Niatnya siang ini mau jemput Juleha. Udah semangat empat lima buat meluncur ke kampusnya, tapi saat sampai di depan pintu ruang IGD malah kedatangan korban kecelakaan, alahasil gue di tarik lagi sama suster-suster cantik itu buat bantu menangani. Dan akhirnya acara penjemputan batal. Biar Juleha nggak nunggu dan khawatir, sebelumnya gue udah hubungi dia lewat pesan. Setelah itu hp gue matiin dan nggak tahu lagi Juleha ngebales apa nggak.
"Dokter Vino, di tunggu di ruang operasi."
Gue menoleh pada suster yang tadi memanggil, dan gue pun mengangguk mengiyakan. Perasaan gue dari tadi juga nggak tahu kenapa cemas begini. Apa gara-gara nggak bisa jemput Juleha ya, tapi masa secemas ini. Apalagi kata-katanya Juleha tadi pagi masih betah bersliweran di pikiran gue kayak orang nagih utang.
'Nggak tahu, Juleha juga bingung. Rasanya hari ini tuh Juleha kayak bakal dapat sesuatu gitu sama Mas Vino.'
Maksudnya apa coba dia bilang gitu, memangnya gue baka
Thank's for reading. :)
Dua hari setelah berada di rumah sakit, Juleha akhirnya diperbolehkan pulang. Sekarang dia sudah berada di rumah, tepatnya di kamar kami. Juleha gue suruh banyak istirahat, mengingat dirinya yang hampir keguguran. Meski gue nggak ada rasa apapun sama dia, tapi bagaimanapun, itu tetap anak gue. Jadi gue nggak bisa lepas tanggung jawab begitu saja.Reaksi Mama saat tahu menantu kesayangannya hamil … heh! jangan ditanya lagi, hebohnya seantro kampung. Apalagi tadi saat Juleha mau pulang dari rumah sakit, tiap ada orang lewat pasti dikasih tahu."Vino mau punya anak lho, Dok.""Vino mau punya anak lho, Sus.""Saya mau punya cucu, Pak."“Menantu saya hamil, Bu.”Pokoknya seluruh penghuni rumah sakit yang bersimpangan sama Mama pasti diberi tahu. Gue sama Juleha yang ngintil di belakang cuma cengar-cengir nggak jelas lihat kelakuan Mama, sambil mengangguk minta maaf dengan suara pelan sama orang yang Mama ajakin bicara,
"Jadi gini, Kak, saya di sini ingin meminta izin untuk menikahi Juleha." What the … pemuda ini waras nggak sih, sebenarnya? Dia nggak tahu lagi minta izin ke siapa. Nekat banget. "Atas dasar apa kamu mau menikahi Juleha?" Gue nggak mau nunjukin dulu kalau gue suaminya. Pingin tau aja, apa motif tersembunyi yang dia inginkan. Kalau biasanya ya, kisah seperti ini dialami seseorang perempuan karena suaminya poligami atau nikah lagi, kayak film di ikan terbang itu lho, yang tiap harinya nampilin film istri yang tersakiti. Tapi kalau ceritanya begini, yang ada gue dong suami yang tersakiti. Ckckck, demi apapun, gue nggak rela Juleha nikah lagi, emangnya ini cerita poliandri apa. "Saya ingin bertanggung jawab atas kehamilan Juleha." Teh yang lagi gue seruput aja hampir muncrat keluar dari mulut. Coba aja kalau itu beneran terjadi, muka dia beneran bisa basah terkena semburan gue. Apa perlu kepalanya gue jedotin ke pantat panci. Dia n
Udah hampir seminggu Juleha bed rest di rumah. Dia emang gue larang kuliah dulu, pokoknya kalau belum sehat beneran belum gue bolehin ke mana-mana. Padahal dia sebenarnya udah lebih dari sehat, orang kemarin waktu salah ngasih susu pelangsing aja dia sehat-sehat aja kok.Gue emang nggak sempet baca waktu beli tuh susu, lihat kemasannya cewek seksi, ya udah gue beli aja. Namanya juga nggak pernah belanja susu hamil, ditambah lagi waktu itu terburu-buru, ya udah … lihat yang bening gue ambil aja. Sebenarnya ada sih susu ibu hamil yang nampilin perut gede, tapi Juleha 'kan, perutnya belum keliatan segede itu, ntar anak gue kalau melembung gimana.Oh iya, tentang reaksi Mama pas tahu gue salah ngasih susu ke menantunya, hampir aja gue disiram sama air bekas cucian piring. Marah besar pokoknya.Bagaimana beliau bisa tahu?Mudah sih, gue seperti biasa buatin Juleha susu, dengan wajah seneng nampilin senyum bangga biar dipuji Ma
Gue manatap pohon mangga yang tinggi menjulang kayak tiang listrik. Sebenarnya ada yang bergelayutan di bawah dan bisa digapai sih, tapi Juleha minta buah yang nggandul di tengah-tengah. Katanya buah itu paling montok dari yang lain. Padahal kalau gue lihat, sama saja aslinya. Awas banget sih matanya."Le, yang ini aja ya. Jauh banget itu.""Ih, Mas Vino kok gitu. Ini demi kecebongnya Mas Vino lho, jangan cuma bikinnya aja yang mau, giliran udah jadi, ngidam nggak mau nuruti."Ya ampun, mulutnya Juleha, perlu gue amplas apa ya biar alus dikit kalau ngomong. Frontal banget, mana ada Rayhan sama Satria lagi yang dari tadi cengingas-cengingis ngetawain gue. Berasa mereka berdua puas banget lihat gue menderita bagini."Le, mulut lo itu lho, nggak baik bilang gitu." Gue menegur Juleha pelan."Habisnya Mas Vino nggak mau nuruti Juleha kok. Cuma manjat gitu aja nggak mau, masa kalah sama monyetnya tetangga yang kemarin manjat pohon pisan
Sepulang dari rumah Satria, Juleha ngajak jalan-jalan dulu. Katanya dia belum ingin langsung pulang. Mumpung lagi di luar mending sekalian jalan katanya. Nggak tau dia ngajak jalan ke mana, gue yang dari tadi merhatiin dia ngomong, iya-iyain aja kemauan dia. Lagi pula sekali-kali nurutin kemauan Juleha, toh dia belum minta apapun selama menjadi istri gue. "Mas Vino, nanti Juleha boleh makan apapun 'kan?" "Iya, asal jangan nanas dan minuman bersoda, kasian anak gue." "Lho, kok Mas Vino nggak ngasih pengecualian ke tai juga sih. Itu artinya Mas Vino bolehin dong, kalau seandainya Juleha ngidamnya nggak terkontrol. Tega kowe Mas." Gue yang mendengar itu melongo dibuatnya. Apa katanya tadi? Ya Allah, harus gitu gue perjelas semuanya. Sekalian aja dia gue larang makan biawak. Bisa aja mikirnya sampai ke situ, Le. Ya kali, anak gue cacing perut yang doyan gituan. "Bukan begitu maksudnya. Masa iya sih, gue bakal biarin gitu aja, lagian lo juga masa bakal nekat sampai ke sana." "Mas Vino
“Mas Vino kenapa sih? Kok gitu banget lihatin aku.” Juleha yang hendak mau turun dari mobil ia urungkan saat gue terus saja menatapnya dengan mata yang terus mengintimidasi. Sebenarnya gue lagi kepikiran sesuatu. Meskipun kandungan dia sudah dikatakann membaik dan bisa melakukan aktivitas seperti biasa—asal tidak berat, tapi tetap saja gue khawatir. Sebenarnya gue udah nyuruh dia bolos lagi sehari, tapi Juleha menolak, katanya sudah terlalu lama berada di rumah.“Le, lo ada temen cewek yang dekat sama lo nggak?”Juleha mengernyit, dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lalu kemudian menggeleng. “Kalau temen dekat cewek, sebenarnya Juleha ndak punya, Mas. Temen Juleha yang paling dekat ya ….” Dia menjeda kalimatnya dan menatap ke arah gue ragu. Alis gue langsung aja terangkat untuk meminta dia melanjutkan kata-katanya itu. Penasaran, siapa teman dekat dia sebenarnya.“Siapa?” tanya gue nggak sabaran. J
“Bagus, kamu jangan terlalu dengarkan omongannya Mas Vino ya. Aku nggak terlalu perlu diawasin kok. Lagian, Mas Vino tuh, apa-apaan coba nyuruh begitu. Kayak Juleha anak kecil aja. Lagi pula, kamu nggak digaji, Gus. Jangan mau.” Aku dari tadi nyerocos mulu di samping Bagus. Tanpa sadar kalau pria yang ada di sampingku ini terus memperhatikanku, bahkan seulas senyum sampai terbit di bibirnya.“Nggak apa-apa kok, Leha. Aku nggak keberatan. Lagi pula, apa yang dibilang suami kamu itu ada benarnya lho. Dia hanya merasa khawatir sama anak dan istrinya. Dia hanya sedang memposisikan sebagai suami dan ayah yang siaga. Aku seneng kamu bisa mendapatkan aki-laki yang baik, dan sepertinya lebih baik dari aku.”Langkah kakiku seketika langsung berhenti dan memperhatikan dia dengan seksama. Bagus … apa yang dia katakan, dia waktu salah melamarku malam itu bukan karena suka sama aku, kan? Dia hanya kasian, makanya mau bertanggung jawab. Itu hanya sebat
Bagaimana perasaanku? Setelah tadi sempat ketahuan mengagumi Mas Vino diam-diam. Sudah begitu, malah ketahuan lagi. Malu? Tentu saja. Merasa bersalah? Ini juga aku rasakan karena sempat membuatnya terjatuh dari atas ranjang tadi. Lalu sekarang … aku bahkan tidak melihatnya di manapun semenjak menuruni tangga dan membantu Mama sama Bik Minah.Katanya tadi dia mau mandi, tapi semenjak aku keluar dari kamar mandi, Mas Vino tidak ada di kamar. Tempat tidur juga masih berantakan, di bawah juga aku tidak menemukan keberadaannya.“Kamu cari siapa, Juleha? Kok dari tadi celingak-celinguk.” Mama yang sedang duduk di atas kursi dan menikmati secangkir ternyata memperhatikan tingkahku dari tadi.“Anu, Ma, kok dari tadi aku nggak lihat Mas Vino ya. Dia di mana?” Akhirnya aku jujur juga tentang kegelisahanku karena dari tadi tidak ada Mas Vino setelah kejadian pagi tadi.“Owalah, Vino. Dia tadi keluar. Biasanya sih olahraga kalau l