"Mas, turunin, udah jauh!" Kinanti melihat ke belakang, tidak terlihat Imas sama sekali.Bahkan mereka sudah berlari begitu jauh."Apa benar?" Adam pun berhenti dengan napas yang terengah-engah.Kinanti pun turun dari punggung Adam, tidak tega melihat suaminya dengan napas yang terengah-engah merasakan lelah."Sayang, apakah banyak yang seperti itu di desa ini? Kalau banyak sebaiknya kita pulang secepatnya, atau tetap berada di dalam rumah saja," kata Adam masih melihat ke belakang, memastikan bahwa benar-benar tidak ada wanita tua dan tidak waras barusan mengejar mereka.Sedangkan di depan sana, Zidan, Renata, Serena, Bayu, Ferdian dan Zahra juga berhenti berlari.Adam dan Kinanti pun bergabung bersama yang lainnya.Semua masih mengatur napas, mencari udara sebanyak-banyaknya agar bisa menjadi normal kembali.Terkecuali Kinanti, sebab dirinya di gendong oleh Adam.Tiba-tiba saja Kinanti tertawa terbahak-bahak, hingga yang lainya bingung."Sayang, apa kau sedang kesurupan?" Adam pun m
Sekembalinya ke rumah, Kinanti bergegas menuju kamar mandi, membersihkan diri dan mengganti pakaiannya, dengan pakaian bersih."Dasar jorok!" Ejek Zahra saat Kinanti mulai bergabung bersama mereka yang duduk di teras rumah.Kinanti pun tersenyum sambil mengusap wajahnya beberapa kali, pertama kalinya peristiwa itu terjadi.Sungguh hamil kali ini benar-benar berbeda dari sebelumnya, dirinya selalu ceria, mudah tertawa hanya karena hal yang terbilang biasa saja.Mungkin hormon kehamilan yang membuat nya menjadi demikian."Apa kabar!" Sapa Bayu saat melihat seorang pria bersepeda motor melewati jalan tepat berada didepan rumah Rahmat.Melihat Bayu seketika pria itu memarkirkan sepeda motornya, kemudian turun dan berjalan ke arah Bayu.Bayu pun berdiri dari duduknya, berjalan dan bersalaman ala pria dengan pria tersebut."Aku baik, kau apa kabar?" Tanya Pria itu sambil sebelah tangannya menepuk pundak Bayu layaknya teman dekat."Aku baik juga," Bayu menjawab tidak kalah antusias, lama tid
"Mas, apaan 'sih?" Tanya Kinanti bingung.Sepertinya tidak ada masalah tetapi Adam malah membuat masalah.Adam pun melengos pergi ke kamar, entah mengapa dirinya mendadak tidak terkendali saat ini."Mas!" Panggil Kinanti masih berada di luar.Kinanti pun melihat Bayu."Ini karena kamu!""Kenapa aku?" Tanya Bayu bingung."Ngapain kamu panggil Hendra barusan?""Suami mu saja yang sensitif!" Bayu pun berusaha untuk membela dirinya."Itu Afifah juga nanyain kamu, kamu pernah cium dia kan?" Tanya Kinanti kesal."Cium?" Tanya Serena yang dari tadi hanya diam saja mendadak berbicara."Mana ada!" Elak Bayu takut Serena marah.Kinanti pun segera masuk menyusul Adam yang sudah masuk terlebih dahulu.Kinanti pun mendorong pintu kamar dengan perlahan, setelah itu melangkah masuk mendekati suami nya yang tengah duduk di sisi ranjang.Perlahan Kinanti duduk di samping Adam, ingin membujuk suaminya agar suasana menjadi lebih baik."Mas," Kinanti pun menyadarkan kepalanya pada lengan Adam.Adam menat
"Sekarang cuci tangan mu itu!" Adam menatap tangan Kinanti yang menggantung.Kinanti masih diam di tempatnya, tidak mengerti mengapa Adam memintanya mencuci tangan."Kenapa masih diam?" Seru Adam melihat Kinanti masih berdiri di tempatnya tanpa ada niatan untuk bergerak."Cuci tangan? Buat apa?" Kinanti pun memberanikan diri untuk bertanya, sambil berpikir jika benar otak Adam sedang konslet karena emosi."Aku tidak suka di memegang tangan mu! Cuci sekarang!"Kinanti pun menatap tangannya, tidak ada yang kotor sama sekali."Kami cuma salaman Mas, tangan Kinan nggak kotor!" Kinanti pun menunjukkan tangannya pada Adam, "bersih!" Imbuh Kinanti meyakinkan Adam."Bagi Mas, kotor!" Adam pun menarik Kinanti menuju kamar mandi, mencuci tangan Kinanti dengan air mengalir dan memberikan sabun hingga beberapa kali, kemudian dibilas hingga di rasa bersih.Kinanti hanya diam menerima, meskipun sebenarnya kesal, dirinya tidak ingin membantah takut ada keributan dan sampai ditelinga Rahmat yang belu
Di tempat lainnya, seorang wanita juga tengah membersihkan tubuhnya.Renata juga merasa lelah setelah perjalanan panjang, hari yang mulai gelap membuatnya ingin mengistirahatkan tubuh lelahnya.Setelah selesai dengan ritual mandi, tubuhnya terasa lebih segar.Segera memakai piama dan memoles wajahnya dengan beberapa peralatan kecantikan malam.Setelah itu Renata membuka tasnya dan mengambil benda kecil, tidak lupa segelas air yang tersedia di meja dan meneguk sebuah pil.Zidan terdiam di ambang pintu kamar yang terbuka lebar, dirinya mendadak mematung setelah melihat Renata meminum pil KB.Zidan tidak mungkin salah melihat, obat itu sudah menjadi bagian dari hidupnya sebagai seorang dokter kandungan.Dalam hati Zidan bertanya-tanya, apakah Renata tidak mau mengandung anaknya lagi?Beberapa saat kemudian mata Zidan melihat Renata menyimpan kembali pil tersebut ke dalam laci meja rias.Artinya kemana saja Renata membawa dan tidak lupa untuk menelannya, buktinya sebelumnya mengambil dari
"Apa ada hubungannya dengan dulu Serena meminum pil KB, ada efek sampingnya ke rahim?" Tanya Renata lagi penasaran.Zidan memiringkan tubuhnya menatap Renata, dirinya terdiam tanpa menjawab.Renata pun mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur."Kamu merasa tertekan nggak sama aku?" Zidan tidak ingin membahas perihal orang lain, dirinya hanya ingin berbicara dengan Renata dari hati ke hati.Tidak ingin ada salah paham Zidan ingin transparan dalam urusan rumah tangga di antara mereka berdua."Kok nanya gitu?" Renata kembali bertanya kepada Zidan, sebab dirinya tidak merasa hal yang sama seperti dulu.Kini Zidan jauh berbeda, apa lagi Mentari sangat bahagia memiliki keluarga yang lengkap."Aku minta kamu kasih aku anak satu lagi saja, minimal 2 anak," pinta Zidan penuh harap.Renata tidak tahu apakah harus mengatakan iya atau tidak.Sampai akhirnya ingatan beberapa Tahun silam kembali berputar.Flashback on.Beberapa tahun lalu, Renata pendarahan hebat. Usia kandungannya masih 7 Bulan,
Suara ponsel Renata terus berdering, hingga dirinya yang terlelap dalam tidur merasa terusik. Matanya masih terlalu mengantuk apa lagi pelukan Zidan yang begitu hangat semakin membuatnya enggan untuk bangun.Akan tetapi suara ponselnya terus saja terdengar, dengan setengah kesadaran Renata pun mengambil ponselnya di atas meja nakas dan menerima panggilan tersebut."Halo," jawab Renata dengan suara khas bangun tidur."Renata, keadaan Mama kritis. Mama di larikan ke rumah sakit subuh tadi, sekarang kamu ke rumah sakit. Kakak, sedang di bandara dan sebentar lagi akan berangkat ke Indonesia," kata Sindi dari sebrang sana.Renata pun seketika kehilangan kantuknya, shock mendudukkan tubuhnya dengan selimut putih yang menutupi tubuh polos nya.Zidan pun ikut terbangun saat merasakan gerakan cepat dari Renata, melihat raut wajah yang tidak biasa membuatnya menjadi bertanya-tanya."Kakak, tahu dari mana?" Tanya Renata belum percaya dengan berita yang di sampaikan oleh Sindi, Kakak sulungnya."
"Kamu nemenin Zidan?" Tanya Kinanti yang tidak sengaja berpapasan dengan Renata di lorong rumah sakit.Renata pun tersadar dan menatap Kinanti, menghentikan langkah kakinya."Nggak, Mama di rawat. Darah tinggi Mama kambuh, pagi tadi dibawa ke sini," jelas Renata.Kinanti pun mengangguk."Begitu? Ya udah, aku ke ruangan Mas Adam dulu. Abis itu aku jenguk Tante Irma," kata Kinanti."Iya, aku juga mau ke depan dulu. Mentari minta dibelikan buah," pamit Renata.Kinanti pun mengangguk dan segera menuju ruangan Adam.Setelah selesai menjalani pemeriksaan kandungan segera menuju ruang rawat Irma.Kinanti bisa melihat keadaan Irma yang begitu lemah, terbaring di atas brankar dengan Mentari yang duduk di kursi sambil bercerita panjang lebar.Tiba-tiba saja tubuh Irma kejang-kejang hingga segera di pindahkan ke ruang ICU untuk penanganan lebih baik.Sindi pun sampai, dengan membawa ketiga anaknya.Menangis tersedu-sedu berpelukan bersama Renata tidak kuasa melihat Irma yang tengah berjuang untu
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada