Charlene menggeleng pelan dengan senyum mencemooh. "Memang lebih mudah menilai orang lain daripada diri sendiri. Karena untuk melakukan hal itu, tidak diperlukan cermin." "Kalau begitu, katakan bagian mana dari diriku yang pecundang?" tantang Lee. Paras Charlene membentuk tawa tanpa suara. Memang tidak mengherankan jika pria arogan seperti Lee enggan untuk mengakui kekurangannya. "Anda yakin ingin aku menyebutkannya?" lontar Charlene. Lee lantas menurunkan kelopak matanya untuk memindai penampilan Charlene, sehingga membuat gadis itu kembali merasa tidak nyaman. "Kau boleh menyebutkannya nanti, setelah orang tuaku pergi. Sekarang bersihkan dirimu. Kau bisa mandi di kamar mandiku kalau mau," ucap Lee. Akan tetapi, niatnya itu dicurigai oleh Charlene. "Tidak, terima kasih. Aku bisa mandi di kamarku." "Itu pilihanmu, tetapi jangan bilang kalau aku kejam. Karena aku sudah berhati mulia menawarkanmu untuk mandi di kamar mandiku," cibir Lee. "Heh! Ber-berhati mulia?" Lee mengangguk
Begitu Lee memasuki kamar mandi, Charlene pun bergegas berganti pakaian dengan cepat. Berulang kali Charlene memasang pandangan waspada ke arah jalan masuk kamar mandi yang terletak beberapa meter jaraknya dari samping tempat tidur. Charlene kemudian menaruh selimut yang tadi ia gunakan untuk menutupi tubuhnya, ke atas tempat tidur Lee, sebelum dengan tergesa-gesa keluar dari kamar bosnya. Ia kembali ke kamarnya dan mandi dengan secepat mungkin karena tidak baik jika membuat semua orang menunggunya. Charlene pikir Lee telah berada di bawah bersama kedua orang tuanya ketika ia turun. Namun, ia hanya menemukan Hana yang sedang melangkah dari arah dapur menuju ke sofa tempat di mana Pieter berada. Gadis itu pun berniat kembali ke atas. Ia sudah memutar tubuhnya untuk kabur, tetapi Hana menangkap basah dirinya. "Eh, kemarilah, Nona ...." Hana mencoba mengingat nama Charlene, tetapi buntu. Hana berpikir kalau sepertinya ia memang belum mendengar Lee menyebut nama Charlene. Panggilan dar
Pieter melemparkan tatapannya ke arah Hana. Tanpa Pieter mengatakan apa pun, Hana sudah mengerti maksud sang suami yang menginginkan dirinya untuk bicara. Hana lantas mendaratkan pandangannya ke arah Charlene dan Lee. "Ayah Charlene pernah menyelamatkan Monkey," terang Hana. "Monkey? Ikan koi?" Lee membutuhkan penjelasan Hana. Sementara Charlene juga terlihat penasaran. Ia mengerling sekilas ke arah Lee, sebelum mengalihkan indra penglihatannya kepada Hana lagi. "Iya, Monkey. Ikan koi kesayangan kakekmu." Hana menegaskan. Tampak Lee sedikit memicingkan matanya. Hana yang mengenal sifat putranya, sadar bahwa dirinya belum bisa meyakinkan Lee. "Memangnya apa yang terjadi pada Monkey hingga bisa diselamatkan oleh ayah Nona Flynn?" Lihatlah, dugaan Hana memang tidak salah. Ia hendak menjelaskan pada Lee, tetapi kali ini diselip oleh sang suami. "Waktu itu kakekmu membawa Monkey jalan-jalan pagi di taman dan tidak sengaja bertemu dengan seekor anjing galak yang hampir saja menerkam
"Tidak. Lee itu,–". "Ibu," sela Lee yang membuat Hana terdiam. "Aku perlu bicara berdua saja dengan Nona Flynn." Lee mengerling ke arah Hana dan Pieter, lalu menatap kembali Charlene. "Baiklah, silakan kalian bicara. Kebetulan Ayahmu ada janji dengan rekan bisnis," jelas Hana. "Eh? Aku tidak—." Pieter tidak jadi melanjutkan ucapannya karena Hana menyenggol kakinya. Pria paruh baya itu cukup paham jika istrinya tidak ingin dirinya bicara lebih banyak. "Iya, benar. Kalian lanjutkan saja bicaranya. Kami harus segera pergi, agar tidak terlambat." Pieter buru-buru berdiri diikuti oleh Hana. Melihat hal tersebut, Charlene pun segera berdiri. "Tidak perlu diantar. Kalian bicara saja," ucap Hana. "Sampai jumpa." Charlene menatap Hana dan Pieter hingga menghilang dari pandangan. Lee kemudian berdiri sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Pandangannya juga tertuju ke arah pintu keluar menuju lorong yang menyambungkan bangunan utama penthouse dengan ruangan lift. "Sekarang hany
"Aku yakin calon suamimu tidak akan mempermasalahkan keperawananmu." Lee mengatakan hal itu karena rata-rata wanita yang seusia Charlene memang kebanyakan sudah tidak perawan. "Tetapi apa kau yakin jika dia bisa menolerir sebuah pengkhianatan?" Charlene menatap nanar ke arah Lee. Ia sadar jika ucapan pria itu memang benar. Pikirannya benar-benar kalut saat ini.Sudah pasti Axel tidak akan memaafkan Charlene jika pria itu sampai tahu bahwa Charlene telah tidur dengan Lee."Pikirkanlah baik-baik tawaranku, Nona Flynn." Lee meyakinkan.Charlene terdiam, tetapi bukan untuk mempertimbangkan tawaran Lee. "Aku tidak akan menikah denganmu, Tuan Montana. Bahkan jika Axel mencampakkanku karena kesalahan yang tidak sengaja aku lakukan tadi malam," tegas Charlene. Ia sudah bulat dengan keputusannya itu.Netra Lee yang tampak bersinar, menatap Charlene dengan lekat. Charlene lebih keras kepala dari yang ia duga. "Baiklah kalau kau tidak mau menerima tawaranku. Justru aku merasa beruntung karena
Lee menyandarkan bokongnya pada pinggiran meja, melipat kedua tangannya di depan dada, sementara kedua kakinya disilangkan. "Well, itu memang bukan urusanku." Lee tampak begitu santai. "Aku ulangi lagi, aku menawarimu pernikahan sebagai bentuk tanggung jawabku. Selain atas apa yang terjadi tadi malam, juga sebagai balas budi almarhum kakekku pada almarhum ayahmu." Lee jelas menghindari topik mengenai apakah dirinya terusik dengan masalah kegadisan Charlene. Charlene pun tidak membahas hal itu lebih jauh karena dia sendiri sebenarnya juga tidak berniat membahas mengenai masalah itu. Ia hanya terpancing oleh asumsi yang Lee kemukakan."Jawabanku tetap sama, Tuan Montana," tegas Charlene.Dia memang ragu jika Axel akan menerima dirinya. Seperti yang Lee katakan tadi, Axel tidak akan mempermasalahkan keperawanan Charlene. Namun, sayangnya ini bukan tentang masalah keperawanan semata, melainkan tentang pengkhianatan.Pria mana yang bisa menerima jika mengetahui calon istrinya telah tidur
"Aaaagggg ....!" Charlene mengacak-acak rambutnya hingga tak beraturan. Ia menyandarkan punggung pada sofa panjang yang ada di dalam kamarnya, sementara kepalanya ia letakkan pada bahu sofa. Tatapannya saat ini tertuju ke langit-langit kamar. "Fiuuuhh!" Ia meniup helaian-helaian rambut yang menutupi wajahnya. Sejak tadi ia sama sekali tidak bisa mengetik naskah untuk lanjutan novelnya, padahal ia dikejar deadline. Pikirannya benar-benar sedang kusut akibat kejadian tadi malam. "Bagaimana mungkin aku bisa sampai masuk ke dalam kamar Tuan Montana?" Charlene mengetuk-ngetuk pelipisnya setelah bermonolog. Ia sudah mencoba mengingat tentang kejadian tadi malam, tetapi hasilnya nihil. Yang Charlene ingat, dirinya sempat meminum obat tidur. Bukankah seharusnya ia jatuh tertidur? Namun, kenapa ia malah pergi ke kamar Lee? Ia berharap bahwa semua itu hanya mimpi seperti kejadian tempo hari. Namun, harapannya itu pupus mengingat dirinya memang terbangun di atas ranjang Lee tadi pagi, dalam
"Anda benar. Seharusnya aku tahu di mana posisiku. Permisi." Charlene berbalik dan meninggalkan Lee yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Saat Charlene sudah menghilang dari pandangannya, barulah Lee menarik langkah menuju ke kamar untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Pria itu mengambil ponselnya kemudian menelepon seseorang. Pada deringan pertama, teleponnya langsung diangkat. "Halo, Marvin, aku punya tugas untukmu." *** Charlene membuka pintu kamarnya dan menemukan Lee di depan. Well, sebenarnya ia sudah tahu siapa yang memencet bel pintu kamarnya, sebelum ia buka, karena para pelayan sudah pulang. "Ada apa?" "Aku ingin mengajakmu makan malam." Walau perubahan pada wajah Charlene tidak terlalu kentara, tetapi Lee menyadari jika gadis itu tampak bingung dengan apa yang ia sampaikan. "Ngg ... apa sekarang sudah jam 6 lewat?" tanya Charlene. Seingatnya, beberapa saat lalu ia sempat memperhatikan jam yang menunjukkan hampir pukul lima. Sedangkan biasanya mereka