"Bu Shinta, Saya sudah mendapatkan model yang cocok dan pas untuk iklan produk properti kita." Genta tiba-tiba menghampiri Maira yang baru saja keluar dari ruang rapat. "Oh ya? Siapa?" Maira mulai melangkah menuju ruangannya diikuti Genta. "Syafa." Langkah Maira tiba-tiba terhenti. Wanita cantik itu mengerutkan keningnya. "Apa? Maksud Kamu Syafa ..." "Ya, Syafa adik ipar Bu Shinta. Dia sangat cocok untuk iklan yang akan kita buat." "Ayo kita bicara di ruanganku!" Maira melanjutkan langkahnya. "Bu Shinta, teman-teman mau nengok Kayla ke apartemennya. Ibu mau ikut? Dewi menghampiri Maira dan berjalan menyamai Genta. "Oh ya, Aku hampir saja lupa. Kapan kalian akan ke sana?" "Sore ini, Bu." "Kalian duluan saja. Nanti Aku konfirmasi dulu dengan Pak Rein." Maira tersenyum. Kini mereka bertiga sudah masuk ke dalam ruangan Maira. "Silakan duduk, Genta. Kamu nggak salah pilih? Syafa bukan model. Dia belum berpengalaman." Maira sudah menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kebesarannya. S
[ Apa kabar, Mbak Syafa? Bagaimana dengan tawaran Saya waktu itu?] Syafa yang sedang berada di kamarnya baru saja membaca pesan dari Genta. Sewaktu di rumah Maira, tanpa sepengetahuan Paul, mereka saling bertukar nomor ponsel. [Apa Mbak Syafa bersedia jadi model? Saya akan kenalkan Mbak Syafa dengan seseorang yang bisa membimbing Mbak hingga bisa menjadi model terkenal]. Syafa masih belum membalas dua pesan dari Genta. Sebenarnya wanita itu masih ragu, karena Paul sepertinya belum mengizinkan ia untuk aktif di luar sana. "Ada apa, Sayang? Kok melamun?" Tiba-tiba Paul masuk dan mendekati istrinya yang baru saja selesai mandi. Syafa hanya menggeleng sambil tersenyum. "Pesan dari siapa?" Paul melirik sekilas pada ponsel.yang digenggam Syafa. Layar ponselnya masih menyala dan nampak sederet pesan dari seseorang. "Dari ... dari Genta Kak." "Apaa? Genta?" reflek Paul meraih ponsel di tangan istrinya dan membaca isi pesan itu, hingga seketika.wajah pria bule itu menggelap. "Sialan s
"Ayah ...!" Boy azka dan Paul menoleh ke belakang. "Syafa?" Paul mengerutkan keningnya. Sepertinya Syafa masuk dari pintu belakang.Wanita itu sangat cantik dengan dress selutut dan rambut bergelombangnya digerai bebas. Riasan wajah naturalnya seakan memperjelas usianya yang masih sangat muda. "Syafa? Kemarilah, Nak!" Boy merentangkan kedua tangannya dan menatap Syafa penuh rindu. Syafa yang semula ragu, akhirnya mendekat dan menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan sang Ayah. Kedua Ayah dan anak itu berpelukan cukup lama. Boy merasakan netranya mulai basah dibalik kacamata gelapnya. Moment yang sangat ia nanti-nantikan belakangan ini adalah memeluk putrinya. Pria paruh baya itu tak sanggup menahan rasa harunya. "Mau ke rumah atau di sini saja, Pak?" tanya Paul hingga keduanya melepaskan pelukan. Boy Azka melihat sekeliling. Cafe itu tidak terlalu ramai dan cukup tenang. "Di sini saja," jawab pria paruh baya itu. "Baiklah." Paul memberi kode pada salah satu pelayan cafe untuk
"Kenapa Ayah hanya diam? Memangnya apa yang menyebabkan ibuku meninggal?" Syafa terus memberondong Boy Azka dengan berbagai pertanyaan. Pria yang dulu hanya bisa ia lihat di televisi dan media sosial itu kini terdiam tanpa sepatah kata pun di hadapannya.. Setelah beberapa lama berpikir, akhirnya Boy mendapatkan kata-kata yang pantas ia katakan pada putrinya mengenai Kirana. "Ibumu sakit-sakitan sejak hamil Kamu, lalu kesehatannya menurun setelah mwlahirkanmu." Boy merasa lega karena sepertinya Syafa percaya dengan apa yang ia katakan. Syafa terhenyak. Netranya memanas. "Jadi ..., ibu meninggal karena Aku? Andai saja Aku tidak dilahirkan, mungkin Ibu tidak akan pergi, dan masih menjadi seorang model terkenal saat ini." Syafa bicara pada dirinya sendiri. "B-bukan begitu, Sayang. Jangan menyalahkan dirimu. Semua ini takdir." Kini justru Boy merasa cemas melihat Syafa mulai terisak. "Tenanglah. Tidak ada yang menyalahkanmu." Boy berusaha membujuk Syafa. Satu tangan kokohnya membelai
"Tante Firda?" Syafa menyapa wanita cantik berpenampilan elegan yang melangkah anggun di sampingnya. Seketika wanita cantik itu menoleh. Wajah Firda menegang. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Syafa di tempat itu "Tante masih ingat Aku?" Syafa bicara dengan antusias. Ia nampak senang bisa bertemu lagi dengan Firda. Wanita paruh baya itu menatap Syafa tajam dengan jantung berdetak lebih cepat. Dadanya seketika bergemuruh saat memandang Syafa. Anak dari istri simpanan suaminya. Tenggorokan Firda tercekat seakan sulit untuk bicara. Emosi yang sejak kemarin ia rasakan kini kembali tersulut. "Tante pasti lupa sama Aku ya? Aku Syafa, Tante. Waktu itu kita ketemu di rumah sakit Bogor. Mungkin karena saat itu Aku masih pakai kursi roda, makanya Tante nggak ngenalin Aku sekarang. Iya, kan?" ungkap Syafa yang nampak bahagia bertemu Firda. Ia langsung mencium punggung tangan Firda dengan hormat. Melihat sikap Syafa, Firda terpaksa meredam emosinya. Ia tak mungkin juga marah-marah pada
"Syafaaa ...!" Paul setengah berteriak dari depan lobby, sambil melambaikan tangan pada istrinya. Melihat lambaian tangan Paul dari dalam mobil, membuat Syafa tersentak dari lamunannya. Ia baru saja melihat Lintang. Dadanya terasa nyeri melihat pria itu memandangnya dengan tatapan tak suka. "Untuk apa Kak Lintang ke salon itu? Bukankah itu salon khusus wanita?" pikir Syafa saat melihat Lintang justru berbelok menuju pintu utama Salon. Syafa melangkah keluar dari pintu restoran lalu menghampiri suaminya. Sedangkan Lintang kembali menoleh ke luar sebelum ia memasuki pintu kaca salon mewah itu. "Syafa, dia sudah tidak pakai kursi roda lagi. Andai saja dia bukan anak dari selingkuhan Ayah, Aku pasti akan menyapanya." Lintang menghela napas panjang. "Aku hanya ingin Bunda dan Ayah hidup rukun dan bahagia. Semoga saja rencanaku dan Bumi kali ini berhasil," harap Lintang dalam hati. Lintang dan Bumi merasa akhir-akhir ini hubungan kedua orang tuanya kembali renggang. Padahal Sang B
"Ayo, bun. Kita ke sana!" .. "Lintang, Apa maksudnya ini semua? Kamu bilang mau ketemu teman kamu. Kok, malah adaaa ..." Firda kembali menoleh pada Boy Azka dan bumi. Mereka belum menyadari kedatangan Firda dan Lintang. Lintang tak menjawab. Tangannya terus membawa Sang Bunda mendekat pada Ayah dan adiknya. "Ayah ..." "Loh, Firda? Lintang? Kalian ...?" Boy Azka menoleh dan memandang bingung pada istri dan anak sulungnya secara bergantian. Firda mendengkus kesal. "Benar dugaanku. Lintang dan Bumi sedang merencanakan sesuatu. Mas Boy pasti berpikir Aku yang ingin ketemu sama dia. Bisa-bisa besar kepala dia nanti!" bathin Firda. Tatapannya menghujam pada netra kedua anaknya. "Maaf,.Mas. Aku nggak tau kalau Lintang akan membawaku kesini. Ini sepertinya salah paham. Lebih baik Aku pergi saja!" Firda bicara dengan nada dingin. Kemudian memutar tubuhnya hendak kembali keluar dari restoran itu. Namun belum juga wanita cantik itu mulai melangkah pergelangan tangannya sudah dicekal o
"Kamu cantik dan wangi sekali ...," bisik Boy Azka. Ia meraih jemari Firda dan melangkah di samping istrinya itu. Firda masih belum mau bicara banyak. Ia diam saja saat Boy mulai mendekatkan wajahnya. Mereka melangkah menuju pintu keluar. Firda tak mungkin lagi mengelak, karena ada beberapa pelayan restoran yang menunggu di dekat pintu keluar. Firda kembali menoleh ke kanan dan kiri hingga pandangannya mengelilingi seisi restoran. Memang tidak ada satupun pengunjung di sana. "Apakah Lintang dan Bumi memang sudah membooking satu restoran ini ?" pikirnya dalam hati. "Terimakasih Pak, Bu. Semoga lain kali bisa kembali ke restoran ini!" Seorang pria paruh baya berpakaian rapi dan formal, mengantarkan sepasang suami istri itu hingga ke mobilnya. Boy mengangguk tegas dengan senyuman. "Silakan, Pak, Bu!" Supir pribadi Boy Azka membukakan pintu mobil mewah yang sudah menunggu sejak tadi, lalu mempersilakan kedua majikannya untuk masuk sebelum ia kembali menutup pintu. "Ke Apartemen Sa
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b