"Kembalikan uangku!" tegas Charlene sekali lagi.
Charlene bertahan dengan menjepit erat pinggang Lee menggunakan kaki. Sementara tangannya melingkari leher pria itu. Lee merasa tercekik.Ia tidak menyangka jika Charlene memiliki kekuatan yang cukup besar untuk melawannya. Marvin ingin menolong, tetapi ia takut melukai salah satu di antara mereka. Walau bagaimanapun juga, ia tidak tega berbuat kasar terhadap seorang wanita.Sebelum Marvin sempat bertindak, Lee berhasil melepaskan tangan Charlene.Brukkk!"Aw!" Tubuh Charlene terempas ke atas lantai marmer yang dingin. Ia mengusap bokongnya yang terasa sakit.Sebelum Charlene sempat berdiri, Lee kembali bersuara. "Jangan sampai wanita ini muncul di hadapanku lagi!" ujar Lee yang ditujukan pada Marvin, tetapi tatapan matanya tidak lepas dari Charlene."Dan aku akan memastikan Anda di penjara, Tuan!" seru Charlene sembari berdiri.Netra Lee menyipit dan sedikit berkedut. Charlene membalas tatapan pria itu dengan bergeming. Ia tidak sadar bahwa dirinya laksana seekor kelinci kecil yang sedang menantang seekor singa jantan.Lee kemudian berkata, "Pastikan juga dia di penjara dan tidak bisa keluar dengan jaminan apapun!" Volume suara Lee terdengar biasa, tetapi ucapannya menunjukkan ketegasan yang tidak menginginkan kompromi.Meski tidak tega, tetapi sang pengawal tidak bisa membantah perintah Lee. "Baik, Tuan." Marvin memasang sikap tubuh tegap, sedikit menundukkan kepala."Anda tidak bisa melakukan hal itu padaku!" seru Charlene. Ia hendak mencegah Lee pergi, tetapi Marvin mencegat dan menangkapnya.Sebelum pintu lift menutup, Lee bisa melihat Charlene yang tengah berusaha melepaskan diri dari Marvin. Kotak besi itu lantas membawa Lee ke penthouse miliknya yang berada di lantai teratas. Begitu tiba, Lee bergegas menuju ke kamar mandi dan membuka lemari penyimpanan di area wastafel, tempat ia meletakkan obatnya.Obat yang telah ia ambil dari dalam botol, hampir berpindah ke dalam mulutnya, tetapi mendadak ia mengurungkan niatnya. Lee menatap lengannya. Pandangannya lantas beralih ke cermin yang berada di atas wastafel.Lee mengangkat dagunya untuk memperhatikan lehernya. Leher, lengan. Di sanalah Charlene menyentuhnya.Pria itu kemudian menyimpan kembali obatnya.Sementara itu, Charlene yang telah diangkut oleh Marvin ke kantor polisi, terpaksa menghubungi tunangannya."Bagaimana?" Charlene langsung berdiri kala Axel memasuki ruangan interogasi tempat dirinya menunggu sejak tadi.Axel terlihat lesu. Kelelahan tergambar samar dalam wajahnya yang tampan. Melihat hal itu, Charlene pun paham.Namun, gadis muda itu masih berusaha berpikir positif, berharap ada sedikit harapan. Axel tidak langsung menjawab, melainkan menarik kursi dan duduk di hadapan Charlene."Duduklah," titah Axel dengan tidak bersemangat.Charlene pun menurut tanpa melepaskan netranya dari wajah calon suaminya."A-apa aku bisa dibebaskan dengan jaminan?"Axel menatap Charlene dengan ekspresi sedatar mungkin agar tidak membuat Charlene cemas dan ketakutan. Ia meraih salah satu tangan Charlene, menggenggamnya agar Charlene tahu bahwa ia ada di sana bersama gadis itu untuk mendukungnya. Axel tahu bahwa ia tidak bisa menunda memberitahukan kabar buruk itu pada Charlene."I'm so sorry, Sweetie."Kedua bahu Charlene terkulai lemas. Ia menarik tangannya dari tangan Axel, lalu memundurkan tubuh untuk menyandarkan punggungnya pada kursi."Apa kau tahu siapa pria yang kau serang?" tanya Axel.Charlene mengernyit. Ia merasa itu adalah pertanyaan konyol karena Axel jelas sudah ia beritahu tadi. Ditambah Axel tentu saja sudah mengetahuinya dari pengacara yang Axel sewa.Namun, Charlene mengira mungkin Axel kelelahan karena banyak pekerjaan, sebab perusahaannya sendiri sedang mengalami masalah."CEO URead Novel," jawab Charlene tampak pasrah.Ia tidak mengerti kenapa Axel tidak bisa membebaskannya dari penjara. Meski URead Novel merupakan perusahaan w******l yang besar, tetapi tentu tidak sebesar perusahaan J Group milik Axel yang bergerak di bidang pertambangan emas.Seharusnya Axel bisa dengan mudah membebaskan Charlene dengan memberikan uang perdamaian dan juga uang jaminan, mengingat URead Novel sendiri sedang di ambang kebangkrutan. Lagi pula Tuan Montana tidak terluka sama sekali setelah Charlene menyerangnya tadi—jika itu bisa disebut dengan penyerangan.Charlene meniupkan udara keluar dari bibir mungilnya yang ranum. Well, ia sadar tidak semua orang bisa dibeli dengan uang dan mungkin Tuan Montana adalah salah satunya. Namun, Charlene segera menarik kembali penilaiannya itu.Jika memang Tuan Montana sebaik itu, seharusnya ia membayar jerih payah para penulis, bukannya malah kabur!"Kenapa?" tanya Charlene saat melihat Axel hanya diam menatapnya. Tidak ada kemarahan dalam tatapan pria itu.Axel lantas menggeleng, pertanda jawaban Charlene salah. Charlene kini menjadi penasaran. Gadis itu merasa ada sesuatu yang ganjil dan ia tidak perlu menunggu lama untuk membunuh rasa penasarannya itu."Orang yang kau serang adalah Lee Finnegan Montana, CEO Universe Corporation.""Iya, memang CE ... O ...." Suara Charlene terputus dan hampir menghilang di huruf terakhir. Ia tampak tertegun."Barusan kau bilang apa?" tanya Charlene pelan, ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar."Lee Finnegan Montana adalah CEO Universe Corporation."Boooommm!Ucapan Axel tidak terdengar seperti sebuah bom yang baru saja meledak. Tentu saja tidak, karena ucapan pria itu lebih mirip dengan ledakan nuklir. Agh, sudahlah, intinya sama saja, keduanya sama-sama mematikan."Universe Corporation?" Charlene bergumam sendiri.Siapa yang tidak kenal dengan Universe Corporation? Perusahaan multinasional yang masuk ke dalam daftar 100 perusahaan terbesar di dunia yang bergerak di berbagai bidang. Jika J Group milik Axel bergerak di bidang pertambangan emas, maka Universe Corporation tidak hanya memiliki pertambangan emas, tetapi juga tambang berlian.Selain itu, Universe Corporation juga menciptakan berbagai produk-produk canggih, termasuk smartphone, mobil yang bisa berjalan tanpa pengemudi, produk-produk rumah tangga, barang-barang kebutuhan pokok, dan masih banyak lagi. Jika Charlene harus menulis tentang Universe Corporation, mungkin bisa ia kemas menjadi novel yang jumlahnya ber-season-season.URead Novel.Charlene baru sadar jika huruf U sepertinya tidak mengacu pada kata 'you', melainkan 'universe'. O, come on, siapa yang akan menyadari hal itu sebelumnya?"Kau yakin tidak ada kesalahan dengan informasi itu?" Charlene sungguh mengharapkan sebuah keajaiban. Ia rela menukar keajaiban itu dengan semua uang yang ia miliki walaupun sisa uangnya tidak lebih dari 200 dolar.Well, memang semiskin itulah dirinya saat ini dan semua gara-gara URead Novel yang tidak membayar bonus, hadiah, dan royalty penulis. Sebentar lagi ia akan menjadi gembel karena tidak mampu membayar cicilan utangnya sehingga rumah peninggalan orang tuanya akan disita. O, bukan perkara menjadi gembel yang ia takutkan, tetapi kehilangan rumah yang penuh kenangan indah itulah yang rasanya begitu menyakitkan.Karena itu, ia bertindak nekat dengan menemui orang yang dianggap bertanggung jawab. Ia merasa ditipu URead. Rasanya lebih sakit daripada patah hati dan patah tulang, walaupun ia belum pernah mengalami kedua hal itu.Hussshhh! Charlene segera menyingkirkan pikiran buruk itu dari kepalanya."Apa kepalamu sakit?" tanya Axel yang tampak cemas kala melihat Charlene mengetuk-ketuk pelipisnya dengan wajah meringis."Eh?" Charlene menghentikan aksinya dan menatap Axel dengan pipi yang sedikit memerah. Sungguh memalukan!"Tidak! Tidak! Aku baik-baik saja." Ia tidak ingin menambah kecemasan Axel dan faktanya memang ia tidak sakit kepala."Kau yakin?" Axek tampak cemas, membuat rasa bersalah Charlene semakin mengembang.Charlene menegakkan tubuhnya dan meletakkan kedua tangannya di atas meja."Axel, maafkan aku karena telah menimbulkan masalah untukmu," sesal Charlene."Hei, Sweetie." Axel mengulurkan tangannya yang besar untuk membelai wajah lembut Charlene. "Jangan menyalahkan dirimu. Sepertinya ini hanya masalah salah paham saja."Salah paham. Charlene menyadari bahwa ucapan Axel memang benar. Ia telah membidik target yang salah."Dari mana kau bisa berpikir bahwa Tuan Montana adalah CEO URead Novel?" selidik Axel."Dari Lucy dan Christine," balas Charlene.Hufff! Apa kedua teman penulisnya telah menjebaknya dengan memberi informasi yang salah?***
<span;>***Tidak mungkin jika kedua temannya itu hendak mencelakai dirinya. Charlene cukup mengenal mereka. Ia yakin bahwa pasti ada penjelasan di balik semua hal ini. "Apa mereka berniat menjebakmu?" Axel seakan bisa membaca pikiran Charlene. Ia mengenal Lucy dan Christine karena pernah beberapa kali bertemu dengan mereka. Charlene menggeleng. "Seperti katamu tadi, sepertinya ini hanya masalah salah paham." "Apa kau sudah menghubungi mereka?" "Tidak. Aku belum menghubungi mereka. Aku tidak ingin membuat mereka cemas, apalagi ini sudah malam." Well, Charlene percaya pada teman-temannya. Ia tidak ingin membuat mereka merasa bersalah karena telah mengakibatkan dirinya kini terkena masalah hukum. Axel mengangguk samar, masih belum melepaskan tangannya dari pipi Charlene. Wajahnya tampak menyimpan beban. "Katakan saja yang sebenarnya," tandas Charlene yang sudah pasrah. Axel menatapnya dengan lembut. "Aku sungguh minta maaf, karena malam ini, kemungkinan besar kau harus berada di sini." Axel
Charlene melangkah memasuki ruang kunjungan. Ia harus menyembunyikan wajahnya yang kesal di hadapan orang yang mengunjunginya. "Kau harus menginap satu malam di penjara," kata Lee tadi malam, sebelum mengakhiri pembicaraan mereka secara sepihak.Jika bukan karena Lee berjanji akan mencabut tuntutannya, tentu Charlene tidak akan mau bersusah payah menyembunyikan rasa jengkelnya pada pria itu. Charlene berjalan ke sisi seberang. Lee mengangkat kepalanya untuk melihat gadis yang sejak tadi malam terus mengusik pikirannya. Lingkaran hitam samar di bawah mata Charlene, cukup untuk menunjukkan bahwa gadis itu tidak tidur dengan nyenyak semalam. Atau bahkan mungkin gadis itu sama sekali tidak bisa tidur? Agh! Kenapa Lee harus peduli dengan hal itu? Bukankah mereka impas karena Charlene juga membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak—meskipun Charlene tidak tahu apa-apa?"Duduklah," titah Lee sembari menggerakkan dagunya ke arah kursi di seberang tempat duduknya. Dengan malas, Charlene men
Axel memarkirkan mobilnya tidak begitu jauh dari pintu utama Universe Hotel and Apartments. Ia tidak bisa berhenti di depan pintu utama karena ada sebuah mobil yang lebih dulu bertengger di sana. "Kau yakin tidak perlu aku temani ke atas?" tanya Axel pada Charlene setelah keduanya turun dari mobil. Charlene menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Keduanya saling melempar senyuman hangat. Pemandangan itu terpindai oleh pemilik mobil di depan, melalui pantulan kaca spion di luar mobil. Ekspresinya yang terlihat tenang, tampak kontras dengan sorot matanya yang dingin. Pria itu bergegas turun tanpa menyuruh asistennya untuk membukakan pintu mobil. Sebenarnya, sewaktu tiba tadi, seperti biasa sang asisten hendak turun untuk membukakan pintu mobil baginya. Namun, pria itu mencegah sang asisten melakukan hal itu setelah tanpa sengaja melihat Charlene di belakang. "Suruh Nona Flynn ke atas sekarang juga," titah pria yang tak lain adalah Lee, pada Marvin. Dari nada bicara Lee,
Charlene sedang membuka situs mesin pencari online, mencari beberapa informasi sebagai bahan tulisan untuk novelnya. Ia memutuskan untuk mengetik di dapur bersih—setelah menyusun semua barang-barangnya yang ia kirim lewat ekspedisi ke penthouse—demi menghindari Lee. Tadinya Charlene berharap Lee membawa teman kencan pulang ke penthouse, sehingga Lee tidak akan membutuhkannya. Namun, Berta mengatakan bahwa Lee tidak pernah terlihat membawa teman wanita pulang. Charlene menghela napas pelan di atas salah satu stool bar yang ada di depan kitchen island. Ia duduk menghadap ke arah kitchen set di dinding hanya dengan penerangan satu lampu. Selebihnya, ruangan yang menyatu dengan ruang santai yang luas itu, tampak gelap. Hanya bercahayakan sinar bulan dan lampu-lampu yang menyala dari bangunan-bangunan luar. Hampir dua jam Charlene mengetik, ketika mendadak ia merasakan hawa dingin menerpanya. Seluruh bulu kuduknya meremang. Gadis itu lantas mengusap tengkuknya. Ia pikir mungkin otot-otot
Suara cecapan yang menggema dalam ruangan dapur itu, terdengar saling bersahutan. Ciuman itu sudah berlangsung beberapa menit. Awalnya, Charlene mengatakan pada dirinya bahwa ia hanya penasaran. Ia hanya ingin mencoba membalas ciuman Lee sedikit saja. Bahwa ia tidak akan terpengaruh oleh ciuman pria itu. Namun, ia salah. Bibirnya seakan menolak untuk berpisah dari bibir Lee. Dari detik, berganti menjadi menit. Hanya ketika pasokan udara menipis, keduanya melepaskan belitan lingual mereka. Keduanya meraup udara selama beberapa detik, kemudian kembali menyatukan bibir mereka. Lee mengangkat tubuh Charlene ke atas kitchen island tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Satu tangannya menekan kepala gadis itu untuk memperdalam ciumannya. Sementara tangan yang lain bergerilya di punggung Charlene. Tidak puas hanya menyentuh bagian luar, tangan Lee pun mulai menyusup ke dalam baju yang Charlene kenakan. Charlene tersentak ketika merasakan tangan Lee menyentuh kulitnya. "Hmmhh ...," lenguh
"Akkkh!" erang Charlene ketika rasa sakit yang sangat dahsyat menyerangnya. Keras dan dingin. Apakah orang kaya memang menyukai tempat tidur yang seperti ini? Atau tempat tidur ini adalah salah satu inovasi paling mutakhir dari produk yang dibuat oleh perusahaan Lee? Belum sempat ia mengajukan pertanyaan itu, kini kembali terdengar suara ponsel berdering. Anehnya, nada deringnya berbeda dengan yang tadi. Bunyinya sangat keras dan ... Charlene pun refleks membuka kedua matanya. Mendadak ia menyadari bahwa Lee tidak berdiri di hadapannya. Charlene pun mengabaikan sejenak bunyi telepon yang terus berdering. "Ke mana dia?" gumam Charlene. Kriiinggg ...! Kriiinggg ...! Dering ponsel yang keras itu kembali mengagetkan Charlene. Belum hilang rasa kagetnya, ia kemudian dibuat heran karena ternyata dirinya tengah tertidur di atas lantai, bukan di tempat tidur Lee. Deg! Charlene pun berusaha mengumpulkan semua petunjuk yang ada. Ia menajamkan indra pendengarannya di tengah-tengah deringa
Charlene bingung melihat Lee yang tampak kesakitan. Selanjutnya ia mendapati Lee sedang menahan pergelangan tangannya yang sedang mengikat dasi pria itu. "Akkkh!" Sontak Charlene menjengit kaget dan melepaskan tangannya dari dasi Lee. Ia tidak sadar jika menarik dasi itu terlalu kuat hingga mencekik leher bosnya. Ini gara-gara dirinya melamun memikirkan apa yang sebenarnya terjadi tadi malam. Charlene pun memandang ngeri ke arah sang atasan. Terlihat Lee melonggarkan ikatan dasi pada lehernya. "Apa kau ingin membunuhku?" tuding Lee. "Tidak! Tidak!" Charlene melambaikan tangannya dengan cepat. "Aku benar-benar tidak sengaja, Tuan." Lee lantas menghadiahkan sebuah tatapan sinis pada Charlene. "Aku bahkan belum menghukummu atas keterlambatan tadi," pungkas Lee. "Ta-tadi itu 'kan bukan kesalahanku. Anda yang terlambat membukakan pintu. Seharusnya aku yang menghukum Anda," gerutu Charlene tidak mau kalah. Lee menipiskan pandangan dan menghujamkannya ke arah Charlene. Pria itu merasa
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi setelah mereka menyelesaikan sarapan. Sebenarnya Lee masih punya cukup waktu untuk sampai ke kantor jika tidak mengalami kemacetan di jalan. Namun, Lee tidak ingin mengambil resiko tersebut. "Ini," Lee menyerahkan tas kerjanya pada Charlene. "Kenapa?" Charlene terlihat bingung dengan ucapan Lee. "Tugasmu sebagai asistenku. Salah satunya adalah membawakan tasku." "O ...!" Charlene segera mengambil alih tas tersebut dari tangan Lee. Ia lantas mengikuti langkah Lee menuju lorong yang mengarah ke lift. Lee menyempatkan diri untuk menyapa Monkey dan memberi makan ikan-ikannya. Selanjutnya mereka memasuki ruangan lift dan ternyata Marvin sudah stand by di sana, menahan lift untuk sang atasan. "Semuanya sudah siap?" tanya Lee kala mereka telah berada di dalam lift. "Sudah." Marvin kemudian mengarahkan tangan ke tombol sensor lantai teratas. "Eh, kenapa ke atas? Bukannya ke bawah?" komentar Charlene di saat lift menutup dan mulai bergerak ke atas.
Lee membuka pintu kamarnya dan menemukan Charlene berdiri di hadapannya. Gadis itu sedang memeluk laptop dan memegang ponselnya. "Ada apa?" tanya Lee. "Nggg ... tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin menanyakan apakah kau butuh sesuatu," kilah Charlene. Sejujurnya, bukan itu tujuannya menghampiri kamar Lee. Setelah pembicaraan mereka tadi pagi, malam ini ia berpikir untuk tetap tidur di kamar Lee—sesuai permintaan pria itu. Namun, begitu Lee telah berdiri di hadapannya saat ini, ia justru tidak sanggup mengatakan bahwa ia menerima tawaran pria itu dan mulai malam ini ia akan tidur seranjang dengan Lee."Tidak, aku tidak membutuhkan apa-apa," balas Lee.Charlene mengangguk. "Baiklah, kalau begitu, selamat malam." Charlene memutar tubuhnya 90 derajat, berniat kembali ke kamarnya.Namun, tangan Lee bergerak dengan cepat meraih lengan atas gadis itu. Langkah Charlene pun terhenti."Ada apa? Kau teringat jika membutuhkan sesuatu?" Giliran Charlene yang bertanya."Iya.""Kau lapar? in
"A-aku ...." Charlene tidak tahu harus menjawab apa. Ini sangat aneh untuknya.Lee terkadang sangat berbeda. Tidak, bukan berbeda. Sikap pria itu memang agak berubah dan Charlene tidak tahu apa yang menyebabkan pria itu menjadi seperti saat ini. "Kenapa kau ingin aku tidur di sini? Jangan bilang kalau kau jatuh cinta padaku." Antara ingin mencari penjelasan sekaligus mencairkan situasi yang terasa begitu canggung baginya saat ini.Mengenai Lee yang jatuh cinta padanya, jelas tidak mungkin. Charlene tidak memiliki jawabannya. Hanya saja memang mustahil jika Lee jatuh cinta padanya. "Apakah berdosa jika aku jatuh cinta padamu?"Deg!Seketika, keyakinannya tadi goyah setelah mendengar apa yang Lee katakan selanjutnya. Tidak! Tidak!Lee mungkin hanya mengerjainya saja. Pria itu pasti sedang bercanda. Setelah itu, seperti biasanya, Lee pasti akan mengeluarkan kata-kata yang mencemooh atau apa pun itu."Tidak. Kau berdosa jika hanya berniat mengejekku," ucap Charlene."Siapa bilang aku se
Charlene ingin menarik dirinya mundur. Namun, Lee mencegahnya dengan mempererat pelukannya. Ya! Posisi mereka saat ini sedang berbaring sambil berpelukan. "Lepas, Lee." Charlene mendorong dada pria itu. "Tidak, sampai kau tenang dulu." Lee tetap menahannya. Charlene masih terus menggeliat. Tidak mengacuhkan apa yang Lee katakan. "Teruslah melawan, tetapi kau harus tahu kalau aku tidak ingin melukaimu." Ucapan Lee seketika itu sukses menghentikan serangan yang Charlene lakukan. Gadis itu berusaha mengumpulkan udara setelah tadi mengeluarkan cukup banyak tenaga agar bisa terlepas dari belenggu Lee. Charlene harus mendongak untuk bisa menatap netra pria itu. "Kau janji akan melepaskanku, bukan? Kenapa belum dilepaskan juga?" tuntut Charlene. "Akan kulepaskan asalkan kau tidak menyerangku lagi," tawar Lee. Charlene memejamkan matanya untuk mengatur emosinya. Ia lantas kembali membuka matanya untuk menatap mata Lee. "Aku janji tidak akan menyerangmu. Jadi tolong lepaskan ak
"Aturannya masih tetap sama. Jangan melewati batas yang telah aku buat," ujar Charlene. Ia lantas mengempaskan bokongnya ke atas tempat tidur Lee disusul dengan menghela napas. "Aku merasa belakangan ini ibumu terlalu sering menginap di sini." "Kenapa? Kau keberatan?" lontar Lee yang tengah bersandar pada kepala tempat tidur dengan tablet di tangan. Ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak Charlene ketahui. Namun, kini ia tengah mengalihkan tatapan dari tabletnya ke arah Charlene. "Tidak. Kenapa harus keberatan?" Charlene balik bertanya. "Ini rumahmu. Wajar jika ibumu datang dan menginap.""Kalau tidak keberatan, kenapa mengeluh?" tuding Lee."Aku tidak mengeluh," bantah Charlene.Ia bukan memang bukan mengeluh, tetapi hanya merasa ada sesuatu yang janggal dengan apa yang Hana lakukan."Apa yang kau pikirkan?" selidik Lee kala mendapati Charlene seperti sedang memikirkan sesuatu. "Tidak. Tidak ada." "Jangan berbohong. Kalau aku memaksamu untuk berkata jujur, nanti kau akan
Charlene menggeleng. "Kalau begitu, ayo kita makan siang bersama." Lee menawarkan tangannya. Charlene hampir tidak berani bergerak, tetapi ia mengerling ke arah rekan kerjanya. Tidak perlu waktu yang lama baginya untuk memutuskan menyambut tangan Lee. Lebih cepat, lebih baik sebelum teman-temannya itu terkena masalah.Sebab, Charlene merasa Lee sedang marah. Hal itu membuatnya yakin jika Lee cukup banyak mendengar pembicaraan mereka. Lee pun menariknya pergi setelah tangan Charlene berada di dalam genggamannya.Charlene sempat menoleh ke arah rekan-rekan kerjanya hanya untuk melempar senyuman sembari memberi isyarat 'oke' dengan jari-jarinya, agar mereka tidak cemas. Lee lantas membawa Charlene menuju ke depan gedung kantor. Di sana sudah ada Marvin yang tampak stand by di samping mobil Lee. Mereka masuk ke dalam mobil dan Marvin pun melajukan mobilnya di tengah kepadatan lalu lintas di siang hari. Setelah beberapa saat berlalu, Charlene diam-diam melirik ke arah Lee yang duduk di
"Kenapa dia terlihat lesu?" tanya Charlene kala bergabung dengan rekan sekantornya di salah satu kafe kantor."Dia sedang patah hati karena akhirnya kau menikah dengan bos," terang Beatrice."Padahal dari awal aku sudah katakan padanya kalau dia bukanlah saingan bos," timpal Victor.Wajah Charlene menunjukkan tanda tidak nyaman dan serba salah."Kalian ini, jangan sembarangan bicara. Ronald hanya mengganggapku sebagai teman."Sementara itu, Ronald yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan mereka, sama sekali tidak memberikan komentar. Charlene pun menarik kursi yang ada di hadapan pria itu. "Kau tahu, kami cukup kesal karena kau tidak berkata jujur pada kami saat pertama kali bekerja di sini," tukas Rebecca yang duduk di sebelah Ronald. "Kenapa kau tidak terus terang mengatakan bahwa kau memang punya hubungan dengan bos?"Charlene menjadi semakin tidak enak. Teman-temannya menjadi salah paham dan ia sendiri tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada mereka bahwa dirinya memang tida
Charlene menatap Lee dengan mata menipis. Ia memang telah dibohongi Lee. Ugh! Harus terlihat romantis di depan Hana? Justru mertuanya itu jadi merasa mengganggu mereka. Charlene lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke Hana. Ekspresinya yang gusar kini telah berganti dengan senyuman. "Tidak, sama sekali tidak mengganggu." Hana tersenyum balik. "Apa kau sudah selesai mengupas kentangnya? Aku sudah menyajikan steak-nya ke atas meja makan," jelas Hana. Senyum Charlene mendadak lenyap. Ia melirik tajam ke arah Lee yang berdiri di belakangnya. Lee menatap balik ke arahnya tanpa rasa bersalah. Satu lagi kebohongan pria itu. Well, dia akan membuat perhitungan dengan suaminya nanti. "Belum. Sebentar lagi. Aku akan meminta Lee untuk membantuku," ujar Charlene. "Baiklah, kalau begitu aku akan memanggil Pieter dulu." Hana kemudian meninggalkan Charlene dan Lee di dapur. "Kau menipuku." Itu bukan pertanyaan dan Charlene bahkan belum menoleh ke arah Lee karena tatapannya masih tertuju ke amb
Charlene sedang menyiapkan makan malam di dapur bersama dengan Hana. Baru dua hari lalu, Charlene menikah dengan Lee, tetapi Hana sudah datanf untuk menginap. Bukannya Charlene merasa tidak nyaman dengan kehadiran Hana ataupun merasa keberatan. Ia justru sangat senang karena bisa mengobrol banyak hal dengan wanita paruh baya itu. Hanya saja, Charlene merasa sedikit aneh. Apakah Hana memang sengaja menginap di sana untuk memata-matai Charlene dan Lee? "Makan apa kita malam ini?" tanya Lee. Kemunculan Lee yang mendadak, sebenarnya tidak akan membuat Charlene terkejut seandainya pria itu tidak tiba-tiba memeluk tubuh Charlene dari belakang dan kemudian mengecup pelipis Charlene. Sontak saja sekujur tubuh Charlene terasa meremang. Ia melirik Lee dengan keberadaan wajah pria itu yang begitu dekat dengan wajahnya. Lee tersenyum menggoda. Menilai dari ekspresi pria itu, sepertinya Lee memang sengaja mengambil kesempatan itu agar dapat memeluk dan mencium Charlene. Charlene ingin marah, t
Charlene tidak tahu sejak kapan Lee menanggalkan penutup dada yang ia kenakan karena terlalu sibuk memikirkan hal lain tadi. Namun, setelah menyadari apa yang tengah Lee lakukan padanya saat ini, membuat darah Charlene seakan bergejolak di dalam sana. Tubuhnya terasa panas dan tanpa ia inginkan, bagian bawah tubuhnya terasa sangat hangat.Lee mengisap bongkahan kenyal itu sambil memainkan puncak berwarna pink merona yang berada di dalam mulutnya, dengan menggunakan lingualnya. Sesekali Lee mengisapnya dengan sangat kuat, membuat tubuh Charlene menegang karena rasa nikmat. Kali lainnya, pria itu memindahkan bibirnya pada bagian bongkahan hanya untuk meninggalkan tanda kepemilikan di sana.Satu tangan Lee memilin puncak yang lainnya, mempermainkannya. Charlene merasa sangat basah. Hanya desahan dan lenguhan yang keluar dari bibirnya tanpa adanya penolakan."Lee ...," lirih Charlene. Tidak ada pria mana pun yang pernah menyentuhnya seintim ini, termasuk Axel. Namun, bukan berarti ia pol