"Jangan bicara seperti itu!"Mata Aruna mengerjap dengan gugup. Tubuhnya terburu duduk lagi, karena merasakan tangan Yuksel yang merambat di perutnya.Aruna menatap suaminya yang sudah tersenyum. Padahal kemarin mereka berdua berdebat begitu heboh, sampai pembantu mendengar. Namun, hari ini seolah mereka berdua tidak memiliki masalah apa pun."Hanya membuka ikat pinggang saja, kamu tidak mau?"Kepala Aruna langsung menggeleng. "Tidak.""Baiklah. Terpaksa aku yang harus melepaskannya sendiri."Melihat pergerakan tangan suaminya. Aruna langsung melengos, jantungnya saat ini berdetak sangat kencang. Bagaimana bisa Yuksel melepas celana di sebelahnya juga. "Kamu sudah lihat lebih dari ini, Aruna. Kenapa harus malu?"Aruna tak menyahut sama sekali. Hanya sibuk menenangkan diri dari rasa canggung yang datang secara mendadak ini. Yuksel yang menuruni ranjang dan bersiap memakai baju tidur pun, sempat terhenti. Mata melirik istri yang duduk dengan kaku di atas ranjang."Kalau aku ajak berhu
Sindiran dari Yuksel, membuat Aruna meremas selimut rumah sakit. Mata saling tatap dengan suaminya yang sedang menunjukkan emosi padanya."Di antara banyaknya orang, kamu malah terlibat gosip dengan keponakanku. Hebat sekali kamu, Aruna."Aruna memejamkan matanya karena mendengar ocehan suaminya. Aruna juga tidak ingin hal ini terjadi, kehamilannya diketahui oleh publik.Yuksel menatap istri dengan sangat penasaran. "Adrian."Perlahan matanya terbuka dan saling tatap dengan suaminya. Aruna tahu betul apa yang akan dibicarakan oleh Yuksel."Apa dia sudah tahu?"Kepalanya menggeleng. "Tidak tahu. Kebetulan aku tidak melakukan pemeriksaan, jadi tidak ada yang tahu berapa usia kandunganku.""Mengingat kandungan, apa kamu pernah memeriksakannya?"Aruna langsung diam. Setelah tahu datang bulannya terlambat, Aruna langsung mengecek dengan tes kehamilan. Melihat istri yang hanya diam, membuat Yuksel bisa menyimpulkan. Aruna tidak berani mendatangi dokter kandungan dengan status mahasiswi dan
"Kenapa aku tidak boleh pulang ke rumah sendiri? Kakak jangan bercanda karena itu tidak lucu."Lusi kembali menarik napas. Wanita itu mendapat pesan dari sekretaris ayah Adrian. "Ayah tirimu itu, menyuruh sekretarisnya untuk memintaku menyelidiki Aruna."Adrian langsung menatap dengan ekspresi kesal. "Untuk apa pria sialan itu bertanya?""Entahlah. Tapi, aku tidak ingin kamu pulang ke apartemen. Karena ayah tirimu ada di sana."Adrian menatap Lusi cukup lama, kemudian menyahut, "aku akan pulang ke rumah sendiri, jadi tolong antar aku, Kak.""Kenapa sih kamu tidak mau mendengar!""Aku ingin mencegah pria sialan itu menyakiti Aruna."Lusi menarik napas panjang, kemudian mengubah tujuan perjalanan untuk mengantar Adrian ke apartemen. Setelah mengemudi cukup lama. Lusi menatap Adrian yang keluar dari mobil dengan serius."Langsung kabari aku jika ayah tirimu sudah pergi."Adrian menyeringai. "Apa Kakak akan membawa obat untukku nanti?"Lusi mendengkus. "Kabari saja apa susahnya!"Perlah
Yuksel menyeringai. "Kamu bilang apa barusan? Aku jatuh cinta padamu? Wah, lucu sekali."Aruna memilih menatap ke luar jendela, hari ternyata sudah mulai menggelap. Infus di tangannya juga sudah dilepas, namun Yuksel melarangnya keluar dari rumah sakit.Kepala Aruna menatap suaminya yang nampak sibuk dengan ponsel. Aruna pun mengurungkan niat untuk bertanya kapan pulang. "Kamu tetap di sini, aku keluar sebentar mengambil laptop dari karyawan di depan rumah sakit.""Iya, Kak."Mata Aruna membingkai suaminya yang sudah berjalan cepat dan sepenuhnya meninggalkan dirinya. Tangan Aruna meraih ponselnya di laci meja samping ranjang."Dia melarang aku keluar rumah sakit dan ke kampus, pasti karena ini alasannya."Jemari Aruna menggulir artikel yang dirinya baca. Terlebih komentar-komentar yang penggemar Adrian berikan. Aruna berakhir dengan menarik napas dan meletakkan ponselnya lagi.Pintu yang kembali terbuka membuat Aruna berkomentar, "cepat sekali Kak? Orangnya sudah--"Aruna langsung b
Yuksel menyeringai atas ucapan dari istri. Dia tidak tahu kalau Aruna ternyata begitu naif. "Kamu pikir jurnalis berpikiran lurus seperti kamu, Aruna? Tidak. Mereka penuh dengan siasat, demi bertahan di kursi mereka sendiri."Aruna tatap suaminya yang jauh lebih memiliki banyak siasat. Tubuhnya sekarang sudah rebahan di atas ranjang lagi. Namun, ekspresi Aruna yang tidak baik membuat Yuksel mengerutkan dahi."Ada apa?""Perutku terasa sedikit kram."Yuksel menarik napas. "Bukankah aku sudah menyuruhmu jangan pergi ke mana pun."Matanya memperhatikan Yuksel yang memanggil perawat jaga dengan tombol yang tersedia di sekitarnya. Aruna langsung menurunkan pandangan saat bertemu dengan suaminya."Dasar tidak tahu diuntung. Dicemaskan suami, kamu malah keluyuran.""Aku kan butuh udara segar, Kak.""Kamu kan bisa menungguku, minta bantuanku," celetuk Yuksel terlihat kesal.Apakah boleh seperti ini? Bergantung pada Yuksel. Sementara Aruna sampai sekarang masih belum bisa menukar informasi ke
Yuksel mengusap bibir. "Kamu sudah lebih ahli sekarang ya, Aruna."Mendengar hal itu, Aruna merasa malu dan langsung melirik pada sopir yang diam-diam mendengarkan. Yuksel menyenderkan punggung dan mata mengunci Aruna dengan serius.Hingga kini, Yuksel belum menemukan informasi apa pun terkait ayah Aruna yang bersembunyi di perusahaan keluarga Adrian. Namun, Yuksel sudah berjanji tidak akan menyinggung hal tersebut sampai Aruna melahirkan."Ada apa, Kak? Kenapa menatap begitu?" Aruna yang menyadari tatapan suaminya, tentu saja langsung menoleh."Mulai sekarang panggil aku mas, karena kakak itu terasa asing."Baru dirinya sadari, ternyata Yuksel banyak maunya juga. Namun, Aruna memilih untuk tidak menguras tenaga dan berdebat."Baiklah."Yuksel sendiri menatap tak percaya pada istri yang hari ini begitu penurut. Apakah hanya karena dia telah membantu Adrian? Maka dari itu sikap Aruna berubah.***Sementara di apartemen. Adrian nampak emosi setelah melihat berita wawancara dengan Yukse
"Jangan bercanda! Mereka itu menikah secara terpaksa," ujar ayah Aruna.Sekretaris langsung tersenyum. "Meski begitu, nona Aruna terlihat nyaman dengan suaminya."Ayah Aruna menatap lama ke arah rumah Yuksel. Aruna yang nampak mengusap kening, kemudian mulai berjalan masuk ke rumah.Sementara Yuksel yang mengemudi ke kantor, membuat mereka berdua memilih memalingkan muka. Takut Yuksel mengenali dan mempertanyakan."Tuan Yuksel benar-benar menyelidiki beasiswa yang nona dapatkan," ujar sekretaris memberi tahu.Helaan napas terdengar dari ayah Aruna. "Pantas saja Aruna menolak uang dariku, dia benar-benar takut Yuksel tahu keberadaan ayahnya."Sekretaris langsung menatap. "Jika tuan Yuksel memang ingin menemukan Anda, bukankah dalam hitungan jam dia akan mendapatkan informasi?""Apa maksudmu?""Tuan Yuksel orang yang pintar dan memiliki banyak dukungan, mencari Tuan saja bukankah hal yang mudah baginya?"Ayah Aruna tersenyum sinis. "Tentu saja itu mudah. Namun, foto wajah lamaku hangus
"Besok aku libur, jadi ingin mengajakmu jalan-jalan."Aruna malah semakin bingung, kenapa suaminya jadi sebaik ini. Melihat Aruna yang termenung, membuat Yuksel meraih tas kerja di tangannya kemudian meletakkan sendiri di atas meja."Tidak ada maksud lain, kata dokter kamu tidak boleh sering dikurung di dalam rumah."Aruna menatap Yuksel lama. "Ini inisiatif Mas sendiri atau sungguh karena dokter?"Yuksel berdehem. "Daris memberiku dua tiket menonton, jadi jangan berkomentar dan besok berdandan saja."Aruna memandang kepergian Yuksel yang ke kamar mandi. Seperti sengaja menghindar darinya. Bibir Aruna mulai mengulas senyum."Sepertinya dia benar-benar peduli padaku dan itu bukan sandiwara," gumamnya pelan.***Yuksel siang itu membawa Aruna ke taman akuarium. Berjalan beriringan dengan tangan saling menggenggam. Aruna pikir, mereka akan jadi pusat perhatian seluruh pengunjung.Namun, ternyata tempatnya sangatlah sepi. Yuksel berhenti melangkah dan memandang pada ikan yang berenang beg