Sejujurnya, Cahaya sudah mempersiapkan diri untuk momen ini sejak lama. Mengingat Cipto sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Galaxy, dia tahu bahwa cepat atau lambat, ayahnya pun harus diberitahu. Daripada Karim mendengar berita ini dari orang lain, Cahaya merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengatakannya sendiri, apalagi ketika Karim sedang merasa bersalah karena menyembunyikan penyakitnya. Dengan memberitahunya sekarang, Cahaya berharap berita ini bisa diterima dengan cara yang lebih lembut dan penuh pengertian.Karim menatap Cahaya dengan tatapan yang penuh keraguan dan kebingungan, tetapi juga dengan cinta seorang ayah yang tak pernah pudar. Cahaya menggenggam tangan ayahnya lebih erat, mencoba menyalurkan semua kekuatan dan keberanian yang dimilikinya kepada pria yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu.Dia tersenyum lembut, menunggu dengan sabar hingga Karim selesai melontarkan semua pertanyaan yang membuncah di pikirannya. Lalu, dengan
“Ayah tidak tahu kapan kamu tumbuh sebesar ini, Aya,” bisik Karim dengan suara yang terdengar lebih rapuh dari biasanya. Dia merasa seolah waktu berlari terlalu cepat, sementara ia sendiri tertinggal jauh di belakang.Cahaya tersenyum lembut, namun matanya juga mulai berkaca-kaca. “Aku belum sepenuhnya dewasa, Ayah. Masih banyak yang harus aku pelajari, dan jalanku masih panjang. Tapi di setiap langkahnya, aku selalu butuh Ayah di sisiku.”Karim menarik napas panjang dan gemetar, suaranya bergetar saat ia berkata, “Ayah janji. Ayah akan selalu ada untukmu, Nak. Ayah akan berjuang untuk sembuh. Ayah tidak akan meninggalkanmu sendirian.”Delapan belas tahun yang lalu, Karim masih ingat saat pertama kali dia bertemu Cahaya di stasiun. Anak itu hanya diam, wajahnya basah oleh air mata. Dengan tangan gemetar, Karim meraih tangan mungil anak itu dan menggenggamnya erat-erat. Saat itu, hati Karim penuh kekhawatiran dan ketidakpastian
“Apakah kamu ingin membawanya pulang dan menatapnya lebih lama?” tanya Raven, ragu sejenak. “Atau mungkin kamu berencana memberikannya sebagai hadiah untuk seseorang?”“Aku akan menyimpannya sendiri,” jawab Galaxy dengan suara tenang, matanya tak lepas dari lukisan itu. “Soal harganya, kamu yang tentukan. Sesuaikan dengan apa yang menurutmu pantas.”Raven terkekeh ringan, lalu berkata, “Bagaimana mungkin aku meminta bayaran dari bos? Anggap saja ini hadiah Tahun Baru dariku untukmu.”Galaxy menyipitkan matanya, senyum tipis yang penuh makna muncul di bibirnya. “Tapi ini baru musim semi.”Dengan cepat, Raven menimpali sambil tertawa, “Anggap saja ini kompensasi untuk beberapa Tahun Baru yang terlewat. Aku dengar waktu itu kamu di luar negeri, dan toko-toko lain pasti mengirimkan hadiah. Tentu saja, toko kita juga harus memberi sesuatu, bukan?”“Kamu memang jago
Toko itu hanya berjarak sepuluh menit berkendara dari Akademi Seni. Saat Galaxy melaju di jalan, dia bisa melihat gedung-gedung kampus yang menjulang di kejauhan.Para mahasiswa berdesakan keluar dari kampus, tertarik oleh aroma lezat dari lapak-lapak makanan yang memenuhi jalan-jalan di sekelilingnya. Angin sore yang segar membawa wangi makanan yang menggugah selera, menciptakan suasana yang hidup dan ramai.Galaxy menghentikan mobilnya dan tiba-tiba teringat bahwa dia belum menghubungi Cahaya.Ketika dia kembali, dia mengira Cahaya akan berada di rumah karena tidak ada kelas di sore hari. Namun, saat membuka pintu rumah, yang dia temui adalah kegelapan dan keheningan. Rumah itu tampak kosong, dan meja makan tertutup debu tipis.Jelas sekali bahwa Cahaya tidak pulang selama dua minggu Galaxy pergi.Secara logis, tidak ada masalah jika Cahaya tidak pulang saat Galaxy tidak ada. Mungkin malah lebih baik begitu. Dengan kewaspa
Tutup pemantik itu terbuka dan tertutup berulang kali, menghasilkan suara klik yang monoton namun menenangkan. Galaxy duduk di dalam mobil, matanya terpaku pada gerbang yang diam tak bergerak, sembari rasa bosan perlahan merayapi pikirannya saat menunggu Cahaya.Di kejauhan, hembusan angin membawa aroma dingin, menyeret beberapa helai daun kering melintasi jalan. Sosok Cahaya muncul, mengenakan topi baseball dan masker, hanya menyisakan matanya yang tampak dari celah kecil itu. Mata yang begitu memikat—lembap, bersinar, dan jernih. Dari jarak jauh pun, Galaxy langsung mengenali sorot mata itu.Mata yang cerah seperti kilau permata di bawah sinar matahari. Cahaya yang memancar dari kedua bola mata itu seolah menghangatkan suasana di sekitar mereka. Galaxy tersenyum kecil tanpa sadar, perasaannya yang tadinya berat mendadak terasa lebih ringan.Melihat Cahaya berjalan dengan pakaian yang membuatnya hampir tak dikenali, Galaxy tak bisa menahan tawa kecilnya. Teringat akan siaran langsung
Seperti yang diduga, Cahaya menatap Galaxy dengan penuh kecurigaan. “Kamu menonton siaran langsungku, ya?” tanyanya hati-hati, sorot matanya mencoba menembus ekspresi wajah Galaxy.Sejak siaran langsung yang viral itu, Cahaya selalu menyamar dengan topi dan masker setiap kali keluar rumah. Popularitasnya yang tiba-tiba membuatnya sering dikenali di jalan. Ada yang mendekat untuk sekadar mengobrol atau meminta tanda tangan, sementara yang lain memilih mengamatinya dari kejauhan, menunjuk sambil tersenyum.Meski perhatian itu tidak bermaksud jahat, ada sesuatu yang membuat Cahaya merasa canggung. Setelah siaran itu, dia pun memutuskan untuk mengurangi frekuensi siarannya.Pertama, dia memang merasa sedikit malu. Siaran itu berlangsung lebih spontan daripada yang direncanakan, dan beberapa bagian membuatnya merasa agak kikuk. Kedua, jadwalnya makin padat. Setiap hari dia harus mengurus Karim, adik kecilnya yang membutuhkan perhatian khusus, sambil
Galaxy tersenyum tipis. “Aku tidak meminta Bibi untuk datang hari ini, jadi bagaimana kalau kita makan di luar?” saran Galaxy dengan santai. “Apa yang ingin kamu makan?”Senyum Cahaya semakin melebar, pipinya tampak sedikit merona saat dia sedikit memiringkan kepalanya. “Terserah Tuan Muda saja, aku ikut pilihanmu.” Setelah berpikir sejenak, dia menambahkan, “Dan kali ini aku yang traktir. Terima kasih sudah membantuku dengan kesempatan itu, Tuan Muda.”Galaxy tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya. "Apa kamu suka makanan Jepang?"Cahaya mengangguk penuh semangat. “Ya, aku suka.”"Restoran Jepang keluarga Lukas sedang mengadakan promosi," kata Galaxy sambil melirik Cahaya dengan tatapan yang lebih lembut. “Mau ke sana?”“Oke.” Cahaya mengangguk antusias, matanya berbinar penuh kebahagiaan.Galaxy memesan hot pot Wagyu khusus untuk C
Ketika Cahaya pertama kali muncul di sisi Darel, Galaxy meminta Lukas untuk menggali lebih dalam tentang kehidupannya. Namun, Lukas tidak pernah menyebutkan apapun terkait kondisi kesehatan ayah Cahaya. Informasi yang didapat hanyalah bahwa Cahaya dan ayahnya hidup saling bergantung satu sama lain, bertahan dari penghasilan yang diperoleh ayahnya dari membuat sepatu kulit buatan tangan. Hidup mereka sederhana dan jauh dari kata mudah.“Tidak ada yang bisa dilakukan,” Cahaya mengangkat bahu dengan tenang, tanpa jejak kesedihan di wajahnya. “Ayahku mengalami kecelakaan waktu muda dan kehilangan kedua kakinya. Untungnya, dia selamat,” katanya begitu ringan, seolah itu bukanlah sebuah tragedi yang menghantui kehidupan mereka.Galaxy terdiam, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Cahaya tersenyum lembut, mencoba menenangkan suasana yang mendadak terasa hening. “Sungguh, itu bukan masalah besar,” tambah Cahaya, seolah bisa membaca pikiran Galaxy. “Ayahku mampu melakukan apa saja—dia tida