"Kayla, kamu kenapa? Kamu habis nangis?" Dewi baru saja masuk ke toilet wanita, terkejut melihat Kayla sedang mengusap matanya yang memerah. Kayla menggeleng. "Mataku kelilipan, Mbak Dewi. Aku duluan, ya!" "Eeeh, ntar dulu! Kamu pasti bohong, kan?" Dewi menghalangi Kayla untuk keluar dari toilet. Wanita itu penasaran dengan apa yang terjadi pada wanita cantik berhijab itu. Dewi menyipitkan matanya memandang wajah Kayla yang terlihat sedih. Sementara Kayla yang tadi sudah membuka maskernya, berusaha menutupi wajahnya. "Kay ..., kalau ada apa-apa, cerita aja. Siapa tau aku bisa bantu." Kayla mengangguk cepat. Ia ingin segera keluar dari sana. "Makasih, Mbak Dewi. Aku nggak apa-apa, kok. Aku keluar dulu." Kali ini Dewi membiarkan Kayla keluar dari toilet itu. Ia sangat yakin Kayla berbohong. Waktunya jam makan siang karyawan. Dengan langkah cepat Kayla berjalan keluar kantor menuju warung nasi yang berada di pinggiran jalan, cukup jauh dari Eternal Group. Karena hendak berhema
"Josh ... mana Shnta? Sejak kemarin Mama nggak lihat Dia." tanya Laura saat Rein menyuapinya bubur. Sejak semalam Laura sudah dipindahkan ke ruang high care yang terpisah dari pasien ICU lainnya. Hanya saja wanita paruh baya itu masih menggunakan beberapa alat medis khusus untuk memantau kondisinya. "Shinta kerja, Ma. Hari ini ada rapat penting semua pemegang saham Eternal Group Nanti kalau sudah beres semua, dia akan menyusul. Mama harus sehat dulu. Hari ini Mama akan dipindahkan ke ruang rawat VVIP." "Mama mau telpon Shinta." "Iyaaa, nanti kalau makannya habis," sahut Rein lembut. Dulu, sewaktu ibunya sakit, Rein sama sekali tidak mengurus Ibunya. Ketika itu dia masih remaja. Semua diurus oleh asisten rumah tangga yang selalu berganti-ganti. Kini, ia tak mau menyia-nyiakan waktu yang ada. Walaupun hasil test DNA nya belum keluar, Rein sudah merasa Laura adalah mamanya. Sebuah ikatan bathin lebih akan terasa kuat dari selembar kertas hasil test DNA. Kemarin, Paul memaksanya u
[Kak Paul, kapan ke Jakarta? Ibu minta Kakak harus segera nikahi Aku. Bagaimana ini, Kak? Aku harus jawab Apa?] Sebuah pesan dari Syafa membuat mata Paul melebar memandang layar ponselnya. Ia ingin menghubungi Syafa langsung. Tapi Saat ini ia sedang berada di kamar Laura. "Semoga saja Rein secepatnya ke sini. Aku harus segera ke Jakarta," pikirnya dalam hati. Pria bule itu sempat panik setelah membaca pesan dari Syafa. [ Malam ini Aku akan datang. Tunggu Aku! Jangan pernah meragukanku] Paul membalas pesan itu. Semoga saja Syafa menjadi lebih tenang. Ia tau Syafa sama gelisahnya dengan dirinya.. "Kamu kenapa, Paul? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah terus." Laura memperhatikan Paul yang sibuk berbalas pesan dengan wajah tegang. "Eee ...Ma, Aku ada sedikit masalah di club. Malam ini Aku ke Jakarta dulu. Besok setelah urusanku selesai, Aku akan kembali ke sini." Paul.bicara hati-hati pada Laura. Ia khawatir mamanya itu akan kecewa jika ia tinggal. "Memangnya ada urusan apa? Pen
"Kayla, kamu cantik banget hari ini." "Harusnya kamu jadi model aja Kay, cocok!" Tak henti-hentinya para pria di ruangan itu menggoda Kayla yang sedang sibuk menggunakan mesin fotokopi. Kayla memang kadang membantu para manager untuk memfotokopi beberapa berkas. Namun, Kayla hanya menanggapi godaan para pria itu dengan senyuman. Ia menganggap para karyawan pria di kantor itu hanya bergurau. Tidak ada yang serius. Sementara itu, di lobby gedung Eternal group, Raka baru saja tiba di area parkir. Ia mendapat kabar bahwa Rein masih berada di luar kota. Tanpa ada rasa kapok setelah diusir secara tidak terhormat beberapa hari yang lalu, Pria yang kini mulai terlihat klimis kembali, masuk begitu saja ke dalam gedung pusat Eternal group. Saat itu para security sedang mengikuti apel pagi di lapangan samping. Sementara security yang sedang berjaga tidak mengenali Raka karena masih baru, dan mempersilakan pria itu masuk. Dengan santainya, Raka masuk dan langsung melangkah menuju lift khus
"Mas Raka, mau apa kamu, Mas?" Kayla perlahan mundur melihat Raka yang terus melangkah hendak mendekatinya. "Aku suamimu. Aku berhak atas Kamu.!" sontak Raka memeluk Kayla begitu erat. "Lepasin Aku, Mas!" Kayla berusaha untuk mendorong tubuh Raka. Walau dalam hatinya ada kehangatan dan kebahagiaan saat berada dalam dekapan tubuh kekar itu. "Pulanglah Kayla. Aku merindukanmu!' bisiknya. Kayla kembali.mengingat tatapan Raka penuh damba pada Shinta beberapa hari yang lalu. Ia pun kembali meragukan kata-kata rindu yang diucapkan suaminya itu. "Kamu hanya rindu tubuhku, Mas. Bukan Aku." Kayla memberanikan diri mengatakan sesuatu yang menjadi beban hatinya selama ini. Raka semakin mempererat pelukannya "Tidak, Kayla! Itu tidak benar! Aku benar-benar mencarimu kemana-mana" "Sudahlah,Mas. Aku nggak mau kamu nyakitin Aku lagi. Lebih baik kita hidup masing-masing saja sekarang." Kayla berusaha melepaskan diri dari pelukan Raka. Namun tubuhnya yang lebih kecil tak sanggup melawan tubuh Ra
"Laki-laki brengsek! Sedang apa kalian di dalam?" Raka berdiri melotot pada Genta dan Kayla. "Mas Raka, Kami nggak ngapa-ngapain!' jerit Kayla melihat Raka mulai melangkah menghampiri Genta. Mata Raka berkeliling melihat ruangan yang banyak berisi alat-alat untuk pemotretan. Ia yang masih dilanda emosi, melangkah maju hendak mencengkeram kaos Genta. Namun dengan secepat kilat pria muda itu menepis tangan Raka. Raka yang tak terima dan semakin emosi mulai mengarahkan satu pukulan ke wajah Genta. Namun lagi-lagi Genta dengan mudahnya menangkis tangan Raka. Para karyawan sudah banyak yang berdatangan. Mereka tak berani melerai perkelahian itu. "Kamu pasti sudah berbuat yang tidak pantas di ruangan ini. Iya, kan? Ngaku aja!" Raka sengaja berteriak agar semua orang mendengarnya.. Kini Genta yang tersulut emosinya. Ia mencengkeram kemeja Raka dengan kasar. Raka berusaha melepaskan diri namun tenaganya tak mampu melawan Genta yang begitu kuat. "Jangan asal menuduh! Ini namanya penc
"Maaf Tuan Abraham, bukankah sebaiknya kita membicarakan penawaran kerjasama dari PT. Anggada jaya? Saya sudah siap untuk mempresentasikan penawaran kami." Abraham tertawa keras. Suara dan tawa yang begtu dominan, perkataan yang tegas serta tidak menerima penolakan, membuat Maira menyimpulkan bahwa pria yang ada di hadapannya adalah seorang pria arogant. "Tenang saja Shinta. Reinhard sudah berkali-kali mempresentasikannya di hadapanku. Kali ini kita santai saja dulu. Nikmati menu yang ada di reatoranku ini. Jika kamu tidak mau mengatakan makanan kesukaanmu, tidak apa. Aku akan hidangkan seluruh menu istimewa di restoran ini." Maira ternganga mendengar ucapan AbrahamIa tak percaya jika pria yang di katakan Rein sebagai Pria dingin, angkuh dan sulit dipemgaruhi, ternyata jauh dari itu semua. Maira hanya bisa terdiam saat beberapa pelayan mondar-mandir menghidangkan beberapa menu. "Ayo, kamu harus coba ini dan ini!" Abraham menunjuk beberapa makanan. Sesekali ia menyendokkan satu m
"Aku akan segera menikahi Syafa." Rein melebarkan matanya, ia tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Paul barusan. "Kamu yakin? Syafa belum sembuh. Bagaimana dengan Mama?" Apa kamu yakin Mama akan menerina Syafa?" Rein mencecar banyak pertanyaan pada pria yang postur tubuhnya tak jauh berbeda dengannya itu. Saat ini keduanya sedang berada di depan administrasi rumah sakit. Mereka baru saja menyelesaikan biaya administrasi pengobatan Laura. Hari ini Laura sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Kondisinya sudah sangat stabil. Hari ini pula hasil test DNA Rein dan Paul keluar. "Kedua orang tua Syafa terus-terusan mencecarku. Aku nggak tega dengan Syafa yang terus kepikiran," jelas Paul. Matanya menerawang membayangkan wajah sedih Syafa. "Bagaimana jika Mama--" Rein tidak meneruskan ucapannya. Ia tidak mungkin mematahkan semangat saudara kembarnya itu. .Paul menghela napas kasar.. "Jika mama menolak Syafa, Aku tetap akan menikahinya. Entah kenapa, hatiku seakan sudah terp