Hari yang terasa panas. Siang tadi aku membantu Mama untuk mengurus tanaman di halaman, dan membantu menanam juga yang baru. Sebenarnya beliau sudah melarang, tapi melihat bagaimana antusiasnya mama mertuaku itu, aku jadi ikut tertarik. Tidak tega juga jika membiarkan beliau mengurusnya sendirian. Memang, kadang Bik Minah juga ikut membantu, atau pekerja kebun lainnya, tapi untuk beberapa waktu, Mama lebih suka melakukannya sendiri.“Iklan kok ditonton terus, memangnya nggak bosan apa?”Aku menoleh ke samping, di sana sudah ada Mas Vino yang duduk di sebelahku dengan salah satu kaki diangkat dan ditumpukan di atas pahanya. Punggungnya rubag di puggung sofa dengan tangan kirinya berada di belakangku dan tangan kanan yang terus mengambil cemilan di dalam toples yang ia letakkan di sisi kanannya. Ah iya, jangan lupakan kaki kirinya yang terus bergerak.“Mas, aku pingin makanan yang ada di televise itu.”“Iya. Nanti kalau keluar gue belikan.”“Nggak mau, maunya sekarang, Mas. Ini demi ana
“Mas Vino!” Gue melirik ke atas. Juleha semakin histeris. Ya Allah, ada-ada aja bini gue. Mana mikir suaminya udah koid lagi. Perut gue aja yang lagi sakit banget emang. Pingin nenangin dia aja nggak bisa. “Leha, gue baik-baik aja tahu. Lo nggak perlu khawatir.” Dengan suara lemah, gue berusaha untuk komunikasi sama Juleha. Semoga aja dia dengar, karena gue nggak sanggup buat teriak. “Tapi Mas Vino merem.” Ya masa gue harus salto terus kayang gitu, Le. Bisa aja bini gue mikir begitu. Wajarlah kalau gue merem, orang lagi kesakitan. Ckckck! Dia kenapa nggak peka-peka coba, untung saja istri. “Nggak apa-apa. Gue cuma ngantuk, sakitnya udah reda kok. Sekarang gue pingin tidur, lo juga tidur ya.” Gue melirik lagi ke atas dengan menahan rasa sakit. Memastikan wajah Juleha kalau dia udah nggak sekhawatir tadi. “Mas Vino beneran nggak apa-apa?” “Iya. Nggak apa-apa. Lo tidur telentang aja ya, kayaknya nggak nyaman kalau tidur dengan posisi begitu.” Juleha menggeleng. “Nggak ah. Tiba-tib
Langit menggelap, hawa dingin juga mulai merambah. Menambah suasana dingin semakin terasa di siang hari yang seharusnya terik ini. Sepertinya musim hujan mulai menyambangi bumi.Aku memegang sweater lembut yang membungkus tubuhku. Mas Vino membelikannya baru-baru ini, katanya biar aku nggak kedinginan terus mengecil. Ckckck, alasan seperti apa yang dia katakan. Oh iya, ujian kampusku juga semakin dekat. Mungkin beberapa hari nanti akan terlaksana. Aku harus belajar yang rajin, supaya mendapat nilai bagus dan tidak mengulang. Harus bisa bikin Mas Vino bangga.“Tapi gue nggak suka.”Eh? Suara ini kan … milik Bagus. Dia sedang berbicara dengan siapa?“Lo udah punya pacar?”Aku sedikit mengintip ke bawah tangga. Ternyata ada Bagus dan Siska. Benar dugaanku, gadis itu menyukai Bagus. Sebenarnya jika mereka bersama, keduanya sama-sama cocok. Bagus tampan, dan Siska juga cantik. Mereka akan menjadi pasangan serasi seandainya bersama.“Bukan urusan lo.”“Lo suka sama Juleha kan?”Bagus yang h
Sudah beberapa hari ini aku selalu mengabaikan Bagus. Dia yang awalnya mencoba mengalah akhirnya tidak tahan juga. Sampai akhirnya dia tanya di mana duduk permasalahannya hingga membuatku menjauhinya. Tapi lagi-lagi aku tidak memberitahukan yang sebenarnya. Selama ini Mas Vino juga tidak tahu kalau aku mulai menjauhi Bagus, karena kadang aku masih bersikap biasa saja saat Bagus sedang bersama Mas Vino.“Apa alasannya, Leha? Nggak mungkin kalau kamu tiba-tiba menjauhiku jika tidak ada sebabnya.” Lagi-lagi Bagus menanyakan hal ini. Dia menghalangi langkah kakiku yang hendak ke perpustakaan mencari buku untuk persiapan ujian nanti.‘Alasannya karena kamu menyukaiku, Gus. Aku nggak mau bikin kamu semakin sakit hati kalau terlalu dekat sama aku. Aku mau kamu bisa melupakan rasa sukamu itu, Gus.’Ingin sekali aku mengatakannya, tapi pada kenyataannya, bibirku hanya terkatup rapat. Diam. Hanya mataku yang terus menatap matanya. Di sana, aku menemukan pancaran kebingungan, seolah memintaku u
“Lo kenapa, Sih? Tiap mau berangkat kuliah murung terus. Ada masalah ya?” Perkataan Mas Vino berhasil membuat lamunanku buyar. Ternyata kita sudah sampai, dan aku nggak sadar.“Nggak kok. Cuma kepikiran ujian nanti.”Sebenarnya itu hanya alasanku saja. Aku kepikiran sama omongan teman-teman di kampus yang mengatakan kalau aku hamil di luar nikah. Kenapa mereka mengasumsikan pendapatnya sendiri. Padahal kan, aku punya suami. Bahkan dia kerap kali mengantar-jemput aku setiap kuliah. Harusnya itu sudah cukup jadi jawaban kan.“Nggak usah dipikirin terlalu dalam. Santai aja. Jangan jadikan ini semua beban buat lo. Semangat kuliahnya. Semester depan, mungkin kamu udah bisa izin cuti.”“Semester depan?”Mas Vino mengangguk. “Kandungan lo kan, udah jalan empat bulan, udah mau masuk lima bulan malah.”Oh iya, aku sampai lupa. Perutku kan, udah mulai keliatan. Bahkan terlihat lebih besar dari ibu hamil normal lainnya.“Nanti pulangnya minta dianterin Bagus aja, ya. Toh nanti kalian selesainya
“Untung aja, Vin. Sekali lagi gue bilang, untung aja.” Laki-laki yang ada di sebelah gue ini menatap kami berdua dengan wajah lega. Dia sempat ikut panik saat gue datang dengan Juleha yang berada di gendongan gue dan nggak sadarkan diri.Satu jam lebih gue dilanda rasa panik dan menunggu Juleha selesai ditangani dokter. Tapi syukurlah, penantian itu memberikan kabar baik. Mereka berhasil diselamatkan lagi, ini kali kedua Juleha seperti ini, dan kata dokter, jika sampai Juleha mengalami hal serupa seperti ini lagi, dia tidak bisa menjamin untuk keselamatannya.Sangat cukup untuk memukul gue bukan? Dan gue sangat berharap kalau kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Cukup kali ini aja gue dibuat panik begini.“Gue tinggal dulu ya.” Aris menepuk pundak gue beberapa kali yang gue balas dengan anggukan.“Thanks. Maaf ya, gue nyuekin lo.”“Nggak apa-apa. Gue paham kok.”Dengan posisi masih mendongak, gue tersenyum ke arah Aris, yang tidak lama setelah itu pergi keluar meninggalkan
Satu minggu setelah masa pemulihanku, Mama langsung mengadakan syukuran. Persis seperti apa yang direncanakan. Bukan hanya itu, ada yang membuatku lebih terkejut lagi. Kalian tahu apa?Beberapa teman kampusku juga datang. Mereka diundang sama Mas Vino, entah aku dekat dengan mereka atau tidak. Tapi dari yang kudengar, setelah kejadian aku hampir keguguran itu, dia pergi ke kampusku untuk mengundang beberapa orang yang ditemuinya agar menghadiri acara syukuran ini.Mas Vino nekat?Tentu saja. Siapa yang bisa menghentikan kekonyolannya itu selain Mama? Sedangkan beliau saja mendukung Mas Vino untuk sekarang. Yah … Mas Vino sudah tahu semuanya. Bagus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Untung saja aku tidak kena omelannya. Tapi syaratnya, dia melarangku untuk tidak memberitahu apapun sama Mama, dia nggak mau Mama sampai khawatir, dan aku pun menyanggupinya, toh aku memang tidak ada rencana mengatakan apapun sama Mama.Ah iya, tidak hanya itu. Siska dan Bagus sempat datang juga ke s
Beberapa hari ini, Juleha sering banget bilang kalau sikap gue makin manis. Sebenarnya gue merubah sikap bukan semata-mata karena bayi yang di kandungnya, tapi juga masalah perasaan gue sendiri. Gue akui kalau semakin hari, gue semakin perhatian sama Juleha. Entahlah, gue belum tahu pasti apa yang gue rasakan benar-benar cinta atau hanya sekedar rasa nyaman karena sering barengan. Yang pasti, gue selalu bahagia di samping Juleha, bahagia lihat dia tertawa apalagi itu gara-gara gue.Menurut kalian, apakah itu cinta?Oh iya, kandungan Juleha udah menginjak tujuh bulan, jangan ditanya bagaimana keadaan gue selama itu, lebih banyak disiksa Juleha. Kalau bininya Rayhan sama Satria ngidamnya masih melibatkan sohibnya, Juleha sama sekali nggak, anak gue nggak ada tuh yang nyebut mereka. Padahal gue udah pingin banget ngerasain ngerjain mereka lewat anak gue, tapi sepertinya dewi fortuna tidak berpihak sama gue.Satu lagi, Juleha beberapa hari kemarin mengajukan pertanyaan sama gue. Katanya,
Gue menatap bocil gue yang lagi main air, dia cuma pakai sempak doang di depan rumah sambil nyiprat-nyipratin air ke kucing yang kemarin ia temuin di got. Padahal itu kucing imut banget lho, tapi nggak tahu kenapa bisa nyungsep di got. Gue kira punya tetangga, tapi nggak ada tuh tetangga yang heboh nyariin kucingnya. Ya udah, sekarang dia rawat aja. "Dek, kasian kucingnya jangan dicipratin air terus." Gue menegur Ara yang masih asyik mainin air. "Ndak apa-apa, Yah. Lihat, lucu ya Yah, dia lari-lari." Dasar bocil! Dibilangin malah ketawa. Batu banget sih, anak siapa coba. "Ya Allah, Ara, kenapa cuma pakai sempak doang, Nak. Nanti masuk angin lho." Juleha yang baru saja datang langsung meletakkan kopiku di atas meja yang berada di dekatku. Lalu setelahnya dia hendak mendekati anaknya yang sekarang ngambil selang dan dimainin airnya sampai tumpah ke mana-mana. "Udah, Le, biarin aja. Tadi udah gue deketin suruh pakai kaos dalam nggak mau dia. Nih lihat, baju aku basah." Juleha meliha
“Kenapa, Mas?” Langkah kakiku langsung berhent begitu melihat Mas Vino yang menyentuh beberapa bagian bajunya, seperti tengah mencari sesuatu. “Handphone-ku nggak ada.” “Lho? Kok bisa? Mas Vino kan, rajin banget pijitin benda itu. Kok bisa hilang?” tanyaku ikutan panik. Apalagi itu bukan barang murah. Mengingat bagaimana bentuk gambar apel yang kegigit di belakang benda itu. Mas Vino nyengir lebar sambil menggaruk pelipisnya. “Nggak hilang kok, tapi kayaknya ketinggalan di mobil. Aku ambil dulu ya, kamu duluan saja.” “Tapi nanti kalau Mas Vino nggak nemuin Juleha gimana?” “Emang kamu sekecil upilnya semut apa, sampai nggak kelihatan. Tenang aja, dimanapun kamu bersembunyi, aku bakal tetep nemuin kamu.” Tuh kan, kumat lagi gombalannya. Ara saja sampai melongo melihat tingkah laku bapaknya itu. “Yah, Ala ajalin ngomong begitu dong.” “Ngomong apa?” Mas Vino yang semula ingin pergi jadi urung karena omongan anaknya. “Yang sepelti Ayah bilang ke Ibu tadi.” Mas Vino mengernyitkan a
Ara terlihat tertawa riang saat bermain dengan kakeknya. Saat ini kami tengah berada di rumah Pak Lik Jatmiko, sesekali kami memang mengunjungi beliau, kadang juga sampai bermalam di sini. Beliau sudah kembali ke kampong halamannya. Jadi, selama ada waktu luang atau sedang berlibur, kami akan datang ke sini, kadang juga beliau yang datang ke rumahnya Mas Vino.Tanggapan Mama mertuaku?Tentu saja Mama menyambutnya dengan baik. Tidak semua orang sugih itu kejam kayak di pilm-pilm. Meski pada awalnya aku juga berpikir begitu sih. Hihihi.Bukan hanya itu, Mas Vino juga memberi modal untuk lelaki paruh baya ini agar tidak perlu lagi bekerja keras di luar. Sekarang beliau jualan sembako di rumahnya. Toko kecil yang dibangun atas bantuan Mas Vino. Beruntung sekali aku mempunyai suami sepertinya.“Lho, cucunya berkunjung lagi, Pak?” Salah satu pembeli yang hendak membeli sesuatu itu bertanya saat melihat Ara sedang bermain di took. Aku hanya mengamatinya dari dalam sebelum akhirnya masuk ke d
Empat tahun sudah berlalu, kehidupan gue benar-benar berubah. Di umur gue yang sudah menginjak tiga puluh dua tahun ini, akhirnya gue mempunyai keluarga kecil, bersama seorang wanita yang tak pernah gue sangka sebelumnya. Seorang wanita ndeso, katrok yang jauh dari kriteria idaman gue selama ini. Tapi kalau Tuhan sudah menggariskan dia jodoh gue, gue bisa apa selain menerima, toh … ternyata dia juga jadi sumber kebahagiaan gue. Oh iya, anak gue udah umur empat tahun seperempat, dan pastinya makin aktif dong. Dia udah bisa jalan ke sana-ke mari nangkepin nyamuk, sampai emaknya aja dibuat kualahan sama tingkahnya yang begitu aktif. Awalnya gue sedih waktu lihat kondisi dia saat itu. Gue takut kalau dia bakal berbeda dengan bayi normal lainnya, tapi alhamdulilah, sekali lagi gue wajib bersyukur dengan perkembangannya sekarang yang begitu aktif dan cantik. Bibit cogan gue nurun ke dia dong pastinya, tapi ini versi cewek. "Ayah." Arabella berteriak begitu melihat gue keluar dari mobil, di
“Mas, ini gimana cara pakainya?”“Nggak tahu, aku nggak pernah pakai soalnya.”Juleha kembali memberenggut. Pagi-pagi sudah heboh sendiri. Maklum, hari ini adalah hari pertamanya kuliah setelah mengambil cuti. Anak kita juga sudah pulang ke rumah. Dia sudah diperbolehkan keluar dari incubator. Begitu dia diperbolehkan pulang, Mama dengan antusiasnya langsung menjemput cucu kesayangannya itu. Bahkan besoknya langsung mengadakan syukuran atas pulangnya Arabella.“Mas Vino bantuin dong!”Gue yang awalnya lagi siap-siap dengan mengancingkan lengan kemeja jadi urung, dan malah mendekati Juleha yang lagi memegang bulatan putih di tangannya itu. Untung saja Arabella sedang diajak Mama jalan-jalan di depan rumah, sambil sekalian berjemur. Jadi kami bisa siap-siap tanpa khawatir.“Biasanya ada cara pakainya lho, Le. Dikemasannya apa nggak ada?”“Oh iya-ya, coba Mas Vino baca biar Juleha yang praktikan.”“Ha?” Gue sampai menggaruk rambut mendengar usulan Juleha. Ada-ada saja sih. Duh, harusnya
"Emh." Aku mengerjapkan mata perlahan, tapi saat hendak menarik tanganku malah terasa berat, ternyata ada yang memegangnya. Melirik jam yang tergantung di dinding, ternyata udah mau masuk subuh.Aku mengusap surai hitam yang saat ini tengah rebah dengan wajah yang menghadap ke arahku. Mas Vino begitu manis, dia bahkan rela menjagaku sampai pagi begini, apalagi dengan posisi seperti ini. Pasti pegal sekali. Kenapa dia tidak tidur di sofa saja sih, kalau bangun nanti, pasti lehernya sakit.Aku menghembuskan napas perlahan, menyadari hari di mana Mas Vino ketemu sama Mbak Lidya dan berpelukan mesra, mereka memang pasangangan yang romantis, aku saja yang tak tahu dirinya mengiyakan permintaan Mama untuk menikah dengan Mas Vino. Sesak rasanya menyadari kalau suamiku belum juga mencintaiku. Mencintai sendirian itu menyakitkan. Tahu yang lebih parahnya lagi di mana? Aku malah berhalusinasi Mas Vino mengatakan mencintaiku dan tidak ingin merawat anaknya kalau bukan denganku. Aneh sekali 'kan.
Sepi. Itu yang gue rasain sekarang, gue kagen banget sama celotehnya Juleha, sama sikap katroknya yang dulu bikin gue ogah-ogahan dan ilfiel, bahkan sama bibir manyunnya yang sering bikin gue gemes. Kemarin gue emang salah sampai membandingkan scenario temen sama yang sudah diusun ke gue. Harusnya gue bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjadi Ayah. Lagi pula, setiap orang pasti ada jalan ceritanya sendiri dalam menggapai kebahagiannya.Sebenarnya kalau disuruh pilih, gue pingin banget kejadian kemarin adalah mimpi buruk belaka, dan saat bangun sudah disambut dengan senyuman Juleha, tapi apa daya … kalau penulis scenario hidup gue berkata lain, gue bisa apa selain menerima."Vin, kamu mau ke rumah sakit sekarang?" Mama menghentikan aktifitasnya begitu melihat gue turun dari tangga."Iya, Ma, kasian anak Vino sendirian." Gue tersenyum."Halah, alasan, paling kamu mau apel sama suster, kan." Mama memicing curiga."Hahaha, apanya yang mau diapelin sih, Ma. Menantu kesayangan
Gue duduk di ruang tunggu dengan tangan gemetaran, di samping gue ada Pak Lik Jatmiko yang dari tadi mencoba menguatkan dengan sesekali mengusap punggung gue. Kepala gue dari tadi menunduk dengan posisis tangan saling menyatuh. Sungguh, perasaan gue nggak karuan, bahkan kemungkinan terburuk dari tadi terus kepikiran, meskipun sudah mencoba meyakinkan diri bahwa mereka akan baik-baik saja, tapi bayangan buruk sialan itu tetap aja berkelebat.Tes!Sial! Kenapa gue nangis lagi sih, cengeng banget. Andai saja gue dibolehin masuk buat lihat kondisi Juleha atau ikut menanganinya, mungkin gue sekarang bisa menyaksikan perjuangannya di dalam, tapi apa daya, para pihak medis yang menangani Juleha melarang gue, katanya nanti ditakutkan gue panik di dalam sana dan menganggu proses operasi."Vin?"Gue menoleh ke arah orang yang memanggil gue. Rayhan, Satria, dan Aris datang menghampiri gue dan menepuk pelan punggung gue. Gue emang sengaja ngabarin mereka buat meminta do'a untuk keselamatan anak d
Wanita ini masih tidak menjawab, dia malah berontak mencoba melepaskan cengkraman gue. Tidak mau kami jadi pusat perhatian dan terjadi drama kayak film Bollywood, gue langsung aja narik dia keluar, kemudian memutar tubuhnya dan menghadapkan ke arah gue.."Le, jangan nunduk. Angkat kepala kamu."Wanita ini masih menggeleng, rambutnya yang panjang nutupin mukanya, makanya nggak terlalu jelas. Karena nggak ada pilihan lain, gue sedikit memaksanya untuk mendongakkan kepalanya, lalu menyibak rambut di depan wajahnya, dan benar saja dugaan gue."Aku kangen sama kamu, Le. Kenapa pergi gitu aja, hmm?" Gue langsung memeluk dia di pinggir jalan, bodo amat jika kelakuan kita jadi tontonan. Gue terlalu rindu sama wanita ini. meskipun ada rasa kecewa, karena tidak ada balasan sama sekali dari wanita yang ada dalam rengkuhan gue ini. Bahkan setelah lima detik berlalu."Mas Vino lepasin Juleha, anak kita penyet ntar, kalau dipeluk keras begini."Gue terkekeh, senang sekali mendengar suaranya kembali