta masih terus berlangsung dengan meriahnya."Berdansa dengan ku?" Kenan pun mengulurkan tangannya pada Diva, berharap calon Kakak iparnya tersebut tidak menolak.Sejenak Diva terdiam untuk menimbang, tapi merasa Kenan begitu berharap. Akhirnya Diva pun tersenyum, dan meraih tangan Kenan.Keduanya pun berdansa dalam diam.Hanya mendengarkan alunan musik yang terus saja diputar.Di saat-saat Diva akan menjadi milik Kakaknya ini, Kenan berharap bisa lebih dekat.Anggap saja untuk membuatnya bahagia, sebab setelah pernikahan Fikri dan Diva terjadi, maka Kenan akan melupakan Diva.Menghapus perasaan yang ada meskipun begitu sulit.Sakit, tentunya. Kenan ingin menunggu saat-saat dimana Diva lulus kemudian melamar. Bahkan Kenan, sudah membeli cincin yang akan diberikan untuk Diva.Lagi-lagi Kenan hanya bisa mengelus dada, apa lagi mendengar pengakuannya Diva yang juga menyukai Fikri.Tentunya Kenan ingin melihat Diva bahagia, sekalipun bu
"Selamat pagi sayang," Serena membangunkan putrinya yang masih saja berada di bawah selimut."Umi! Apaan sih! Masih ngantuk!" Diva pun menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya, sebab gorden yang di buka membuatnya terkena cahaya matahari.Mendadak dirinya menjadi vampir yang takut pada cahaya mata hari."Bangun, katanya hari ini mau ke kampus," ujar Serena mengingatkan putrinya."Iya, sih," Diva pun mengingat dirinya harus bertemu dosen pembimbing, tidak lain adalah Kenan."Ya sudah, ayo bangun!""Mi, bisa nggak satu kilometer lagi aja. Sekali belokan, sekali tanjakan," tawar Diva yang masih belum ingin keluar dari selimut hangatnya."Dasar, anak ini. Ada-ada saja, cepat bangun!" Serena menarik selimut putrinya, agar segera bangun."Mi!""Kamu sudah mau menikah, kebiasaan buruk ini sudah waktunya di rubah!""Huuueekkk!" Diva pun ingin muntah mendengarnya.Sebab, menikah dengan Fikri bukanlah impian.Tetapi Serena malah berpikir lain, "Kami nggak hamil kan?" Serena ingin sekali mem
Terus aku gimana?" Diva pun terlupakan, saat dirinya turun dari mobil tiba-tiba ada mobil yang melaju dari arah berlawanan.Ciiit!"Aaaaaa!" Teriak Diva dengan tangan yang menyilang di depan wajahnya.Sesaat kemudian Diva menyadari tidak ada merasakan apa-apa, membuka matanya dengan perlahan, kemudian melihat ke depan.Kakinya terasa lemas, seketika itu juga. Tetapi masih beruntung tidak tertabrak."Kamu baik-baik saja?" Bayu segera memeluk putrinya, memastikan bahwa tidak ada yang harus dikhawatirkan."Diva, maaf. Aku juga terkejut, kamu tiba-tiba ada di tengah jalan," Kenan pun merasa tidak enak hati.Diva pun menyadari siapa yang hampir saja menabraknya."Kenan, hampir saja jantungku copot!" Kata Diva dengan memegang dadanya."Om, maaf ya," Kenan pun tersenyum pada Bayu.Sedangkan Bayu menyadari jika yang salah adalah putrinya, lagi pula tidak ada yang harus dipermasalahkan melihat Diva baik-baik saja."Kamu ke kampus sama Kenan saja," Bayu pun memberikan saran pada Diva.Akhirnya
Mentari terus saja memikirkan kata cinta yang diucapkan oleh Fikri malam tadi, sejak saat itu dirinya tidak dapat tenang.Tidak tahu apakah yang dikatakan oleh Fikri benar adanya, tapi sampai di sini Mentari takut dianggap sebagai perusak hubungan antara Diva dan Fikri.Tok tok tok....Suara ketukan pintu membuatnya tersadar dari pikiran-pikiran yang begitu membuat kepalanya hampir pecah.Bahkan dari tadi ponselnya terus saja berdering, tertulis nama Fikri pada layar ponselnya."Tari," Renata melihat putrinya yang sedang duduk di kursi meja rias, kemudian berjalan mendekati."Mom?" Mentari pun memutar tubuhnya, agar melihat wajah Renata secara langsung."Kamu kenapa? Katanya mau ke salon?""Iya sih, tapi kayaknya nggak jadi deh.""Kenapa?"Mentari pun mengerucutkan bibirnya, dirinya sedang tidak ingin bertemu dengan Fikri.Sudah pasti jika keluar dari rumah pria itu akan tiba-tiba muncul."Tari, Mom boleh bertanya sedikit?""Mom, mau tanya apa?" Mentari memeluk Renata, sudah terbiasa m
"Ya sepertinya."Mentari pun bergegas masuk ke dalam mobil Fikri, dirinya takut jika ada preman lainnya yang tiba-tiba muncul kembali.Fikri juga ikut menyusul masuk ke dalam mobil. Dirinya mengerti sepertinya Mentari merasa ketakutan."Maaf, tadi aku pikir kamu yang merencanakan ini, seperti yang lalu," Mentari merasa bersalah setelah sempat menuduh Fikri, padahal sebenarnya tidak demi kian."Aku yang minta maaf, aku juga yang salah sempat membuat drama gila itu.""Fikri, kita bisa jalan nggak. Aku takut lama-lama di sini, takutnya yang tadi terulang lagi," Mentari melihat sekitarnya, dirinya benar-benar ketakutan.Hingga tiba-tiba ada suara anjing yang menggonggong.Mentari yang terkejut langsung memeluk Fikri sekencang mungkin, dirinya sendiri tidak menyadarinya.Fikri pun hanya terdiam dengan perasaan yang terasa tegang, sesaat kemudian Mentari pun menyadarinya."Maaf," Mentari menjauh dengan perasaan tidak enak.Meneguk saliva dengan pahit, dengan perasaan aneh yang terasa.Menta
Sudah untuk yang kedua kalinya ungkapan cinta yang diutarakan oleh Fikri, kini Mentari merasa ucapan tersebut tidak main-main.Mentari berdiri di depan cermin, tiba-tiba saja muncul wajah Fikri yang tersenyum padanya.Mentari pun menggosok matanya, sesaat kemudian bayangan wajah Fikri pun menghilang."Apa aku sudah gila?" Mentari tidak habis pikir kenapa mendadak tidak bisa berjauhan dengan Fikri, belum lagi saat dirinya tanpa sengaja memeluk Fikri yang begitu menghangatkan."Apa aku sedang jatuh cinta? Jantungku?" Mentari terus saja memegang dadanya yang berdebar.Sesaat kemudian meraih ponselnya, kemudian berbaring di atas ranjang.[Sekali lagi, terima kasih,] Mentari.Pesan dikirimkan oleh Mentari, dirinya sendiri kini bingung mungkinkah mencintai Fikri. Mentari pun merasa tidak enak hati sempat menuduh Fikri yang membayar preman, padahal jika saja tanpa Fikri mungkin kini dirinya sudah dinodai.[Aku tidak menerima terima kasih jika hanya dengan ucapan,] Fikri.[Lalu? Jangan aneh-
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada