"Saya nggak jual, saya sudah di perlakukan seperti maling dan waktu saya juga sudah di rugikan!" Kata wanita itu penuh kemarahan."Rp.100.000.000!" Tawar Ferdian.Semuanya terdiam, tercengang mendengar penawaran tersebut."Dok, saya-" Zahra terdiam saat Ferdian mengangkat tangannya meminta untuk diam."Rp.150.000.000 apa masih kurang?" Tanya Ferdian lagi pada wanita yang masih dalam keterkejutan.Sepanjang perjalanan pulang Zahra hanya diam saja, sepeda motornya memang sudah kembali tetapi cara Febrian membelinya sangat tidak masuk akal.150.000.000 hanya untuk sebuah motor yang bahkan sangat jauh dari harga sebenarnya."Kenapa menangis?" Ferdian pun menepikan mobilnya, menatap serius Zahra sambil bertanya.Zahra mengusap wajahnya, kemudian membalas tatapan Ferdian."Saya bingung bagaimana cara membayar hutang pada Dokter, gaji saya kecil, belum lagi saya masih butuh uang jika pengobatan bapak harus berlanjut," jelas Zahra sambil terus mengusap air mata hingga beberapa kali."Kamu mau
"Kok ke sini?" Zahra."Kita tinggal di sini saja, sampai rumah kita selesai di renovasi.""Rumah?" Zahra tidak tahu sama sekali. Zahra memang tidak mengetahui apapun tentang Ferdian, selain dari profesi sebagai seorang dokter ahli jiwa.Aneh. Tetapi, begitu adanya.Ferdian mengangguk, kemudian mendekati Zahra yang masih duduk di sampingnya.Zahra pun mendadak menegang.Apa Ferdian akan menciumnya?Melanjutkan apa yang terjadi saat di perjalanan tadi?Zahra pun menutup matanya, dengan meneguk saliva beberapa kali.Sampai akhirnya tidak ada yang terasa sama sekali."Kamu kenapa?" Tanya Ferdian.Zahra pun membuka mata dengan peluh yang bercucuran."Ak-Aku?" Zahra mendadak gagu dengan napas yang naik turun.Bisa tidak untuk tenang tanpa ada rasa tidak nyaman, kenapa dengan keadaan ini."Sudahlah, ayo turun. Aku sudah melepas sabuk pengaman mu," Ferdian pun kemudian turun."Sabuk pengaman?" Gumam Zahra.Zahra pun akhirnya menyadari kebodohannya, saat dirinya berpikir Ferdian akan menciumn
"Dulu kamu kenapa?" Suara Ferdian terdengar parau, bertanya dengan nada rendah agar Zahra tidak tegang.Ada hal yang lebih sakit sebenarnya, yaitu menangis tanpa air mata.Jika bisa memohon Zahra akan melakukannya asalkan Ferdian melepaskannya, dirinya yang belum pernah berada di situasi ini benar-benar merasa tidak nyaman.Duduk dipangkuan lelaki terasa menegangkan.Selama ini dirinya memang memiliki kekasih, namun tidak lebih dari sekedar berpegangan tangan saat bertemu.Bahkan beberapa mantannya memutuskan pergi karena dirinya menolak untuk di cium, apa lagi sampai pada ranjang.Dirinya di anggap kampungan, dan tidak benar-benar mencintai kekasihnya karena tidak bisa memberikan tubuhnya sebagai bukti.Dan kali ini berbeda di atas pangkuan seorang lelaki, sekalipun sudah menikah masih saja terasa aneh.Bisakah setelah malam-malam itu Zahra masih menganggap mereka adalah dua orang asing?"Dok, dulu itu saya di bayar. Dan Kinanti yang membayarnya!" Zahra tidak ingin di salahkan sendiri
"Tidak ada yang seperti mu, hanya kamu yang mampu membuat ku hampir gila karena selalu membayangkan wajah mu!"Ferdian mengusap air mata Zahra, mencium kedua mata dengan bergantian.Andai saja tahu seperti apa dirinya tanpa Zahra sebelumnya, hingga memutuskan untuk menikahi dengan cara licik.Flashback on.Malam-malam berlalu begitu gelisah, rasanya menunggu pagi pun cukup lama.Sebab saat pajar menampakkan wajahnya, artinya akan melihat wajah Zahra.Wajah indah di hiasi oleh senyuman menawan, membuat hati bergetar hebat tanpa jeda.Bertemu di rumah sakit dan selalu menggoda tanpa hentinya.Memeluk lengannya, sehingga tanpa sadar membuat nya kian merasa panas dingin.Malam-malam selanjutnya pun sama, duduk di balkon menatap cahaya rembulan yang menerangi malam.Sayangnya rembulan pun terlalu redup dimatanya, wajah Zahra kembali terlukis di langit yang gelap seakan menatapnya dengan senyuman sejuta cahaya penerang.Tersenyum dengan menggoda, penuh dengan siksa, karena itu hanya bayanga
Zahra pun terbangun dari tidurnya, ternyata hari sudah mulai gelap. Zahra pun mencoba untuk bangkit dari ranjang, kemudian segera menuju kamar mandi untuk mencuci wajah agar lebih segar.Setelah keluar dari kamar mandi Zahra pun mendengar suara ponselnya, ternyata yang menghubungi adalah Maya."Halo, Bu," Zahra pun duduk di sofa, sambil menjawab panggilan telpon dari Maya."Operasi Bapak kamu berjalan lancar, tolong bilang terima kasih pada suami mu. Dia sudah membayar biaya operasinya, sampai akhirnya Bapak bisa di operasi," papar Maya dari balik sambungan telepon seluler.Zahra terkejut mendengarnya, bahkan dirinya tidak tahu sama sekali.Baik perihal operasi Kumar maupun soal biaya."Zahra, kamu masih mendengar Ibu, 'kan?" Maya yang tidak mendengar suara Zahra pun bertanya, mungkinkah panggilan sudah terputus."I-iya Bu, Zah-Zahra masih dengar," suara Zahra terbanta-banta, dirinya masih kebingungan. Sehingga sulit untuk berkata-kata."Sekali lagi, tolong katakan pada suami mu. Ibu
Zahra tersenyum dan tetap menelan nasi goreng yang katanya enak itu, bibirnya menahan senyumnya melihat exspresi wajah Ferdian yang sebelumnya begitu percaya diri, tetapi kini mendadak kecut."Asin," keluh Ferdian dan meneguk mineral sebanyak-banyaknya agar menghilangkan rasa asin pada lidahnya.Tak lupa tangannya yang menggaruk kepala yang mendadak gatal karena nasi goreng spesial buatan tangannya.Zahra tersenyum tetapi tangannya mengambil mineral dan ikut meneguknya.Ferdian masih saja menggaruk kepalanya, merasa malu tapi juga lucu."Maaf ya, aku hanya mencoba untuk membuat mu bahagia. Tapi, ternyata," Ferdian menunjukan exspresi wajah murung, sambil mengangkat kedua bahunya.Pada dasarnya tidak pandai dalam urusan memasak, jadi itulah hasilnya.Sedangkan Zahra lagi-lagi tersenyum melihatnya, dirinya sendiri mulai merasa, ternyata Ferdian begitu tulus.Mencoba walaupun tidak berhasil bukanlah hal yang buruk, tetapi suatu nilai positif yang harus di hargai.Ya, Zahra sangat menghar
Terdengar suara bel berbunyi, Zahra bisa bernapas sedikit lebih lega. Paling tidak bisa lepas dari godaan Ferdian.Godaan menjengkelkan dan sangat memalukan, bodohnya Zahra sangat besar.Bahkan dirinya sendiri mengakuinya, padahal sejak dulu merasa paling pintar sedunia.Itupun karena Bapaknya yang mengatakan dan menjadi pedoman dalam hidupnya.Zahra adalah wanita paling pintar, paling baik, paling pintar.Begitulah kata Kumar Abdullah.Lagi pula mengapa dirinya mengigit bibir Ferdian, sungguh memalukan sekali.Pada dasarnya tidak mahir dalam bercumbu, tetapi malah mencoba.Jika saja Ferdian tahu, pasti juga dirinya akan lebih di tertawakan.Mungkin!"Sangat mengganggu sekali," kata Ferdian yang tidak ingin membuka pintu sama sekali."Mas, makanannya mungkin sudah sampai," kata Zahra lagi menunjuk pintu yang masih tertutup rapat.Dengan adanya makanan itu pasti sudah tidak membahas masalah gigitan barusan lagi, pikirnya."Nanti saja, biarkan saja. Lagi pula ada pembicaraan penting.""
Tidak lama berselang beberapa keluarga lainnya ikut muncul, pintu yang sudah di buka tidak membutuhkan ijin dari si pemilik."Kinan?" Zahra tampak terkejut melihat kedatangan sahabatnya tersebut.Sahabat yang kini menjadi bagian dari saudara, karena suami mereka yang masih memiliki ikatan persaudaraan."Kok, terkejut? Aku ganggu ya?" Seloroh Kinanti tersenyum menggoda Zahra.Zahra pun segera berpindah dari tempatnya, sedangkan Ajeng juga duduk di sofa lainnya mengurungkan niatnya untuk menghajar putranya.Ferdian pun membenarkan duduknya, di susul Adam yang juga duduk di sofa saling berhadapan."Ganggu? Kok ganggu sih?" Tanya Zahra kembali yang kini berdiri di hadapan Kinanti, tepat di ambang pintu."Mana tahu ganggu pengantin baru," ujar Kinanti lagi.Zahra hanya diam saja, dirinya melihat arah pintu di mana ada seseorang yang juga muncul."Hay? Apa kabar bumil? Udah sehat?" Tanya Serena, sedangkan Renata di sampingnya.Lalu dua lelaki yang menyusul masuk, bergabung bersama Adam dan