Suara cecapan yang menggema dalam ruangan dapur itu, terdengar saling bersahutan. Ciuman itu sudah berlangsung beberapa menit. Awalnya, Charlene mengatakan pada dirinya bahwa ia hanya penasaran.
Ia hanya ingin mencoba membalas ciuman Lee sedikit saja. Bahwa ia tidak akan terpengaruh oleh ciuman pria itu. Namun, ia salah.Bibirnya seakan menolak untuk berpisah dari bibir Lee. Dari detik, berganti menjadi menit. Hanya ketika pasokan udara menipis, keduanya melepaskan belitan lingual mereka.Keduanya meraup udara selama beberapa detik, kemudian kembali menyatukan bibir mereka. Lee mengangkat tubuh Charlene ke atas kitchen island tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Satu tangannya menekan kepala gadis itu untuk memperdalam ciumannya.Sementara tangan yang lain bergerilya di punggung Charlene. Tidak puas hanya menyentuh bagian luar, tangan Lee pun mulai menyusup ke dalam baju yang Charlene kenakan. Charlene tersentak ketika merasakan tangan Lee menyentuh kulitnya."Hmmhh ...," lenguh Charlene, membuat Lee menghentikan semua aktivitasnya.Pria itu menjauhkan wajahnya dari wajah Charlene."Kau ingin aku berhenti?" tanya Lee.Embusan hangat napas pria itu menerpa wajah Charlene. Charlene meneguk saliva dan berusaha mengumpulkan udara. Terlalu bingung dengan apa yang harus ia lakukan.Di satu sisi, ia tahu ini salah. Namun, di sisi lain, sentuhan Lee membuatnya candu. Rasanya tidak cukup jika hanya berciuman saja."Bisakah kita lanjutkan sedikit lagi?"What?! Omong kosong apa yang barusan ia katakan? Melanjutkan?Baiklah, biarkan ia bercumbu dengan atasannya malam ini—pria yang sedang menatapnya dengan tatapan mata yang berkilat. Kilatan gairah."Aku tidak suka melakukannya setengah-setengah, Nona Kamasutra Goddess."Glek!Charlene cukup mengerti maksud ucapan Lee. Pria itu ingin melakukannya dengan tuntas, bukan dicicil."Astaga, Charlene ..., ini adegan 21+ bukan cicilan utangmu yang tersisa 21 bulan," batin Charlene.
Lee lalu mengangkat dagu Charlene dengan jari telunjuknya yang ditekuk. "Jangan membuatku menunggu lama." Dengan ibu jarinya, ia memainkan bibir Charlene yang membengkak akibat ciuman panas yang mereka lakukan barusan.Charlene kembali menahan napas. Sentuhan jari Lee pada bibirnya, berhasil membuat bagian bawah tubuh gadis itu terasa basah. Charlene berpikir, mungkin ia sedang bermimpi.Tidak, ia tidak sedang bermimpi. Sentuhan Lee terasa begitu nyata. Dan Charlene menginginkannya."La-lakukan." Charlene berkata dengan pasrah.Ia melihat senyum kemenangan yang samar di wajah Lee."Aku harap kau tidak menyesalinya."Charlene tidak merespon dengan ucapan. Netra hijaunya sudah cukup berbicara, sehingga Lee kembali melumat bibir gadis itu. Dengan terampil, tangan Lee menyelinap ke dalam baju Charlene, membelai punggung gadis itu.Lalu tangan itu berhenti pada bagian pengait penutup dada yang Charlene kenakan. Kali ini Lee tidak bertanya pada sang asisten. Ia langsung membuka pengait tersebut tanpa hambatan dan membuang kain itu begitu saja.Ciuman Lee berpindah ke leher Charlene, sementara tangan pria itu kini merayap menuju bongkahan kenyal milik gadis itu. Charlene menggeliat kala Lee menangkup payudaranya. Kolaborasi antara bibir dan tangan pria itu, melahirkan sebuah desahan dari bibir Charlene.Di balik desahannya itu, Charlene kembali membatin, "Besok sepertinya aku harus ke rumah sakit untuk memeriksa isi kepalaku. Mungkin saja ada satu sekrup yang terlepas dari otakku."Damn!Charlene memang sudah kehilangan akal sehatnya. Ia tidak bisa merasakan apapun selain rasa nikmat yang ia dapatkan dari sentuhan Lee. Puncak dadanya terasa menegang karena sedang dimainkan oleh jari-jemari pria itu."Agghh ... Tu-Tuan—." Charlene tidak berhasil menyelesaikan ucapannya karena dipotong oleh Lee."Panggil aku Lee," bisik pria itu pada daun telinga Charlene.Selanjutnya ia membelai daun telinga itu dengan lidahnya yang basah."Hmmh ... agh ... L-Lee ...." Charlene kesulitan berkata-kata.Satu desahan berikutnya kembali lolos dari bibir Charlene kala Lee mengulum telinga gadis itu. Lee kemudian menjauhkan bibirnya dari telinga sang asisten. Ia menatap Charlene dengan intens.Charlene membalasnya dengan tatapan sayu sembari berusaha mengatur napasnya yang terputus-putus."Kita lanjutkan di kamar." Lee tidak menginginkan jawaban Charlene.Ia langsung mengangkat tubuh Charlene dari kitchen island. Charlene mengaitkan kedua kakinya pada pinggang Lee, sementara kedua tangannya melingkar di leher pria itu. Keduanya terdiam untuk sesaat, hanya napas mereka yang terdengar memburu.Dalam posisi digendong Lee dari depan seperti ini, ia bisa merasakan dengan semakin jelas milik Lee di bawah sana."Kau yang membangunkannya." Lee pun kembali meraup bibir Charlene.Pria itu menarik langkah menuju ke kamarnya tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Lee membuka pintu kamarnya dan keduanya terus melakukan pertukaran saliva. Sang CEO lantas membawa Charlene menyeberangi ruangan menuju ke tempat tidur.Dan sebentar lagi mereka akan menyeberangi lautan gairah. Di atas tempat tidur pria itu. Charlene tahu ini salah, sangat salah.
Ini sama saja dengan dirinya mengkhianati Axel. Namun, ia harus menyerah pada godaan setan."O, para setan, maafkan aku karena telah mengambinghitamkan kalian." Charlene lagi-lagi membatin.Sekonyong-konyong, ia merasa kasihan dengan para setan yang ia salahkan. Semua ini jelas salah dirinya sendiri karena terprovokasi rasa penasarannya.Hell ... ia tidak bisa berhenti. Walau Lee masih terasa tidak nyata baginya. Terlalu mirip dengan tokoh utama pria dalam novel-novelnya.Namun, ciuman basah pria itu jelas-jelas nyata. Dan Lee kini berusaha membuka baju Charlene kala mereka sudah berada di depan tempat tidur, masih tanpa melepaskan ciuman mereka. Hanya saja, Charlene mendadak mendengar suara ponsel sang CEO berdering.Awalnya, ia mengabaikan panggilan telepon tersebut. Namun, telepon itu terus berdering. Sebagian pikirannya yang masih jernih, membuat Charlene berpikir, siapa yang menelepon pria itu malam-malam begini?Charlene pun mendorong kedua bahu Lee untuk melepaskan ciuman mereka. Namun, kedua tangannya tetap berada di bahu pria itu, untuk menjaga keseimbangan tubuhnya"Apa tidak sebaiknya kau angkat saja?" tanya Charlene."Abaikan saja." Lee kembali ingin mencium Charlene, tetapi gadis itu menahannya."Bagaimana kalau itu penting?""Aku bilang abaikan.""Biar aku saja yang lihat siapa. Turunkan aku," usul Charlene."Jangan mendebatku, Nona Flynn.""Aku bilang turunkan aku." Charlene menggeliat dalam gendongan Lee, berusaha untuk melepaskan diri. Ia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya sangat ngotot."Akan aku turunkan, tetapi di atas ranjangku."Brukkk!
***
"Akkkh!" erang Charlene ketika rasa sakit yang sangat dahsyat menyerangnya. Keras dan dingin. Apakah orang kaya memang menyukai tempat tidur yang seperti ini? Atau tempat tidur ini adalah salah satu inovasi paling mutakhir dari produk yang dibuat oleh perusahaan Lee? Belum sempat ia mengajukan pertanyaan itu, kini kembali terdengar suara ponsel berdering. Anehnya, nada deringnya berbeda dengan yang tadi. Bunyinya sangat keras dan ... Charlene pun refleks membuka kedua matanya. Mendadak ia menyadari bahwa Lee tidak berdiri di hadapannya. Charlene pun mengabaikan sejenak bunyi telepon yang terus berdering. "Ke mana dia?" gumam Charlene. Kriiinggg ...! Kriiinggg ...! Dering ponsel yang keras itu kembali mengagetkan Charlene. Belum hilang rasa kagetnya, ia kemudian dibuat heran karena ternyata dirinya tengah tertidur di atas lantai, bukan di tempat tidur Lee. Deg! Charlene pun berusaha mengumpulkan semua petunjuk yang ada. Ia menajamkan indra pendengarannya di tengah-tengah deringa
Charlene bingung melihat Lee yang tampak kesakitan. Selanjutnya ia mendapati Lee sedang menahan pergelangan tangannya yang sedang mengikat dasi pria itu. "Akkkh!" Sontak Charlene menjengit kaget dan melepaskan tangannya dari dasi Lee. Ia tidak sadar jika menarik dasi itu terlalu kuat hingga mencekik leher bosnya. Ini gara-gara dirinya melamun memikirkan apa yang sebenarnya terjadi tadi malam. Charlene pun memandang ngeri ke arah sang atasan. Terlihat Lee melonggarkan ikatan dasi pada lehernya. "Apa kau ingin membunuhku?" tuding Lee. "Tidak! Tidak!" Charlene melambaikan tangannya dengan cepat. "Aku benar-benar tidak sengaja, Tuan." Lee lantas menghadiahkan sebuah tatapan sinis pada Charlene. "Aku bahkan belum menghukummu atas keterlambatan tadi," pungkas Lee. "Ta-tadi itu 'kan bukan kesalahanku. Anda yang terlambat membukakan pintu. Seharusnya aku yang menghukum Anda," gerutu Charlene tidak mau kalah. Lee menipiskan pandangan dan menghujamkannya ke arah Charlene. Pria itu merasa
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi setelah mereka menyelesaikan sarapan. Sebenarnya Lee masih punya cukup waktu untuk sampai ke kantor jika tidak mengalami kemacetan di jalan. Namun, Lee tidak ingin mengambil resiko tersebut. "Ini," Lee menyerahkan tas kerjanya pada Charlene. "Kenapa?" Charlene terlihat bingung dengan ucapan Lee. "Tugasmu sebagai asistenku. Salah satunya adalah membawakan tasku." "O ...!" Charlene segera mengambil alih tas tersebut dari tangan Lee. Ia lantas mengikuti langkah Lee menuju lorong yang mengarah ke lift. Lee menyempatkan diri untuk menyapa Monkey dan memberi makan ikan-ikannya. Selanjutnya mereka memasuki ruangan lift dan ternyata Marvin sudah stand by di sana, menahan lift untuk sang atasan. "Semuanya sudah siap?" tanya Lee kala mereka telah berada di dalam lift. "Sudah." Marvin kemudian mengarahkan tangan ke tombol sensor lantai teratas. "Eh, kenapa ke atas? Bukannya ke bawah?" komentar Charlene di saat lift menutup dan mulai bergerak ke atas.
"Becky, jangan terlalu terus terang kalau bicara. Lihatlah, kau membuatnya takut," ujar pria yang baru saja muncul dengan kedua gelas di tangannya. Ia menyerahkan satu gelas untuk Charlene. "Untukmu, Nona Manis." Ia mengedipkan sebelah matanya ke arah Charlene. Charlene menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. "O iya, kenalkan, aku Ronald Anderson, manager marketing. Panggil saja Ronald atau Ronnie." Ronald mengulurkan tangannya yang disambut oleh Charlene."Sebaiknya kau jangan macam-macam, Ronald. Dia itu wanitanya bos," sergah Ava dari bagian staff keuangan, yang saat ini berdiri di sisi kiri Charlene. Ronald menempatkan dirinya di samping Rebecca yang berdiri di seberang Ava, sedangkan di samping Ava, ada Beatrice dan Victor yang sama-sama berasal dari bagian HRD. "Sainganmu terlalu berat." Victor terkekeh yang diikuti dengan tawa dari teman-temannya. "Ck! Kalian ini sungguh meremehkan pesonaku. Lagi pula bos 'kan tidak menyukai wanita," balas Ronald sembari mengusap bagi
Charlene memasuki ruangan kerja Lee dengan langkah tersendat-sendat, setelah Lee membukakan pintu untuknya dengan remote. Kakinya jelas masih terasa berdenyut, walau sedikit membaik. Ia memperhatikan Lee yang tampak sedang sibuk di balik meja kerjanya. Charlene kemudian berhenti di depan meja Lee. Untuk beberapa saat, gadis itu sama sekali tidak mengatakan apa pun, sehingga Lee akhirnya mengangkat pandangannya ke arah Charlene. "Ada apa?" tanya Lee. Charlene membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa. "Aku tidak punya waktu untuk bermain-main, Nona Flynn." Lee melanjutkan pekerjaannya karena diburu waktu. "Anda ... mempekerjakanku sebagai asisten Anda. Tetapi Anda tidak memberitahuku, pekerjaan apa saja yang harus aku lakukan di kantor," jelas Charlene. Lee melirik Charlene melalui ekor matanya, lalu kembali memeriksa pekerjaannya di layar laptop. "Kau bisa melakukan apa saja, termasuk membersihkan kaca jendela, meja, dan lantai." Charlene melongo tidak percay
"Nona Flynn, tolong bereskan barang-barang yang ada di meja meeting. Pindahkan semua dokumennya ke atas meja kerja saya," titah Lee saat berada di luar ruangan, setelah mengantar kepergian Tuan Alpheus. Charlene mengangguk pelan, kemudian menyeret tubuhnya melewati Lee untuk memasuki ruang kerja sang atasan. "Dan Nona Roberts, tolong ke ruangan saya sekarang juga," sambung Lee yang juga mendapat anggukan dari Rebecca. Sang sekretaris lantas mengikuti langkah Lee. Sementara Charlene yang berada di dalam ruangan, tampak sedang memindahkan dokumen yang ada di meja pertemuan, ke atas meja Lee. "Siapa yang menyuruhmu menyuguhkan teh hijau tadi?" tanya Lee kala mendudukkan dirinya di kursi, sementara Rebecca berdiri di depan meja kerja pria itu. Charlene yang kebetulan sedang meletakkan dokumen ke atas meja kerja Lee, sontak terdiam. Ia dan Rebecca saling melempar tatapan. Pandangan Charlene lantas beralih ke Lee. Melihat dari ekspresi dingin pria itu, tampaknya pertemuan dengan Tuan A
"Kenapa?" tanya Lee ketika menemukan paras Charlene yang tampak terkejut. "A-apa Anda akan selalu menghukumku dengan cara seperti ini?" Charlene tidak mungkin menanyakan pada Lee mengenai kejadian tadi malam. Jadi, dia terpaksa mengajukan pertanyaan lain agar Lee tidak menaruh kecurigaan atas keterkejutannya. "Menghukummu?" Lee menatap netra Charlene sebelum tatapannya jatuh ke atas bibir basah dan bengkak gadis itu. Damn! Libidonya sungguh tidak bisa diajak kompromi. Ia kembali mengusap bibir Charlene dengan ibu jarinya, sementara tatapannya kembali bersirobok dengan netra Charlene. "Ini terlalu nikmat untuk disebut sebagai hukuman, bukan?" lontar Lee mengenai ciuman mereka tadi."Sama sekali tidak." Charlene mengerling ke tangan Lee yang sedang membelai bibirnya. "Tolong lepaskan." Bukannya mengabulkan permintaan Charlene, pria itu justru tersenyum samar. "Bukankah kau menyukai ciumanku?" tuding Lee. Charlene ingin mengumpat, karena Lee benar. Untungnya dia masih mampu menaha
"Ti-tidak, bukan seperti itu," kilah Charlene. "Lalu seperti apa?" Lee mengungkung Charlene dengan meletakkan kedua tangannya pada meja. Posisinya sama seperti tadi malam, kala mereka berada di pantry penthouse. Selanjutnya, pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah Charlene, sehingga membuat Charlene harus memiringkan tubuhnya ke belakang. Wajah pria itu begitu dekat. Sekian milimeter lagi, maka hidungnya akan menyentuh puncak hidung Charlene. Aghh ... sial. Charlene tidak bisa berpikir dalam kondisi seperti ini. "Bi-bisakah Anda jangan terlalu dekat?" "Kenapa, ehm? Tidakkah kau penasaran bagaimana rasanya jika kita benar-benar bercumbu?" Glek! "Tu-Tuan Montana, saya bu-bukan wanita yang menarik. Sangat ti-tidak cocok menjadi teman tidur Anda," hasut Charlene sembari tersenyum dengan paksa. Ia berharap Lee melupakan ide gilanya itu. Dan Sepertinya ia berhasil karena Lee menjauhkan wajahnya. Kini ia bisa kembali merangkum keseluruhan wajah pria itu melalui indra penglihatannya.
Lee membuka pintu kamarnya dan menemukan Charlene berdiri di hadapannya. Gadis itu sedang memeluk laptop dan memegang ponselnya. "Ada apa?" tanya Lee. "Nggg ... tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin menanyakan apakah kau butuh sesuatu," kilah Charlene. Sejujurnya, bukan itu tujuannya menghampiri kamar Lee. Setelah pembicaraan mereka tadi pagi, malam ini ia berpikir untuk tetap tidur di kamar Lee—sesuai permintaan pria itu. Namun, begitu Lee telah berdiri di hadapannya saat ini, ia justru tidak sanggup mengatakan bahwa ia menerima tawaran pria itu dan mulai malam ini ia akan tidur seranjang dengan Lee."Tidak, aku tidak membutuhkan apa-apa," balas Lee.Charlene mengangguk. "Baiklah, kalau begitu, selamat malam." Charlene memutar tubuhnya 90 derajat, berniat kembali ke kamarnya.Namun, tangan Lee bergerak dengan cepat meraih lengan atas gadis itu. Langkah Charlene pun terhenti."Ada apa? Kau teringat jika membutuhkan sesuatu?" Giliran Charlene yang bertanya."Iya.""Kau lapar? in
"A-aku ...." Charlene tidak tahu harus menjawab apa. Ini sangat aneh untuknya.Lee terkadang sangat berbeda. Tidak, bukan berbeda. Sikap pria itu memang agak berubah dan Charlene tidak tahu apa yang menyebabkan pria itu menjadi seperti saat ini. "Kenapa kau ingin aku tidur di sini? Jangan bilang kalau kau jatuh cinta padaku." Antara ingin mencari penjelasan sekaligus mencairkan situasi yang terasa begitu canggung baginya saat ini.Mengenai Lee yang jatuh cinta padanya, jelas tidak mungkin. Charlene tidak memiliki jawabannya. Hanya saja memang mustahil jika Lee jatuh cinta padanya. "Apakah berdosa jika aku jatuh cinta padamu?"Deg!Seketika, keyakinannya tadi goyah setelah mendengar apa yang Lee katakan selanjutnya. Tidak! Tidak!Lee mungkin hanya mengerjainya saja. Pria itu pasti sedang bercanda. Setelah itu, seperti biasanya, Lee pasti akan mengeluarkan kata-kata yang mencemooh atau apa pun itu."Tidak. Kau berdosa jika hanya berniat mengejekku," ucap Charlene."Siapa bilang aku se
Charlene ingin menarik dirinya mundur. Namun, Lee mencegahnya dengan mempererat pelukannya. Ya! Posisi mereka saat ini sedang berbaring sambil berpelukan. "Lepas, Lee." Charlene mendorong dada pria itu. "Tidak, sampai kau tenang dulu." Lee tetap menahannya. Charlene masih terus menggeliat. Tidak mengacuhkan apa yang Lee katakan. "Teruslah melawan, tetapi kau harus tahu kalau aku tidak ingin melukaimu." Ucapan Lee seketika itu sukses menghentikan serangan yang Charlene lakukan. Gadis itu berusaha mengumpulkan udara setelah tadi mengeluarkan cukup banyak tenaga agar bisa terlepas dari belenggu Lee. Charlene harus mendongak untuk bisa menatap netra pria itu. "Kau janji akan melepaskanku, bukan? Kenapa belum dilepaskan juga?" tuntut Charlene. "Akan kulepaskan asalkan kau tidak menyerangku lagi," tawar Lee. Charlene memejamkan matanya untuk mengatur emosinya. Ia lantas kembali membuka matanya untuk menatap mata Lee. "Aku janji tidak akan menyerangmu. Jadi tolong lepaskan ak
"Aturannya masih tetap sama. Jangan melewati batas yang telah aku buat," ujar Charlene. Ia lantas mengempaskan bokongnya ke atas tempat tidur Lee disusul dengan menghela napas. "Aku merasa belakangan ini ibumu terlalu sering menginap di sini." "Kenapa? Kau keberatan?" lontar Lee yang tengah bersandar pada kepala tempat tidur dengan tablet di tangan. Ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak Charlene ketahui. Namun, kini ia tengah mengalihkan tatapan dari tabletnya ke arah Charlene. "Tidak. Kenapa harus keberatan?" Charlene balik bertanya. "Ini rumahmu. Wajar jika ibumu datang dan menginap.""Kalau tidak keberatan, kenapa mengeluh?" tuding Lee."Aku tidak mengeluh," bantah Charlene.Ia bukan memang bukan mengeluh, tetapi hanya merasa ada sesuatu yang janggal dengan apa yang Hana lakukan."Apa yang kau pikirkan?" selidik Lee kala mendapati Charlene seperti sedang memikirkan sesuatu. "Tidak. Tidak ada." "Jangan berbohong. Kalau aku memaksamu untuk berkata jujur, nanti kau akan
Charlene menggeleng. "Kalau begitu, ayo kita makan siang bersama." Lee menawarkan tangannya. Charlene hampir tidak berani bergerak, tetapi ia mengerling ke arah rekan kerjanya. Tidak perlu waktu yang lama baginya untuk memutuskan menyambut tangan Lee. Lebih cepat, lebih baik sebelum teman-temannya itu terkena masalah.Sebab, Charlene merasa Lee sedang marah. Hal itu membuatnya yakin jika Lee cukup banyak mendengar pembicaraan mereka. Lee pun menariknya pergi setelah tangan Charlene berada di dalam genggamannya.Charlene sempat menoleh ke arah rekan-rekan kerjanya hanya untuk melempar senyuman sembari memberi isyarat 'oke' dengan jari-jarinya, agar mereka tidak cemas. Lee lantas membawa Charlene menuju ke depan gedung kantor. Di sana sudah ada Marvin yang tampak stand by di samping mobil Lee. Mereka masuk ke dalam mobil dan Marvin pun melajukan mobilnya di tengah kepadatan lalu lintas di siang hari. Setelah beberapa saat berlalu, Charlene diam-diam melirik ke arah Lee yang duduk di
"Kenapa dia terlihat lesu?" tanya Charlene kala bergabung dengan rekan sekantornya di salah satu kafe kantor."Dia sedang patah hati karena akhirnya kau menikah dengan bos," terang Beatrice."Padahal dari awal aku sudah katakan padanya kalau dia bukanlah saingan bos," timpal Victor.Wajah Charlene menunjukkan tanda tidak nyaman dan serba salah."Kalian ini, jangan sembarangan bicara. Ronald hanya mengganggapku sebagai teman."Sementara itu, Ronald yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan mereka, sama sekali tidak memberikan komentar. Charlene pun menarik kursi yang ada di hadapan pria itu. "Kau tahu, kami cukup kesal karena kau tidak berkata jujur pada kami saat pertama kali bekerja di sini," tukas Rebecca yang duduk di sebelah Ronald. "Kenapa kau tidak terus terang mengatakan bahwa kau memang punya hubungan dengan bos?"Charlene menjadi semakin tidak enak. Teman-temannya menjadi salah paham dan ia sendiri tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada mereka bahwa dirinya memang tida
Charlene menatap Lee dengan mata menipis. Ia memang telah dibohongi Lee. Ugh! Harus terlihat romantis di depan Hana? Justru mertuanya itu jadi merasa mengganggu mereka. Charlene lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke Hana. Ekspresinya yang gusar kini telah berganti dengan senyuman. "Tidak, sama sekali tidak mengganggu." Hana tersenyum balik. "Apa kau sudah selesai mengupas kentangnya? Aku sudah menyajikan steak-nya ke atas meja makan," jelas Hana. Senyum Charlene mendadak lenyap. Ia melirik tajam ke arah Lee yang berdiri di belakangnya. Lee menatap balik ke arahnya tanpa rasa bersalah. Satu lagi kebohongan pria itu. Well, dia akan membuat perhitungan dengan suaminya nanti. "Belum. Sebentar lagi. Aku akan meminta Lee untuk membantuku," ujar Charlene. "Baiklah, kalau begitu aku akan memanggil Pieter dulu." Hana kemudian meninggalkan Charlene dan Lee di dapur. "Kau menipuku." Itu bukan pertanyaan dan Charlene bahkan belum menoleh ke arah Lee karena tatapannya masih tertuju ke amb
Charlene sedang menyiapkan makan malam di dapur bersama dengan Hana. Baru dua hari lalu, Charlene menikah dengan Lee, tetapi Hana sudah datanf untuk menginap. Bukannya Charlene merasa tidak nyaman dengan kehadiran Hana ataupun merasa keberatan. Ia justru sangat senang karena bisa mengobrol banyak hal dengan wanita paruh baya itu. Hanya saja, Charlene merasa sedikit aneh. Apakah Hana memang sengaja menginap di sana untuk memata-matai Charlene dan Lee? "Makan apa kita malam ini?" tanya Lee. Kemunculan Lee yang mendadak, sebenarnya tidak akan membuat Charlene terkejut seandainya pria itu tidak tiba-tiba memeluk tubuh Charlene dari belakang dan kemudian mengecup pelipis Charlene. Sontak saja sekujur tubuh Charlene terasa meremang. Ia melirik Lee dengan keberadaan wajah pria itu yang begitu dekat dengan wajahnya. Lee tersenyum menggoda. Menilai dari ekspresi pria itu, sepertinya Lee memang sengaja mengambil kesempatan itu agar dapat memeluk dan mencium Charlene. Charlene ingin marah, t
Charlene tidak tahu sejak kapan Lee menanggalkan penutup dada yang ia kenakan karena terlalu sibuk memikirkan hal lain tadi. Namun, setelah menyadari apa yang tengah Lee lakukan padanya saat ini, membuat darah Charlene seakan bergejolak di dalam sana. Tubuhnya terasa panas dan tanpa ia inginkan, bagian bawah tubuhnya terasa sangat hangat.Lee mengisap bongkahan kenyal itu sambil memainkan puncak berwarna pink merona yang berada di dalam mulutnya, dengan menggunakan lingualnya. Sesekali Lee mengisapnya dengan sangat kuat, membuat tubuh Charlene menegang karena rasa nikmat. Kali lainnya, pria itu memindahkan bibirnya pada bagian bongkahan hanya untuk meninggalkan tanda kepemilikan di sana.Satu tangan Lee memilin puncak yang lainnya, mempermainkannya. Charlene merasa sangat basah. Hanya desahan dan lenguhan yang keluar dari bibirnya tanpa adanya penolakan."Lee ...," lirih Charlene. Tidak ada pria mana pun yang pernah menyentuhnya seintim ini, termasuk Axel. Namun, bukan berarti ia pol