Mau info aja bagi kakak pembaca yang belum tau. Bahwa jumlah koin itu sesuai jumlah kata. jika isi Bab panjang, jumlah koin yang terpakai otomatiis lebih banyak. Begitu juga sebaliknya. Jika isi Bab pendek, jumlah koin yang terpakai sedikit. Terima kasih karena masih setia membaca sampai Bab ini. Setiap konflik akan diselesaikan satu persatu secara detail agar tidak ada adegan yang terlewat. Karena setiap adegan pasti saling berhubungan Semoga rezeki semua pembaca ISTRI DEKILKU ANAK SULTAN semakin lancar dan berlimpah. Aamiin. Love you ....
"Siapa Bii?" Suara teriakan dari dalam semakin mendekat. "Nggak tau ini, Non." sahut si Bibik seraya memandang pria tampan di depan rumah itu dengan tatapan bingung. "Loh, Kak Lintang?" Netra Syafa membelalak melihat pria muda yang belakangan ia ketahui sebagai saudara tirinya.. Syafa keluar rumah dengan memakai kaos polos berwarna putih dan celana jeans biru tua. Rambut hitam dan panjang miliknya diikat satu bak ekor kuda. Riasan wajah yang natural semakin mempertegas usianya yang masih sangat muda. "Eh, Kamu? Kamu tinggal di sini?" Lintang yang semula terkejut berusaha untuk bersikap biasa saja. Ia berusaha untuk bicara dengan nada terkesan acuh dan sinis. Ia tak mau Syafa mengira ia mau menerima Syafa sebagai saudara tirinya. "Ia, Kak. Ini rumah Aku. Ayo masuk Kak!" Wajah Syafa berbinar. Bagaimanapun juga ia sangat ingin dekat dengan kakak tirinya itu. Karena sejak kecil ia tidak merasakan memiliki seorang kakak. "Ah, tidak usah. Maaf Aku sepertinya tersesat."Pria bertubuh
"Haaah? Kakak? Berarti kita ..." Syafa sontak berdiri menatap Bumi dan Lintang secara bergantian. "Kenapa? Kita saudara? Gitu maksud Kamu, ha? Pengen banget ya Kamu jadi saudara kita? Asal kamu tau ya, Aku nggak sudi kita jadi saudara. Apalagi saudara tiri." Syafa terhenyak mendengar ucapan Lintang. Ia tak menyangka Lintang yang dulu begitu baik dan hangat, mengatakan hal yang sangat menyakitkan. "Lintang, gila Lo. Tega, Lo!" Bumi sontak menoleh dan mengumpat pada kakaknya. Ia tak tega melihat wajah Syafa yang memerah menahan tangis. "Udah yuk, cabut!" Lintang melangkah pergi tanpa pamit, setelah sempat melirik wajah Syafa yang terlihat terkejut dan sedih. "Ya Tuhan. Kenapa mulut Gue jahat banget?" Lintang menyesal dalam hati. Sesungguhnya ia pun tidak tega melihat tubuh Syafa yang gemetar menahan tangis setelah mendengar ucapannya. "Syafa, Jangan dengerin si Lintang. Dia nggak beneran ngomong begitu. Gue tau Dia. Sebenarnya Dia baik. Mungkin cuma perlu waktu aja. Maklum, Lint
"Apa? mobil baru? Buat Aku?" Syafa bergegas melangkah keluar diikuti Paul. "Ayo.cepat, Kak!" Syafa tak sabar ingin segera keluar dan memastikan kebenaran yang dikatakan oleh ART nya. "Permisi. Dengan Mbak Syafa?" Seorang pria berseragam tulisan sebuah merek mobil ternama sudah berdiri di depan pintu. "Ya, saya sendiri. Ada apa, ya?" "Saya mengantarkan mobil sedan ini untuk Mbak Syafa. Mohon tandatangani berkas ini!" Pria itu menyodorkan beberapa lembar kertas pada Syafa. "Maaf, mobil dari siapa, Mas?" tanya Paul sambil memandang sebuah mobil sedan mewah berwarna merah sudah berdiri di halaman rumahnya. Syafa pun tak berkedip memandang mobil yang la tau harganya pasti sangat mahal. "Maaf, Pak. Saya tidak tau. Saya hanya ditugaskan mengantar mobil ini ke alamat ini." Paul dan Syafa kembali saling pandang beberapa saat. Lalu tiba-tiba terdengar sebuah nada pesan pada ponsel Paul. "Pak Boy Azka?" gumam Paul saat melihat nama di layar ponselnya. Segera ia menggeser layar dengan jar
"Pergi kalian dari sini. Jangan ganggu mereka ...!" Seorang pria paruh baya berpenampilan rapi dengan pakaian formal menghampiri keributan itu. "M-maaf, Pak ...!' Para pemuda itu terkejut. Raut wajah mereka seketika berubah panik. "Dia calon mahasiswi di sini. Jangan sekali-kali kalian coba mengganggunya jika kalian tidak mau dikeluarkan dari kampus ini!" "Memangnya Dia siapa, Pak?" Dengan takut-takut salah seorang dari mahasiswa itu bertanya. "Sudah-sudah. Nanti Kalian juga akan tau," sanggah pria paruh baya itu dengan suara lebih tegas. "Ayo cabut, woii ..!" tak berselang lama, para mahasiswa itu pun pergi meninggalkan Syafa dan Paul yang terdiam tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh mereka. "Selamat datang Non Syafa dan Tuan Paul! Kenalkan Saya Budiman. Marii ikut saya ke ruangan Pak Hasta." Syafa dan Paul saling menoleh. Mereka merasa aneh karena pria paruh baya itu sudah tahu nama mereka. Namun keduanya kembali.hanya saling pandang, mengikuti langkah pria bernam
"Bro, kampus bakal ada cewek nggak bener, nih." "Maksud Lo apaan?" Bumi sedang mengotak-atik motornya di halaman kampus. Sore itu ia baru saja selesai rapat penerimaan mahasiswa baru bersama para anggota BEM. Ucapan Uya, salah satu teman satu fakultasnya, cukup menarik perhatiannya. "Gue denger-denger kemarin ada cewek cantik daftar mau kuliah di sini. Tapi sayangnya dia istri simpanan bule. Parah, kan?" "Ah, emang istrinya kali." Bumi berjongkok memeriksa ban motornya. "Yang anak-anak pada heran, tuh cewek malah dibawa ke ruang Pak Hasta sama Pak Budiman. Untuk apa coba?" Uya ikut berjongkok di samping Bumi. "Mana Gue tau!" Bumi menaikkan bahunya. "Tapi ceweknya cantiknya kayak bidadari, Cuy. Bodinya kayak foto model internasional. Andini si ratu kampus itu mah lewaat." "Seius, Lo?" tanya Bumi penasaran. "Lo tanya anak-anak aja, noh!" "Ah, ogah kalau udah istri orang. Gue cabut dulu!" Bumi mulai menyalakan motornya. Kemudian pria tampan itu melajukan motor gedenya ke arah u
"Siapa Dia?" Maira meraih lengan Syafa agar menjauh dari Bumi. "Adduh, Kak. Kaki Aku, Kaki Aku ..." Syafa nyaris terjatuh lagi saat hendak berpindah ke tangan Maira. Namun istri Rein itu tak sanggup menahan Syafa karena tubuh adik iparnya itu lebih tinggi darinya. "Awaas! Udah sama Gue aja jalannya. Bandel amat, sih? Memangnya ini cewek siapa? Ibulo?" Bumi melirik Maira dengam sudut matanya. "Ya sudah. Ayo ke mobilku!" Maira melangkah lebih dulu meninggalkan Syafa dan Bumi. "Dia Kakak ipar Aku. Namanya Kak Maira. Suaminya kembaran suami Aku." Syafa menjelaskan pada Bumi sambil melangkah pelan, menahan rasa ngilu pada kakinya. "Lo mau pulang bareng dia?" tanya Bumi seraya menunjuk Maira. "Iya. Aku mau jelasin siapa Kamu ke Kak Maira. Sepertinya dia salah paham, deh." Wajah Syafa gelisah. Ia khawatir jika Maira berprasangka buruk padanya. "Kamu bawa mobil Aku, Ya! Nanti tunggu Aku di rumah!" pinta Syafa. Bumi membantunya masuk ke.dalam mobil Maira. "Hati-hati!" pesan Bumi sebel
"A-apakah itu Syafa-anakku?" Boy bergegas keluar melihat siapa yang datang. Bumi perlahan mengikuti ayahnya menuju teras. Sementara Lintang dan Firda masih duduk di ruang tamu. "Bun, Bunda nggak apa-apa?" Lintang menatap Firda prihatin. Firda membalasnya dengan hembusan napas panjang. "Bunda nggak tau harus bagaimana. Ayahmu tidak bisa dibantah." Keduanya kembali memandang keluar dengan tatapan nanar. Ada rasa iri yang menggerrogoti jiwa keduanya, melihat begitu istimewanya Boy memperlakukan putri kesayangannya. Supir cafe yang mengantar Syafa membukakan pintu untuk Syafa. Wanita itu tampak mengangkat sedikit gaun panjangnya. Gadis cantik itu terlihat mempesona dengan gaun berwarna putih dengan model kerah sanghai. Rambut panjangnya digulung katas. Riasan natural ciri khas dari Syafa membuatnya terlihat semakin elegan. "Ayaah ..." Syafa menyapa Boy dengan nada manja. Boy merentangkan kedua tangan untuk mererima putri tercintanya agar masuk ke dalam pelukannya. "Selamat dat
"Jaga bicaramu, Lintang! ⁰ Boy menggebrak meja makan hingga sebagian makanan tumpah di atas meja. Syafa terkejut bukan main. Baru kali ini ia melihat Boy Azka semarah itu. Lintang menatap Syafa dengan tatapan sinis. Ia menganggap Syafa sebagai penyebab kekacauan di keluarganya. Tubuh Syafa gemetar. Hatinya nyeri dan sedih mendapatkan sikap Lintang yang sangat tidak menyukainya. Napas gadis itu mulai memburu. "Lintang, duduk!" Firda membelai lengan kokoh putra sulungnya. "Tapi, Bun ..." "Duduk, Lintang!" Suara Firda semakin tegas. Diam-diam ia melirik Syafa. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan. Dua netranya telah mengembun. Entah kenapa Firda tidak tega melihatnya. "Maafkan Lintang, Mas. Duduklah kembali." Firda mencoba menenangkan suaminya. Boy Azka kembali duduk. Firda memberi isyarat pada pelayan agar segera membersihkan meja yang terkena tumpahan lauk. Dengan cekatan dua pelayan itu mengerjakannya lalu mengganti lauk yang tumpah dengan yang baru. Mereka kembali melanjutkan