Warning 21+
Mas Vino kelihatan uring-uringan setelah kejadian itu. Setelah adegan ciuman yang berakhir memalukan tadi, dia langsung bergegas menyuruhku masuk dan tancap gas ke sebuah toko baju yang nggak jauh dari sana.
"Lo nggak mau keluar? Kalau nggak juga nggak apa-apa sih, bodo amat nanti kalau lo jadi daging panggang di dalam mobil." Setelah mengatakan itu dia pergi ke dalam toko itu dan ninggalin aku sendirian. Tapi aneh lho Mas Vino ini, apa karena usia sudah tua bisa menimbulkan efek pelupa. Masa dia tadi ngajuin pertanyaan terus dijawab sendiri, aneh kan ya.
"Aduh, panas yo ternyata." Aku mengibaskan tanganku ke leher. Padahal mesin mobil udah mati, kaca jendela juga udah aku buka lebar, kenapa masih panas sih. Mana matahari terik sekali, beginilah kalau udah menginjak siang, di kota memang selalu panas, beda kalau di desa, sejuk rasanya.
Merasa jenuh karena nunggu Mas Vino ke
Segitu aja ya, adegan ++nya, jangan terlalu vulgar, authornya blm berani, wkwk
Setelah kejadian malam itu, beberapa hari kemudian, aku sama Mas Vino jadi canggung. Kadang malah cuma diam-diam aja padahal di meja makan bersama. Mama sampai curiga, dikira kita sedang bertengkar. "Kalian itu jangan keseringan berantem. Nanti proses pembuatan cucu Mama jadi terhambat." Aku bahkan hampir tersedak mendengar mama bilang begitu. Untung saja Mas Vino punya seribu seratus lima puluh cara untuk menaklukkan omongan mama. "Apaan sih, Ma. Itu nggak mengganggu sama sekali. Di meja makan saja kita diem, kalau di ranjang mah beda lagi. Ya nggak, Le?" Lelakiku ini menggerakkan sebelah alisnya untuk meminta pendapatku, sedangkan aku hanya bisa meneguk ludah susah payah untuk sekedar menganggukkinya. Ya gimana ya, bingung mau nanggepin, kalau nggak dianggukin, nanti mama akan semakin memojokkan kita. Sedangkan kalau aku anggukin, itu sama saja aku berbohong toh. Yo ndak iso perkara
Happy reading ❤️Bibirku tersenyum saat Mas Vino terus melihat ke arahku. Dia mengangkat sebelah alisnya. Seolah menanyakan sesuatu."Sejak kapan berdiri di sana?"Benar dugaanku. Entahlah, entah pertanyaannya karena takut aku mendengar obrolannya tadi atau sekedar bertanya saja. Tapi menurutku, opsi ke dualah yang tepat."Baru kok, Mas. Mas Vino baru sampai ya?"Suamiku itu meneguk minumannya, dia menoleh ke samping, mungkin memeriksa keberadaan mama, beliau memang langsung pergi tadi setelah ngobrol sama anaknya."Iya."Hanya singkat jawabannya, tanpa mau menjelaskan apa yang terjadi tadi, yah ... meski pun aku sudah mendengarnya, tapi apa dia tidak ingin menjelaskan apa pun. Tidakkah dia berpikir tentang istinya yang menunggunya sendirian dari tadi di depan gerbang kampus? Tidakkah dia penasaran aku pulang dengan siapa?
Happy Reading, terima kasih sudah setia menunggu ❤️Dari tadi pagi aku kok nggak lihat Mas Vino ya. Kemana dia? Apa semalam marah gara-gara aku bersikap sedikit ketus? Tapi masa segitu aja marah, bukankah Mas Vino malah lebih parah yo. Karena penasaran, aku akhirnya tanya ke mama."Emm, Ma. Juleha dari tadi kok ndak lihat Mas Vino ya?"Mama yang lagi menata tanaman di kebun belakang menoleh ke arahku. Aku sekarang sedang ikut membantu beliau merawat tanamannya. "Lho? Vino nggak pamit ke kamu? Tadi pagi dia buru-buru banget ke rumah sakit. Katanya ada keadaan darurat, dan dia diminta bantuan sama temannya."Aku mengangguk-angguk saja. Jadi karena itu, aku kira dia marah sama
Happy Reading Setelah kejadian malam itu, Mas Vino jadi berubah semakin pendiam. Aku nggak tahu ada apa lagi, padahal kemauannya juga udah tak turuti. Apa aku ngelakuin kesalahan lagi yo? Soalnya, sikapnya Mas Vino itu seolah-olah kayak menghindar dari aku gitu. Dia selalu berangkat pagi dan pulangnya pasti malem banget. Pernah lho, suatu hari aku nungguin Mas Vino, siapa tahu bisa nanya kesalahan aku apa, sampai didiemin begitu, tapi sampai pukul 00.30 Mas Vino nggak datang-dateng, dan akhirnya aku ketiduran. Eh, pas bangun tiba-tiba udah di atas kasur.Awalnya bingung, siapa yang mindahin Juleha. Kalau Mas Vino kayaknya ndak mungkin, tapi lebih nggak mungkin lagi kalau aku di pindahin sama dedemit. Aku kembali bergidik sambil nyengir nggak jelas kalau mengingat hal itu, padahal yo nggak mungkin rumah sebesar ini ada demitnya."Juleha
Setelah kejadian malam itu, Mas Vino jadi berubah semakin pendiam. Aku nggak tahu ada apa lagi, padahal kemauannya juga udah aku penuhi. Apa aku melakukan kesalahan lagi yo? Soalnya, sikapnya Mas Vino itu seolah-olah kayak menghindar dari aku gitu. Dia selalu berangkat pagi dan pulangnya pasti malem banget. Pernah lho, suatu hari aku nungguin Mas Vino, siapa tahu bisa nanya kesalahan aku apa. Kenapa sampai didiemin begitu, tapi sampai pukul 00.30 Mas Vino nggak datang-dateng, dan akhirnya aku ketiduran. Eh, pas bangun tiba-tiba udah di atas kasur. Awalnya bingung, siapa yang mindahin Juleha. Kalau Mas Vino kayaknya ndak mungkin, tapi lebih nggak mungkin lagi kalau aku di pindahin sama dedemit. Aku kembali bergidik sambil nyengir nggak jelas kalau mengingat hal itu, padahal yo nggak mungkin rumah sebesar ini ada demitnya. "Juleha kenapa kok cengingisan." Aku langsung menoleh ke arah mama mertua. Kaget, karena dari tadi ternyata diperhatikan.
Ada yang mau bilang gue brengsek? Karena habis nidurin Juleha sikap gue jadi tambah dingin. Sebenarnya bukan tanpa alasan gue bersikap kayak gitu. Kalau dipikir-pikir, gue merasa bukan hanya menjadi lelaki brengsek aja, tapi juga biadab. Cuma gara-gara alasan sepele gue ngelakuin hal itu? Gue aja sampai nggak percaya sama apa yang udah gue perbuat beberapa hari silam. Terus, apa bedanya gue sama Rayhan yang sama-sama berbuat brengsek pada istrinya. Rasanya, setiap kali menatap wajah Juleha, gue selalu dihantui rasa bersalah. Hati gue jadi sakit sendiri mengingat perbuatan gue. Harusnya sebagai lelaki sekaligus suami, gue bisa jagain dia, bukannya malah ngelakuin hal gila seperti itu. Setiap malam gue sengaja pulang larut, pagi juga jarang ikut sarapan cuma buat menghindari Juleha. Terkadang kalau dia sedang menatap gue, gue jadi ingat sama muka melas dia malam itu, dan hal itu sukses bikin gue kecewa sama diri sendiri. Gue emang playboy, mantan gue bertebaran kayak
"Le, terakhir kali lo menstruasi kapan?" Aku mengernyit mendengar pertanyaan Mas Vino. Tumben sekali dia menanyakan siklus bulananku. Biasanya tidak pernah seperti ini. Namun, kalau diingat-ingat aku memang telat sih, tapi beberapa bulan sebelumnya memang sudah seperti itu. Jadi aku pikir mungkin wajar saja—dan … oh iya, aku ingat, dua hari yang lalu aku pernah keluar darah, tidak banyak sih, cuma beberapa titik aja, walaupun sekarang udah nggak keluar lagi. Tapi itu bukan suatu masalah setahuku. Sudahlah, aku nggak mau ambil pusing. Lagi pula wajar kalau siklus bulanan biasanya telat. "Memangnya ada apa toh, Mas? Tumben sekali tanya seperti itu." "Ya … ya, nggak ada apa-apa, cuma mau memastikan aja, siapa tahu lo lagi PMS. Gue 'kan, bisa bentengin diri kalau-kalau lo lagi mode pengen ngamuk." Mosok? Kayaknya nggak mungkin perkara itu deh. Mas Vino saja sampai memasang wajah seolah-olah lagi takut sama aku. Huh! Seperti meli
Setelah obrolan kemarin dengan Mas Vino, kok aku jadi kepikiran terus ya. Harusnya aku bisa lebih tenang, karena kemarin-kemarinnya habis ngeluarin darah. Itu pasti darah datang bulan, orang nggak sakit kok—yah … walaupun cuma sedikit dan nggak banyak kayak biasanya. Tapi tetap aja kepikiran, khawatir dengan segala hal, apa aku coba cek aja ya? Terus kalau nanti aku hamil beneran gimana? Mas Vino mau nerima nggak ya, dia kan, kemarin bilang belum siap. Duh, Juleha, seharusnya setelah kejadian malam itu kamu minum obat pencegah kehamilan, bukannya didiemin saja. Semua jadi nggak jelas gini dan kepikiran kan, sekarang. Masa kalau udah jadi orok mau dikeluarin.Aduh!! Mbohlah!!! Kok makin pusing aku, jadinya malah pingin muntah rasanya gara-gara kebanyakan mikir. Mana tadi pagi lupa nggak sarapan lagi karena udah kesiangan. Alahasil bawaannya mual terus."Kenapa mukul-mukul kepala gitu, Juleha?"Tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku,
Gue menatap bocil gue yang lagi main air, dia cuma pakai sempak doang di depan rumah sambil nyiprat-nyipratin air ke kucing yang kemarin ia temuin di got. Padahal itu kucing imut banget lho, tapi nggak tahu kenapa bisa nyungsep di got. Gue kira punya tetangga, tapi nggak ada tuh tetangga yang heboh nyariin kucingnya. Ya udah, sekarang dia rawat aja. "Dek, kasian kucingnya jangan dicipratin air terus." Gue menegur Ara yang masih asyik mainin air. "Ndak apa-apa, Yah. Lihat, lucu ya Yah, dia lari-lari." Dasar bocil! Dibilangin malah ketawa. Batu banget sih, anak siapa coba. "Ya Allah, Ara, kenapa cuma pakai sempak doang, Nak. Nanti masuk angin lho." Juleha yang baru saja datang langsung meletakkan kopiku di atas meja yang berada di dekatku. Lalu setelahnya dia hendak mendekati anaknya yang sekarang ngambil selang dan dimainin airnya sampai tumpah ke mana-mana. "Udah, Le, biarin aja. Tadi udah gue deketin suruh pakai kaos dalam nggak mau dia. Nih lihat, baju aku basah." Juleha meliha
“Kenapa, Mas?” Langkah kakiku langsung berhent begitu melihat Mas Vino yang menyentuh beberapa bagian bajunya, seperti tengah mencari sesuatu. “Handphone-ku nggak ada.” “Lho? Kok bisa? Mas Vino kan, rajin banget pijitin benda itu. Kok bisa hilang?” tanyaku ikutan panik. Apalagi itu bukan barang murah. Mengingat bagaimana bentuk gambar apel yang kegigit di belakang benda itu. Mas Vino nyengir lebar sambil menggaruk pelipisnya. “Nggak hilang kok, tapi kayaknya ketinggalan di mobil. Aku ambil dulu ya, kamu duluan saja.” “Tapi nanti kalau Mas Vino nggak nemuin Juleha gimana?” “Emang kamu sekecil upilnya semut apa, sampai nggak kelihatan. Tenang aja, dimanapun kamu bersembunyi, aku bakal tetep nemuin kamu.” Tuh kan, kumat lagi gombalannya. Ara saja sampai melongo melihat tingkah laku bapaknya itu. “Yah, Ala ajalin ngomong begitu dong.” “Ngomong apa?” Mas Vino yang semula ingin pergi jadi urung karena omongan anaknya. “Yang sepelti Ayah bilang ke Ibu tadi.” Mas Vino mengernyitkan a
Ara terlihat tertawa riang saat bermain dengan kakeknya. Saat ini kami tengah berada di rumah Pak Lik Jatmiko, sesekali kami memang mengunjungi beliau, kadang juga sampai bermalam di sini. Beliau sudah kembali ke kampong halamannya. Jadi, selama ada waktu luang atau sedang berlibur, kami akan datang ke sini, kadang juga beliau yang datang ke rumahnya Mas Vino.Tanggapan Mama mertuaku?Tentu saja Mama menyambutnya dengan baik. Tidak semua orang sugih itu kejam kayak di pilm-pilm. Meski pada awalnya aku juga berpikir begitu sih. Hihihi.Bukan hanya itu, Mas Vino juga memberi modal untuk lelaki paruh baya ini agar tidak perlu lagi bekerja keras di luar. Sekarang beliau jualan sembako di rumahnya. Toko kecil yang dibangun atas bantuan Mas Vino. Beruntung sekali aku mempunyai suami sepertinya.“Lho, cucunya berkunjung lagi, Pak?” Salah satu pembeli yang hendak membeli sesuatu itu bertanya saat melihat Ara sedang bermain di took. Aku hanya mengamatinya dari dalam sebelum akhirnya masuk ke d
Empat tahun sudah berlalu, kehidupan gue benar-benar berubah. Di umur gue yang sudah menginjak tiga puluh dua tahun ini, akhirnya gue mempunyai keluarga kecil, bersama seorang wanita yang tak pernah gue sangka sebelumnya. Seorang wanita ndeso, katrok yang jauh dari kriteria idaman gue selama ini. Tapi kalau Tuhan sudah menggariskan dia jodoh gue, gue bisa apa selain menerima, toh … ternyata dia juga jadi sumber kebahagiaan gue. Oh iya, anak gue udah umur empat tahun seperempat, dan pastinya makin aktif dong. Dia udah bisa jalan ke sana-ke mari nangkepin nyamuk, sampai emaknya aja dibuat kualahan sama tingkahnya yang begitu aktif. Awalnya gue sedih waktu lihat kondisi dia saat itu. Gue takut kalau dia bakal berbeda dengan bayi normal lainnya, tapi alhamdulilah, sekali lagi gue wajib bersyukur dengan perkembangannya sekarang yang begitu aktif dan cantik. Bibit cogan gue nurun ke dia dong pastinya, tapi ini versi cewek. "Ayah." Arabella berteriak begitu melihat gue keluar dari mobil, di
“Mas, ini gimana cara pakainya?”“Nggak tahu, aku nggak pernah pakai soalnya.”Juleha kembali memberenggut. Pagi-pagi sudah heboh sendiri. Maklum, hari ini adalah hari pertamanya kuliah setelah mengambil cuti. Anak kita juga sudah pulang ke rumah. Dia sudah diperbolehkan keluar dari incubator. Begitu dia diperbolehkan pulang, Mama dengan antusiasnya langsung menjemput cucu kesayangannya itu. Bahkan besoknya langsung mengadakan syukuran atas pulangnya Arabella.“Mas Vino bantuin dong!”Gue yang awalnya lagi siap-siap dengan mengancingkan lengan kemeja jadi urung, dan malah mendekati Juleha yang lagi memegang bulatan putih di tangannya itu. Untung saja Arabella sedang diajak Mama jalan-jalan di depan rumah, sambil sekalian berjemur. Jadi kami bisa siap-siap tanpa khawatir.“Biasanya ada cara pakainya lho, Le. Dikemasannya apa nggak ada?”“Oh iya-ya, coba Mas Vino baca biar Juleha yang praktikan.”“Ha?” Gue sampai menggaruk rambut mendengar usulan Juleha. Ada-ada saja sih. Duh, harusnya
"Emh." Aku mengerjapkan mata perlahan, tapi saat hendak menarik tanganku malah terasa berat, ternyata ada yang memegangnya. Melirik jam yang tergantung di dinding, ternyata udah mau masuk subuh.Aku mengusap surai hitam yang saat ini tengah rebah dengan wajah yang menghadap ke arahku. Mas Vino begitu manis, dia bahkan rela menjagaku sampai pagi begini, apalagi dengan posisi seperti ini. Pasti pegal sekali. Kenapa dia tidak tidur di sofa saja sih, kalau bangun nanti, pasti lehernya sakit.Aku menghembuskan napas perlahan, menyadari hari di mana Mas Vino ketemu sama Mbak Lidya dan berpelukan mesra, mereka memang pasangangan yang romantis, aku saja yang tak tahu dirinya mengiyakan permintaan Mama untuk menikah dengan Mas Vino. Sesak rasanya menyadari kalau suamiku belum juga mencintaiku. Mencintai sendirian itu menyakitkan. Tahu yang lebih parahnya lagi di mana? Aku malah berhalusinasi Mas Vino mengatakan mencintaiku dan tidak ingin merawat anaknya kalau bukan denganku. Aneh sekali 'kan.
Sepi. Itu yang gue rasain sekarang, gue kagen banget sama celotehnya Juleha, sama sikap katroknya yang dulu bikin gue ogah-ogahan dan ilfiel, bahkan sama bibir manyunnya yang sering bikin gue gemes. Kemarin gue emang salah sampai membandingkan scenario temen sama yang sudah diusun ke gue. Harusnya gue bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjadi Ayah. Lagi pula, setiap orang pasti ada jalan ceritanya sendiri dalam menggapai kebahagiannya.Sebenarnya kalau disuruh pilih, gue pingin banget kejadian kemarin adalah mimpi buruk belaka, dan saat bangun sudah disambut dengan senyuman Juleha, tapi apa daya … kalau penulis scenario hidup gue berkata lain, gue bisa apa selain menerima."Vin, kamu mau ke rumah sakit sekarang?" Mama menghentikan aktifitasnya begitu melihat gue turun dari tangga."Iya, Ma, kasian anak Vino sendirian." Gue tersenyum."Halah, alasan, paling kamu mau apel sama suster, kan." Mama memicing curiga."Hahaha, apanya yang mau diapelin sih, Ma. Menantu kesayangan
Gue duduk di ruang tunggu dengan tangan gemetaran, di samping gue ada Pak Lik Jatmiko yang dari tadi mencoba menguatkan dengan sesekali mengusap punggung gue. Kepala gue dari tadi menunduk dengan posisis tangan saling menyatuh. Sungguh, perasaan gue nggak karuan, bahkan kemungkinan terburuk dari tadi terus kepikiran, meskipun sudah mencoba meyakinkan diri bahwa mereka akan baik-baik saja, tapi bayangan buruk sialan itu tetap aja berkelebat.Tes!Sial! Kenapa gue nangis lagi sih, cengeng banget. Andai saja gue dibolehin masuk buat lihat kondisi Juleha atau ikut menanganinya, mungkin gue sekarang bisa menyaksikan perjuangannya di dalam, tapi apa daya, para pihak medis yang menangani Juleha melarang gue, katanya nanti ditakutkan gue panik di dalam sana dan menganggu proses operasi."Vin?"Gue menoleh ke arah orang yang memanggil gue. Rayhan, Satria, dan Aris datang menghampiri gue dan menepuk pelan punggung gue. Gue emang sengaja ngabarin mereka buat meminta do'a untuk keselamatan anak d
Wanita ini masih tidak menjawab, dia malah berontak mencoba melepaskan cengkraman gue. Tidak mau kami jadi pusat perhatian dan terjadi drama kayak film Bollywood, gue langsung aja narik dia keluar, kemudian memutar tubuhnya dan menghadapkan ke arah gue.."Le, jangan nunduk. Angkat kepala kamu."Wanita ini masih menggeleng, rambutnya yang panjang nutupin mukanya, makanya nggak terlalu jelas. Karena nggak ada pilihan lain, gue sedikit memaksanya untuk mendongakkan kepalanya, lalu menyibak rambut di depan wajahnya, dan benar saja dugaan gue."Aku kangen sama kamu, Le. Kenapa pergi gitu aja, hmm?" Gue langsung memeluk dia di pinggir jalan, bodo amat jika kelakuan kita jadi tontonan. Gue terlalu rindu sama wanita ini. meskipun ada rasa kecewa, karena tidak ada balasan sama sekali dari wanita yang ada dalam rengkuhan gue ini. Bahkan setelah lima detik berlalu."Mas Vino lepasin Juleha, anak kita penyet ntar, kalau dipeluk keras begini."Gue terkekeh, senang sekali mendengar suaranya kembali