Rachel terkikik pelan mendengar pertanyaan suaminya. Ia tidak menduga, Dave masih mengingat julukan yang pernah di berikan padanya. Julukan yang beberapa kali ia katakan di saat sedang kesal dengan tingkah menyebalkan lelaki itu.
"Memang kamu si pirang rese. Rambutmu yang pirang di tambah kelakuanmu yang rese dan menyebalkan. Wajarlah kalau kamu ku panggil pirang rese," ledek Rachel menahan tawanya.
"Mulai berani bertingkah kamu ya sekarang. Sudah tidak takut lagi rupanya. Mau tak jitak, hah?"
Dave mendadak berkacah pinggang. Wajahnya sengaja ia buat segalak mungkin. Bukannya takut, Rachel malah tertawa melihat Dave yang terlihat berpura-pura marah.
"Jangan di jitak, Dave. Nanti aku benjol. Kamu mau punya istri yang kepalanya benjol-benjol," kelit Rachel sembari nyengir polos.
Dave menghela napas sebal sembari membuang muka. Malas menanggapi ucapan Rachel yang tidak masuk akal baginya.
Menyadari wajah sang suami masih
"Mampir? Bukankah katamu tadi kita langsung pulang saja?" "Langsung pulang ya," ulang Dave mengikuti perkataan Rachel. Tubuh Rachel mendadak menegang saat Dave meraih pergelangan tangannya, menarik dan mendekatnya ke mulut lelaki itu. Tanpa diduga, Dave menciumi telapak tangan Rachel. Terlebih lelaki itu melakukannya tanpa melepas kontak mata, membuat pipi Rachel bersemu merah. "Apaan sih kamu, Dave? Aku malu tahu kalau banyak orang," tegur Rachel sembari mengalihkan pandangannya. "Oh. Jadi kamu nggak suka kalau ada banyak orang." Tangan Rachel masih di pegang oleh Dave. Lelaki itu seperti enggan melepasnya dan malah makin memperat genggamannya. "Kita cari tempat yang sepi, yuk." Rachel terbelalak. Matanya nampak terkejut mendengar ajakan lelaki itu. "Hah? Kamu bilang apa tadi? Ini masih sore, Dave. Nanti saja kalau sudah malam." "Kenapa harus tunggu malam? Saya tidak bisa menunggu lebih lama
Rachel memandang Dave dengan sorot mata yang kecewa. "Kenapa berhenti Dave?" lirihnya pelan. "Tidak... Tidak... Tidak boleh sekarang... Tidak boleh saat on banget begini," gumam Dave mendadak menjauhkan tubuhnya. Rachel menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi Dave. Mata keduanya yang saling bertatapan satu sama lain. Walau bibir tak berucap sepatah katapun namun pandangan mata wanita itu seakan berbicara. "Kamu tahu bukan kalau kita sudah lama tidak melakukannya. Saya mungkin akan kesulitan mengendalikan diri karena sudah lama menahannya. Saya akan berusaha tapi kalau dirasa...." Dave mendadak kesulitan mengutarakan kata yang tepat. Seakan memahami kegelisahan suaminya, Rachel mengulas senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Dave. Aku mengerti. Sama sepertimu, aku juga menginginkannya." Suara Rachel yang terdengar serak nan parau, menggoda hasrat Dave yang semakin meronta. "Saya ingin kamu bisa men
Tubuh Rachel serasa melayang di udara. Ia sudah tidak bisa merasakan tanah berpijak akibat tangan Dave yang mengendongnya. Refleks, ia mengalungkan tangannya di leher Dave agar tidak terjatuh."Hey, Turunkan aku. Kamu mau apa? Katanya mau main game. Ini masih pagi, Dave."Rachel mencoba mengantisipasi kemungkinan Dave mengerjainya dengan menanyai pertanyaan beruntut kepada lelaki itu."Gamenya di kamar, Sayang. Justru karena masih pagi, waktu bersenang-senang kita jadi bisa lebih lama."Setelah Dave membaringkan Rachel diatas ranjang, mereka berdua saling memandang satu sama lain tanpa berucap sepatah katapun. Dave menatap istrinya sambil senyum-senyum sendiri."Kenapa melihatku begitu?" tanya Rachel yang mulai risih dengan tatapan Dave.Dave hanya terkekeh pelan. Lelaki itu menyadari wajah Rachel yang nampak memerah saat ini."Biar tambah seru... Bagaimana kalau kita buat taruhan?" usul Dave nampak bersemangat."Ta
Dave menoleh sekilas ke Rachel. Kemudian beralih memandangi makanan yang ada di atas meja makan dengan mata berbinar-binar."Keliatannya enak nih," gumam Dave tidak menghiraukan sindiran Rachel.Rachel diam saja. Seolah tidak memperdulikan keberadaan suaminya, ia hanya mengambil makanan untuk dirinya sendiri.Dave menghela napas sembari melirik piring kosong di depannya. Lalu beralih menatap wajah Rachel yang cemberut."Kamu marah sama saya?" tanya Dave sembari menyendokkan nasi ke piringnya.Rachel menoleh sekilas. Dilihatnya Dave tengah memandangi wajahnya dengan dahi berkerut. Ia pun mengeleng pelan."Kalau enggak marah, kenapa mukamu ditekuk begitu?""Aku nggak marah kok. Cuma kesal saja.""Kesal kenapa? Kesal sama saya?" seloroh Dave menebak-nebak."Bukan. Aku kesal sama game yang kita mainin tadi."Dave mengeleng pelan. Ia jadi menyesal telah mengajak Rachel bermain game konsol. Jika tahu istrinya akan
"Cindy, kamu disini dulu ya. Kalau makannya kurang ambil saja sisanya di dapur. Mau bikin minum juga ada di dapur. Tinggal bikin saja—"Dave beralih menatap wajah Rachel."Hel, ikut saya sebentar ke dalam. Ayo!" ajak Dave seraya menarik tangan Rachel masuk ke kamar."Ada apa sih?" tanya Rachel begitu mereka berada di dalam kamar."Kamu gimana sih? Biarin Cindy gitu aja, menginap disini. Baju kamu masih di kamar sebelah semua bukan?" protes Dave menahan kesal.Rachel seketika menutup mulutnya karena tercengang."Oiya, aku lupa. Kita harus bagaimana ini, Dave? Enggak mungkin juga Cindy kita suruh tidur di sofa depan tv," celetuk Rachel terlihat panik."Mana saya tahu. Bantu saya mikir solusinya," ketus Dave terdengar sewot."Ini juga aku lagi mikir," timpal Rachel sembari mengigiti ujung kukunya.Dave menyeka wajahnya kasar. Ia melirik sekilas ke lemari pakaiannya."Begini saja. Pindahin baju-baju dan semua ba
"Dave..." Rachel menoleh ke samping, melihat kedua mata Dave telah tertutup rapat. "Sudah tidur ya?" "Hmm..." "Hebat ya. Katanya sudah tidur tapi masih bisa di ajak ngobrol," ledek Rachel sembari menahan tawanya. "Kalau tidak ada hal penting yang perlu di bahas, lebih baik tidur," tegur Dave. "Aku kepikiran soal yang tadi, Dave." "Yang mana?" tanya Dave yang masih memejamkan matanya. "Soal Cindy yang tidur di kamar sebelah." Seketika Dave menoleh saat mendengar nama adiknya disebut. Kedua matanya yang telah terbuka kini menatap tajam ke arah Rachel. "Kenapa? Kamu sekarang keberatan dia ada disini?" "Bukan begitu. Aku nggak keberatan adikmu disini, tapi apa harus sampai papah nggak boleh tahu begitu?" tanya Rachel hati-hati. "Ya, karena kalau papah tahu. Cindy pasti bakal dimarahi. Kamu tau sendiri bukan bagaimana kerasnya papah?" Rachel mengangguk. Sebenarnya ia tidak senang denga
Pertanyaan mendadak Dave membuat senyum cantik istrinya terlepas. Rachel memasang wajah datar, membuang muka saat Dave menatap lekat matanya."Bisa tidak kita tidak membahas itu dulu untuk saat ini?" Rachel nampak enggan menjawab pertanyaan suaminya."Sampai kapan kamu mau menghindar dan terus menunda-nunda?""Aku tidak menghindar, tapi menunggu waktu yang tepat.""Mau sampai kapan kamu mau terus menunggu? Sampai kau ikut terseret juga?" desak Dave terdengar kesal.Rachel sedikit kaget mendengar suara Dave yang agak meninggi. Lelaki itu tak sengaja melirik ke perut Rachel.Melihat keterkejutan di wajah istrinya, seketika itu juga Dave membuang muka. Lelaki itu mengambil napas panjang dan menghembuskan perlahan, sembari menetralkan emosinya."Apa lagi sih yang sedang kau tunggu? Kamu perlu uang tambahan? Apa uang bulanan yang selama ini saya kasih kurang? Jangan buat saya seakan tidak sanggup mencukupi semua kebutuhanmu."
"Hey, bengong saja."Dave tiba-tiba menjentikan jarinya ke dahi Rachel, membuat lamunan wanita itu jadi terputus."Aw... Sakit, Dave."Rachel meringis sambil telapak tangannya refleks menampar lengan Dave."Apa-apaan sih kamu? Sentil kepala orang sembarang saja," keluh Rachel seraya mengusap-usap kepalanya."Siapa suruh bengong terus. Kamu tahu tidak kalau ayam keseringan bengong bakal di potong sama pemiliknya?""Masa kamu samakan aku sama ayam," keluh Rachel tak terima.Dave terkekeh pelan sembari memasang tampang polos, tak berdosa."Ya, sudah kalau begitu jangan banyak bengong. Lagi mikir apa sih kamu?""Enggak mikirin apa-apa kok," elak Rachel seketika.Dave percaya begitu saja. Matanya kembali tertuju ke perut Rachel. Sesekali ia menyentuh dan menciumi perut buncit itu sembari bergumam sendiri, seolah tengah mengajak anak yang ada di perut Rachel berbicara.Rachel kembali tersenyum l
Rachel menatap lama ke sebuah tanggal pada kalender yang tengah di pegangnya. Ia baru sadar kalau bulan ini dirinya belum juga kedatangan tamu bulan. Pembalutnya yang tersimpan di box penyimpanan masih utuh. Meski sudah pernah mengandung Darrel, tetap saja kali ini dia kecolongan. "Bodoh. Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang setelah dua bulan berlalu?" umpatnya pada diri sendiri. Rachel yakin dirinya hamil, tapi ingin memastikannya dulu sebelum memberitahukan kabar bahagia ini pada sang suami. Pagi-pagi sekali Rachel pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli alat tes kehamilan. Begitu sampai di rumah, Dave memarahi Rachel karena pergi tanpa izin. "Darimana saja kamu? Kenapa pergi tanpa membangunkanku dulu?" cecar Dave begitu Rachel kembali. "Aku hanya pergi ke apotek dekat sini," jawab Rachel santai. "Kamu sakit?" Dave mendekat. Di sentuhnya kening dan leher istrinya bergantian dengan punggung tangannya.&nbs
Dewi yang tengah mengatur laju napasnya yang masih memburu, seketika terlonjak kaget. Ia mendongak, menatap Alex yang kini sudah terbaring di sampingnya dengan mata terpejam.Dewi mengumpat melalui tatapan matanya. Ia tidak menyangka Alex malah menyebut wanita lain saat bercinta dengannya."Jadi yang kau bayangkan saat bercinta denganku tadi itu Rachel," desis Dewi nampak tersinggung.Percuma saja Dewi berbicara, Alex sepertinya tidak mendengarkannya. Napasnya yang teratur diiringin suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Alex, menandakan lelaki itu sudah tertidur nyenyak.Kekagumannya pada sang bos membuatnya lupa diri, berharap suatu saat Alex dapat melihat cintanya yang teramat besar. Logikanya seakan hilang, tergantikan akan keinginannya untuk memiliki Alex seutuhnya.Kini Dewi hanya bisa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri. Tindakan bodohnya waktu itu ternyata membuahkan hasil hingga dirinya sekarang berakhir terkurung dalam
Trauma itu akan tetap ada. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya Alex tak lagi mengusik rumah tangga Rachel. Wanita itu terkadang masih di dera ketakutan yang sama. Takut jika suatu hari nanti Alex datang menemui Rachel di saat lelaki itu sedang tidak waras seperti waktu itu. Bayang-bayang masa lalu dimana wanita itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan kembali melintas seketika. Saat itu Rachel sedang bersembunyi dari kejaran Alex. Lelaki itu terlihat seperti orang gila setelah Rachel dengan tegas berterus terang ingin memutus hubungan dengannya. Wanita itu awalnya mengira dapat terbebas setelah bersembunyi. Namun Alex rupanya menemukan tempat persembunyian Rachel. "Lex, aku mau pulang. Kita bicara besok lagi ya. Sampai ketemu besok," ujar Rachel berbicara setenang mungkin. Melihat mata Alex yang mengelap seperti bukan dirinya, Rachel segera bergegas pergi. Namun wanita itu terlambat. Alex tiba-tiba meraih pergelangan tangan Rachel, menariknya
Dave menatap wajah Rachel lekat. "Kamu pernah bilang nggak sabar mau lihat anak kamu. Tapi kenapa begitu Darrel lahir, kamu jadi cuek begini?" Wajah Dave yang semula tanpa ekspresi kini malah tersenyum miring. "Anak saya? Apa kamu yakin kalau Darrel itu anak saya?" Rachel tersentak dengan pertanyaan Dave. Ia tidak menyangka Dave akan meragukan keberadaan Darrel. "Apa maksudmu, Dave?" Dave memandang wajah Rachel dengan tatapan yang sulit di artikan. "Waktu saya ke kantor kamu buat kasih surat pengunduran diri itu, Alex sempat berkata sesuatu ke saya. Soal anak itu—" Rachel seketika merasa was-was sekaligus penasaran dengan apa yang di katakan Alex ke Dave. "Lelaki itu bilang kalian berdua pernah berhubungan badan di belakang saya. Benar begitu?" tanya Dave nampak tenang. "Dave... Aku bisa jelaskan semuanya ke kamu." Sudut bibir Dave seketika tertarik ke atas. "Jadi tangis kesedihan s
Damian dan Kate terlihat terkejut setelah mendengar penuturan Cindy. Mereka tidak habis pikir dengan kelakuan anak lelakinya yang hingga kini belum terlihat juga batang hidungnya."Anak itu ya benar-benar kelakuannya. Awas saja nanti kalau sudah datang. Papah pukul kepalanya. Biar tahu rasa," sungut Damian seraya mengeleng kesal."Padahal sudah sering mamah kasih tahu. Kejadian juga. Istrinya mau lahiran, malah pergi kemana lagi tuh anak."Kate juga ikut meruntuki dengan berbagai caci maki yang ditujukan untuk Dave."Sudahlah, Pah, Mah. Mengomelnya nanti saja pas kak Dave sudah ada. Lebih baik sekarang kita berdoa semoga persalinan kak Rachel diberi kelancaran," saran Cindy menengahi.Damian dan Kate saling berpandangan untuk beberapa saat. Kemudian mengangguk. Kini mereka sudah lebih tenang. Walaupun sesekali Damian terlihat mondar-mandir di depan ruang bersalin. Sedangkan. Cindy dan Kate yang duduk bersebelahan terlihat saling menguatkan se
Entah sengaja atau tidak, Dave dengan polosnya malah bertanya pertanyaan yang membuat mamahnya semakin jengkel mendengarnya."Benar-benar ini anak ya," geram Kate sembari meremas ponsel Rachel.Tidak ingin keributan semakin meluas, Rachel pun berusaha menenangkan mertuanya."Sudahlah, Mah. Tidak apa-apa. Mamah tidak perlu cemas. Kata dokter masih seminggu lagi. Lagipula masih ada Dave yang bakal selalu jagain Rachel. Ya kan, Dave?""Hmm..."Dave berdeham sekenanya. Lelaki itu mengiyakan saja perkataan Rachel agar dapat terbebas dari amukan mamahnya.☆☆☆Rachel melirik ke arah jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul empat sore. Melihat hari sudah mulai senja, ia lantas bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.Walau gerakannya sudah tidak bisa segesit dulu lagi, namun ia tidak terlihat mengeluh. Wanita itu malah akan bosan kalau hanya duduk-duduk bersantai, menunggu suami pulang kerja. Untuk itu Rach
Setelah Dave berhasil melepaskan diri, lelaki itu malah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Mata Rachel kembali berkaca-kaca ketika melihat bayang-bayang yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rachel kembali merasa sedih saat menyadari suaminya sudah tidak tertarik lagi padanya. Semenjak kejadian malam itu, Dave benar-benar menghentikan frekuensi hubungan intim mereka. Entah mengapa lelaki itu jadi kehilangan gairahnya, seperti malam ini. Andai saja wanita itu tahu. Dave sebenarnya hampir menyentuh Rachel kembali malam ini, tapi gairah Dave mendadak padam ketika terbayang Rachel pernah di sentuh lelaki lain saat masih berstatus sebagai istrinya. Andai lelaki itu tidak teringat kata-kata Alex tempo hari, mungkin mereka tidak akan tidur di ranjang yang terpisah malam ini. ☆☆☆ Seorang lelaki berambut pirang nampak tengah berjalan memasuki kawasan poliklinik ibu dan anak di sebuah rumah sakit. Langkah kakinya mendadak berhenti saat melihat peman
Rachel tiba-tiba kembali menyinggung nama Alex saat mereka tengah makan bersama. Dave yang tengah menyendokkan makanan ke mulutnya, jadi berhenti begitu nama lelaki itu disebut. Selera makannya mendadak hilang entah kemana."Bukankah saya sudah cerita ya? Tidak dengar? Waktu itu telingamu kemana saat saya sedang bicara," ketus Dave menahan kesal.Mata hazel wanita itu mendadak berkaca-kaca mendengar nada tidak bersahabat yang keluar dari mulut suaminya."Aku tidak tahu apa saja yang Alex katakan padamu. Tapi kumohon jangan percaya apapun yang di ucapkannya. Dia itu," lirih Rachel menahan isak tangis yang ingin keluar.Suara sendok yang beradu dengan piring seketika membungkam mulut Rachel. Wanita itu berjingkat kaget mendengar suara bunyi sendok yang di lempar Dave. Entah di sengaja atau tidak, Dave tiba-tiba menaruh sendok makannya dengan kasar."Alex lagi. Alex lagi. Apa kamu tidak bisa membicarakan hal lain selain lelaki itu, Hah?"
Rachel membuka matanya, merasakan sebuah tendangan kuat di perutnya. Sontak ia mendongak sembari mengusap-usap perut besarnya."Kenapa, Sayang? Sudah lapar ya. Tunggu sebentar ya, Sayang. Kita makan sama-sama setelah menunggu papa pulang ya. Mama yakin papamu pasti sebentar lagi pulang," gumam Rachel seakan tengah berbicara dengan anak yang di kandungnya.Bayi di perutnya semakin aktif saja bergerak setiap harinya. Rachel memakan beberapa keping biskut dicampur dengan susu untuk menganjal rasa lapar. Ia tidak ingin anaknya ikut kelaparan menunggu suaminya yang tak kunjung pulang.Keinginan Rachel yang ingin makan malam bersama Dave yang menjadikan alasan wanita hamil itu tetap duduk setia di depan meja makan saat ini. Berulang kali ia menghela napas panjang setelah menyadari Dave belum juga pulang padahal hari sudah mulai petang."Sepertinya hari ini Dave lembur lagi," desah Rachel sembari menatap jam dinding.Hubungan Dave dan Rachel semakin