Charlene sedang membuka situs mesin pencari online, mencari beberapa informasi sebagai bahan tulisan untuk novelnya. Ia memutuskan untuk mengetik di dapur bersih—setelah menyusun semua barang-barangnya yang ia kirim lewat ekspedisi ke penthouse—demi menghindari Lee. Tadinya Charlene berharap Lee membawa teman kencan pulang ke penthouse, sehingga Lee tidak akan membutuhkannya. Namun, Berta mengatakan bahwa Lee tidak pernah terlihat membawa teman wanita pulang.
Charlene menghela napas pelan di atas salah satu stool bar yang ada di depan kitchen island. Ia duduk menghadap ke arah kitchen set di dinding hanya dengan penerangan satu lampu. Selebihnya, ruangan yang menyatu dengan ruang santai yang luas itu, tampak gelap. Hanya bercahayakan sinar bulan dan lampu-lampu yang menyala dari bangunan-bangunan luar.Hampir dua jam Charlene mengetik, ketika mendadak ia merasakan hawa dingin menerpanya. Seluruh bulu kuduknya meremang. Gadis itu lantas mengusap tengkuknya.Ia pikir mungkin otot-ototnya terlalu tegang. Charlene pun memutuskan untuk turun dari kursi agar bisa meregangkan otot-otot tubuhnya. Diputarnya kursi ke arah belakang untuk berdiri. Pandangannya pun terangkat."Arggh!" Charlene melompat dari kursi dan bersandar pada tepian kitchen island sembari memegang dadanya. "Hufff! Aku kira malaikat maut hendak menjemputku," celetuk Charlene pada sang atasan yang hanya berjarak dua langkah darinya.Wajah pria itu terlihat dingin. Miskin ekspresi seperti biasanya."Berisik sekali.""Eh?" Charlene tampak bingung."Bisakah kau tidak memutar lagu malam-malam begini?""Hah?" Mulut Charlene terbuka lebar.Ucapan Lee terdengar tidak masuk akal bagi Charlene karena jarak kamar pria itu cukup jauh dari pantry. Sedangkan lagu Kiss Me More yang sedang Charlene putar, suaranya tidak akan kedengaran lebih dari dua meter jaraknya."Sekarang kosakatamu hanya sebatas 'eh hah'?"Charlene memanyunkan bibirnya. Ia merasa kesal dan ingin mematahkan tuduhan Lee. Gadis itu lantas maju dan berusaha melewati Lee, tetapi Lee menghalanginya.Charlene pun menaikkan pandangannya ke arah sang atasan."Ada apa? Aku mau lewat.""Mau ke mana?""Ke kamar Anda," jawab Charlene tanpa ragu. Ia tidak sadar jika ucapannya itu akan membuatnya berada dalam masalah.Lee menaikkan sebelah alisnya."Ke kamarku?""Iya.""Apa kau sedang mencoba merayuku, Nona Kamasutra Goddess?" tembak Lee.Charlene tampak kaget dengan kedua netra yang membulat dan bibir yang terbuka membentuk huruf O karena Lee mengetahui nama penanya."Anda menyelidikiku?""Aku bahkan membaca semua tulisanmu," aku Lee.Charlene bergidik kala melihat pria itu menyeringai tipis. Lee lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Charlene, membuat gadis itu harus menahan napas sepersekian detik."Aku ingin tahu seberapa liar seorang Kamasutra Goddess di atas ranjang," bisik Lee dengan suara yang terdengar begitu menggoda bagi indra pendengaran Charlene.Embusan udara hangat yang keluar dari bibir pria itu, menerpa telinga Charlene. Tanpa perlu melihatnya, Charlene tahu kalau seluruh tubuhnya kini pasti terlihat seperti kulit jeruk. Namun, ia mengumpulkan kembali nyalinya untuk menatap Lee."Jadi, aku tidak akan keberatan jika kau ingin menghangatkan ranjangku malam ini. Anggap saja sebagai hukuman karena kau mengganggu KETENANGANKU."Glekkk!Lee adalah pria tergila yang pernah Charlene temui. Mereka baru saling mengenal beberapa hari yang lalu dan kini pria itu langsung mengajaknya ke atas ranjang. Well, mungkin hal itu biasa di lingkungan Lee.One night stand atau apalah namanya. Namun, dunia Charlene tidak seperti itu. Charlene memang penulis novel dewasa, tetapi kehidupan seks bebas itu dia pelajari dari artikel-artikel dan media sosial."Maaf, Tuan Montana, seingatku tadi kita sedang membahas masalah lagu.""Memang." Lee menjeda. "Dan lagumu ini bukankah sengaja ingin memancingku?"Agh! Kenapa bisa kebetulan sekali ia memutar lagu ini? Ia menyukai lagu itu karena musiknya, bukan karena liriknya yang vulgar."Tadi Anda bilang laguku berisik, sekarang Anda bilang kalau laguku memancing Anda?" protes Charlene."Bukankah tujuanmu memang memancing ikan kelas kakap?" tuding Lee.Charlene mendengus kesal. "Heuh! Aku baru tahu kalau Anda ini seekor ikan."Charlene kembali ingin melewati Lee, tetapi Lee kembali menghadangnya. Kali ini pria itu meletakkan kedua tangannya di atas kitchen island, pada sisi kiri dan kanan tubuh Charlene, sehingga gadis itu berada dalam kungkungannya."An-Anda mau apa?" tanya Charlene yang terpaksa memiringkan tubuhnya ke belakang agar jarak wajahnya tidak terlalu dekat dengan wajah Lee."Bukankah aku sudah mengatakannya dengan jelas tadi?" Lee kemudian melirik ke arah laptop Charlene yang terbuka dan menampilkan artikel tentang cara memuaskan pasangan.Agh!Charlene yang menyadari arah tatapan Lee, tampak terkejut dan menjulurkan tangannya hendak mengatupkan layar laptop. Namun, Lee berhasil menahan pergelangan tangan Charlene sebelum mencapai laptop. Netra keduanya pun bersirobok.Deg! Deg! Deg!"Ya Tuhan, kenapa suara jantungku sangat keras?" Tentu saja pertanyaan itu hanya ada di dalam pikiran Charlene.Ia terpaku selama beberapa detik sebelum akhirnya sadar dan berusaha menarik tangannya. Namun, Lee tampaknya tidak ingin melepaskan gadis itu begitu saja."Daripada membaca teori seperti itu, lebih baik kau mempraktekkannya secara langsung. Di sini tidak ada kekasihmu, tetapi bukankah ada aku yang bisa membantumu?"Charlene melotot ke arah Lee, yang membuat pria itu tertawa mengejeknya."Jangan bertingkah seakan kau masih perawan."Lee kini melepaskan pergelangan tangan Charlene, juga satu tangannya dari atas kitchen island. Ia kembali menegakkan tubuhnya, lalu membelai ringan lengan telanjang gadis itu karena Charlene hanya mengenakan atasan bertali spaghetti, berbahan katun dan celana pendek. Bukan jenis pakaian yang terlalu mengundang, tetapi cukup terbuka.Charlene harus berusaha menahan diri agar tidak kembali bergidik karena sentuhan pria itu. Tanpa sadar, ia menggigit bibirnya dan hal ini tertangkap oleh netra Lee. Bibir yang tampak penuh, berwarna merah merona dan sedikit berkilau karena efek pelembab bibir yang gadis itu gunakan.Lee kembali mendekatkan bibirnya pada telinga Charlene."Kita bisa mencobanya. Jika kau tidak suka, katakan saja dan aku janji akan berhenti." Pria itu kemudian menarik kepalanya menjauh dari Charlene agar bisa kembali menatap sang asisten.
"An-Anda salah paham. Aku tidak sedang merayu Anda, Tuan Montana. Jadi tolong jaga ucapan Anda."Charlene menelan salivanya dengan susah payah kala kembali bertatapan dengan netra biru Lee. Jauh lebih berbahaya dan lebih menakutkan daripada di saat pria itu marah, karena tatapan pria itu terlihat berselimut gairah.Ya, gairah!"Lalu aku harus bagaimana menanggapi ketika ada seorang wanita yang berprofesi sebagai penulis novel dewasa ingin masuk ke kamarku?"Charlene mengertakkan gigi, lalu memejamkan matanya untuk sesaat sembari mengembuskan napas berat dengan pelan demi meredam emosinya yang hampir meledak. Ia kembali memakukan netra hijau miliknya pada Lee."Tolong lepaskan aku, Tuan Montana.""Kau tidak menjawab pertanyaanku.""Seharusnya Anda bersyukur karena aku tidak menampar Anda."
"Aku tidak keberatan, tetapi kau tahu konsekuensinya, bukan?""Setelah menyelidiki kehidupanku, sekarang Anda mengancamku?"Lee mendadak menarik pinggang Charlene hingga tubuh mereka kini menempel dengan erat. Charlene tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya akibat tindakan Lee itu. Kedua tangannya kini berada di dada bidang Lee yang sialnya ternyata justru kembali menimbulkan gelenyar aneh dalam tubuh Charlene.Lebih sial lagi, Charlene bisa merasakan milik Lee di bawah sana yang menekan perutnya. Kokoh dan ... well, sangat jantan.Hal itu tidak hanya membuat netra Charlene kembali membola, tetapi wajahnya kini menjadi merah padam. Antara malu bercampur marah karena tubuhnya ternyata bereaksi atas kedekatan tubuh mereka. Ya, ia tidak bisa menampik jika dirinya merasa bergairah.Sementara itu tatapan Lee kembali jatuh ke arah bibir Charlene. Pria itu sedang berpikir, bagaimana rasa bibir Charlene? Apakah seperti yang ada di dalam bayangannya?Tidak ingin membuang waktu lebih lama, Lee pun segera melumat bibir Charlene. Netra Charlene melebar kala merasakan bibir dingin itu menyentuh bibirnya.
Lumatannya tidak menggebu-gebu, tetapi terasa tegas dan ... lembut. Ciumannya berbeda dengan ciuman Axel dan parahnya, Charlene tergoda untuk membalas sentuhan bibir Lee.***
Suara cecapan yang menggema dalam ruangan dapur itu, terdengar saling bersahutan. Ciuman itu sudah berlangsung beberapa menit. Awalnya, Charlene mengatakan pada dirinya bahwa ia hanya penasaran. Ia hanya ingin mencoba membalas ciuman Lee sedikit saja. Bahwa ia tidak akan terpengaruh oleh ciuman pria itu. Namun, ia salah. Bibirnya seakan menolak untuk berpisah dari bibir Lee. Dari detik, berganti menjadi menit. Hanya ketika pasokan udara menipis, keduanya melepaskan belitan lingual mereka. Keduanya meraup udara selama beberapa detik, kemudian kembali menyatukan bibir mereka. Lee mengangkat tubuh Charlene ke atas kitchen island tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Satu tangannya menekan kepala gadis itu untuk memperdalam ciumannya. Sementara tangan yang lain bergerilya di punggung Charlene. Tidak puas hanya menyentuh bagian luar, tangan Lee pun mulai menyusup ke dalam baju yang Charlene kenakan. Charlene tersentak ketika merasakan tangan Lee menyentuh kulitnya. "Hmmhh ...," lenguh
"Akkkh!" erang Charlene ketika rasa sakit yang sangat dahsyat menyerangnya. Keras dan dingin. Apakah orang kaya memang menyukai tempat tidur yang seperti ini? Atau tempat tidur ini adalah salah satu inovasi paling mutakhir dari produk yang dibuat oleh perusahaan Lee? Belum sempat ia mengajukan pertanyaan itu, kini kembali terdengar suara ponsel berdering. Anehnya, nada deringnya berbeda dengan yang tadi. Bunyinya sangat keras dan ... Charlene pun refleks membuka kedua matanya. Mendadak ia menyadari bahwa Lee tidak berdiri di hadapannya. Charlene pun mengabaikan sejenak bunyi telepon yang terus berdering. "Ke mana dia?" gumam Charlene. Kriiinggg ...! Kriiinggg ...! Dering ponsel yang keras itu kembali mengagetkan Charlene. Belum hilang rasa kagetnya, ia kemudian dibuat heran karena ternyata dirinya tengah tertidur di atas lantai, bukan di tempat tidur Lee. Deg! Charlene pun berusaha mengumpulkan semua petunjuk yang ada. Ia menajamkan indra pendengarannya di tengah-tengah deringa
Charlene bingung melihat Lee yang tampak kesakitan. Selanjutnya ia mendapati Lee sedang menahan pergelangan tangannya yang sedang mengikat dasi pria itu. "Akkkh!" Sontak Charlene menjengit kaget dan melepaskan tangannya dari dasi Lee. Ia tidak sadar jika menarik dasi itu terlalu kuat hingga mencekik leher bosnya. Ini gara-gara dirinya melamun memikirkan apa yang sebenarnya terjadi tadi malam. Charlene pun memandang ngeri ke arah sang atasan. Terlihat Lee melonggarkan ikatan dasi pada lehernya. "Apa kau ingin membunuhku?" tuding Lee. "Tidak! Tidak!" Charlene melambaikan tangannya dengan cepat. "Aku benar-benar tidak sengaja, Tuan." Lee lantas menghadiahkan sebuah tatapan sinis pada Charlene. "Aku bahkan belum menghukummu atas keterlambatan tadi," pungkas Lee. "Ta-tadi itu 'kan bukan kesalahanku. Anda yang terlambat membukakan pintu. Seharusnya aku yang menghukum Anda," gerutu Charlene tidak mau kalah. Lee menipiskan pandangan dan menghujamkannya ke arah Charlene. Pria itu merasa
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi setelah mereka menyelesaikan sarapan. Sebenarnya Lee masih punya cukup waktu untuk sampai ke kantor jika tidak mengalami kemacetan di jalan. Namun, Lee tidak ingin mengambil resiko tersebut. "Ini," Lee menyerahkan tas kerjanya pada Charlene. "Kenapa?" Charlene terlihat bingung dengan ucapan Lee. "Tugasmu sebagai asistenku. Salah satunya adalah membawakan tasku." "O ...!" Charlene segera mengambil alih tas tersebut dari tangan Lee. Ia lantas mengikuti langkah Lee menuju lorong yang mengarah ke lift. Lee menyempatkan diri untuk menyapa Monkey dan memberi makan ikan-ikannya. Selanjutnya mereka memasuki ruangan lift dan ternyata Marvin sudah stand by di sana, menahan lift untuk sang atasan. "Semuanya sudah siap?" tanya Lee kala mereka telah berada di dalam lift. "Sudah." Marvin kemudian mengarahkan tangan ke tombol sensor lantai teratas. "Eh, kenapa ke atas? Bukannya ke bawah?" komentar Charlene di saat lift menutup dan mulai bergerak ke atas.
"Becky, jangan terlalu terus terang kalau bicara. Lihatlah, kau membuatnya takut," ujar pria yang baru saja muncul dengan kedua gelas di tangannya. Ia menyerahkan satu gelas untuk Charlene. "Untukmu, Nona Manis." Ia mengedipkan sebelah matanya ke arah Charlene. Charlene menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. "O iya, kenalkan, aku Ronald Anderson, manager marketing. Panggil saja Ronald atau Ronnie." Ronald mengulurkan tangannya yang disambut oleh Charlene."Sebaiknya kau jangan macam-macam, Ronald. Dia itu wanitanya bos," sergah Ava dari bagian staff keuangan, yang saat ini berdiri di sisi kiri Charlene. Ronald menempatkan dirinya di samping Rebecca yang berdiri di seberang Ava, sedangkan di samping Ava, ada Beatrice dan Victor yang sama-sama berasal dari bagian HRD. "Sainganmu terlalu berat." Victor terkekeh yang diikuti dengan tawa dari teman-temannya. "Ck! Kalian ini sungguh meremehkan pesonaku. Lagi pula bos 'kan tidak menyukai wanita," balas Ronald sembari mengusap bagi
Charlene memasuki ruangan kerja Lee dengan langkah tersendat-sendat, setelah Lee membukakan pintu untuknya dengan remote. Kakinya jelas masih terasa berdenyut, walau sedikit membaik. Ia memperhatikan Lee yang tampak sedang sibuk di balik meja kerjanya. Charlene kemudian berhenti di depan meja Lee. Untuk beberapa saat, gadis itu sama sekali tidak mengatakan apa pun, sehingga Lee akhirnya mengangkat pandangannya ke arah Charlene. "Ada apa?" tanya Lee. Charlene membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa. "Aku tidak punya waktu untuk bermain-main, Nona Flynn." Lee melanjutkan pekerjaannya karena diburu waktu. "Anda ... mempekerjakanku sebagai asisten Anda. Tetapi Anda tidak memberitahuku, pekerjaan apa saja yang harus aku lakukan di kantor," jelas Charlene. Lee melirik Charlene melalui ekor matanya, lalu kembali memeriksa pekerjaannya di layar laptop. "Kau bisa melakukan apa saja, termasuk membersihkan kaca jendela, meja, dan lantai." Charlene melongo tidak percay
"Nona Flynn, tolong bereskan barang-barang yang ada di meja meeting. Pindahkan semua dokumennya ke atas meja kerja saya," titah Lee saat berada di luar ruangan, setelah mengantar kepergian Tuan Alpheus. Charlene mengangguk pelan, kemudian menyeret tubuhnya melewati Lee untuk memasuki ruang kerja sang atasan. "Dan Nona Roberts, tolong ke ruangan saya sekarang juga," sambung Lee yang juga mendapat anggukan dari Rebecca. Sang sekretaris lantas mengikuti langkah Lee. Sementara Charlene yang berada di dalam ruangan, tampak sedang memindahkan dokumen yang ada di meja pertemuan, ke atas meja Lee. "Siapa yang menyuruhmu menyuguhkan teh hijau tadi?" tanya Lee kala mendudukkan dirinya di kursi, sementara Rebecca berdiri di depan meja kerja pria itu. Charlene yang kebetulan sedang meletakkan dokumen ke atas meja kerja Lee, sontak terdiam. Ia dan Rebecca saling melempar tatapan. Pandangan Charlene lantas beralih ke Lee. Melihat dari ekspresi dingin pria itu, tampaknya pertemuan dengan Tuan A
"Kenapa?" tanya Lee ketika menemukan paras Charlene yang tampak terkejut. "A-apa Anda akan selalu menghukumku dengan cara seperti ini?" Charlene tidak mungkin menanyakan pada Lee mengenai kejadian tadi malam. Jadi, dia terpaksa mengajukan pertanyaan lain agar Lee tidak menaruh kecurigaan atas keterkejutannya. "Menghukummu?" Lee menatap netra Charlene sebelum tatapannya jatuh ke atas bibir basah dan bengkak gadis itu. Damn! Libidonya sungguh tidak bisa diajak kompromi. Ia kembali mengusap bibir Charlene dengan ibu jarinya, sementara tatapannya kembali bersirobok dengan netra Charlene. "Ini terlalu nikmat untuk disebut sebagai hukuman, bukan?" lontar Lee mengenai ciuman mereka tadi."Sama sekali tidak." Charlene mengerling ke tangan Lee yang sedang membelai bibirnya. "Tolong lepaskan." Bukannya mengabulkan permintaan Charlene, pria itu justru tersenyum samar. "Bukankah kau menyukai ciumanku?" tuding Lee. Charlene ingin mengumpat, karena Lee benar. Untungnya dia masih mampu menaha
Lee membuka pintu kamarnya dan menemukan Charlene berdiri di hadapannya. Gadis itu sedang memeluk laptop dan memegang ponselnya. "Ada apa?" tanya Lee. "Nggg ... tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin menanyakan apakah kau butuh sesuatu," kilah Charlene. Sejujurnya, bukan itu tujuannya menghampiri kamar Lee. Setelah pembicaraan mereka tadi pagi, malam ini ia berpikir untuk tetap tidur di kamar Lee—sesuai permintaan pria itu. Namun, begitu Lee telah berdiri di hadapannya saat ini, ia justru tidak sanggup mengatakan bahwa ia menerima tawaran pria itu dan mulai malam ini ia akan tidur seranjang dengan Lee."Tidak, aku tidak membutuhkan apa-apa," balas Lee.Charlene mengangguk. "Baiklah, kalau begitu, selamat malam." Charlene memutar tubuhnya 90 derajat, berniat kembali ke kamarnya.Namun, tangan Lee bergerak dengan cepat meraih lengan atas gadis itu. Langkah Charlene pun terhenti."Ada apa? Kau teringat jika membutuhkan sesuatu?" Giliran Charlene yang bertanya."Iya.""Kau lapar? in
"A-aku ...." Charlene tidak tahu harus menjawab apa. Ini sangat aneh untuknya.Lee terkadang sangat berbeda. Tidak, bukan berbeda. Sikap pria itu memang agak berubah dan Charlene tidak tahu apa yang menyebabkan pria itu menjadi seperti saat ini. "Kenapa kau ingin aku tidur di sini? Jangan bilang kalau kau jatuh cinta padaku." Antara ingin mencari penjelasan sekaligus mencairkan situasi yang terasa begitu canggung baginya saat ini.Mengenai Lee yang jatuh cinta padanya, jelas tidak mungkin. Charlene tidak memiliki jawabannya. Hanya saja memang mustahil jika Lee jatuh cinta padanya. "Apakah berdosa jika aku jatuh cinta padamu?"Deg!Seketika, keyakinannya tadi goyah setelah mendengar apa yang Lee katakan selanjutnya. Tidak! Tidak!Lee mungkin hanya mengerjainya saja. Pria itu pasti sedang bercanda. Setelah itu, seperti biasanya, Lee pasti akan mengeluarkan kata-kata yang mencemooh atau apa pun itu."Tidak. Kau berdosa jika hanya berniat mengejekku," ucap Charlene."Siapa bilang aku se
Charlene ingin menarik dirinya mundur. Namun, Lee mencegahnya dengan mempererat pelukannya. Ya! Posisi mereka saat ini sedang berbaring sambil berpelukan. "Lepas, Lee." Charlene mendorong dada pria itu. "Tidak, sampai kau tenang dulu." Lee tetap menahannya. Charlene masih terus menggeliat. Tidak mengacuhkan apa yang Lee katakan. "Teruslah melawan, tetapi kau harus tahu kalau aku tidak ingin melukaimu." Ucapan Lee seketika itu sukses menghentikan serangan yang Charlene lakukan. Gadis itu berusaha mengumpulkan udara setelah tadi mengeluarkan cukup banyak tenaga agar bisa terlepas dari belenggu Lee. Charlene harus mendongak untuk bisa menatap netra pria itu. "Kau janji akan melepaskanku, bukan? Kenapa belum dilepaskan juga?" tuntut Charlene. "Akan kulepaskan asalkan kau tidak menyerangku lagi," tawar Lee. Charlene memejamkan matanya untuk mengatur emosinya. Ia lantas kembali membuka matanya untuk menatap mata Lee. "Aku janji tidak akan menyerangmu. Jadi tolong lepaskan ak
"Aturannya masih tetap sama. Jangan melewati batas yang telah aku buat," ujar Charlene. Ia lantas mengempaskan bokongnya ke atas tempat tidur Lee disusul dengan menghela napas. "Aku merasa belakangan ini ibumu terlalu sering menginap di sini." "Kenapa? Kau keberatan?" lontar Lee yang tengah bersandar pada kepala tempat tidur dengan tablet di tangan. Ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak Charlene ketahui. Namun, kini ia tengah mengalihkan tatapan dari tabletnya ke arah Charlene. "Tidak. Kenapa harus keberatan?" Charlene balik bertanya. "Ini rumahmu. Wajar jika ibumu datang dan menginap.""Kalau tidak keberatan, kenapa mengeluh?" tuding Lee."Aku tidak mengeluh," bantah Charlene.Ia bukan memang bukan mengeluh, tetapi hanya merasa ada sesuatu yang janggal dengan apa yang Hana lakukan."Apa yang kau pikirkan?" selidik Lee kala mendapati Charlene seperti sedang memikirkan sesuatu. "Tidak. Tidak ada." "Jangan berbohong. Kalau aku memaksamu untuk berkata jujur, nanti kau akan
Charlene menggeleng. "Kalau begitu, ayo kita makan siang bersama." Lee menawarkan tangannya. Charlene hampir tidak berani bergerak, tetapi ia mengerling ke arah rekan kerjanya. Tidak perlu waktu yang lama baginya untuk memutuskan menyambut tangan Lee. Lebih cepat, lebih baik sebelum teman-temannya itu terkena masalah.Sebab, Charlene merasa Lee sedang marah. Hal itu membuatnya yakin jika Lee cukup banyak mendengar pembicaraan mereka. Lee pun menariknya pergi setelah tangan Charlene berada di dalam genggamannya.Charlene sempat menoleh ke arah rekan-rekan kerjanya hanya untuk melempar senyuman sembari memberi isyarat 'oke' dengan jari-jarinya, agar mereka tidak cemas. Lee lantas membawa Charlene menuju ke depan gedung kantor. Di sana sudah ada Marvin yang tampak stand by di samping mobil Lee. Mereka masuk ke dalam mobil dan Marvin pun melajukan mobilnya di tengah kepadatan lalu lintas di siang hari. Setelah beberapa saat berlalu, Charlene diam-diam melirik ke arah Lee yang duduk di
"Kenapa dia terlihat lesu?" tanya Charlene kala bergabung dengan rekan sekantornya di salah satu kafe kantor."Dia sedang patah hati karena akhirnya kau menikah dengan bos," terang Beatrice."Padahal dari awal aku sudah katakan padanya kalau dia bukanlah saingan bos," timpal Victor.Wajah Charlene menunjukkan tanda tidak nyaman dan serba salah."Kalian ini, jangan sembarangan bicara. Ronald hanya mengganggapku sebagai teman."Sementara itu, Ronald yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan mereka, sama sekali tidak memberikan komentar. Charlene pun menarik kursi yang ada di hadapan pria itu. "Kau tahu, kami cukup kesal karena kau tidak berkata jujur pada kami saat pertama kali bekerja di sini," tukas Rebecca yang duduk di sebelah Ronald. "Kenapa kau tidak terus terang mengatakan bahwa kau memang punya hubungan dengan bos?"Charlene menjadi semakin tidak enak. Teman-temannya menjadi salah paham dan ia sendiri tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada mereka bahwa dirinya memang tida
Charlene menatap Lee dengan mata menipis. Ia memang telah dibohongi Lee. Ugh! Harus terlihat romantis di depan Hana? Justru mertuanya itu jadi merasa mengganggu mereka. Charlene lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke Hana. Ekspresinya yang gusar kini telah berganti dengan senyuman. "Tidak, sama sekali tidak mengganggu." Hana tersenyum balik. "Apa kau sudah selesai mengupas kentangnya? Aku sudah menyajikan steak-nya ke atas meja makan," jelas Hana. Senyum Charlene mendadak lenyap. Ia melirik tajam ke arah Lee yang berdiri di belakangnya. Lee menatap balik ke arahnya tanpa rasa bersalah. Satu lagi kebohongan pria itu. Well, dia akan membuat perhitungan dengan suaminya nanti. "Belum. Sebentar lagi. Aku akan meminta Lee untuk membantuku," ujar Charlene. "Baiklah, kalau begitu aku akan memanggil Pieter dulu." Hana kemudian meninggalkan Charlene dan Lee di dapur. "Kau menipuku." Itu bukan pertanyaan dan Charlene bahkan belum menoleh ke arah Lee karena tatapannya masih tertuju ke amb
Charlene sedang menyiapkan makan malam di dapur bersama dengan Hana. Baru dua hari lalu, Charlene menikah dengan Lee, tetapi Hana sudah datanf untuk menginap. Bukannya Charlene merasa tidak nyaman dengan kehadiran Hana ataupun merasa keberatan. Ia justru sangat senang karena bisa mengobrol banyak hal dengan wanita paruh baya itu. Hanya saja, Charlene merasa sedikit aneh. Apakah Hana memang sengaja menginap di sana untuk memata-matai Charlene dan Lee? "Makan apa kita malam ini?" tanya Lee. Kemunculan Lee yang mendadak, sebenarnya tidak akan membuat Charlene terkejut seandainya pria itu tidak tiba-tiba memeluk tubuh Charlene dari belakang dan kemudian mengecup pelipis Charlene. Sontak saja sekujur tubuh Charlene terasa meremang. Ia melirik Lee dengan keberadaan wajah pria itu yang begitu dekat dengan wajahnya. Lee tersenyum menggoda. Menilai dari ekspresi pria itu, sepertinya Lee memang sengaja mengambil kesempatan itu agar dapat memeluk dan mencium Charlene. Charlene ingin marah, t
Charlene tidak tahu sejak kapan Lee menanggalkan penutup dada yang ia kenakan karena terlalu sibuk memikirkan hal lain tadi. Namun, setelah menyadari apa yang tengah Lee lakukan padanya saat ini, membuat darah Charlene seakan bergejolak di dalam sana. Tubuhnya terasa panas dan tanpa ia inginkan, bagian bawah tubuhnya terasa sangat hangat.Lee mengisap bongkahan kenyal itu sambil memainkan puncak berwarna pink merona yang berada di dalam mulutnya, dengan menggunakan lingualnya. Sesekali Lee mengisapnya dengan sangat kuat, membuat tubuh Charlene menegang karena rasa nikmat. Kali lainnya, pria itu memindahkan bibirnya pada bagian bongkahan hanya untuk meninggalkan tanda kepemilikan di sana.Satu tangan Lee memilin puncak yang lainnya, mempermainkannya. Charlene merasa sangat basah. Hanya desahan dan lenguhan yang keluar dari bibirnya tanpa adanya penolakan."Lee ...," lirih Charlene. Tidak ada pria mana pun yang pernah menyentuhnya seintim ini, termasuk Axel. Namun, bukan berarti ia pol