Berusaha, untuk menunjukkan-kalau diri nya baik-baik saja, agar tak membuat kedua mertua nya menaru rasa curuga. Menghembuskan napas nya-tegas, Jeni-mantap membawa langka kaki nya, kembali menghampiri kedua mertua nya, yang saat ini tengah berada di pendopo."Siapa-yang menelpone, mu?" tanya Mama Nita, saat Jeni baru saja mendaratkan tubuh nya pada sebuah kursi."Bukan, siapa-siapa kok, Ma," sahut Jeni, dengan berusaha menyimpulkan senyuman, menutupi kegugupan yang melanda diri"Ohh--, Mama kira, siapa. Sebab yang Mama lihat, kamu nampak marah-marah, saat menerima telepone itu."Dan-Jeni, hanya kembali menyambut nya dengan senyuman, setelah mendengar kata-kata yang baru saja mengalir dari bibir Ibu mertua nya. ******Apartemen Dion.Setelah pergulatan panas nya-dan Dion, Jeni segera membersikan diri nya. Setelah hampir lima belis menit berada di dalam kamar mandi, kini wanita itu telah ke luar, dengan wajah yang nampak jauh lebih-segar. Namun, sekejap raut wajah itu berubah, setelah
Dita-meraup oksigen sebanyak mungkin, setelah pergi nya Jeni dari dalam ruangan. Rasa sesak begitu membelenggu di dalam, akan kata-kata Jeni yang begitu menyesakkan. Diri nya sama sekali tidak pernah berselingkuh, namun-kini dia harus menghadapi kebencian Aditya, dan juga ke dua orang tua pria itu. Memikirkan semua nya, membuat rasa sesak itu semakin saja mendalam. Menerawangkan tatapan nya. Terlihat nyata kekosongan, dan kehampaan pasa sepasang manik hitam legam nya. Tak-kuat menahan sesak yang begitu menyiksa, air mata kini jatuh membasahi ke dua pipi Dita, "Aku sama sekali tidak pernah berselingkuh, dan aku benar-benar di jebak saat itu," lirih Dita, dalam isak tangis nya.Menangis tersedu-sedu, meratapi takdir hidup yang begitu kejam untuk nya. Tangis nya terdengar sembilu, dan menyayat hati, sebab harus menerima kebencian orang-orang dari orang-orang yang sangat dia cintai. Puas menumpakkan sakit di hati nya, Dita memutuskan untuk pulang-saat merasa suasana hati nya sudah jauh l
Siapa yang memperdulikan, nya? Toh, ke dua orang itu sama sekali menganggap nya tak ada. Dita bagai hembusan angin, yang mampu di rasa, namun tak bisa di lihat dengan mata. Sudah tak sanggup hati nya menahan kesakitan-dengan apa yang Aditya lakukan, namun-keadaan memaksa dia harus tetap berada di sana.Wajah itu menunduk, Dita menenggelamkan wajah nya se dalam mungkin-tak ingin kehancuran yang dia rasakan saat ini, di ketahui oleh ke dua sosok itu, "Bahkan, mereka sama sekali tidak memperdulikan keberadaan ku, di sini. Betapa-menyedihkan diri ku. Dan, kenapa-aku begitu buta telah jatuh hati pada nya? Padahal kini, dia tengah menancapkan pisau tepat ke jantung ku. Begitu sangat sakit, namun-yang aku lakukan, hanya terus membiarkan dia merobek sesuka hati nya," lirih Dita dalam hati."Sayang, aku pulang. Sampai ketemu lagi." Suara Susan yang terdengar begitu mesrah, membuat Dita sedikit terusik. Mengangkat wajah nya takut-takut, Dita hanya dapat melihat setengah tubuh Susan yang berdiri
Kediaman Jeni, dan Aditya. Menselonjorkan ke dua kaki nya, bersandar malas pada sebuah sofa panjang. Jeni terlihat begitu menikmati kesendirian nya, seraya membaca novel romantis. Sesekali, senyum terbit di wajah wanita itu, saat membaca adegan romantis dalam novel, bergenre komedi. "Semoga saja program hamil ku berhasil, agar aku bisa merasakan keromantisan Aditya. Aku yakin, hati nya yang keras bagai batu, akan hancur-saat aku mengandung nanti," gumam Jeni, dengan melepaskan senyum di wajah, saat memabayangkan hal yang indah itu dalam hidup nya.Suara deru mesin mobil, berhasil memecahkan dunia hayalan Jeni. Meletakkan novel di atas meja, Jeni memalingkan pandangan nya pada pintu utama, sebab wanita itu meyakini kalau itu pasti Aditya, suami nya. Menyadari-diri nya yang terlihat sedikit kusut, Jeni cepat-cepat memperbaiki penampilan nya. Menyelipkan beberapa anak rambut-ke kening nya, sembari bersikap se-anggun mungkin. Terus memasang senyuman, hingga diri nya mendapati sosok Adit
Tak ada lagi kegelapan, dan juga sunyi yang menyelimuti-sebab kini bumi telah kembali cerah, saat matahari telah kembali terbit di ufuk timur. Sepasang mata itu-mengerjap, kala dengan sengaja-sang mentari memberikan sedikit cahaya nya, pada dua bola mata indah-yang masih lelap dengan tidur nya. Membuka mata nya pelan, Dita mendapati waktu yang sudah pagi. Memutuskan untuk bangun, saat mengingat ada hal yang harus dia lakukan, yaitu melakukan tes kehamilan. Dengan kepala yang terasa berat-akibat semalam tak dapat tidur dengan nyenyak, Dita menurunkan ke dua kaki nya-dan melangkah menuju kamar mandi, setelah mengambil alat tes kehamilan yang dia simpan di dalam lai bufet, Menampung urine dalam sebuah wadah, Dita memutuskan untuk ke luar. Terlalu takut, wanita itu tak berani menunggu nya di dalam. Duduk di bibir ranjang, dengan bahasa tubuh yang jelas terlihat resah. Dita menautkan jari-jari nya kuat, seraya sesekali menggigit bibir bawah nya pelan, saat cemas itu kian menyelimuti di
Aditya menarik napas nya dalam-dalam, meraup oksigen sebanyak mungkin-saat rasa sesak begitu membelenggu di dalam dada nya. Manik gelap pria itu-terus tertuju pada Jeni, dan sang Bunda, yang saat ini tengah meluapkan kebahagiaan mereka, dengan kehamilan istri nya. Sangat sulit untuk di kondisikan, bagaimana suasana hati Aditya saat ini. Perasaan nya benar-benar berkecamuk. Bahagia, namun juga gundah. Sebab wanita yang tidak dia cintai, tengah mengandung anak, dan juga pewaris dari keluarga Wijaya, yang sudah sangat lama di harapkan. Aditya memutuskan, untuk pergi ke taman. Berdiri di tengah taman, Aditya melemparkan pandangan nya sejauh mungkin-menatap keindahan malam, dengan kelap-kelip bintang di langit. Bayangan kebersamaan nya, dan Dita, seketika kembali menari-nari dalam pikiran seorang Aditya, membuat pria itu hanya bisa menarik napas nya dalam, saat sesak begitu membelenggu di dalam dada nya. "Ada kebahagian, namun juga kegundahan yang aku rasakan. Apa karena, seorang anak y
Dua hari kemudian Tidak terasa telah dua hari sudah berlalu, sejak Dita mengetahui kalau saat ini diri nya ternyata tengah mengandung. Wanita bersutra hitam itu, memutuskan untuk tidak memberitahukan apa yang menimpah nya saat ini,kepada siapa pun. Termasuk Lisa sahabat baik nya. Walaupun tidak mengalami muntah-muntah yang biasa-di alami wanita hamil pada umum nya, namun Dita sering mengalami pusing-pusing sejak kehamilan nya. Duduk di tepi ranjang-dengan wajah khas orang bangun tidur, Dita memijat kepala nya pelan-yang terasa berdenyut. Suara ketukan, dan panggilan dari Lisa-membuat dunia Dita membela, "Dita---, Dita----," panggil Lisa, dengan nada suara nya yang terdengar tidak sabaran. Wajah yang begitu cemberut, sebab panggilan dari Lisa-berhasil membuat mood Dita kian memburuk. Dengan rasa malas yang teramat sangat, wanita itu membawa langka kaki nya menuju pintu kamar, "Ada, apa?" tanya Dita, dengan masih memasang wajah kesal nya. Tak menyambut pertanyaan yang Dita layang
Sudah menjadi rutinitas andalan nya, kalau akan selalu melewatkan pagi hari nya dengan meminum kopi, sembari menikmati berita televisi pagi hari. Dion, adalah sosok yang suka mengikuti perkembangan yang terjadi di negara nya.Dengan menggunakan celana treaning, dan kaos oblong berwarna biru donker, pria itu membawa langka kaki nya menuju ruang nonton, dengan tangan menggenggam segelas kopi panas. Mendaratkan tubuh nya pada sebuah kursi tunggal, dengan meletakkan secangkir kopi di atas meja.Menjangkau remot yang tersimpan di depan nya, jemari Dion-bergerak lincah menekan tombol, guna mencari channel kesayangan nya.Namun, sekejap wajah nya membeku. Dion menghentikan pencaharian nya, saat mendapati acara pada salah satu stasiun swasta, di mana menampakkan Aditya, dan Jeni, dan juga ke dua orang tua nya, Aditya. Sekeja remot yang berada dalam genggaman Dion-terlepas tanpa pria itu sadari, sete;ah mendengar apa yang Papa Herman sampaikan di dalam acara TV itu."Jeni, sedang mengandung?"
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi
Dunia Dita seperti berhenti berputar, setelah dirinya mendapati kedatangan Mama Nita. Serasa seperti mimpi, bolamata wanita itu tak ada kedipan sama sekali saat menatap pada wanita yang masih berstatus ibu mertuanya nya. Hingga, Dita nampak tercengang saat menyadari kalau saat ini posisinya dan Mama Nita sudah sangat dekat. Sekian tahun tak bersua, membuat suasana canggung begitu terasa untuk kedua wanita beda generasi itu. Saling menatap, namun keduanya tetap dengan diam. Bingung, harus memulainya dari mana. "Dit--." Mama Nita bersuara pelan, setelah sekian detik keheningan melandanya dan Dita. Dia tahu, kalau menantunya itu ingin menyapanya lebih dulu namun merasa sungkan."Maa," sahut Dita, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Sebab, walaupun sang ibu mertua telah bersuara terlebiih dahulu namun dirinya masih merasa canggung. "Maaf, untuk semuanya. Mama sangat menyesal. sebab telah membencimu padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun,"lirih Mama Nita. Mimik wajahnya tela
Aditya membeo. Pria itu masih memfokuskan pandangannya pada kedua orangtuanya. Kedatangan mereka sama sekali tidak disangka-sangka pria itu. Terutama sang Bunda--yang juga turut datang bersama ayahnya. "Adit! Bagaimana? Apakah Dita, sudah melahirkan?" tanya Mama Nita. Mimik wajah wanita paruhbaya itu menunjukkan kekhwatirannya yang teramat sangat. Saat melayangkan pertanyaan, Mama Nita melemparkan pandangannya ke arah pintu ruang operasi. Aditya tak langsung menyambut. Sebagai orang yang turut tahu tentang dia dan Dita selama ini, Aditya melirikkan matanya-menatap sang ayah dengan lekat. Dan, Papa Herman yang ditatap seperti itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. Pria paruhbaya itu seolah sudah mengerti tatapan dari putranya, itu. "Belum Maa," sahut Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar berat. Saat menjawab pertanyaan Mama Nita, hati Aditya mendadak perih sebab operasinya sudah memakan waktu sedikit lama. Raut wajah pria itu mendadak layu. "Kita berdoa semoga operasinya be
Suara dering telepone terdengar di dalam ruangan, membuat keheningan yang melanda seketika membelah. Dan, ternyata itu panggilan telepone yang datang dari gawai milik Aditya yang saat ini sedang dalam pengisian daya. "Dari tadi HPmu terus saja berbunyi, dan sepertinya itu telepone yang penting," ujar Mama Nita memberitahu.Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya tanpa menunggu lama lagi, Aditya segera menghampiri gawainya yang tersimpan di atas sebuah kabonet kecil. Melepaskan colokannya, dan mendapati nama Bibi Supi pada layar HPnya. Meyakini ada sesuatu yang serius, Aditya segera melakukan panggilan balik pada Bibi Supi. Saat melakukan telepone balik, Aditya tak berada lagi di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya dan Roki. Lki-laki tampan itumemilih untuk berpisah ruang, menuju teras rumah dengan kolam renang yang berada di depannya. Apa yang Aditya lakukan, membuat ketiga sosok yang bersamanya seketika dilanda rasa penasaran. Dan, mendapati bagaimana gestur tub