Suara benturan keras antara mobil Haidar dan pembatas jalan, terjadi di tengah sunyinya jalan dan derasnya hujan. Mereka mengalami kecelakaan tunggal karena rem blong. Akibat benturan tersebut membuat serpihan kaca mengenai tubuh keduanya, sementara kaki Haidar terjepit kursi dan dashboard.
"O-om, bangun!" pinta Ciara dengan lirih sebelum pingsan.Tidak ada satu menit setelah kejadian, keduanya tidak sadarkan diri. Darahnya banyak yang yang keluar melumuri mobil. Beruntungnya ada teman Haidar yang tadi sempat disuruh mengawasi keberadaannya bersama Ciara secara diam-diam.***Selang berisi darah sudah berjalan masuk ke dalam perangkap transfusi darah untuk Ciara. Lain dengan Haidar yang masih terbaring belum sadarkan diri setelah operasi kakinya. Ciara meminta satu ruang bersama Haidar, bukan karena ingin mencari kesempatan, tetapi karena rasa bersalahnya yang hinggap."Bangunlah! Om kan masih mau belajar buat sate yang enak. Katanya mau buktiin, bangun!"Suara alat bantu di rumah sakit terdengar kian serempak. Sejenak Ciara mengamati selang transfusi lalu beralih menatap Haidar yang belum sadar dan belum juga mendapatkan darah untuk ditranfrusikan karena stok rumah sakit yang cocok dengan darah Haidar sedang habis, sedangkan dari keluarga yang cocok itu darah papanya yang mana sekarang masih perjalanan pulang dari luar negeri."Cepat buka mata! Usilnya jangan kebangetan dong! Nyusahin pikiran, iiihhh!" gerutu Ciara.Seharusnya, Haidar sudah sadar setelah waktu yang telah ditentukan untuk operasi kakinya. Badan Ciara lemas, perutnya masih perih karena sayatan kaca dan juga akibat telat makan. Sekarang Ciara menyesal, hanya bisa berandai-andai jikalau saat itu dia tidak mengeluh sakit ke Haidar, mungkin keadaan tidak membuat Haidar separah sekarang."Aku sadar, kamu sangat berharga untukku. Meskipun baru kenal, Om itu peka banget dengan yang Cia butuhkan," ujar Ciara.Kematian, suatu hal yang pasti terjadi pada manusia apalagi di saat sakit menerpa. Bukan sakit yang menyebabkan kematian, tetapi jiwa pasti lebih disadarkan dengan adanya masa tersebut. Tangisnya menderu, rasa takut akan kehilangan seseorang yang baru saja ia kenal dan menjadi penolongnya terus mengintai pikiran Ciara. Ia jadi teringat juga dengan keinginan terakhir Haidar sebelum kecelakaan, yaitu ajakan untuk menikah."Udah baik banget, bahkan saat kecelakaan itu, Om berusaha menahan Ciara supaya nggak kejedot dashboard. Masa iya aku tetep gak mau kamu nikahin, Om? Bangun ya, Om! Ciara akan berusaha menjadi sahabat Om untuk membantu pemulihan, please ...!""Jika kamu mendatangiku, itu artinya sudah masuk dalam perangkapku. Apa kamu tahu? Aku paling tidak suka, perangkapku didatangi seseorang yang hanya sekejap, ini hanya akan meggores ulang luka yang belum kering!" Ciara menghembuskan napas panjang.Masalah perjodohan secara diam-diam itu masih tetap berlanjut. Meskipun keadaan Haidar belum sadar, tidak ada dari pihak keluarga Ciara maupun Haidar yang membongkar misi tersebut. Ciara memang bertanya tentang hal tersebut kepada abinya, tetapi hanya dijawab seperlunya saja, tidak membahas masalah perjodohan. Mereka ingin Ciara dan Haidar bersatu dengan dorongan dari mereka sendiri."Cia ...."Suara lembut menyapa di kala seluruh keluarga membiarkan Ciara dengan tangisnya. Seketika tangisnya terhenti, matanya terbuka lebar melihat arah suara tersebut. Seorang lelaki dengan bibir pucat memberikan senyum yang begitu manis untuk perempuan cantik yang sedang duduk di kursi roda."O-om, Om sadar? Alhamdulillah, subhanallah walhamdulillah walailaha illallah, Ya Allah aku seneng banget!" Ciara sangat senang, sampai iseng mencubit lengan Haidar."Awwww! Baru saja sadar udah disakiti," ungkap Haidar.Haidar meringis kesakitan dengan tawa ria Ciara Basma. Detik waktu memancarkan kebahagiaan yang luar biasa. Sama seperti sebelum kecelakaan, Haidar kembali menyinggung masalah pernikahannya dengan Ciara."Huhuhuhu lega! Ternyata Om belum meninggoy!" seru Ciara."Hmm, kan masih mau nikahin kamu, masa iya udah mati aja belum nikah," sahut Haidar."Kenapa Om gak amnesia aja, sih!" Ciara memalingkan wajahnya."Aaah! kamu akan rugi." Haidar memegangi kepalanya yang lumayan sakit."Rugi apanya? Yang ada malah full beruntung!"Ciara terbangun dari mimpinya. Ia kaget berada di ruangan sendiri karena sebelum tidur ia berada di brankar yang satu ruangan dengan Haidar. Tangisnya turun lagi, ternyata percakapannya dengan Haidar itu hanya sebatas mimpi. Bagaimana tidak hancur, saat-saat di mana kebahagiaan terasa menang atas kejadian pahit, tetapi nyatanya itu hanya sebuah bunga tidur saja."Aku benci tidur, benci! Sudah dua kali aku mimpiin kejadian bersama Om Hai, yang sekarang ini kenapa mimpiku tidak nyata, huaaa! " teriak Ciara, tetapi tidak ada keluarga yang menghampiri.Terkadang, bunga tidur memang menjadi penyemangat. Akan tetapi, kini lain dengan Ciara yang merasa dipermainkan. Teriakannya begitu kencang, tetapi tidak ada satu pun keluarga maupun pihak rumah sakit yang masuk kamar tersebut."Kenapa dipindah? Pokoknya aku harus cari ruangan Om Hai!" Ciara berusaha menata kursi rodanya.Belum sampai Ciara bisa berhasil duduk di kursi roda, Haidar dipindahkan untuk bersama satu ruangan lagi dengan Ciara. Sekarang bukan lagi mimpi, ini Haidar benar-benar sudah sadar. Senyum manisnya terpancar sama seperti di mimpi meskipun dengan bibir pucat tetap membuatnya terlihat tampan. Dokter dan perawat yang mengantarkan juga segera keluar ruangan."Hai calon istriku," sapa Haidar."Alhamdulillah ... Om masih hidup beneran! Ini bukan mimpi!" Ciara bersorak gembira dengan memberi senyum, semangatnya serasa pulih lagi menjadi seratus persen."Hah? Memangnya kamu kira Om udah mati?" tanya Haidar."Hehe, gak gitu juga! Ngeselin banget gak bangun-bangun!" gerutu Ciara."Cieee ... calon istri kecilku khawatir!" goda Haidar."Gak usah ngomong yang gak jelas!" seru Ciara.Ciara bukan perempuan ramah meskipun sebenarnya hatinya begitu ramah. Tadinya panik, sekarang kepanikan itu hilang dan datang menjadi sebuah kejengkelan karena membahas pernikahan. Baginya, untuk sekarang belum saatnya membahas hal tersebut, waktu dan keadaannya sangat tidak tepat."Penyebab kecelakaan sampai kaki Om operasi ini juga gara-gara kamu! Jadi har---""Iya-iya ... harus tanggung jawab, gara-gara Cia yang nyelonong minta cepat pulang, padahal Om masih mau periksa. Janji deh sampai Om pulih akan Cia rawat," sahutnya."Harus nikah dulu dong untuk merawat, kalau menolak berarti kewarasan kamu diragukan, hahaha ...!" kata Haidar dengan tawa."Sudi amat!""Dokter! Tolong periksa lagi calon istri kecilku ini! Apa kecelakaan ini membuatnya gila?" teriak Haidar."Suud! Diam! Apa-apaan, sih? Om tuh yang gila! Awas aja kalau Cia udah sembuh, aku ulek lebih dari tempe penyet!""Hahaha, santai dong. Apa kamu nggak ingin hapus aja Om harus bisa bikin sate ayam yang lezat untuk syarat kamu mau nikah muda? Hapus aja ya, pulang dari rumah sakit kita langsung nikah. Duh, batas waktu udah mep---" ungkap Haidar hampir keceplosan."Waktu? Kenapa batas waktu? Syarat ya tetep syarat!" jawab Ciara."Nggak, keburu waktu Om umurnya jadi 31 maksudnya." Haidar menggigit bibirnya, untung ada ide muncul.'Hhhhh! Alhamdulillah punya alasan. Asal kamu tahu Ci, kalau batas waktu habis, kita belum nikah, hancur sudah jabatanku sebagai CEO!' batin Haidar.Baru juga sadar. Bukannya saling menyapa atas kerinduan sehat mereka, tetapi malah adu mulut. Haidar melanjutkan misi yang tersendat kecelakaan. Namun, dalam batinnya Ciara sangat lega, hal terburuk yang ada dalam pikiran Ciara tidak terjadi pada lelaki tersebut."Aduh! Jadi kebelet gini," ucap Haidar."Kebelet apa?" tanya Ciara."Membuang sesuatu yang seharusnya dikeluarkan, gak usah mikir aneh ... ini mau buang kotoran manusia," jawabnya."Siapa juga yang mikir aneh? Ngapain bilang-bilang, tinggal tarik gordennya kan, hhhh!" keluh Ciara.Gadis tersebut lupa kalau Haidar masih perlu bantuan dalam urusan seperti itu. Kebiasaan, mereka ditinggal berdua di ruangan tersebut. Haidar merasa kesal, menurutnya Ciara benar-benar tidak peka dengan keadaan sekarang."Ciara! Harusnya kamu tuh bisa membedakan mana kantong darah dan mana jus buah bit meskipun warnanya terkesan sama!" Haidar meninggikan nada bicara."Maksudnya apa? Kok tiba-tiba ngegas. Eh, baru inget ... Om gak bisa sendiri, tapi kan Cia gak bisa bantuin. Coba Om telepon mama, ponsel Cia lowbat," ungkapnya."Sama, punya Om juga lowbat.""Iya, Dok. Suami saya namanya Haidar, apa dia dipindah ke ruang sini? Mayat itu bukan mayat Haidar, kan!" Terdengar suara perempuan dengan campuran teriakan dan tangis dari luar ruang mereka."Apa ... suami? Maksud Om apa mengajak Cia nikah, sedangkan Om sudah beristri? Jawab!" bentak Ciara geram mendengar suara dari luar tersebut."Apa-apaan ini? Om belum pernah nikah," jawab Haidar. "Terus itu siapa? Om juga denger sendiri, kan? Laki-laki tak tahu diri!" teriaknya. "Haidar! Alhamdulillah ... ternyata mayat yang di depan bukan kamu. Maaf ya, ngaku-ngaku jadi istri kamu ... biar cepet diladenin, soalnya lagi rame di depan." Perempuan berpakaian baju kantor yang menjadi sekretaris Haidar itu langsung masuk ruangan. "Hahaha, iya gak masalah," jawab Haidar.'Sial! Kenapa mereka nggak luka yang lebih parah?' batin Toya. "Hmmm ... Alhamdulillah masih diberi hidup, jadi ... masih ada kesempatan untuk menikahi Ciara." Haidar mengedipkan mata kirinya. "Ish, turuti syaratnya dulu!" bentak Ciara. "Mau dituruti atau nggak, yang namanya jodoh gak akan ke mana ... hahaha, lagian kalau udah naksir gak usah sok-sokan. Tadi aja pas Toya bilang suami ... wajah kamu udah kayak tomat," jawab Haidar."Ihh! Cia tuh hanya melindungi diri dari sengatan mangsa laki-laki! Intinya gak mau dipermainkan. Masih kekeh ingin mencoba penu
"Menikahnya sudah Om yang minta. Sekarang ganti Cia yang milih malam pertamanya. Mau di hotel aja! Kalau di hutan dingin!" rengek Ciara. "Justru dinginnya itu yang dicari," jawab Haidar. "Ogah, Cia mboten purun!" Ciara memonyongkan bibirnya. "Kedah purun," sahut Haidar. "Dibilang tidak mau ya tidak mau! Menyeramkan, Om! Cia tuh … takut gelap yang akut sebenarnya," ungkap Ciara. "Kenapa tertawa?" "Ya sudah ngikut kamu," jawabnya.Haidar mengalah untuk yang ini. Pikirannya sudah tertata karena jabatan CEO tetap berhasil. Haidar menyadari, selesai masalah satu, dia akan menghadapi perkara baru. Namun, itu sudah menjadi pilihannya.***"Siapa yang beliin baju itu? Siapa juga yang suruh pakai!" Haidar menutup mata. "Om kok begitu, tidak senang?" tanya Ciara. "Kamu terlalu menggoda!" Haidar berjalan ke ranjang, tetapi malah berselimut sendiri. Entah, harus dengan bahasa apa Haidar mengatakan yang sebenarnya. Pernikahan yang hanya pura-pura dijalankan dengan cinta. Menikahnya secara
"Ini, ada kabar dari keluarga Mamamu," jawab Ciara. "Kabar apa? Mana … kok sudah mati cuma sebentar?" tanya Haidar. "Hahaha … kena prank. " Ciara tertawa lepas, dia kesal dengan suaminya, sekalian saja di-prank. "Is, kamu masih waras? Masa baru beberapa hari nikah sama Om ... jadi gila?" Haidar menyentuh jidat Ciara. "Om Sayang apa, sih? Katanya suruh prasangka baik, lah ini … malah mengira kalau ciara gila!" keluhnya. "Hahaha, ingin ketawain saja. Yuk, buruan isi tenaga!" ajak Haidar. Haidar tahu saja kalau Ciara hanya prank. Begitulah dia, tidak mudah untuk dikelabui. Tidak kehabisan ide, Ciara terus bersikap centil di hadapan Haidar. Prank-nya gagal, tetapi tidak dengan langkah fisik selanjutnya. "Cium dululah!" pinta Ciara. "Om Sayang kan, tidak suka orang lebay!" Haidar ikut bercermin meraba dagu mulusnya sendiri. "Dulu saja mengancam mau cium waktu belum menikah, sekarang sudah menikah masa malah dibiarkan. Tidak mau mencium, ya sudah tidak mau makan!" seru Ciara. “Hhhh
"Tenang, kita liat sama-sama," jawab Haidar. Kabar tidak sedap kembali mengguncang. Tangis yang menderu itu, ternyata tangis tentang kabar kecelakaan pesawat yang tentunya menimbulkan banyak korban. Pihak yang akan bekerjasama dengan Haidar pun membatalkan pertemuan di waktu tersebut, mereka mengundur sehingga mengakibatkan Haidar mengurus kerjasama yang di luar kota terlebih dahulu. Pengunduran dilakukan karena pihak sana juga tahu akan kecelakaan tersebut yang mana beberapa korbannya merupakan anggota keluarga dari pihak yang akan bekerjasama. ***"Om Sayang, boleh minta sesuatu gak?" tanya Ciara. "Asal bukan anak," jawab Haidar. 'Hhh, minta jawaban aja," sahut Ciara. "Apa, hmm?" Mereka sudah dari tadi di atas ranjang, tetapi belum juga memejamkan mata karena Ciara terus saja mengajak bicara. Meskipun tidak jadi ke luar negeri, besok Haidar sudah harus berangkat ke luar kota. Seperti wanita pada umumnya, Ciara sengaja manja ke suami, walaupun dia juga tahu seharusnya malam ini
Ciara langsung bergegas untuk mandi. Ia orangnya mudah penasaran, apalagi ini tentang pernikahannya yang sekarang masih bermain dengan api meluluhkan. Haidar tersenyum samar, bahagia melihat senyum sang istri sudah mendarat. "Hemm, udah mandi," kata Ciara."Oke, Om mandi dulu ya, entar baru cerita," jawab Haidar."Jangan lama-lama, Sayang!" pintanya."Siap." Seperti peringatan istrinya, Haidar tidak terlalu lama di kamar mandi. Pada dasarnya, ia memang lelaki yang juga tidak suka berlama-lama di dalam kamar mandi. Istrinya sudah menunggu dengan dandannya yang mempesona. Dibilang tidak tertarik, itu munafik, Haidar tentu tertarik, tetapi tetap belum bisa melabuhkan cinta. "Tuh ganti bajunya, mau dipakaiin?" tanya Ciara. "Gak usah, biar cepet tak pakai sendiri saja." Haidar masuk ke ruang ganti baju. "Yee, dah rapi. Cerita sini sambil Cia sisirin," kata Ciara."Cerita apa?" "Tadi katanya mau cerita tentang pernikahan," jawabnya."Hehe, cuma bohongin Isbay saja, hahaha. Berchandya …
Terkejut dengan ucapan Ciara. Dalam bayang pikiran Haidar, istrinya tahu dari mana nomor ponselnya Bening. Ia masih berusaha santai dan tetap fokus ke laptopnya. Wajah dan kelakuan Ciara yang galak pun tidak bisa dikondisikan lagi, tanpa pikir panjang menggebrak meja kerjanya Haidar. Breghh."Astaghfirullahal'adzim, Isbay!" Haidar kaget dan langsung berdiri. "Aku ini sedang bicara sama Om!" teriaknya."Kalau kedatangan kamu cuma mau ribut, Om antar pulang sekarang!" seru Haidar."Tega ya! Om mikir gak sih, istri mana yang tidak cemburu jika foto suaminya diposting perempuan lain dengan caption love! Manaaaaa! Kecuali kalau memang orangnya seperti Om, nggak ada cinta untuk pasangan halalnya," omel Ciara."Duduk, Isbay … udah ya marahnya. Dapat nomer Bening dari siapa?" Haidar merangkul istrinya untuk duduk di atas ranjang."Mama Sita," sahutnya. Ciara terdiam melihat sorot mata suaminya yang tidak mungkin Haidar menduakannya. Hampir saja Haidar terpancing emosi, tetapi untungnya bisa
Ciara: "Hahaha, ngurusnya Sayangkuh! Buatnya mah gak ribet asal Om udah mau." Haidar: "Tau gak, Nduk? Wanitaku ini laksana air mata, kamu lambang dari segala teduh maupun rapuhku. Mau tidak mau, kamu tetap ikut merasakan apa yang menerpaku." Ciara: "Hahaha, mboten napa-napa, melow banget!" Haidar: "Ada hakmu yang belum aku penuhi." Ciara: "Mm, tapi sudah banyak hak lain yang Om berikan. Yang penting kita paham akan hak dan kewajiban, paham itu bisa menempatkan sesuai tempatnya juga. Maaf kalau merengek, tapi sejujurnya Cia mau anak kita lahir juga dengan benih cintamu, Sayang! Bukan sekedar nafsu. Om bahagia kan nikah sama Cia?" Haidar: "Bahagia, maaf ya … belum bisa utuh membahagiakanmu." Ciara: "Om Sayang dinginnya udah mulai anget nih, hehe … kangen!" Haidar: "Apa sih? Kalau beneran kangen, ya kamu makan dong, jangan ditunda lagi!" Ciara: "Asal VC-nya jangan dimatiin dulu." Haidar: "Iya." Ciara: "Om Sayang, Cia tuh ...." Haidar: "Ditelan dulu, nanti bicara lagi." *** "A
"Mau ke pesantren." "Untuk apa? Abah sama Ummah jam segini sudah istirahat, santri-santri pun juga, gak baik bertamu di jam segini, Cantik. Besok ya?" kata Haidar. "Aku cuma mau lihat gerbangnya doang habis tuh pulang!" rengeknya. "Ya udah, yuk berangkat!" Haidar melirik sejenak dan tanpa aba-aba mengangkat istrinya untuk masuk mobil. Keinginannya dituruti begitu saja sudah senang banget. Meskipun hanya untuk melihat gerbang pesantren, selama tidak merugikan istrinya, Haidar tetap berangkat. Lelahnya sudah lenyap dengan pengakuan cinta dan rasa syukur yang tumbuh dalam dirinya. "Om udah siapin tiket honeymoonnya sesuai pilihan kamu waktu itu sama Mama. Nggak berubah pikiran kan?" tanya Haidar. "Nggak dong, udah cocok," jawab Ciara. "Ehmm, kenapa menangis?" Haidar terkejut setelah menoleh, ternyata air mata sang istri bercucuran. "Kangen mondok, huaaaaa!" "Hahaha …." Haidar tertawa lepas. "Apa yang lucu?" sahut Ciara ketus. "Gak lucu, tapi kamu imut banget kalau nangis gitu,
Haidar segera bangun lagi dan berharap tangis yang didengar bukanlah tangis untuk kematian sang istri dan anak. Bendera kuning yang tertancap, Haidar harap itu hanya salah penempatan. Mencoba berlari meskipun kakinya seperti tetap berhenti di tempat."Assalamu'aalikum. Mama, ini ada apa!" Haidar mengepalkan tangan, melihat semua keluarga berkumpul dengan tangis."Abiiiiiiiiii! Huaaaaaaaa!" Ketiga anak kembarnya langsung memeluk Haidar."Nak, i-ibu sama adik masih di rumah sakit sudah membaik kan? Iya kan?" tanya Haidar.Masih belum ada jawaban. Kembar tiga justru semakin menangis saat dagu mereka diraba oleh Haidar. Jika tidak ada jawaban, jawaban dari diam itu sudah bisa diartikan. Emosi Haidar membludak, ia justru bertanya dengan berteriak!"Orang sebanyak ini kenapa tidak ada yang menjawab!" Air matanya tidak mampu ditahan, ini terlalu sakit.KLING.[ "Selama
Keadaan Ciara dan Kiara kritis. Tentunya tidak berada di ruang biasa. Sita segera menghubungi Haidar akan kabar tersebut. Firasat Haidar nyata, Ciara bukannya melanggar perintah Haidar,melainkan terpaksa ke luar karena mengejar putrinya. Sita: "Hai, pulang sekarang." Haidar: "Ada apa, Mam?" Sita: "(Mengirim foto rumah sakit)" Sita tak mampu mengatakan secara langsung. Raganya terasa lemah sembari memangku ketiga cucu kembarnya yang kini tengah menangis. Ia juga berpikir, pasti di sana Haidar sedang hancur dengan kabar yang akan diberitahukan. Haidar: "Mam, siapa yang sakit? Perasaan Haidar dari kemarin gak enak. Siapa Mam?" Sita: "Yang penting kamu pulang, Nak." Haidar: "Siap pulang, Haidar segera urus, tapi siapa yang sakit? Anak-anak sama Ciara baik-baik saja?" Sita: "Ciara sama Adik Kia." Haidar: "Ya Allah, sakit barengan?" Sita: "Kecelakaan di depan rumah." Haidar: "Innalillaah, kenapa mereka ke luar? Mama kenapa juga membiarkan? Sudah Haidar bilang loh, jangan ke luar!
"Hmmm, nggaklah menurut Ocyang, dia ya dia, Toya ya Toya. Saudara jauh juga, gak terlalu kelihatan deket mereka," kata Haidar. "Kita nggak tahu secara onlinennya!" sahut Ciara. "Sayang ...." Haidar hanya menatap istrinya dengan lama kemudian memberinya pelukan. Sempat berdebat juga antara ada ulah campur tangan Toya. Pikiran Ciara memang suka begitu, tetapi cepat juga kembali ke mode awal. Bodoamat pun menjadi jurus, mereka diamkan sosmednya dulu, baru besok pagi dilihat. *** Haidar: "Sayangku." Ciara: "Iya Sayang." Haidar: "Perasaan Ocyang gak enak. Jangan keluar rumah." Ciara: "Terus? Anak-anak sekolahnya gimana?" Haidar: "Izin aja." Ciara: "Ada apa sebenarnya? Ocyang dapet kabar?" Haidar: "Iya, Sayang." Ciara: "Izin alasannya apa coba?" Haidar: "Biar Ocyang yang izinin. Kamu gak usah mikir itu." Ciara: "Emang ada apa? Ngomong yang jelas dong!" Haidar: "Ada yang berulah karena salah paham." Ciara: "Hah?" Haidar: "Hati-hati lagi dengan Toya dan Galaxy. Galaxy tidak ik
Haidar: "Ibu Cia ...." Ciara: "Tau ah. Nggak chat nggak langsung, bikin kesel terus." Haiadar: "Tau gitu kenapa dirindukan?" Ciara: "Ini nih bodohnya cinta." Haidar: "Kangen, asli pengen ucel-ucel kamu!" Ciara: "Parah sekali OM-OM ini! Apaucel-ucel?" Haidar: "Aisshh pura-pura gak paham." Ciara: "Ucel-ucel itu kan bahasa meremas-remas untuk baju." Haidar: "Kamu dikasih kata yang terfilter dikit gak paham, giliran meremas-remas pasti langsung paham." Ciara: "Hahaha, ciri-ciri istrimu ini cerdas." Haidar: "Kok malah cerdas?" Ciara: "Iya dong, denger kata meremas-remas pasti Ocyang di sana langsung----" Haidar: "Wanitaku, hahaha ... cerdasnya gak ketulungan. Video Call yok!" Ciara: "Haaahh? Pasti mau liat itunya aku." Haidar: "Pikiran kamu .... huuuhhhhh, ya liat wajah kamulah, di sini Ocyang lagi kumpul dengan Segara dan yang lain." Ciara: "Eh, wkwkwk." Tidak lupa Ciara bercerita tentang kejadian-kejadian bersama kembar tiga dan juga Kiara hari ini. Seperti bikin konten a
Ketenangan jiwa dan raga itu sebenarnya terdapat di mana, bisa diperoleh dari mana dan kapan saja hal tersebut bisa singgah dengan sungguh? Jawabannya, setiap detik itu adalah kesempatan untuk meraih pernyataan tersebut. Ciara belum jadi menghidupkan mobilnya dan melihat ke belakang tentang berita penumpahan ice cream. Jika dia sekarang tidak tenang, mendengar pernyataan dari Mas Uja tadi akan langsung marah seperti waktu di rumah kala itu. "Tumpah?" "Iya, kena celana Mas Uja! Adik kok nggak flend, sih!" celetuk Mas Uja. "Maaf, Adik no cengaja, Ibu." Kiara memeluk Mas Uja, tetapi justru Mas Uja menghindari. "Huaaaaaa!" Kiara menangis karena dicuekin Mas Uja. "Mas Uja, nggak boleh gitu dong sama Adik. Adik kan nggak sengaja. Peluk Adiknya dan Adik juga hati-hati kalau makan nggak boleh sambil loncat-loncat. Mas Uja ganti celana dulu itu di belakang Mas, Ibu mau beliin ice cream lagi." Ciara mencium dulu ke keempat anaknya. Mumpung masih di tempat ice cream, Ciara membelikan kembal
Manja itu suatu sifat yang misterinya melekatkan antara yang satu dengan yang lain. Orang kalau terlalu mandiri juga tidak baik karena dengan terlalu mandiri, dia tidak punya akses antara keduanya yang lebih menonjol dan terkesan seperti orang lain itu tidak terangkat. Namun, kalau terlalu manja bisa juga menimbulkan sebuah pertengkaran hebat karena adanya hal tidak sesuai antara diri yang satu dengan yang lain. Musalkan, yang ini ingin melangkah ke A, tetapi dipaksa untuk lebih dahulu ke B demi menuruti keinginannya si A."Isbay nggak pernah bosan," jawab Ciara."Nah, itu sudah terjawab. Gak ada rasa bosan untuk kamu, Cantik.Pernikahan bukan jalan bubar, termasuk kesehatan kamu.” Haidar mengecup kening istrinya sejenak."Uwaahh, bangga rasanya punya njenenengan. Makasih udah perhatian dengan banyak hal. Apapun seperti istimewa karena bersamamu," ungkap Ciara."Iya, karena membahagiakanmu, membuatmu ny
"Kamu pura-pura nggak tahu, kan?” tanya Haidar.“Pura-pura? Enggak! Emang apa yang benar?”Haidar tak kuat untuk menahan tawa lagi ketika istrinya tidak paham dengan apa yang ia maksud. Padahal, itu adalah sesuatu yang sudah melekat dalam diri mereka ketika berada di dalam kamar dan sudah menjadi kebiasaan tradisi terindah sepanjang jalan. Ya seperti tidak mungkin saja kalau Ciara tidak paham dengan apa yang Haidar ucapkan, padahal arahnya sudah jelas ke sana.Namun, memang malam itu Ciara tidak paham apa-apa. Pahamnya tentang sekedar energi yang terkuras karena mereka marah-marah. Waktu awal pembicaraan juga sudah membicarakan tentang energinya yang keluar penuh karena menghadapi emosi-emosi menghadapi mereka berdua. Haidar masih terdiam dan terus memandang ke arah wajah Ciara sampai salting akut dan ujung-ujungnya kembali ke area ngambek lagi.“Aku bukan boneka, Oc!”Sekalinya Haidar sudah mengataka
"Kapok tuh aquarium kesayangan njenengan pecah! Isbay gak ngerasa bersalah, terserah mau dibenci karena di situ gak ada ikannya! Beresin sendiri Isbay gak mau ngeberesin!" Ciara meninggalkan Haidar dan kamar yang berantakan."Kalau kamu memang minta Ocyang marah, baik. Ocyang tidak keberatan untuk menuruti."Jujur, Haidar sangat kecewa. Setiap orang itu punya barang berharga. Aquariumnya kecil, tetapi itu sangat dirawat oleh Haidar. Sampai segitunya Ciara marah, mana malah melawan. Sebenarnya, kecewa besarnya Haidar bukan perkara aquarium pecah, Haidar kecewa besar dengan langkah Ciara yang terkesan tidak menghargai keberadaan Haidar sebagai suami.KLING KLING."Hallo, gimana? Oh, ada kerja sama ke luar kota, sipp. Besok kita berangkat," ucap Haidar dalam telepon."Ternyata cari gara-gara. Pengen trending kasus perselingkuhan, begitu hah?" bentak Ciara.Sukses membuat Ciara semakin geram.
Yang harus dipikirkan lagi setelah perkara Gus Fahim beres, tidak ada. Tinggal menunggu pulih dan mempersiapkan pernikahan Tiara dengan Gus Fahim. Kabarnya, Kang Musa juga akan segera melamar Bening. Haidar terdiam dan menatap Ciara yang sedang berkomunikasi dengan putra dan putrinya. Dua tahun kemudian Putra kembar tiganya sudah berusia 4 tahun, sedangkan putri kecilnya itu sekarang sudah berusia 2 tahun. Kalau berbicara dengan waktu dan memikirkan dengan yang terjadi, hari tentu terkesan begitu cepat. Akan tetapi, berjalannya sudah begitu jauh, tak menyangka ternyata rumah tangga mereka sudah berjalan selama 5 tahun lebih. Hubungan antara keluarga Haidar dengan Toya Galaxy pun juga membaik. Mereka sering bersama dan berbagi tips ketika mengantarkan Uda, Uha, dan Uja belajar di tempat yang sama dengan Barbie. Sekarang Uja yang sangat manja itu sudah semakin pintar saja, tetapi tetap memiliki sifat khasnya, yaitu manja. Meskipun sering cemburu juga, dia sangat perhatian dengan adik