"Mampir? Bukankah katamu tadi kita langsung pulang saja?"
"Langsung pulang ya," ulang Dave mengikuti perkataan Rachel.
Tubuh Rachel mendadak menegang saat Dave meraih pergelangan tangannya, menarik dan mendekatnya ke mulut lelaki itu.
Tanpa diduga, Dave menciumi telapak tangan Rachel. Terlebih lelaki itu melakukannya tanpa melepas kontak mata, membuat pipi Rachel bersemu merah.
"Apaan sih kamu, Dave? Aku malu tahu kalau banyak orang," tegur Rachel sembari mengalihkan pandangannya.
"Oh. Jadi kamu nggak suka kalau ada banyak orang."
Tangan Rachel masih di pegang oleh Dave. Lelaki itu seperti enggan melepasnya dan malah makin memperat genggamannya.
"Kita cari tempat yang sepi, yuk."
Rachel terbelalak. Matanya nampak terkejut mendengar ajakan lelaki itu.
"Hah? Kamu bilang apa tadi? Ini masih sore, Dave. Nanti saja kalau sudah malam."
"Kenapa harus tunggu malam? Saya tidak bisa menunggu lebih lama
Rachel memandang Dave dengan sorot mata yang kecewa. "Kenapa berhenti Dave?" lirihnya pelan. "Tidak... Tidak... Tidak boleh sekarang... Tidak boleh saat on banget begini," gumam Dave mendadak menjauhkan tubuhnya. Rachel menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi Dave. Mata keduanya yang saling bertatapan satu sama lain. Walau bibir tak berucap sepatah katapun namun pandangan mata wanita itu seakan berbicara. "Kamu tahu bukan kalau kita sudah lama tidak melakukannya. Saya mungkin akan kesulitan mengendalikan diri karena sudah lama menahannya. Saya akan berusaha tapi kalau dirasa...." Dave mendadak kesulitan mengutarakan kata yang tepat. Seakan memahami kegelisahan suaminya, Rachel mengulas senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Dave. Aku mengerti. Sama sepertimu, aku juga menginginkannya." Suara Rachel yang terdengar serak nan parau, menggoda hasrat Dave yang semakin meronta. "Saya ingin kamu bisa men
Tubuh Rachel serasa melayang di udara. Ia sudah tidak bisa merasakan tanah berpijak akibat tangan Dave yang mengendongnya. Refleks, ia mengalungkan tangannya di leher Dave agar tidak terjatuh."Hey, Turunkan aku. Kamu mau apa? Katanya mau main game. Ini masih pagi, Dave."Rachel mencoba mengantisipasi kemungkinan Dave mengerjainya dengan menanyai pertanyaan beruntut kepada lelaki itu."Gamenya di kamar, Sayang. Justru karena masih pagi, waktu bersenang-senang kita jadi bisa lebih lama."Setelah Dave membaringkan Rachel diatas ranjang, mereka berdua saling memandang satu sama lain tanpa berucap sepatah katapun. Dave menatap istrinya sambil senyum-senyum sendiri."Kenapa melihatku begitu?" tanya Rachel yang mulai risih dengan tatapan Dave.Dave hanya terkekeh pelan. Lelaki itu menyadari wajah Rachel yang nampak memerah saat ini."Biar tambah seru... Bagaimana kalau kita buat taruhan?" usul Dave nampak bersemangat."Ta
Dave menoleh sekilas ke Rachel. Kemudian beralih memandangi makanan yang ada di atas meja makan dengan mata berbinar-binar."Keliatannya enak nih," gumam Dave tidak menghiraukan sindiran Rachel.Rachel diam saja. Seolah tidak memperdulikan keberadaan suaminya, ia hanya mengambil makanan untuk dirinya sendiri.Dave menghela napas sembari melirik piring kosong di depannya. Lalu beralih menatap wajah Rachel yang cemberut."Kamu marah sama saya?" tanya Dave sembari menyendokkan nasi ke piringnya.Rachel menoleh sekilas. Dilihatnya Dave tengah memandangi wajahnya dengan dahi berkerut. Ia pun mengeleng pelan."Kalau enggak marah, kenapa mukamu ditekuk begitu?""Aku nggak marah kok. Cuma kesal saja.""Kesal kenapa? Kesal sama saya?" seloroh Dave menebak-nebak."Bukan. Aku kesal sama game yang kita mainin tadi."Dave mengeleng pelan. Ia jadi menyesal telah mengajak Rachel bermain game konsol. Jika tahu istrinya akan
"Cindy, kamu disini dulu ya. Kalau makannya kurang ambil saja sisanya di dapur. Mau bikin minum juga ada di dapur. Tinggal bikin saja—"Dave beralih menatap wajah Rachel."Hel, ikut saya sebentar ke dalam. Ayo!" ajak Dave seraya menarik tangan Rachel masuk ke kamar."Ada apa sih?" tanya Rachel begitu mereka berada di dalam kamar."Kamu gimana sih? Biarin Cindy gitu aja, menginap disini. Baju kamu masih di kamar sebelah semua bukan?" protes Dave menahan kesal.Rachel seketika menutup mulutnya karena tercengang."Oiya, aku lupa. Kita harus bagaimana ini, Dave? Enggak mungkin juga Cindy kita suruh tidur di sofa depan tv," celetuk Rachel terlihat panik."Mana saya tahu. Bantu saya mikir solusinya," ketus Dave terdengar sewot."Ini juga aku lagi mikir," timpal Rachel sembari mengigiti ujung kukunya.Dave menyeka wajahnya kasar. Ia melirik sekilas ke lemari pakaiannya."Begini saja. Pindahin baju-baju dan semua ba
"Dave..." Rachel menoleh ke samping, melihat kedua mata Dave telah tertutup rapat. "Sudah tidur ya?" "Hmm..." "Hebat ya. Katanya sudah tidur tapi masih bisa di ajak ngobrol," ledek Rachel sembari menahan tawanya. "Kalau tidak ada hal penting yang perlu di bahas, lebih baik tidur," tegur Dave. "Aku kepikiran soal yang tadi, Dave." "Yang mana?" tanya Dave yang masih memejamkan matanya. "Soal Cindy yang tidur di kamar sebelah." Seketika Dave menoleh saat mendengar nama adiknya disebut. Kedua matanya yang telah terbuka kini menatap tajam ke arah Rachel. "Kenapa? Kamu sekarang keberatan dia ada disini?" "Bukan begitu. Aku nggak keberatan adikmu disini, tapi apa harus sampai papah nggak boleh tahu begitu?" tanya Rachel hati-hati. "Ya, karena kalau papah tahu. Cindy pasti bakal dimarahi. Kamu tau sendiri bukan bagaimana kerasnya papah?" Rachel mengangguk. Sebenarnya ia tidak senang denga
Pertanyaan mendadak Dave membuat senyum cantik istrinya terlepas. Rachel memasang wajah datar, membuang muka saat Dave menatap lekat matanya."Bisa tidak kita tidak membahas itu dulu untuk saat ini?" Rachel nampak enggan menjawab pertanyaan suaminya."Sampai kapan kamu mau menghindar dan terus menunda-nunda?""Aku tidak menghindar, tapi menunggu waktu yang tepat.""Mau sampai kapan kamu mau terus menunggu? Sampai kau ikut terseret juga?" desak Dave terdengar kesal.Rachel sedikit kaget mendengar suara Dave yang agak meninggi. Lelaki itu tak sengaja melirik ke perut Rachel.Melihat keterkejutan di wajah istrinya, seketika itu juga Dave membuang muka. Lelaki itu mengambil napas panjang dan menghembuskan perlahan, sembari menetralkan emosinya."Apa lagi sih yang sedang kau tunggu? Kamu perlu uang tambahan? Apa uang bulanan yang selama ini saya kasih kurang? Jangan buat saya seakan tidak sanggup mencukupi semua kebutuhanmu."
"Hey, bengong saja."Dave tiba-tiba menjentikan jarinya ke dahi Rachel, membuat lamunan wanita itu jadi terputus."Aw... Sakit, Dave."Rachel meringis sambil telapak tangannya refleks menampar lengan Dave."Apa-apaan sih kamu? Sentil kepala orang sembarang saja," keluh Rachel seraya mengusap-usap kepalanya."Siapa suruh bengong terus. Kamu tahu tidak kalau ayam keseringan bengong bakal di potong sama pemiliknya?""Masa kamu samakan aku sama ayam," keluh Rachel tak terima.Dave terkekeh pelan sembari memasang tampang polos, tak berdosa."Ya, sudah kalau begitu jangan banyak bengong. Lagi mikir apa sih kamu?""Enggak mikirin apa-apa kok," elak Rachel seketika.Dave percaya begitu saja. Matanya kembali tertuju ke perut Rachel. Sesekali ia menyentuh dan menciumi perut buncit itu sembari bergumam sendiri, seolah tengah mengajak anak yang ada di perut Rachel berbicara.Rachel kembali tersenyum l
Rachel tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada suaminya. Ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun, tapi kenapa sikap Dave yang dingin saat ini terlihat seakan tengah memendam amarah. Lelaki itu seperti berusaha menjauh darinya. Berbagai pikiran buruk seketika terlintas dalam benaknya. Namun buru-buru di tepisnya. "Mungkin dia sedang banyak kerjaan," gumam Rachel menguatkan hatinya. Rachel tidak ingin berburuk sangka. Ia berusaha berpikir positif dan berharap esok hari sikap Dave akan kembali seperti biasanya. ☆☆☆ Dave menyandarkan punggungnya sembari memejamkan matanya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya berulang kali. Rasanya ia ingin marah, berteriak dan menghancurkan semua barang-barang yang ada di depan matanya sebagai bentuk luapan emosinya. Perkataan Alex kepadanya beberapa jam yang lalu itu masih saja terngiang-ngiang di kepalanya. Masih terekam jelas dalam ingatan, bagaimana pertemuannya dengan lelaki itu.