Bagaimana perasaanku? Setelah tadi sempat ketahuan mengagumi Mas Vino diam-diam. Sudah begitu, malah ketahuan lagi. Malu? Tentu saja. Merasa bersalah? Ini juga aku rasakan karena sempat membuatnya terjatuh dari atas ranjang tadi. Lalu sekarang … aku bahkan tidak melihatnya di manapun semenjak menuruni tangga dan membantu Mama sama Bik Minah.
Katanya tadi dia mau mandi, tapi semenjak aku keluar dari kamar mandi, Mas Vino tidak ada di kamar. Tempat tidur juga masih berantakan, di bawah juga aku tidak menemukan keberadaannya.
“Kamu cari siapa, Juleha? Kok dari tadi celingak-celinguk.” Mama yang sedang duduk di atas kursi dan menikmati secangkir ternyata memperhatikan tingkahku dari tadi.
“Anu, Ma, kok dari tadi aku nggak lihat Mas Vino ya. Dia di mana?” Akhirnya aku jujur juga tentang kegelisahanku karena dari tadi tidak ada Mas Vino setelah kejadian pagi tadi.
“Owalah, Vino. Dia tadi keluar. Biasanya sih olahraga kalau l
“Hari ini nggak usah kuliah ya.” Mas Vino pagi-pagi sudah duduk di depan teras dengan kopinya dan handphone di tangan. Tidak lupa sama kaca mata bulat yang bertengger di hidungnya, membuat pesona ketampanannya semakin bertambah.‘Pagi-pagi memang harusnya begini sih, lihat yang seger-seger ya, Nak. Kayak bapakmu itu.’ Aku tertawa dalam hati sambil terus menyiram tanaman Mama. Sekarang aku udah nggak bantuin di dapur lagi setelah kejadian mual-mual pagi itu yang membuatku malu karena Mas Vino harus berjibaku sama muntahanku. Yah, aku tahu kalau tidak ada rasa jijik di raut mukanya itu, tapi tetap saja aku sudah membuat Mas Vino susah.“Tapi, Mas. Hari ini Juleha mau ada kuis,” kataku mencoba menolak ajakannya Mas Vino. Bagaimanapun, aku ini udah disekolahin suamiku secara gratis tanpa membayar sepeser uang pun. Setidaknya aku harus membuat nilaiku bagus dan tidak mengecewakan.“Lebih berharga mana, kuis
Juleha dari tadi manyunin bibirnya terus setelah keluar dari rumah sakit habis gue anterin periksa. Ceritanya dia lagi ngambek karena dia nggak gue kasih hasil cetak USG bayi kita. Lagian ngapain banyak-bayak coba, satu diliatin berdua kan bisa. Nggak cuma itu, dari tadi dia juga terus ngedumel nggak selesai-selesai. Persis kayak ibu-ibu yang nggak jadi dapat diskon beli semvak gratis beha.“Le, udah kenapa sih ngedumelnya.” Gue mulai negur dia yang jalan mendahului gue. Saat ini kami sedang berada di taman bermain. Buat membujuk dia siapa tahu bisa luluh. Tapi pada kenyataannya, pas udah sampai di sini, dia malah ngedumel makin keras, bikin gue malu aja. Apalagi saat ada tatapan ibu-ibu yang liatin gue sambil geleng-geleng kepala.“Bikinnya aja berdua. Giliran oroknya jadi, nggak mau berbagi berdua. Kalau soal jatah aja nomer satu, tapi kalau soal istri nomer sekian. Suami apa tuh yang sifatnya seperti itu. Bener nggak, Bu?”Nah … kan, apa gue bilang, dia sampai nanyain ibu-ibu yang
Hari ini aku bahagia banget pokoknya, Mas Vino dengan senang hati mau nurutin kemauan aku. Seneng deh kalau dia jadi jinak gini. Nggak cuma itu, dia juga banyak ngalah sama Juleha. Entah apa alasannya, bahkan aku sendiri sampai nggak nyangka bisa seberani itu sama Mas Vino, padahal biasanya aku hanya diem aja, kicep nggak berani berkutik kalau di hadapan Mas Vino. Udah mirip anak kucing mau dieksekusi. Tapi sekarang … lihat saja, bahkan Mas Vino masih mau menemaniku makan di salah satu kedai yang tak jauh dari taman bermain. "Mas Vino ndak makan?" Aku menatap Mas Vino yang malah asik sama benda persegi di tangannya yang setiap hari selalu dielus dan dipijit. 'Istrinya aja jarang dibelai, masa benda keramat berupa handphone itu selalu menjadi teman utamanya sih.' "Mas Vino denger Juleha ngomong nggak sih?!" Tuh 'kan, jadi ngegas. Ya Allah maafkan Juleha kalau hari ini bikin stok sabar Mas Vino makin menipis, makin nambahin keriput di pipinya dia. "Iya, Le, denger. Kamu makan aja, g
Satu bulan sudah berlalu. Hubunganku dengan Mas Vino semakin membaik. Tidak ada masalah berat yang menghampiri kami selama itu. Semua membaik. Aktivitas Mas Vino juga masih sama, selalu membuatkanku susu ibu hamil untukku setiap pagi. Mengantarkanku pergi ke kampus kalau seandainya kami berangkat bareng dan dia ada waktu buat nganterin, kalau tidak … biasanya aku akan memesan online. Kalau pulang kuliah, biasanya Bagus yang mengantarkanku jika Mas Vino berhalangan tidak bisa menjemput.“Hai, Leha.”Aku mendongak, menatap seorang gadis cantik yang berpenampilan modis menghampiriku dan duduk di depanku. Aku tidak terlalu mengenal teman-teman kampusku. Maklum, aku jarang bergaul, hanya sedikit dari mereka yang kukenal, itu pun tidak terlalu akrab. Salah satunya Siska, gadis cantik yang sekarang sedang duduk di depanku ini, kabarnya tengah menyukai Bagus.“Hai.” Aku balas menyapanya canggung, kami tidak terlalu dekat memang.“Emm … boleh kan, gue duduk di sini.”“Silahkan. Ini tempat umum
Hari yang terasa panas. Siang tadi aku membantu Mama untuk mengurus tanaman di halaman, dan membantu menanam juga yang baru. Sebenarnya beliau sudah melarang, tapi melihat bagaimana antusiasnya mama mertuaku itu, aku jadi ikut tertarik. Tidak tega juga jika membiarkan beliau mengurusnya sendirian. Memang, kadang Bik Minah juga ikut membantu, atau pekerja kebun lainnya, tapi untuk beberapa waktu, Mama lebih suka melakukannya sendiri.“Iklan kok ditonton terus, memangnya nggak bosan apa?”Aku menoleh ke samping, di sana sudah ada Mas Vino yang duduk di sebelahku dengan salah satu kaki diangkat dan ditumpukan di atas pahanya. Punggungnya rubag di puggung sofa dengan tangan kirinya berada di belakangku dan tangan kanan yang terus mengambil cemilan di dalam toples yang ia letakkan di sisi kanannya. Ah iya, jangan lupakan kaki kirinya yang terus bergerak.“Mas, aku pingin makanan yang ada di televise itu.”“Iya. Nanti kalau keluar gue belikan.”“Nggak mau, maunya sekarang, Mas. Ini demi ana
“Mas Vino!” Gue melirik ke atas. Juleha semakin histeris. Ya Allah, ada-ada aja bini gue. Mana mikir suaminya udah koid lagi. Perut gue aja yang lagi sakit banget emang. Pingin nenangin dia aja nggak bisa. “Leha, gue baik-baik aja tahu. Lo nggak perlu khawatir.” Dengan suara lemah, gue berusaha untuk komunikasi sama Juleha. Semoga aja dia dengar, karena gue nggak sanggup buat teriak. “Tapi Mas Vino merem.” Ya masa gue harus salto terus kayang gitu, Le. Bisa aja bini gue mikir begitu. Wajarlah kalau gue merem, orang lagi kesakitan. Ckckck! Dia kenapa nggak peka-peka coba, untung saja istri. “Nggak apa-apa. Gue cuma ngantuk, sakitnya udah reda kok. Sekarang gue pingin tidur, lo juga tidur ya.” Gue melirik lagi ke atas dengan menahan rasa sakit. Memastikan wajah Juleha kalau dia udah nggak sekhawatir tadi. “Mas Vino beneran nggak apa-apa?” “Iya. Nggak apa-apa. Lo tidur telentang aja ya, kayaknya nggak nyaman kalau tidur dengan posisi begitu.” Juleha menggeleng. “Nggak ah. Tiba-tib
Langit menggelap, hawa dingin juga mulai merambah. Menambah suasana dingin semakin terasa di siang hari yang seharusnya terik ini. Sepertinya musim hujan mulai menyambangi bumi.Aku memegang sweater lembut yang membungkus tubuhku. Mas Vino membelikannya baru-baru ini, katanya biar aku nggak kedinginan terus mengecil. Ckckck, alasan seperti apa yang dia katakan. Oh iya, ujian kampusku juga semakin dekat. Mungkin beberapa hari nanti akan terlaksana. Aku harus belajar yang rajin, supaya mendapat nilai bagus dan tidak mengulang. Harus bisa bikin Mas Vino bangga.“Tapi gue nggak suka.”Eh? Suara ini kan … milik Bagus. Dia sedang berbicara dengan siapa?“Lo udah punya pacar?”Aku sedikit mengintip ke bawah tangga. Ternyata ada Bagus dan Siska. Benar dugaanku, gadis itu menyukai Bagus. Sebenarnya jika mereka bersama, keduanya sama-sama cocok. Bagus tampan, dan Siska juga cantik. Mereka akan menjadi pasangan serasi seandainya bersama.“Bukan urusan lo.”“Lo suka sama Juleha kan?”Bagus yang h
Sudah beberapa hari ini aku selalu mengabaikan Bagus. Dia yang awalnya mencoba mengalah akhirnya tidak tahan juga. Sampai akhirnya dia tanya di mana duduk permasalahannya hingga membuatku menjauhinya. Tapi lagi-lagi aku tidak memberitahukan yang sebenarnya. Selama ini Mas Vino juga tidak tahu kalau aku mulai menjauhi Bagus, karena kadang aku masih bersikap biasa saja saat Bagus sedang bersama Mas Vino.“Apa alasannya, Leha? Nggak mungkin kalau kamu tiba-tiba menjauhiku jika tidak ada sebabnya.” Lagi-lagi Bagus menanyakan hal ini. Dia menghalangi langkah kakiku yang hendak ke perpustakaan mencari buku untuk persiapan ujian nanti.‘Alasannya karena kamu menyukaiku, Gus. Aku nggak mau bikin kamu semakin sakit hati kalau terlalu dekat sama aku. Aku mau kamu bisa melupakan rasa sukamu itu, Gus.’Ingin sekali aku mengatakannya, tapi pada kenyataannya, bibirku hanya terkatup rapat. Diam. Hanya mataku yang terus menatap matanya. Di sana, aku menemukan pancaran kebingungan, seolah memintaku u