"Amal. Brian enggak seperti itu. Aku enggak percaya sama kamu. Kamu sengaja datang mau bilang ini karena kamu mau rusakin pernikahan aku, kan? Kenapa kamu cemburu sama aku? Hah?"Amala sukses tersentak. "Put, kamu sedang bicara apa sekarang?""Brian enggak mungkin seperti itu! Kamu lihat jari aku sekarang. Dia bahkan sudah kasih cincin ini buat aku. Kamu tahu harganya enggak main-main, kan?" Putri menunjukkan jari manisnya itu di hadapan wajah Amala. Amala tidak percaya Putri akan semarah ini dan bahkan menuduhnya berbohong. Kenapa Putri malah percaya pada lelaki yang bernama Brian itu?"Dia hanya mau manfaatin kamu, Put. Kamu bilang dia orang kaya, kan? Masalah cincin yang mahal itu gampang kalau sama dia. Kamu enggak percaya sama aku, hah?""Enggak! Aku yakin Brian lelaki baik! Kamu bikin mood aku enggak bagus, Amal. Aku pulang saja!" Putri segera bangkit hingga berlalu cepat."Putri! Putri kamu harus percaya sama aku!" Amala bersuara keras hingga mengundang beberapa perhatian semu
"Saya tidak akan membiarkan Rahmi berhasil menyentuh Dik Amala lagi. Percayalah." Pak Rido berkata lirih.*Siang ini. Amala kembali mengantar Andi ke restoran kemarin. Amala hanya bermaksud untuk menemui Brian dan bicara dengan lelaki itu selain memang ingin mengantar Andi untuk bertemu bundanya itu.Namun hal yang Amala inginkan tidak terjadi. Amala bahkan sudah menghabiskan minumannya itu namun yang ditunggu tidak kunjung terlihat juga. Amala sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi.Tepat ketika Amala keluar meninggal restoran setelah berpamitan pada bundanya Andi, Amala kemudian baru terkejut saat melihat sepasang kekasih yang berjalan ke arah restoran dengan tertawa tidak jelas.Hal yang luar biasa kemudian. Brian kini berganti dengan perempuan lain. Terlihat lebih dewasa dan bukan gadis muda yang masih sekolah seperti yang Amala lihat kemarin. Amala terkesiap untuk beberapa saat. Dia benar-benar tidak percaya melihat kenyataan itu.Apakah begitu banyak perempuan lain di luar s
Kini kaca jendela bahkan dilempar dengan beberapa anak batu. Mona kian kaget hingga segera melindungi Kanaya ke belakang tubuhnya."Bapaak! Non!" Dia sukses menjerit kuat.*"Tidak ada siapa pun di luar."Pak Rido. Kini dia melihat Amala dan Mona yang sudah duduk dengan harap-harap cemas. Kanaya sendiri masih tidur di sana."Mbak, Mbak yakin dengar suara dari jendela?" Amala memastikan yang diangguk cepat oleh Mona."Iya, Non. Saya enggak mungkin bohong. Awalnya jendela diketuk sama orang tapi berganti dilempar batu. Siapa lagi kalau bukan manusia kan yang melakukan? Saya takut Non Kanaya kenapa-kenapa makanya saya langsung teriak tadi."Amala mendadak cemas kini. Pak Rido pun ikut cemas namun tetap berusaha untuk tenang. Dia menghampiri Amala dan mencoba untuk menenangkan dirinya."Dik Amala tidak cemaskan apapun, kan?""Mas. Rumah ini belum pernah terjadi kemalingan atau perampokan sekali pun. Aku takut hal ini berhubungan dengan pernikahan kita." Amala berkata dengan jujur hal yang
"Habil sakit. Dia demam.""Apa? Lalu kenapa Reza enggak bilang apa-apa sama kita?"*"Habil tadi pagi muntah-muntah. Tapi sekarang dia sudah agak baikan setelah minum obat." Reza. Kini dia mengirim pesan suara yang sedang didengarkan oleh Amala dan Pak Rido. Sejenak keduanya beradu pandang. Ada hal yang dipikirkan namun Amala yang lebih merasa tidak nyaman sekarang."Kenapa Reza enggak mau bawa Habil ke rumah ini, Mas?""Dia hanya tidak mau merepotkan Dik Amala. Cukup Kanaya tinggal di rumah ini.""Tapi, Habil juga ingin selalu bersama Mas. Dia masih butuh sosok ayah setelah Ibunya pergi.""Memangnya Dik Amala mau menerima dia?""Saya bahkan sudah pernah meminta Mas untuk membawa Habil kemari, kan? Kenapa Mas bertanya lagi?"Amala segera bangkit. Dia merasa jika sebaiknya tidak usah pergi meskipun yakin jika Kanaya begitu kesal jika mendengar liburan tidak jadi mereka lakukan."Dik. Kita tetap akan pergi. Biarkan Habil dijaga oleh Reza.""Mas bercanda, ya? Kalau Mas tetap seperti ini
"Jadi, tadi benar-benar ada orang yang sedang melihatku. Siapa sebenarnya dia?" Amala bergumam pelan.*Jam kini bergerak pelan. Amala memeluk Habil seraya mencoba untuk membuatnya tertidur. Kanaya sendiri kini sibuk memakan cemilan seraya melihat layar tv. Kini mereka berada di ruang nonton. Sejenak menunggu untuk tidur Amala mengajak mereka untuk menikmati acara di tv setelah makan malam usai.Namun, Amala kini malah tergerak untuk mencoba membuat Habil bisa tidur. Panasnya memang sudah mulai berangsur pulih. Reza beberapa kali terus memperingati dirinya agar meminumkan obat untuk Habil."Ibu, kenapa Ibu mau menjaga Habil?" Pertanyaan itu sukses membuat Amala terdiam sejenak. Akankah Kanaya menanyakan hal tersebut padanya? Amala sendiri bingung untuk menjawab apa.Dia hanya meras tergerak untuk menjaga anak-anak sambungnya itu dengan baik."Kelak jika Ibu Amala memiliki anak ibu sendiri. Apakah Ibu akan tetap memperlakukan Habil dan Kanaya selalu seperti ini?"Amala teringat akan
"Brian. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan keluargaku. Kamu lihat saja nanti." Amala berujar lirih. Begitu kesal.*"Andi, coba baca ini keras agar teman-teman yang lain bisa mendengarnya, ya."Andi. Anak itu dengan begitu gagah segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan. Dia mencoba untuk melihat sejenak hingga akhirnya segera membaca dari nomor satu hingga nomor lima.Amala tersenyum senang kala semua teman-temannya itu mengikuti dengan kompak. Mereka bahkan tidak terlihat mengomentari dengan bacaan Andi itu.Amala sejenak bisa beristirahat. Hari ini dia sudah mengajar sejak dari pagi. Ada satu pelajaran yang harus dia gantikan yaitu seorang guru dari kelas dua. Ternyata mengajari anak yang baru masuk sekolah itu lebih membuatnya lelah.Namun Amala berhasil menenangkan mereka kala ribu. Amala kadang terkekeh sendiri mengingat itu semua."Sudah selesai, Bu." "Oh. Sudah?" Amala bahkan baru tersadar kini jika Andi sudah selesai membaca semua tulisan itu. "Terima kasih ya, Na
"Putri masih marah, Ma. Amala sudah enggak sanggup lagi. Amala hanya mencoba untuk menenangkan Putri namun dia malah marah seperti ini. Tapi, apakah keputusan yang Amala lakukan ini salah, Ma?"*"Dik, kenapa matanya sembab begitu? Dik Amala baru saja menangis, ya?" Amala segera menggeleng dan melempar senyum pada Pak Rido yang baru saja masuk kamar itu. Dia sendiri kini mencoba untuk memakai make up mencoba membuat wajahnya lebih cerah."Mau dipakai make up seberapa tebal juga kelihatan, Dik. Ada apa sebenarnya? Ayo cerita." Pak Rido menghampiri lalu berdiri di dekat Amala. Dia memegang pundak istrinya itu dengan lembut."Apa baru saja dari rumah Putri? Dia yang membuatmu seperti ini, Dik?""Enggak. Ini semua hanya masalah yang belum selesai, Mas. Aku janji, aku akan coba membuat Putri kembali seperti yang dulu.""Kenapa Dik Amala harus memikirkan masalah orang lain dengan seperti ini? Bukankah Putri memiliki orang tuanya yang bisa membantu, Dik?""Putri enggak akan marah selama itu
"Ayaaah!" Kompak. Keduanya seketika kaget dan melihat Habil yang menangis itu. Pak Rido menghela napas gusar. Amala malah tertawa.*Acara berlangsung meriah. Hari guru yang sudah lama diikuti oleh Amala ketika zaman sekolahnya dulu kini dia bisa merasakan kembali. Anak-anak terlihat begitu senang dengan berbagai perlombaan yang dilakukan oleh para gur mereka.Sekian banyak lomba yang diadakan sesama guru namun Amala sendiri hanya melihat saja. Dia tidak tertarik untuk ikut. Namun anehnya dia heran ketika melihat suaminya Pak Rido itu ikut balapan karung bersama beberapa guru lelaki lain.Ternyata Pak Rido di sekolah cukup berbeda. Dia terlihat lebih hangat dan mudah dekat dengan siapa saja. Amala baru sadar jika pantas saja banyak perempuan yang memang ingin menjadi istrinya itu."Suamimu benar-benar jiwa muda sekali, Dik Amala," ucap seorang guru pada Amala yang mendadak datang duduk di dekatnya ikut menonton. Amala terkekeh pelan. Dia memang wajar dipanggil dik seperti suaminya i
Putri mendesah pelan. "Kita hanya mencoba untuk menerka, Mal. Lalu siapa lagi sekarang? Bukankah mertuamu sangat benci dengan kamu? Kamu tahu, kan?""Tapi, tapi aku enggak yakin itu perbuatan Ibunya Mas Rido, Put.""Aku tahu. Ini berat buat kamu, Mal, tapi aku hanya membicarakan hal yang mengarah ke sana. Aku harap, kamu baik-baik saja dan kamu bisa memaklumi semuanya. Oke?"Amala tidak menjawab. Dia akan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Namun dia tetap akan memikirkan dengan apa yang sudah Putri ujarkan padanya itu."Aku harap kamu bisa percaya, Mal. Aku juga harap, kamu bisa menerima kenyataan jika itu sebenarnya benar. Sini. Biar aku saja yang antarkan ini pada Mbak Mona," ujar Putri seraya mengambil gelas minuman pada tangan Amala dan dia segera berlalu.Amala masih berdiri di tempatnya. Pikirannya bermain dengan cepat. Ada hal yang seolah membuat dirinya kian frustasi. Haruskah kembali mengatakan pada Pak Rido jika dia mencurigai ibu mertuanya sendiri?*"Orangnya tinggi,
"Tidak. Satu hal lagi. Rahmi akan segera diturunkan dari jabatan kepala sekolah.""Apa?" Amala dan Mona, kompak terkejut.*"Nilaimu sangat bagus, Amala."Bu Lusi, kini melihat lembar penilaian Amala selama masa penelitian dengan senyum senang. Ada hal yang membuat Amala ikut senang.Pak Rido telah berhasil memberikan dia ketenangan dan kini dia berhasil meraih nilai yang sudah dia inginkan itu."Bu, kapan saya akan segera ikut sidang?""Urus saja semua syaratnya, ya. Jadwal akan turun dalam dua Minggu ini."Amala terlonjak senang. "Ibu benarkah?"Bu Lusi mengangguk pasti. "Iya. Selamat, ya. Akhirnya kamu akan sidang juga. Kamu hanya perlu revisi sedikit lagi dan kamu akan mendapatkan yang selama ini kamu lakukan. Oke?"Amala mengangguk pasti. Dia pun segera pamit pada Bu Lusi tidak lupa segera mengabari Putri terkait dirinya itu. Ada hal yang membuat sahabatnya itu ikut bergembira sekarang.Putri memang sedang berada di kampus. Dia mencoba melupakan hatinya yang pernah sakit dan kini
"Masih untung saya menerima kamu di sekolah ini! Kamu masih banyak tanya, hah! Kalau kamu saya tolak, nilai segini saja kamu tidak akan punya! Anak kemarin sore so-soan mau mengajari saya! Tidak tahu malu!"Amala bergeming. Dia tidak sadar kini, mengepal kedua tangannya dengan kuat. Gemetar."Keluar!"Amala tidak bisa lagi mempermalukan dirinya. Dia segera keluar. Ada isak tangis yang akan pecah namun sebisa mungkin berusaha menahan diri.Dia tidak lekas menemui Pak Rido suaminya itu selain kini segera ke toilet. Duduk di sana mencoba melepaskan semua hal yang membuatnya terpikat.Amala terkadang kian heran, apa yang sebenarnya Rahmi itu inginkan padanya. Bukankah seharusnya masalah pribadi tidak dikaitkan dengan hal yang ingin dia capai sekarang? Bagaimana bisa dia menjelaskan pada dosennya terkait nilai yang begitu buruk diberikan oleh pihak sekolah.Amala hanya takut, jika orang kampus juga akan mengira dia melakukan suatu hal yang jahat di sekolah ini, meskipun kenyataan Amala sam
"Pepes ikannya enak lho, Bu. Ayah emang pintar masak, hehe!" Dia terkekeh lucu di sana yang semakin membuat Amala merasa trenyuh, sedih dan kasian karena Kanaya harus ikut dalam masalah ini.*Amala memandang lekat anak-anak dengan tatapan yang sedih. Hari ini, dia tidak bisa percaya adalah hari terakhir bertemu dan mengajar anak-anak di kelas lima itu.Ada hal puas yang hinggap dalam hatinya. Dia puas dan senang karena bisa mengajar walaupun hanya sebentar. Dia juga merasa puas karena berhasil menjadi seorang pendidik yang mereka inginkan. Meskipun kini amala akan merasa sedih karena harus meninggalkan mereka karena telah selesai masa penelitiannya itu.Dia hanya melepas anak-anak dengan berpelukan hangat. Amala bahkan sengaja tidak mengatakan apapun pada mereka terkait dirinya yang tidak akan pernah masuk lagi ke kelas lima itu, namun begitu kelas telah usai, seperti biasa hanya Andi yang tertinggal, Amala pun berniat untuk mengatakan padanya saja."Andi harus menjadi anak yang puny
"Mas, ada apa?""Mas hanya ingin memeluk istrinya Mas sekarang. Apa boleh?""Kenapa mendadak seperti ini, Mas? Apa ada yang Mas pikirkan?" Amala sebenarnya sudah tahu apa yang membuat suaminya itu terlihat berbeda kini. Namun dia tidak lekas mengatakannya dengan segera.Pak Rido menyudadi dekapannya kemudian menatap Amala cukup lama. Lama sekali, hingga Amala merasa malu sendiri."Ada apa, Mas?""Dik Amala sudah menerima saya, kan?""Tentu. Kenapa Mas masih bertanya?""Bolehkah jika saya meminta Dik Amala untuk mencintai sepenuh hati Dik Amala? Apakah ada seseorang yang lain dalam hati Dik Amala sekarang?"Amala tidak berkata kini. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh suaminya sekarang? Haruskah dia mengatakan jika itu adalah suatu hal yang sebenarnya besar.Amala tahu, jika sekarang Pak Rido sedang cemburu pada Adlan."Kenapa Mas enggak beritahu saya kalau sudah pernah bertemu dengan Adlan?" Amala mengalihkan pembicaraan kini."Kenapa Dik Amala harus bertanya hal itu?""Mas cemburu pa
"Amal, kamu kenapa mendadak takut begini?" Adlan menukas cepat. Amala terhenyak. Diam seketika.*Mobil kini bergerak perlahan. Masih tidak ada kata yang keluar dari bibir Amala semenjak pergi. Pak Rido sendiri sejenak menoleh dan melihat dengan harap-harap cemas. Ada beberapa hal yang bermain dalam benaknya itu namun tidak segera ingin mengungkapkan cepat.Pak Rido tahu jika kini ada hal yang tidak beres sedang dipikirkan oleh istrinya itu.Amala tidak banyak berkomentar apapun. Dia hanya tidak ingin memperpanjang masalah yang ada."Dik, kamu kenapa diam saja?""Enggak, Mas. Cuma memikirkan masalah Kanaya saja.""Tidak apa. Kanaya sudah membaik, kok. Dik Amala tidak perlu terlalu cemas, ya."Amala mengangguk tersenyum. Dia tidak mengatakan apapun lagi selain kembali diam. Dia hanya berharap suaminya itu tidak terlalu menggubris apa yang sudah Adlan katakan sejak tadi.*"Ibu Amala!" Kanaya, gadis kecil itu kini berlabuh dalam dekapan Kanaya. Tidak ada kata yang keluar darinya setel
"Amala, kamu tahu kapan waktunya."Rahmi, berujar tajam dan menatap dengan tatapan penuh kebencian.*Makanan cukup menggugah selera, belum lagi dengan rasa lapar yang sudah menghadang, Amala, dan suaminya Pak Rido kini menikmati hidangan makan siang mereka dengan nyaman.Amala tahu, sedari tadi menikmati makanannya itu dia terus merasa jika Pak Rido terus menatap dengan hikmat. Tidak ada yang keluar namun Amala hanya terkekeh sejenak."Apa yang Mas lihat?" Dia bertanya kemudian."Tidak. Hanya ingin memastikan Dik Amala menikmati makan siang ini. Enak, kan?""Iya. Kenapa Mas enggak pernah mengajak saya ke sini, ya?""Hehe. Maaf ya, Dik. Mas tidak bisa pulang dengan begitu cepat.""Haha, kenapa Mas menanggapi serius? Saya hanya bercanda. Saya tahu kok, Mas pasti sangat sibuk sekali, kan?""Tidak. Mas tahu kok Dik Amala juga sekalian curhat."Amala kini tertawa kemudian.Keduanya terus larut dalam pembicaraan mengenai mengajar Amala, hingga kemudian penuturan mereka sejenak terputus ket
"Ada satu orang lagi yang harus saya temui, Dik."Amala menoleh cepat. "Siapa, Mas?""Dik Amala tidak perlu memikirkan hal itu sekarang. Besok, Dik Amala akan kembali ke sekolah, kan? Lebih baik pikirkan hal apa yang Dik Amala perlukan untuk besok mengajar. Oke?" Pak Rido berkata seraya membelai lembut wajah istrinya itu.Amala bahkan baru teringat jika besok dia sudah harus masuk sekolah kembali. Dia memiliki kesempatan dua Minggu lagi untuk selesai penelitian Hinga harus kembali ke kampus.Ada beberapa hal yang membuatnya berpikir bahwa dia memang tidak pernah mengira akan secepat itu selesai."Dik Amala pasti sudah merindukan anak-anak, kan?""Iya. Aku sangat rindu mereka Mas. Besok, walaupun kaki saya masih belum sempurna sembuh saya akan tetap datang. Saya ingin segera menyelesaikan kuliah ini.""Bagus. Lalu, Dik Amala tidak perlu memikirkan hal yang sama sekali tidak penting itu. Oke?"Amala mengangguk pasti. Siapapun orang yang berpikir buruk terhadapnya itu dia akan berharap j
"Saya Rido, suami Amala. Bisa kita bicara sebentar?" Adlan bergeming."Bicara apa? Saya sedang begitu sibuk karena kebetulan hari ini saya yang bertugas untuk berdiri di kasir, jadi ....""Nak. Hanya bicara sebentar saja." Pak Rido menukas cepat. Adlan sukses menegang mendengarkan panggilan nak yang keluar dari mulut suami Amala itu.Adlan kemudian tersenyum ketus. Merasa cukup rendah di hadapan lelaki yang sudah lama ingin dilihat olehnya."Bisa bicarakan di sini saja, Pak Rido?" Adlan bertanya dengan nada menyindir kini."Baiklah." Pak Rido membuang napas gusar. "Apa yang sudah kamu katakan pada Amala kemarin?"Adlan terkejut. "Apa maksud, Pak Rido?""Nak, tolong jangan bertele-tele. Kamu tahu, kamu sudah menganggu kenyamanan rumah tangga saya dengan istri saya."Adlan mendadak tertawa kini. "Pak Rido menyalahkan saya dengan masalah keluarga Bapak sendiri? Seharusnya Bapak yang instrospeksi diri untuk melihat sebenarnya apa yang sedang terjadi. Kenapa datang kemari dan menyalahkan