Gue menatap wanita yang ada di depan gue. Wajahnya masih sama seperti terakhir kali kami bertemu. Tetap cantik. Tapi sayang, di balik wajahnya yang catik itu, dia pernah melakukan tindakan yang membuat semua orang kecewa."Udah berapa lama anda merasakan gejala itu?""Sekitar satu minggu."Gue mengangguk, kemudian mencatat hasil dari keluhannya."Ini nanti resepnya anda kasih ke bagian obat ya. Anda nggak apa-apa kok, itu cuma gejala anemia dan kurangnya istirahat. Anda hanya perlu mengkonsumsi vitamin penambah darah, makanan bergizi dan istirahat yang cukup." Gue tersenyum sambil menyodorkan kertas yang berisi resep buat Lidya. Bagaimanapun, dia pasien gue sekarang. Meskipun pernah dikecewakan, bukan berarti gue mengabaikan dia yang datang untuk berobat.Masih ingat dengan Lidya? Wanita yang dulu pernah dijodohkan sama gue. Seseorang yang tidak punya rasa tanggung jawab dan ninggalin pernikahan begitu saja."Makasih, Dok.""Sama-sama. Semoga lekas membaik ya." Lagi-lagi gue mengemban
Aku melihat punggung Mas Vino yang hilang di balik pintu. Semarah itukah dia padaku, sampai tidak mau melihat wajahku sebelum pergi, bahkan tak memperdulikan perasaanku setelah dibentaknya tadi.Iya, aku tahu apa yang tadi kulakukan memang salah. Menjadikan hal tersebut sebagai lelucon. Tidak seharusnya aku melakukan itu. Tapi ketahuilah, sebenarnya tadi aku memang kesakitan, tapi begitu melihat ekspresi khawatir di wajahnya, akhirnya aku mencoba tertawa, agar Mas Vino tidak terlalu panik. Apalagi dia bilang harus segera berangkat ke rumah sakit, mana kutahu kalau akhirnya malah memancing kemarahannya.Aku menghembuskan napas pelan, kemudian mengusap perutku yang tadi sempat nyeri. Untunglah sekarang sudah membaik.Apa aku kejar Mas Vino aja ya, setidaknya meyakinkannya agar tidak marah lagi padaku. Soalnya wajah kecewanya tadi masih membekas di ingatanku.Akhirnya aku segera ke bawah, sebelumnya menutup pintu kamar terlebih dahulu, di sana aku melihat Mama dan Bik Minah yang sedang m
Sudah hampir satu minggu Juleha pergi ninggalin gue, selama itu juga gue kayak orang nggak punya semangat hidup. Baru kali ini gue kayak gini. Mama yang awalnya uring-uringan sama gue setelah tahu kejadian yang sebenarnya, sekarang malah prihatin ngeliatin gue.Awalnya Mama bingung waktu gue sempat pulang dan nyari Juleha, bingung ketika sore hari gue kembali ke rumah dengan keadaan kacau. Gue sempat balik lagi ke rumah sakit karena harus menyelesaikan tanggung jawab gue dulu, dan balik ke rumah kesorean dari biasanya. Pada akhirnya gue jelasin semuanya, bukan simpati yang Mama berikan, tapi tamparan. Untuk pertama kalinya selama hidup gue Nyokap ngelakuin hal itu. Tahu, apa yang diucapkan Mama saat gue udah selesai cerita."Mama harap kamu tidak menyesal dengan apa yang udah kamu lakuin."Dan see … gue bener-bener nyesel sekarang. Menyesal pernah mengabaikan Juleha dulu, menyesal tidak pernah mengatakan mencintainya, menyesal telah menuruti kemauan Lidya, dan menyesal karena terlamba
Wanita ini masih tidak menjawab, dia malah berontak mencoba melepaskan cengkraman gue. Tidak mau kami jadi pusat perhatian dan terjadi drama kayak film Bollywood, gue langsung aja narik dia keluar, kemudian memutar tubuhnya dan menghadapkan ke arah gue.."Le, jangan nunduk. Angkat kepala kamu."Wanita ini masih menggeleng, rambutnya yang panjang nutupin mukanya, makanya nggak terlalu jelas. Karena nggak ada pilihan lain, gue sedikit memaksanya untuk mendongakkan kepalanya, lalu menyibak rambut di depan wajahnya, dan benar saja dugaan gue."Aku kangen sama kamu, Le. Kenapa pergi gitu aja, hmm?" Gue langsung memeluk dia di pinggir jalan, bodo amat jika kelakuan kita jadi tontonan. Gue terlalu rindu sama wanita ini. meskipun ada rasa kecewa, karena tidak ada balasan sama sekali dari wanita yang ada dalam rengkuhan gue ini. Bahkan setelah lima detik berlalu."Mas Vino lepasin Juleha, anak kita penyet ntar, kalau dipeluk keras begini."Gue terkekeh, senang sekali mendengar suaranya kembali
Gue duduk di ruang tunggu dengan tangan gemetaran, di samping gue ada Pak Lik Jatmiko yang dari tadi mencoba menguatkan dengan sesekali mengusap punggung gue. Kepala gue dari tadi menunduk dengan posisis tangan saling menyatuh. Sungguh, perasaan gue nggak karuan, bahkan kemungkinan terburuk dari tadi terus kepikiran, meskipun sudah mencoba meyakinkan diri bahwa mereka akan baik-baik saja, tapi bayangan buruk sialan itu tetap aja berkelebat.Tes!Sial! Kenapa gue nangis lagi sih, cengeng banget. Andai saja gue dibolehin masuk buat lihat kondisi Juleha atau ikut menanganinya, mungkin gue sekarang bisa menyaksikan perjuangannya di dalam, tapi apa daya, para pihak medis yang menangani Juleha melarang gue, katanya nanti ditakutkan gue panik di dalam sana dan menganggu proses operasi."Vin?"Gue menoleh ke arah orang yang memanggil gue. Rayhan, Satria, dan Aris datang menghampiri gue dan menepuk pelan punggung gue. Gue emang sengaja ngabarin mereka buat meminta do'a untuk keselamatan anak d
Sepi. Itu yang gue rasain sekarang, gue kagen banget sama celotehnya Juleha, sama sikap katroknya yang dulu bikin gue ogah-ogahan dan ilfiel, bahkan sama bibir manyunnya yang sering bikin gue gemes. Kemarin gue emang salah sampai membandingkan scenario temen sama yang sudah diusun ke gue. Harusnya gue bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjadi Ayah. Lagi pula, setiap orang pasti ada jalan ceritanya sendiri dalam menggapai kebahagiannya.Sebenarnya kalau disuruh pilih, gue pingin banget kejadian kemarin adalah mimpi buruk belaka, dan saat bangun sudah disambut dengan senyuman Juleha, tapi apa daya … kalau penulis scenario hidup gue berkata lain, gue bisa apa selain menerima."Vin, kamu mau ke rumah sakit sekarang?" Mama menghentikan aktifitasnya begitu melihat gue turun dari tangga."Iya, Ma, kasian anak Vino sendirian." Gue tersenyum."Halah, alasan, paling kamu mau apel sama suster, kan." Mama memicing curiga."Hahaha, apanya yang mau diapelin sih, Ma. Menantu kesayangan
"Emh." Aku mengerjapkan mata perlahan, tapi saat hendak menarik tanganku malah terasa berat, ternyata ada yang memegangnya. Melirik jam yang tergantung di dinding, ternyata udah mau masuk subuh.Aku mengusap surai hitam yang saat ini tengah rebah dengan wajah yang menghadap ke arahku. Mas Vino begitu manis, dia bahkan rela menjagaku sampai pagi begini, apalagi dengan posisi seperti ini. Pasti pegal sekali. Kenapa dia tidak tidur di sofa saja sih, kalau bangun nanti, pasti lehernya sakit.Aku menghembuskan napas perlahan, menyadari hari di mana Mas Vino ketemu sama Mbak Lidya dan berpelukan mesra, mereka memang pasangangan yang romantis, aku saja yang tak tahu dirinya mengiyakan permintaan Mama untuk menikah dengan Mas Vino. Sesak rasanya menyadari kalau suamiku belum juga mencintaiku. Mencintai sendirian itu menyakitkan. Tahu yang lebih parahnya lagi di mana? Aku malah berhalusinasi Mas Vino mengatakan mencintaiku dan tidak ingin merawat anaknya kalau bukan denganku. Aneh sekali 'kan.
“Mas, ini gimana cara pakainya?”“Nggak tahu, aku nggak pernah pakai soalnya.”Juleha kembali memberenggut. Pagi-pagi sudah heboh sendiri. Maklum, hari ini adalah hari pertamanya kuliah setelah mengambil cuti. Anak kita juga sudah pulang ke rumah. Dia sudah diperbolehkan keluar dari incubator. Begitu dia diperbolehkan pulang, Mama dengan antusiasnya langsung menjemput cucu kesayangannya itu. Bahkan besoknya langsung mengadakan syukuran atas pulangnya Arabella.“Mas Vino bantuin dong!”Gue yang awalnya lagi siap-siap dengan mengancingkan lengan kemeja jadi urung, dan malah mendekati Juleha yang lagi memegang bulatan putih di tangannya itu. Untung saja Arabella sedang diajak Mama jalan-jalan di depan rumah, sambil sekalian berjemur. Jadi kami bisa siap-siap tanpa khawatir.“Biasanya ada cara pakainya lho, Le. Dikemasannya apa nggak ada?”“Oh iya-ya, coba Mas Vino baca biar Juleha yang praktikan.”“Ha?” Gue sampai menggaruk rambut mendengar usulan Juleha. Ada-ada saja sih. Duh, harusnya
Gue menatap bocil gue yang lagi main air, dia cuma pakai sempak doang di depan rumah sambil nyiprat-nyipratin air ke kucing yang kemarin ia temuin di got. Padahal itu kucing imut banget lho, tapi nggak tahu kenapa bisa nyungsep di got. Gue kira punya tetangga, tapi nggak ada tuh tetangga yang heboh nyariin kucingnya. Ya udah, sekarang dia rawat aja. "Dek, kasian kucingnya jangan dicipratin air terus." Gue menegur Ara yang masih asyik mainin air. "Ndak apa-apa, Yah. Lihat, lucu ya Yah, dia lari-lari." Dasar bocil! Dibilangin malah ketawa. Batu banget sih, anak siapa coba. "Ya Allah, Ara, kenapa cuma pakai sempak doang, Nak. Nanti masuk angin lho." Juleha yang baru saja datang langsung meletakkan kopiku di atas meja yang berada di dekatku. Lalu setelahnya dia hendak mendekati anaknya yang sekarang ngambil selang dan dimainin airnya sampai tumpah ke mana-mana. "Udah, Le, biarin aja. Tadi udah gue deketin suruh pakai kaos dalam nggak mau dia. Nih lihat, baju aku basah." Juleha meliha
“Kenapa, Mas?” Langkah kakiku langsung berhent begitu melihat Mas Vino yang menyentuh beberapa bagian bajunya, seperti tengah mencari sesuatu. “Handphone-ku nggak ada.” “Lho? Kok bisa? Mas Vino kan, rajin banget pijitin benda itu. Kok bisa hilang?” tanyaku ikutan panik. Apalagi itu bukan barang murah. Mengingat bagaimana bentuk gambar apel yang kegigit di belakang benda itu. Mas Vino nyengir lebar sambil menggaruk pelipisnya. “Nggak hilang kok, tapi kayaknya ketinggalan di mobil. Aku ambil dulu ya, kamu duluan saja.” “Tapi nanti kalau Mas Vino nggak nemuin Juleha gimana?” “Emang kamu sekecil upilnya semut apa, sampai nggak kelihatan. Tenang aja, dimanapun kamu bersembunyi, aku bakal tetep nemuin kamu.” Tuh kan, kumat lagi gombalannya. Ara saja sampai melongo melihat tingkah laku bapaknya itu. “Yah, Ala ajalin ngomong begitu dong.” “Ngomong apa?” Mas Vino yang semula ingin pergi jadi urung karena omongan anaknya. “Yang sepelti Ayah bilang ke Ibu tadi.” Mas Vino mengernyitkan a
Ara terlihat tertawa riang saat bermain dengan kakeknya. Saat ini kami tengah berada di rumah Pak Lik Jatmiko, sesekali kami memang mengunjungi beliau, kadang juga sampai bermalam di sini. Beliau sudah kembali ke kampong halamannya. Jadi, selama ada waktu luang atau sedang berlibur, kami akan datang ke sini, kadang juga beliau yang datang ke rumahnya Mas Vino.Tanggapan Mama mertuaku?Tentu saja Mama menyambutnya dengan baik. Tidak semua orang sugih itu kejam kayak di pilm-pilm. Meski pada awalnya aku juga berpikir begitu sih. Hihihi.Bukan hanya itu, Mas Vino juga memberi modal untuk lelaki paruh baya ini agar tidak perlu lagi bekerja keras di luar. Sekarang beliau jualan sembako di rumahnya. Toko kecil yang dibangun atas bantuan Mas Vino. Beruntung sekali aku mempunyai suami sepertinya.“Lho, cucunya berkunjung lagi, Pak?” Salah satu pembeli yang hendak membeli sesuatu itu bertanya saat melihat Ara sedang bermain di took. Aku hanya mengamatinya dari dalam sebelum akhirnya masuk ke d
Empat tahun sudah berlalu, kehidupan gue benar-benar berubah. Di umur gue yang sudah menginjak tiga puluh dua tahun ini, akhirnya gue mempunyai keluarga kecil, bersama seorang wanita yang tak pernah gue sangka sebelumnya. Seorang wanita ndeso, katrok yang jauh dari kriteria idaman gue selama ini. Tapi kalau Tuhan sudah menggariskan dia jodoh gue, gue bisa apa selain menerima, toh … ternyata dia juga jadi sumber kebahagiaan gue. Oh iya, anak gue udah umur empat tahun seperempat, dan pastinya makin aktif dong. Dia udah bisa jalan ke sana-ke mari nangkepin nyamuk, sampai emaknya aja dibuat kualahan sama tingkahnya yang begitu aktif. Awalnya gue sedih waktu lihat kondisi dia saat itu. Gue takut kalau dia bakal berbeda dengan bayi normal lainnya, tapi alhamdulilah, sekali lagi gue wajib bersyukur dengan perkembangannya sekarang yang begitu aktif dan cantik. Bibit cogan gue nurun ke dia dong pastinya, tapi ini versi cewek. "Ayah." Arabella berteriak begitu melihat gue keluar dari mobil, di
“Mas, ini gimana cara pakainya?”“Nggak tahu, aku nggak pernah pakai soalnya.”Juleha kembali memberenggut. Pagi-pagi sudah heboh sendiri. Maklum, hari ini adalah hari pertamanya kuliah setelah mengambil cuti. Anak kita juga sudah pulang ke rumah. Dia sudah diperbolehkan keluar dari incubator. Begitu dia diperbolehkan pulang, Mama dengan antusiasnya langsung menjemput cucu kesayangannya itu. Bahkan besoknya langsung mengadakan syukuran atas pulangnya Arabella.“Mas Vino bantuin dong!”Gue yang awalnya lagi siap-siap dengan mengancingkan lengan kemeja jadi urung, dan malah mendekati Juleha yang lagi memegang bulatan putih di tangannya itu. Untung saja Arabella sedang diajak Mama jalan-jalan di depan rumah, sambil sekalian berjemur. Jadi kami bisa siap-siap tanpa khawatir.“Biasanya ada cara pakainya lho, Le. Dikemasannya apa nggak ada?”“Oh iya-ya, coba Mas Vino baca biar Juleha yang praktikan.”“Ha?” Gue sampai menggaruk rambut mendengar usulan Juleha. Ada-ada saja sih. Duh, harusnya
"Emh." Aku mengerjapkan mata perlahan, tapi saat hendak menarik tanganku malah terasa berat, ternyata ada yang memegangnya. Melirik jam yang tergantung di dinding, ternyata udah mau masuk subuh.Aku mengusap surai hitam yang saat ini tengah rebah dengan wajah yang menghadap ke arahku. Mas Vino begitu manis, dia bahkan rela menjagaku sampai pagi begini, apalagi dengan posisi seperti ini. Pasti pegal sekali. Kenapa dia tidak tidur di sofa saja sih, kalau bangun nanti, pasti lehernya sakit.Aku menghembuskan napas perlahan, menyadari hari di mana Mas Vino ketemu sama Mbak Lidya dan berpelukan mesra, mereka memang pasangangan yang romantis, aku saja yang tak tahu dirinya mengiyakan permintaan Mama untuk menikah dengan Mas Vino. Sesak rasanya menyadari kalau suamiku belum juga mencintaiku. Mencintai sendirian itu menyakitkan. Tahu yang lebih parahnya lagi di mana? Aku malah berhalusinasi Mas Vino mengatakan mencintaiku dan tidak ingin merawat anaknya kalau bukan denganku. Aneh sekali 'kan.
Sepi. Itu yang gue rasain sekarang, gue kagen banget sama celotehnya Juleha, sama sikap katroknya yang dulu bikin gue ogah-ogahan dan ilfiel, bahkan sama bibir manyunnya yang sering bikin gue gemes. Kemarin gue emang salah sampai membandingkan scenario temen sama yang sudah diusun ke gue. Harusnya gue bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjadi Ayah. Lagi pula, setiap orang pasti ada jalan ceritanya sendiri dalam menggapai kebahagiannya.Sebenarnya kalau disuruh pilih, gue pingin banget kejadian kemarin adalah mimpi buruk belaka, dan saat bangun sudah disambut dengan senyuman Juleha, tapi apa daya … kalau penulis scenario hidup gue berkata lain, gue bisa apa selain menerima."Vin, kamu mau ke rumah sakit sekarang?" Mama menghentikan aktifitasnya begitu melihat gue turun dari tangga."Iya, Ma, kasian anak Vino sendirian." Gue tersenyum."Halah, alasan, paling kamu mau apel sama suster, kan." Mama memicing curiga."Hahaha, apanya yang mau diapelin sih, Ma. Menantu kesayangan
Gue duduk di ruang tunggu dengan tangan gemetaran, di samping gue ada Pak Lik Jatmiko yang dari tadi mencoba menguatkan dengan sesekali mengusap punggung gue. Kepala gue dari tadi menunduk dengan posisis tangan saling menyatuh. Sungguh, perasaan gue nggak karuan, bahkan kemungkinan terburuk dari tadi terus kepikiran, meskipun sudah mencoba meyakinkan diri bahwa mereka akan baik-baik saja, tapi bayangan buruk sialan itu tetap aja berkelebat.Tes!Sial! Kenapa gue nangis lagi sih, cengeng banget. Andai saja gue dibolehin masuk buat lihat kondisi Juleha atau ikut menanganinya, mungkin gue sekarang bisa menyaksikan perjuangannya di dalam, tapi apa daya, para pihak medis yang menangani Juleha melarang gue, katanya nanti ditakutkan gue panik di dalam sana dan menganggu proses operasi."Vin?"Gue menoleh ke arah orang yang memanggil gue. Rayhan, Satria, dan Aris datang menghampiri gue dan menepuk pelan punggung gue. Gue emang sengaja ngabarin mereka buat meminta do'a untuk keselamatan anak d
Wanita ini masih tidak menjawab, dia malah berontak mencoba melepaskan cengkraman gue. Tidak mau kami jadi pusat perhatian dan terjadi drama kayak film Bollywood, gue langsung aja narik dia keluar, kemudian memutar tubuhnya dan menghadapkan ke arah gue.."Le, jangan nunduk. Angkat kepala kamu."Wanita ini masih menggeleng, rambutnya yang panjang nutupin mukanya, makanya nggak terlalu jelas. Karena nggak ada pilihan lain, gue sedikit memaksanya untuk mendongakkan kepalanya, lalu menyibak rambut di depan wajahnya, dan benar saja dugaan gue."Aku kangen sama kamu, Le. Kenapa pergi gitu aja, hmm?" Gue langsung memeluk dia di pinggir jalan, bodo amat jika kelakuan kita jadi tontonan. Gue terlalu rindu sama wanita ini. meskipun ada rasa kecewa, karena tidak ada balasan sama sekali dari wanita yang ada dalam rengkuhan gue ini. Bahkan setelah lima detik berlalu."Mas Vino lepasin Juleha, anak kita penyet ntar, kalau dipeluk keras begini."Gue terkekeh, senang sekali mendengar suaranya kembali