"Tante Firda?" Syafa menyapa wanita cantik berpenampilan elegan yang melangkah anggun di sampingnya. Seketika wanita cantik itu menoleh. Wajah Firda menegang. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Syafa di tempat itu "Tante masih ingat Aku?" Syafa bicara dengan antusias. Ia nampak senang bisa bertemu lagi dengan Firda. Wanita paruh baya itu menatap Syafa tajam dengan jantung berdetak lebih cepat. Dadanya seketika bergemuruh saat memandang Syafa. Anak dari istri simpanan suaminya. Tenggorokan Firda tercekat seakan sulit untuk bicara. Emosi yang sejak kemarin ia rasakan kini kembali tersulut. "Tante pasti lupa sama Aku ya? Aku Syafa, Tante. Waktu itu kita ketemu di rumah sakit Bogor. Mungkin karena saat itu Aku masih pakai kursi roda, makanya Tante nggak ngenalin Aku sekarang. Iya, kan?" ungkap Syafa yang nampak bahagia bertemu Firda. Ia langsung mencium punggung tangan Firda dengan hormat. Melihat sikap Syafa, Firda terpaksa meredam emosinya. Ia tak mungkin juga marah-marah pada
"Syafaaa ...!" Paul setengah berteriak dari depan lobby, sambil melambaikan tangan pada istrinya. Melihat lambaian tangan Paul dari dalam mobil, membuat Syafa tersentak dari lamunannya. Ia baru saja melihat Lintang. Dadanya terasa nyeri melihat pria itu memandangnya dengan tatapan tak suka. "Untuk apa Kak Lintang ke salon itu? Bukankah itu salon khusus wanita?" pikir Syafa saat melihat Lintang justru berbelok menuju pintu utama Salon. Syafa melangkah keluar dari pintu restoran lalu menghampiri suaminya. Sedangkan Lintang kembali menoleh ke luar sebelum ia memasuki pintu kaca salon mewah itu. "Syafa, dia sudah tidak pakai kursi roda lagi. Andai saja dia bukan anak dari selingkuhan Ayah, Aku pasti akan menyapanya." Lintang menghela napas panjang. "Aku hanya ingin Bunda dan Ayah hidup rukun dan bahagia. Semoga saja rencanaku dan Bumi kali ini berhasil," harap Lintang dalam hati. Lintang dan Bumi merasa akhir-akhir ini hubungan kedua orang tuanya kembali renggang. Padahal Sang B
"Ayo, bun. Kita ke sana!" .. "Lintang, Apa maksudnya ini semua? Kamu bilang mau ketemu teman kamu. Kok, malah adaaa ..." Firda kembali menoleh pada Boy Azka dan bumi. Mereka belum menyadari kedatangan Firda dan Lintang. Lintang tak menjawab. Tangannya terus membawa Sang Bunda mendekat pada Ayah dan adiknya. "Ayah ..." "Loh, Firda? Lintang? Kalian ...?" Boy Azka menoleh dan memandang bingung pada istri dan anak sulungnya secara bergantian. Firda mendengkus kesal. "Benar dugaanku. Lintang dan Bumi sedang merencanakan sesuatu. Mas Boy pasti berpikir Aku yang ingin ketemu sama dia. Bisa-bisa besar kepala dia nanti!" bathin Firda. Tatapannya menghujam pada netra kedua anaknya. "Maaf,.Mas. Aku nggak tau kalau Lintang akan membawaku kesini. Ini sepertinya salah paham. Lebih baik Aku pergi saja!" Firda bicara dengan nada dingin. Kemudian memutar tubuhnya hendak kembali keluar dari restoran itu. Namun belum juga wanita cantik itu mulai melangkah pergelangan tangannya sudah dicekal o
"Kamu cantik dan wangi sekali ...," bisik Boy Azka. Ia meraih jemari Firda dan melangkah di samping istrinya itu. Firda masih belum mau bicara banyak. Ia diam saja saat Boy mulai mendekatkan wajahnya. Mereka melangkah menuju pintu keluar. Firda tak mungkin lagi mengelak, karena ada beberapa pelayan restoran yang menunggu di dekat pintu keluar. Firda kembali menoleh ke kanan dan kiri hingga pandangannya mengelilingi seisi restoran. Memang tidak ada satupun pengunjung di sana. "Apakah Lintang dan Bumi memang sudah membooking satu restoran ini ?" pikirnya dalam hati. "Terimakasih Pak, Bu. Semoga lain kali bisa kembali ke restoran ini!" Seorang pria paruh baya berpakaian rapi dan formal, mengantarkan sepasang suami istri itu hingga ke mobilnya. Boy mengangguk tegas dengan senyuman. "Silakan, Pak, Bu!" Supir pribadi Boy Azka membukakan pintu mobil mewah yang sudah menunggu sejak tadi, lalu mempersilakan kedua majikannya untuk masuk sebelum ia kembali menutup pintu. "Ke Apartemen Sa
"Gue tadi ketemu anak selingkuhannya Ayah." "Haah? Serius Lo? Dimana?" Air dalam genggaman tangan Bumi nyaris tumpah karena terkejut mendengar perkataan Lintang. Sore menjelang malam, mereka hanya berdua saja di rumah. Boy Azka sudah mengabari kedua putranya itu bahwa akan menginap di apartemen bersama Firda hingga dua malam. "Gue ketemu saat jemput Bunda di salon tadi." Lintang menjatuhkan tubuh dan menyandarkan punggungnya pada sofa. "Tuh cewek ke salon itu juga?" tanya Bumi penasaran setelah meneguk habis air es di dalam gelasnya. "Bukan, dia keluar dari restoran yang di sebelah salon." "Oh. Yang penting dia nggak ketemu Bunda, kan? Menurutlo Bunda kenal nggak sama tuh cerek?" "Sebentar. Tadi itu Gue jemput Bunda bukan di salon. Tapi di restoran itu. Astaga! Kenapa Gue baru sadar? Berarti bunda juga ada di restoran yang sama dengan Syafa." Lintang menepuk keningnya. "Apa mungkin tadi mereka ketemu?" Bumi mengerutkan keningnya. Ia sedang menduga-duga. "Entahlah." "Gue pen
"Siapa Bii?" Suara teriakan dari dalam semakin mendekat. "Nggak tau ini, Non." sahut si Bibik seraya memandang pria tampan di depan rumah itu dengan tatapan bingung. "Loh, Kak Lintang?" Netra Syafa membelalak melihat pria muda yang belakangan ia ketahui sebagai saudara tirinya.. Syafa keluar rumah dengan memakai kaos polos berwarna putih dan celana jeans biru tua. Rambut hitam dan panjang miliknya diikat satu bak ekor kuda. Riasan wajah yang natural semakin mempertegas usianya yang masih sangat muda. "Eh, Kamu? Kamu tinggal di sini?" Lintang yang semula terkejut berusaha untuk bersikap biasa saja. Ia berusaha untuk bicara dengan nada terkesan acuh dan sinis. Ia tak mau Syafa mengira ia mau menerima Syafa sebagai saudara tirinya. "Ia, Kak. Ini rumah Aku. Ayo masuk Kak!" Wajah Syafa berbinar. Bagaimanapun juga ia sangat ingin dekat dengan kakak tirinya itu. Karena sejak kecil ia tidak merasakan memiliki seorang kakak. "Ah, tidak usah. Maaf Aku sepertinya tersesat."Pria bertubuh
"Haaah? Kakak? Berarti kita ..." Syafa sontak berdiri menatap Bumi dan Lintang secara bergantian. "Kenapa? Kita saudara? Gitu maksud Kamu, ha? Pengen banget ya Kamu jadi saudara kita? Asal kamu tau ya, Aku nggak sudi kita jadi saudara. Apalagi saudara tiri." Syafa terhenyak mendengar ucapan Lintang. Ia tak menyangka Lintang yang dulu begitu baik dan hangat, mengatakan hal yang sangat menyakitkan. "Lintang, gila Lo. Tega, Lo!" Bumi sontak menoleh dan mengumpat pada kakaknya. Ia tak tega melihat wajah Syafa yang memerah menahan tangis. "Udah yuk, cabut!" Lintang melangkah pergi tanpa pamit, setelah sempat melirik wajah Syafa yang terlihat terkejut dan sedih. "Ya Tuhan. Kenapa mulut Gue jahat banget?" Lintang menyesal dalam hati. Sesungguhnya ia pun tidak tega melihat tubuh Syafa yang gemetar menahan tangis setelah mendengar ucapannya. "Syafa, Jangan dengerin si Lintang. Dia nggak beneran ngomong begitu. Gue tau Dia. Sebenarnya Dia baik. Mungkin cuma perlu waktu aja. Maklum, Lint
"Apa? mobil baru? Buat Aku?" Syafa bergegas melangkah keluar diikuti Paul. "Ayo.cepat, Kak!" Syafa tak sabar ingin segera keluar dan memastikan kebenaran yang dikatakan oleh ART nya. "Permisi. Dengan Mbak Syafa?" Seorang pria berseragam tulisan sebuah merek mobil ternama sudah berdiri di depan pintu. "Ya, saya sendiri. Ada apa, ya?" "Saya mengantarkan mobil sedan ini untuk Mbak Syafa. Mohon tandatangani berkas ini!" Pria itu menyodorkan beberapa lembar kertas pada Syafa. "Maaf, mobil dari siapa, Mas?" tanya Paul sambil memandang sebuah mobil sedan mewah berwarna merah sudah berdiri di halaman rumahnya. Syafa pun tak berkedip memandang mobil yang la tau harganya pasti sangat mahal. "Maaf, Pak. Saya tidak tau. Saya hanya ditugaskan mengantar mobil ini ke alamat ini." Paul dan Syafa kembali saling pandang beberapa saat. Lalu tiba-tiba terdengar sebuah nada pesan pada ponsel Paul. "Pak Boy Azka?" gumam Paul saat melihat nama di layar ponselnya. Segera ia menggeser layar dengan jar