"Tidak usah memposisikan diri sebagai korban! Aku korban mu yang sesungguhnya di sini! Dulu kau pergi dan kini kembali dengan sesuka mu. Kau punya hati tidak?!" Teriak Zidan.Api amarah bercampur kebencian terhadap Renata terlihat jelas, Zidan tak ingin lagi di sakiti dengan memberikan hati pada Renata.Jangan lupakan dulu pernah meninggalkan demi menikah dengan Adam, meninggalkan dirinya hanya dengan satu kata maaf.Lalu berteman dengannya seakan keduanya tak pernah saling melengkapi satu sama lainnya, tapi bagi Zidan kata maaf saja tak cukup.Bahkan memintanya menutupi hubungan mereka dulu, demi kebahagiaan bersama Adam.Sayangnya bukan bahagia yang di terima Renata, sebuah luka yang begitu dalam mengetahui bahwa dirinya bukanlah istri satu-satunya.Itulah cinta yang di balas luka, tak ada kecurangan yang bisa berjalan sempurna. Kejahatan seorang penghianat tidak akan bisa lari dari hukumannya.Bagaikan karma di bayar tunai, madunya sendiri adalah wanita yang tinggal satu atap denga
"Zidan," Mala menghentikan langkah kaki Zidan saat melewati Mala yang sedang duduk di sofa.Merasa namanya di panggil Zidan pun berbalik dan menatap Mala."Renata di mana?" Mala bahagia sekali yakin jika rencananya berhasil. Hanya saja pagi ini belum terlihat batang hidung menantunya tersebut, padahal hari sudah terang bahkan belum sarapan."Di kamar Ma, masih tidur.""Kalau gitu kamu bawa saja sarapannya ke kamar, takutnya nanti dia masuk angin," tanpa mendengar jawaban dari Zidan, Mala bergegas menuju dapur, menata beberapa potong roti dan buah di atas nampan. Tak lupa pula segelas susu hangat, "bawa ke kamar, Mama tidak mau ada penolakan!"Sebenarnya sedang tak ingin melakukan apa-apa, tapi baiklah agar tak membuat Mala banyak bertanya."Zidan, jangan lupa Mama pesan cucu!" Mala tersenyum seraya melambaikan tangannya."Menatu Mama itu mandul!"Zidan pun membawanya menuju kamar, tak ingin berdebat dengan masalah tersebut.Melihat mata Renata masih terlelap membuat Zidan menyiram se
Dari cela pintu Renata melihat Zidan sedang makan siang bersama dengan Zoya. Sejenak dirinya menatap rantang di tangannya.Rantang dengan makanan yang di persiapkan oleh mertuanya sendiri, dalam hati bertanya-tanya apakah sebenarnya yang membuat Zidan yang dulu manis kini kasar.Saat Renata tengah kacau berdebat dengan pikirannya tiba-tiba Zahra datang menghampiri seketika membuat lamunannya menjadi buyar."Hay, Mbak Renata."Renata pun berbaik dan melihat Zahra, sebenarnya bingung siapa wanita tersebut. Akan tetapi, memang dirinya di kenal oleh siapa pun yang bekerja di rumah sakit tersebut.Tentu saja.Walaupun sudah menjadi mantan istri pemilik rumah sakit, wajah Renata tetap tak lagi asing. Sekalipun Renata tak mengenali masing-masingnya. Sebab, banyaknya tenaga medis yang bekerja."Mbak Renata, kenalin," Zahra pun mengulurkan tangannya, "aku Zahra, cantik manis dan imut, hehehe, garing," Zahra menggaruk kepalanya.Renata pun perlahan membalas uluran tangan Zahra."Aku sahabat Kin
'Ini tidak bisa di biarkan, aku kan udah bilang sama Ibu di kampung halaman kalau calon suami aku itu seorang Dokter. Ibu juga pasti sudah cerita ke tetangga soal ini semua, secara Ibu kan nggak mau kalah pamer sama tetangga,' batin Zoya.Kepalanya benar-benar ingin pecah menimbang semua itu, bagaimana nasibnya jika saja batal mendapatkan suami seorang dokter? Habis sudah dirinya.'Di kampung sudah berkoar-koar dengan bangga, nanti pasti di tagih kalau aku pulang kampung,' Zoya memijat dahinya yang benar-benar tidak karuan.Malu sekampung sudah pasti dan nantinya akan di cincang oleh Ibunya juga.Tidak!Tapi sejenak Zoya menyadari sebuah keanehan terasa di antara Zidan dan Renata.Pernikahan terkesan dingin dan juga tertutup tanpa ada sepengetahuan siapa pun terkecuali orang terdekat saja.Lalu bagaimana hubungan mereka yang sebenarnya, rasanya cukup menimbulkan pertanyaan besar.Yakin dan percaya ada yang tidak beres, jika benar begitu artinya masih ada kesempatan menjadi istri Zidan
Renata kembali pulang ke kediaman Zidan, walaupun hanya sebentar mengunjungi rumah kedua orang tuanya cukup melepaskan rasa rindu yang terpendam.Tapi rumah cukup sepi, membuat Renata bingung dan bertanya-tanya."Bik," seorang kepala Art melewati Renata, "orang-orang pada kemana? Kok, rumah kayaknya sepi banget?""Ibu sama Bapak dan Neng Serena hari ini pergi sama calon suami nya Neng Serena. Saya juga lupa kemana? Padahal tadi Ibu udah bilang, sekalian minta di bilang kalau nanti Non Renata pulang," Art itu tersenyum menggaruk kepalanya sambil mengingat kemana barusan majikannya berpamitan pergi."Udah, nggak usah di pikirkan segitunya. Mungkin Serena nikah kantor sama Bayu," Renata tersenyum melihat wajah lucu Bik Sumi yang terus saja berpikir keras mengenai ke mana pergi majikannya."Iya mungkin ya Non, maaf ya Non, Bibik sudah tua, suka lupa.""Nggak papa Bik.""Tapi Den Zidan di kamar kayaknya Non.""Renata ke kamar dulu ya Bik."Segera Renata menuju kamar, dirinya butuh istiraha
"Kenapa dia menjadi bajingan," Mala memeluk Serena dengan erat, menangis tersedu-sedu merasakan kekecewaan yang begitu dalam.Sesaat kemudian Serena melihat kelopak mata Renata terbuka, dirinya merasa kini berada di tempat berbeda.Mengingat sebelumnya berada di rumah, dirinya mencoba bangun dari atas ranjang untuk membersihkan diri.Sayangnya belum sampai di kamar mandi dirinya terjatuh dan sudah tak mengingat apapun.Mungkinkah dirinya jatuh pingsan? Lalu kini berada di rumah sakit? Matanya pun melihat tangan yang menggunakan selang infus, tanpaknya memang benar dirinya sudah berada di rumah sakit.Siapa yang membawanya?Apakah Zidan?Seketika matanya melihat Mala yang tengah menangis tersedu-sedu.Kini Renata yakin Mala yang membawanya menuju rumah sakit. Akan tetapi, Renata tak menyangka bahwa Mala menangis hanya untuk dirinya.Apakah mertuanya itu sebenarnya memiliki hati yang baik, hanya saja memang mulutnya yang suka berbicara dengan bahasa kasar.Bahkan suka mengomel jika s
"Mending kamu bilang suami kamu aja buat lempar dia dari rumah sakit ini!" Geram Serena tak ada habisnya pada Zoya, hubungan mereka selama ini cukup baik. Bekerja pun seringkali bersama, dan memiliki kerjasama yang cukup baik.Namun, siapa sangka sampai di sini ternyata Zoya tak sebaik itu, Serena baru tahu akal licik wanita tersebut."Jangan, ngapain?" jawab Kinanti santai sambil bersandar di dinding, bahkan melipat kedua tangannya di dada.Serena tersentak mendengar kata jangan dari sahabatnya tersebut, "Jangan bilang kamu dukung dia!" Tebak Serena, jika saja benar begitu saat ini, detik ini pun Serena akan memikul kepala Kinanti."Nggak dong, ngapain! Cuman, biarkan saja Zoya tetap berada di dekat Zidan. Nanti........" Kinanti berbisik pada Serena mengenai sebuah ide di kepalanya.Serena pun mengangguk setuju, sekalipun dirinya sedikit ragu. Tapi, tak salahnya mencoba."Boleh di coba, biar Kak Zidan juga paham. Lagian memang kalau kita memaksa dengan keras Kak Zidan nggak akan sad
"Apa kamu bahagia mendengarnya?"Setelah memastikan Ferdian pergi Zidan pun menatap Renata penuh intimidasi, ingin mendengar jawaban langsung dari istrinya tersebut.Lagi pula jika tidak di selesaikan dengan secara langsung bisa saja Renata merasa besar kepala, apa lagi sampai menganggap rendah dirinya."Merasa di awan, karena, di sanjung barusan. Atau merasa hebat karena sudah bisa mendapatkan laki-laki lain lagi sebelum bercerai?"Zidan masih terus berbicara sekalipun Renata hanya diam tanpa bicara, lagi pula sebentar lagi pasti Mala pun datang. Artinya, tidak akan leluasa untuk berbicara pada Renata lagi."Kamu lihat wajah ku ini? Ini karena, kamu. Karena, kamu pandai bermuka dua dan membuat keluarga ku berpihak pada mu dalam hitungan waktu, kamu hebat."Zidan tersenyum sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam masing-masing saku celananya, masih menatap Renata begitu pun sebaliknya."Andai saja aku tak pernah menikah dengan mu! Tidak menyetujui keinginan mu untuk di nikahi! Tentu
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada