"Kirana? Apa aku bermimpi?" Debaran jantung Boy berdetak semakin cepat. Satu tangannya beberapa kali mengusap dahi yang sudah basah oleh keringat dingin. Wanita cantik dengan dress hingga sebetis itu menghilang dari pandangan Boy Azka. Napas pria paruh baya itu memburu. Rasa rindu itu kembali muncul. Namun rasa bersalah juga terus menguasai hatinya. "Kirana ... Kirana. Kamu sudah membuatku gila!" gumamnya. Boy Azka yang sejak tadi tak mau ditemani oleh anak buahnya, melangkah cepat menuruni tangga menuju terminal kedatangan. Dari kejauhan, Firda yang sudah tiba di bandara beberapa menit yang lalu, melihat suaminya sedang berbicara dengan petugas. Sepertinya Boy Azka yang sedang memakai kacamata hitam dan jaket kulit itu memaksa hendak masuk ke dalam. "Apa yang akan dilakukan Mas Boy? Kenapa ia bersikeras hendak masuk ke dalam? Begitu rindunya kah suamiku itu dengan putrinya?" Firda merasakan dadanya sesak dan bergemuruh. Tanpa terasa kedua matanya mulai mengembun. Entah apa ya
"Tega kamu, Mas! Kamu memeluk wanita lain di belakangku. Siapa wanita itu? Lalu dimana Syafa? Kenapa Aku tidak melihat gadis berkursi roda itu? " Firda menggigit bibirnya. Menahan rasa nyeri yang kian meradang saat melihat suaminya memeluk erat seorang wanita muda dan cantik. Firda memang tidak bisa melihat jelas wajah wanita itu. Namun siapapun dia, Firda tidak terima jika suaminya memeluk wanita itu dengan erat dan cukup lama. Sementara itu Laura memandang tak percaya melihat penampilan Syafa. Wanita paruh baya itu diam terpaku dengan tatapan yang tak lepas pada menantunya . Ia seakan melihat artis kesayangannya hidup kembali. "Astaga ...! Benar-benar mirip." Tanpa sadar Laura meremas-remas lengan Maira yang ada di sebelahnya. "Kenapa, Ma? Siapa yang mirip?" Maira sejak tadi juga memperhatikan Paul dan Syafa yang berada tak jauh dari pintu kaca. "Itu, Syafa mirip sekali dengan Kirana. Mama seperti melihat Kirana hidup kembali," pekik Laura tak sadar. "Kirana siapa, besan?" son
"Syaa ..., kita pulang, yuk!" Paul berbisik ke telinga istrinya yang masih menikmati bermacam-macam kue di meja sambil berbincang bersama Akbar dan Rita. "Sebentar lagi ya, Kak. Aku masih kangen sama Bapak Ibu. Apa boleh Aku ikut antar mereka pulang ke Bogor?" "Apa kamu nggak lelah? Biar Bapak dan ibu menginap di rumah kita saja. Atau jika mereka mau pulang, ada Pak pardi yang mengantar. "Tapi Aku kangen sama rumah yang di Bogor, kak," rengek Syafa. "Syafaaa, dengar kata suamimu! Kamu itu baru saja sembuh. Ke Bogor bisa besok-besok. Bapak dan Ibu nanti pulang dulu saja. Kami tidak bawa persiapan untuk menginap. Wajah Syafa cemberut. Paul semakin gemas dengan sikap istrinya yang kini sering merajuk. Ternyata Syafa lebih manja dari yang ia kira.Akhirnya.ia membiarkan Syafa melepas rindu bersama Akbar dan Rita. "Maaf, mbak Syafa apa boleh bicara sebentar?" tiba-tiba Genta menghampiri Syafa. Mendengar itu, Paul yang duduk tak jauh dari istrinya itu sontak menoleh. Ia menatap tak su
"Bu Shinta, Saya sudah mendapatkan model yang cocok dan pas untuk iklan produk properti kita." Genta tiba-tiba menghampiri Maira yang baru saja keluar dari ruang rapat. "Oh ya? Siapa?" Maira mulai melangkah menuju ruangannya diikuti Genta. "Syafa." Langkah Maira tiba-tiba terhenti. Wanita cantik itu mengerutkan keningnya. "Apa? Maksud Kamu Syafa ..." "Ya, Syafa adik ipar Bu Shinta. Dia sangat cocok untuk iklan yang akan kita buat." "Ayo kita bicara di ruanganku!" Maira melanjutkan langkahnya. "Bu Shinta, teman-teman mau nengok Kayla ke apartemennya. Ibu mau ikut? Dewi menghampiri Maira dan berjalan menyamai Genta. "Oh ya, Aku hampir saja lupa. Kapan kalian akan ke sana?" "Sore ini, Bu." "Kalian duluan saja. Nanti Aku konfirmasi dulu dengan Pak Rein." Maira tersenyum. Kini mereka bertiga sudah masuk ke dalam ruangan Maira. "Silakan duduk, Genta. Kamu nggak salah pilih? Syafa bukan model. Dia belum berpengalaman." Maira sudah menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kebesarannya. S
[ Apa kabar, Mbak Syafa? Bagaimana dengan tawaran Saya waktu itu?] Syafa yang sedang berada di kamarnya baru saja membaca pesan dari Genta. Sewaktu di rumah Maira, tanpa sepengetahuan Paul, mereka saling bertukar nomor ponsel. [Apa Mbak Syafa bersedia jadi model? Saya akan kenalkan Mbak Syafa dengan seseorang yang bisa membimbing Mbak hingga bisa menjadi model terkenal]. Syafa masih belum membalas dua pesan dari Genta. Sebenarnya wanita itu masih ragu, karena Paul sepertinya belum mengizinkan ia untuk aktif di luar sana. "Ada apa, Sayang? Kok melamun?" Tiba-tiba Paul masuk dan mendekati istrinya yang baru saja selesai mandi. Syafa hanya menggeleng sambil tersenyum. "Pesan dari siapa?" Paul melirik sekilas pada ponsel.yang digenggam Syafa. Layar ponselnya masih menyala dan nampak sederet pesan dari seseorang. "Dari ... dari Genta Kak." "Apaa? Genta?" reflek Paul meraih ponsel di tangan istrinya dan membaca isi pesan itu, hingga seketika.wajah pria bule itu menggelap. "Sialan s
"Ayah ...!" Boy azka dan Paul menoleh ke belakang. "Syafa?" Paul mengerutkan keningnya. Sepertinya Syafa masuk dari pintu belakang.Wanita itu sangat cantik dengan dress selutut dan rambut bergelombangnya digerai bebas. Riasan wajah naturalnya seakan memperjelas usianya yang masih sangat muda. "Syafa? Kemarilah, Nak!" Boy merentangkan kedua tangannya dan menatap Syafa penuh rindu. Syafa yang semula ragu, akhirnya mendekat dan menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan sang Ayah. Kedua Ayah dan anak itu berpelukan cukup lama. Boy merasakan netranya mulai basah dibalik kacamata gelapnya. Moment yang sangat ia nanti-nantikan belakangan ini adalah memeluk putrinya. Pria paruh baya itu tak sanggup menahan rasa harunya. "Mau ke rumah atau di sini saja, Pak?" tanya Paul hingga keduanya melepaskan pelukan. Boy Azka melihat sekeliling. Cafe itu tidak terlalu ramai dan cukup tenang. "Di sini saja," jawab pria paruh baya itu. "Baiklah." Paul memberi kode pada salah satu pelayan cafe untuk
"Kenapa Ayah hanya diam? Memangnya apa yang menyebabkan ibuku meninggal?" Syafa terus memberondong Boy Azka dengan berbagai pertanyaan. Pria yang dulu hanya bisa ia lihat di televisi dan media sosial itu kini terdiam tanpa sepatah kata pun di hadapannya.. Setelah beberapa lama berpikir, akhirnya Boy mendapatkan kata-kata yang pantas ia katakan pada putrinya mengenai Kirana. "Ibumu sakit-sakitan sejak hamil Kamu, lalu kesehatannya menurun setelah mwlahirkanmu." Boy merasa lega karena sepertinya Syafa percaya dengan apa yang ia katakan. Syafa terhenyak. Netranya memanas. "Jadi ..., ibu meninggal karena Aku? Andai saja Aku tidak dilahirkan, mungkin Ibu tidak akan pergi, dan masih menjadi seorang model terkenal saat ini." Syafa bicara pada dirinya sendiri. "B-bukan begitu, Sayang. Jangan menyalahkan dirimu. Semua ini takdir." Kini justru Boy merasa cemas melihat Syafa mulai terisak. "Tenanglah. Tidak ada yang menyalahkanmu." Boy berusaha membujuk Syafa. Satu tangan kokohnya membelai
"Tante Firda?" Syafa menyapa wanita cantik berpenampilan elegan yang melangkah anggun di sampingnya. Seketika wanita cantik itu menoleh. Wajah Firda menegang. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Syafa di tempat itu "Tante masih ingat Aku?" Syafa bicara dengan antusias. Ia nampak senang bisa bertemu lagi dengan Firda. Wanita paruh baya itu menatap Syafa tajam dengan jantung berdetak lebih cepat. Dadanya seketika bergemuruh saat memandang Syafa. Anak dari istri simpanan suaminya. Tenggorokan Firda tercekat seakan sulit untuk bicara. Emosi yang sejak kemarin ia rasakan kini kembali tersulut. "Tante pasti lupa sama Aku ya? Aku Syafa, Tante. Waktu itu kita ketemu di rumah sakit Bogor. Mungkin karena saat itu Aku masih pakai kursi roda, makanya Tante nggak ngenalin Aku sekarang. Iya, kan?" ungkap Syafa yang nampak bahagia bertemu Firda. Ia langsung mencium punggung tangan Firda dengan hormat. Melihat sikap Syafa, Firda terpaksa meredam emosinya. Ia tak mungkin juga marah-marah pada