“Surprize!”
Raka yang tengah fokus berkutat dengan layar komputernya, harus terlonjak kaget tatkala mendapati seorang wanita sudah berdiri di hadapannya dengan menampilkan seulas senyum yang nampak indah.
Dalam keadaan masih terkejut, tak urung Raka tetap berdiri guna menghampiri wanita cantik dengan pakaian pressboddy yang semakin mempertontonkan keelokan tubuhnya.
“Hay, apa yang membuatmu kesini, hmm?” tanya Raka setelah berhasil memeluk tubuh sang sekretaris dan membawa kepangkuannya.
“Bukankah nanti malam kita akan menghabiskan waktu bersama?” sambungnya, sembari terus mendaratkan kecupan pada wajah Devina.
Devina yang merasa geli, hanya bisa terkikik. Lantas tangannya pun turut bergerak guna membelai rahang tegas pria itu, sembarai merengek bak seorang bocah, “ Aku hanya merindukanmu, Mas. Dan untuk saat ini, menunggu waktu malam itu masih sangat lama.”
Akan tetapi, detik berikutnya ia berhasil dibuat terkesiap saat tanpa sengaja netranya menangkap sesuatu yang cukup familiyar bagi wanita dewasa seperti dirinya.
Tanpa mau menunggu, wanita itu segera mengusap bibir Raka yang benar saja, terdapat sedikit bercak warna pink yang tertempel di sana. “Kamu—”
“Hanya kecupan singkat, sebagai tanda perpisahan pagi ini,” sanggah Raka cepat, tak ingin membuat mood sang sekretaris berantakan pagi ini.
Namun, telat. Devina sudah lebih dulu memalingkan wajahnya dari Raka, kemudian berdecih tanda tak suka.
“Sayang, jangan marah dong!” bujuk pria itu dengan membingkai wajah Devina, memaksa si wanita untuk kembali menatap wajah tampannya.
“Jangan marah, ya? Aku bahkan bisa melakukannya lebih baik jika denganmu!” Raka terus saja membujuk, tetapi Devina hanya diam, tak terpengaruh sedikitpun. Dan hal itu membuat Raka meraup wajahnya, merasa frustasi.
“Lihat mata aku!” pintanya yang kini sudah memegang kuat bahu Devina. Sang empu sendiri hanya menukikkan sebelah alisanya tanpa mau membuka suara.
Lagi dan lagi, hembusan nafas jengah kembali Raka keluarkan, “Kamu tau aku ngelakuin itu demi siapa?”
“Demi kamu, Sayang! Karena hanya dengan ini, Hanny nggak akan menaruh curiga kepadaku. Dan itu akan membuat hubungan kita berjalan dengan sempurna,”
Mendengar itu, tak urung membuat Devina menerbitkan sedikit senyuman, meski tidak kentara tetapi Raka berhasil menangkapnya.
“Apa kamu mau bukti?” cicit Raka yang kini sudah menaik turunkan alisnya mencoba menggoda.
karena tak kunjung mendapat jawaban,.juga Devina yang masih terus bungkam. Membuat Raka semakin gencar menggoda wanita itu.
Seperti halnya sekarang, tanpa basa basi pria itu langsung mengikis jarak antar keduanya, bahkan kini wajah keduanya sudah tak lagi berjarak.
“Gimana, Sayang. Kamu mau aku kasih tanda bukti di mana? Di sini?” Raka menggantungkan ucapannya, dengan senyuman menggoda ia meletakkan telunjuknya di bibir tebal Devina.
“Atau di–”
Ucapan serta perlakuan Raka yang begitu manis, membuat sang sekretaris tak mampu lagi menahan amarahnya agar hinggap lebih lama. Ya! Ucapan Raka berhasil meluluhkan hati yang sudah mengeras karena api cemburu itu.
Tanpa mau menunggu sang pria melanjutkan ucapannya, Devina sudah lebih dulu menarik tekuk Raka guna menempelkan bibir keduanya.
“Aku yang akan lebih dulu melakukannya, Sayang!” bisik Devina penuh gairah, sontak merubah ruangan ber AC itu menjadi lebih panas dari sebelumnya.
Mendengar tutur kata yang cukup lembut itu, berhasil membangunkan kembali hasrat liar seorang Raka daneswara dari rehatnya.
Tanpa permisi, tangan Raka mulai bergerak nakal menjajahi aset di tubuh Devina. Dan senyuman tipis berangsur melebar tatakala pria itu mendapati wajah sang wanita yang tampak menikmati perlakuan manisnya saat ini.
“Your happy?” gumam Raka tepat di wajah wanita itu, dan dengan antusis tinggi Devina mengangguk, bersamaan dengan kedua tangannya yang mulai bergelantung manja di leher Raka.
“Yeah, i’am so happy. My boss!”
Namun, baru saja wanita itu hendak mengecup bibir Raka, suara ketukan berhasil menggagalkan rencananya. Masih dalam posisi yang tak berubah sedikitpun, keduanya reflek berdecak, dan menatap tajam ke sumber suara.
“Bitch! Penganggu!” kelakar Devina, sebelum akhirnya kembali menatap Raka, seakan meminta jawaban siapa yang kiranya datang di waktu makan siang seperti ini.
Raka yang masih setia menatap pintu masuk, sama sekali tak menggubris wanita di hadapnnya.
"Mas Raka. Kamu masih di dalam, ‘kan?”
Hingga suara yang terdengar, setelah suara ketuakan itu berhasil membuat keduanya reflek menatap tajam satu sama lain, dengan pikiran yang juga sama-sama melayang jauh entah kemana.
Sedangkan di luar sana, Hanny terus mengetuk pintu tanpa jeda. Sebenarnya ia bisa saja langsung masuk, tetapi wanita pemilik senyum sedamai langit itu memilih untuk tetap di luar sebelum Raka menyahutinya.
Bukan apa-apa, hanya saja ia belum siap jika harus kembali melihat kejadian tidak senonoh layaknya tempo hari. Dan ia juga sangat yakin bahwa di dalam sana, Raka tidaklah seorang diri, melainkan bersama sekretaris gatelnya.
Namun, karena tak kunjung mendapat jawaban, membuat wanita itu merasa bksan, lantas segera menarik nafasnya dalam-dalam, sebelum kembali di hembuskan.
“Aku masuk, ya!”
Bersamaan dengan suara knop pintu yang diputar, Raka reflek mendorong tubuh Devina untuk turun dari pangkuannya, begitu juga Devina. Wanita itu dengan sigap langsung berdiri dan kembali merapikan beberapa kancingnya yang terlepas.
“Sekretaris Devina, anda di sini juga?” Dengan ekspresi yang dibuat seterkejut mungkin, pertanyaan itulah yang pertama kali hanny lontarkan, membuat sang empu yang tengah menunduk perlahan mendongak.
“I-iya, kebetulan tadi saya sedang mengantarkan berkas penting yang harus pak Raka tanda tangani!” jawab wanita itu dengan sedikit menyungingkan senyuman, lantas kembali menatap lurus sepasamh hells yang ia kenakan.
Hanny sendiri hanya ber oh ria, seakan percaya dengan alibi murahan itu, walaupun sebenarnya di dalam sana, hantinya sudah remuk berkeping-keping. Apalagi saat melihat baju yang sudah awut-awutan dari kedua orang di hadapannya.
Raka yang juga merasa tidak nyaman dengan keadaan di sekitarnya, memutuskan untuk mengikis jaraknya dengan sang istri, berniat untuk merengkuh tubuh wanita hamil itu.
“Sayang! Tumben ke sini nggak ngabarin aku dulu? ‘Kan kalau kamu mgomong aku bisa jemput tadi!”
Namun, Hanny sama sekali tak merespon ucapan suaminya, bahkan wanita itu juga langsung mleset pergi sebelum Raka berhasil merengkuh tubuhnya. Sepertinya wanita itu lebih tertarik dengan Devina yang masih setia menatap sepasang sepatunya sendiri.
“Bagaimana kabar anda ibu Devina? Sepertunya sudah lama kita tak berjumpa?” seru Hanny, dengan senyuman yang mengembang sempurna tepat di hadapan Devina.
Devina yang sadar jika dirinya tengah di tatap, segera mendongak, tak lupa ia juga menerbitkan seulas senyum yang tampak sempurna di bibir merah meronanya. “Saya baik, lalu bagaiamana dengan anda?”
“Ya, seperti yang kamu lihat sekarang! Saya juga lebih dari kata baik,” jawabnya sengaja di lebih-lebihkan, lantas ia kembali mendekat ke arah Raka dan tanpa aba-aba langsung mencuri kecupan dari bibir sang suami.
Raka yang mendapat serangan dadakan itu, sedikit melebarkan pupil matanya, tetapi tak urung ia tetap membalas kecupan itu dengan membawa Hanny masuk kedalam dekapannya.
Melihat itu, tentu berhasil membuat Devina langsung terbakar api cemburu, dengan gigi yang bergemeletuk hebat, wanita itu meremas kuat telapak tangannya sendiri, sebekum akhirnya berdehem, membuat dua pasang netra lain menatap penuh ke arahnya.
“Maaf, saya hanya ingin pamit keluar!”
Hannya yang melihat pergerakan Devina, segera menahan pergelangan tangan wanita itu. Membuat sang empu reflek menatap ke arahnya.
“Jangan! Di sini aja, ada yang perlu saya omongin!”
“Jangan! Kamu di sini aja, ada yang harus aku omongin sama kamu!”Suara Hanny yang tampak tegas itu, membuat Devina gugup hingga susah payah menelan salivanya sendiri. Beruntung Raka yang cepat sadar turut melangkahkan kaki guna mendekati kedua wanita itu.Lantas secara perlahan ia menarik tangan Hanny dan mengenggamnya, “Biarin Devina pergi, Sayang. Toh urusannya sama aku juga udah selesai.”Bukannya menurut, Hanny justru berdecih kesal. Kemudian dengan bersedekap dada ia mulai menatap Raka juga Devina secara bergantian.“Kamu kenapa sih, Mas? Khawatir banget kayaknya! Aku tu cuma mau ngomong sama Devina, bukan mau nerkam dia!” sungut Hanny yang kini sudah kembali menatap Raka penuh tanya.“Ada yang kalian sembunyiin ya, dari aku?” sambungya bersamaan dengan kedua matanya yang sengaja disipitkan saat menatap sang suami.“Nggak ada!” Raka yang menggeleng, segera me
Dalam balutan malam dengan cahaya remang-remang dari decorative lighting yang berada di pojok ruang tamu. Netra Hanny melirik ke arah jarum jam, yang ternyata sudah berada tepat di angka 11. Namun, kedua netra hazelnya masih enggan untuk sekedar di tutup.“Ayo dong dek, kita tidur ya!” lirih wanita itu dengan mengelus perutnya sendiri, mencoba untuk menenagkan janin yang entah mengapa terus bergerak sejak tadi.“Ayah pulangnya masih lama lo, nanti kamu kecapean, tidur sekarang ya!” sambungnya dengan menghela nafas lelah, tetapi juga bahagia dalam satu waktu.Karena tubuhnya yang merasa lelah saat terlalu lama duduk, akhirnya ia memutuskan untuk berdiri sembari berjalan mondar mandir di samping sofa. Dan untuk saat ini, entah mengapa ia benar-benar ingin memeluk dan mencium wangi woody dari tubuh suaminya yang tak kunjung pulang itu.“Kamu kemana sih, Mas. Jam segini belum juga pulang?” Entah sudah kali beberapa decakan yang sama itu terus keluar dari mulut Hanny, hingga membuatnya ke
Pagi menyapa dengan embun yang menghiasi daun dan bunga. Di kejauhan, matahari mulai timbul, menerangi langit dengan warna-warni indahnya. Semua tampak begitu segar dan penuh harapan.Begitu pula dengan keluarga kecil yang saat ini tengah duduk bersama di meja makan, di sana ada Raka yang tengah asik menuang madu ke dalam mangkuk yogurt, juga Hanny yang juga sibuk meratakan selai coklat pada roti bakar di tangannya, sebelum kemudian ia letakkan pada piring milik sang suami.“Makasih, Sayang,” gumam Raka yang langsung melahap roti tersebut, membuat Hanny tersenyum senang."Oh iya, Mas. Kamu beli parfum baru?"Hanya dengan satu kalimat pertanyaan, Raka sudah dibuat tersedak, sementara dengan sigap tangan kirinya menepuk pelan dada bidangnya, saat merasakan roti yang baru saja ia kunyah tiba-tiba tersangkut di tenggorokan. Kali ini, Hanny hanya diam dan terus menatap setiap pergerakan Raka tanpa mau membantu."P-parfum? Nggak ada deh
"Ada acara apa nih, pelukan gak ajak-ajak."Kehadiran Bachtiar membuat kedua insan yang masih setia berpelukan, segera mengakhiri aktivitasnya. Lantas keduanya serempak menoleh ke sumber suara."Lah, Bachtiar. Kok lo bisa masuk?" tanya Tania yang reflek melebarkan pupil matanya, menatap tajam ke arah Bachtiar.Bachtiar sendiri hanya menghembuskan nafas berat, menatap sahabatnya itu dengan tatapan jengah. "Tu lihat pintu lo!"Tania pun menoleh, menatap arah pandang yang Bachtiar tunjukan, sebelum akhirnya kembali menatap pria itu dengan menunjukan deretan gigi-gigi putihnya."Makanya, jangan ceroboh. Pintu itu ditutup, bukan malah dibuka selebar jidat lo!" Bachtiar yang memang terkenal rese, menyentil jidat Tania, membuat sang empu mengaduh kesakitan.Namun, pria itu sama sekali tak peduli, karena ia lebih tertarik untuk turut bergabung, dan duduk di samping Hanny yang masih sibuk mengusap bercak air dari pipi chubbynya. "Lo gak papa, '
"Lo ngapain, sih? Pake acara pindah apartemen segala?" Di sepanjang jalan Tiar terus menggerutu kesal, tetapi tak urung kakinya tetap melangkah mengikuti pergerakan Tania, dengan sebuah kardus besar yang berisi barang-barang wanita itu di dalam rengkuhannya. "Ya terserah gue, dong! Orang kaya mah bebas. Lagipula gue bosen di sana!" jawab Tania asal ceplos, lantas ia kembali berjalan setelah pintu lift terbuka. Besarnya kardus yang ia angkat, sedikit menyusahkan netra sipitnya untuk melihat dengan benar, hingga tanpa disadari seorang wanita dari arah berlawanan, tengah berjalan tergesa dan berakhir mereka berdua saling menabrak. Kardus yang Tania bawa terjatuh, dan menumpahkan semua isinya, sedangkan kedua wanita itu saling tersungkur ke atas lantai. Tiar yang menyaksikan adegan itu, dengan cepat meletakkan barang bawaannya, lantas bergegas membantu Tania untuk berdiri. "Lo nggak papa?" tanya Tiar yang saat ini tengah memutar tubuh
Dengan mata yang masih terpejam dalam larutnya malam, Devina semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar milik Raka. Pria itu sendiri yiba-tib terobangun, lantas menyerngit guna menyesuaikan intensitas cahaya yang ada di ruangan tersebut.Tubuhnya sedikit tersentak, tatakala melihat jam rolex yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera beranjak dan kembali memakai setelan kemeja yang sempat ia lepas sebelumnya. “Shit! Bisa-bisanya ketiduran di sini!” decak Raka mengumpati dirinya sendiri. Dan hal itu berhasil membangunkan Devina dari tidur panjangnya.“Kamu mau kemana, Mas? Buru-buru banget. Nggak mau nemenin aku malem ini?” gumam Devina dengan suara serak khas orang bangun tidur.Raka sendiri yang masih sibuk merapikan kemeja nya, hanya menoleh sekilas tanpa mau membalas, membuat Devina yang masih setengah sadar segera beranjak dan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang sang pria, membiarkan aroma maskulin yang hangat memenuhi ind
Cahaya matahari yang menembus celah-celah kecil berhasil mengenai wajah Raka, membuat tubuh pria itu menggeliat tak nyaman. Hingga akhirnya tak punya pilihan lain, selain membuka kedua kelopak matanya yang masih terasa berat.Namun, di detik berikutnya, dengan cepat pria berahang tegas itu mengucek kedua bola matanya, mencoba menghilangkan rasa perih yang masih melanda. Lantas ia segera bangkit saat mendapati sang istri yang mengenakan bathrobe, tengah sibuk mengeringkan rambut panjangnya di depan cermin.Tak ingin basa basi, pria itu segera memeluk pinggang ramping sang istri dari belakang, dan mengelus perut yang sudah terlihat membesar di sana, lantas memberikan beberapa kecupan singkat pada ceruk leher wanita itu, sebelum akhirnya meletakkan dagunya di bahu Hanny."Tidur lagi, yuk! Aku masih ngantuk, pengen dipeluk sama kamu!" gumam Raka dengan suara seraknya, berada di posisi seperti sekarang ini adalah hal yang paling disukainya. Hanny send
Dari dalam mobil yang tampak nyaman dengan aroma citrus yang terus menguar, dan tepat di bangku kemudi, seorang wanita cantik berambut blonde dengan panjang hanya sebahu tengah terududuk tenang di sana. Namun, terlihat jelas tatapan tajam dari matanya, menyimpan begitu banyak dendak dan kebencian, terhadap dua sosok lain di luar sana.“Pria brngs*k, sejak kapan dia terbebas?” Wanita itu terus bermonolong. Sembari menyengkram kuat setir kemudi, ia merasakan darahnya semakin mendidih saat itu juga.Namun, tak dapat dipungkiri hatinya sedikit menghangat tatkala mendapati ekspresi penuh kebahagiaan terpancar dari gadis kecil yang tengah menjadi titik fokusnya saat ini. “Sayang!” gumamnya tanpa sadar. Namun, seperdetik setelahnya, dengan cepat ia menepis semua perasaan itu.Luka yang ditorehkan sosok pria yang bersama gadis tersebut sudah cukup besar, dan luka itu pulalah yang berhasil menggelapkan hati dan juga menghancurkan keharmonisan ya
“Bunny!”“Hanny!”Teriakan yang menggema secara bersamaan, berhasil mengambil alih atensi Hanny, membuat wanita itu sontak menoleh guna mencari sumber suara, dan melemparkan senyum, sembari melambaikan tangan, ke arah Haura, juga Tania yang berada di tepian jalan.“Hanny, minggir! Di belakang lo!” Dengan wajahnya yang sudah pucat pasi, Tania kembali berteriak dengan lantang, membuat Hanny menyerngit heran. Namun, tak urung wanita itu menoleh, tapi sayang. Semuanya terlambat.Motor yang terus melaju kencang ke arahnya, membuat kakinya kelu untuk bergerak, saat itu juga netranya membulat sempurna dengan perasaan tak karuan.“Awas!” Hingga teriakan itu kembali menggema, bersamaan dengan tubuhnya yang terhuyung tak tentu arah, dan berakhir dengan suara tabrakan yang begitu nyaring hingga memekikkan telinga. “Hanny!” Tania yang sudah berlari, reflek menghentikan langkahnya, dengan mata yang berembun detik itu juga. Sedangkan yuda, dengan cepat pria itu menutup wajah Haura, tak membiarkan
“Maksudnya pindah?” Tania reflek berdiri dan berbalik badan untuk menatap Tiar yang tengah berdiri.Tiar tidak langsung menjawab, pria itu lebih dulu menghela nafas berat, lantas membalas tatapan Tania tak kalah intens. “ Aku mau ajak Haura pergi dari sini. “Lebih tepatnya, pergi dari kota ini. Aku gak bisa tinggal di sini terus,” imbuhnya sembari menelisik keadaan sekeliling ruangan dengan senyum yang semakin pudar. Jika boleh jujur, Tiar sudah nyaman berada di rumah pemberian Hanny itu. Namun ia juga masih sadar diri. Ia tidak bisa berhutang budi pada wanita itu.“Jangan bilang, ini karena masalah Hanny sama devina?” Tania kembali bergumam, dengan suaranya yang tiba-tiba bergetar. Pertanyaan itu berhasil membuat Tiar langsung menundukan kepala, apalagi saat melihat wajah Tania yang tiba-tiba memerah, dengan mata yang berkaca-kaca.“Emangnya Bunny, sama Ibu punya masalah apa? Gara-gara Haura ya!” Sial sepertinya kedua orang dewasa itu telah melupakan sosok malaikat kecil yang seja
“Ooo … Jadi selama ini kita makan di resto milik pelakor!” Seorang wanita paruh baya memekik dengan begitu lantang. Disambung dengan suara ricuh dari pelanggan lain yang turut mencibir sosok Devina. Tentu saja, mendengar hal itu membuat Hanny merasa puas dengan perlawanan yang ia berikan. Cukup sudah berdiam diri, kini wanita hamil itu akan turun untuk beraksi.“Mending, kita pergi dari sini! Gak usah lagi makan disini. Bisa-bisa laki kita diembat juga sama dia.” Seorang wanita lain, turut nimbrung, lantas berjalan mendekati Devina, tanpa aba-aba ia langsung menyiramkan segelas air yang tergeletak diatas meja. “Dasar pelakor! Tau rasa kamu sekarang!” tuturnya tersenyum senang. Devina yang mendapatkan serangan mendadak, tentu saja berhasil dibuat terkejut. Wanita itu reflek menutup mata, tatkala segelas air langsung terjun membasahi seluruh wajahnya.Devina semakin dibuat naik pitam, dadanya yang bergemuruh, semakin panas saat menghela nafas, dengan kasar ia meraup wajahnya sendiri
Tania yang baru saja hendak pergi bekerja, harus terlonjak kecil tatkala mendapati sang sahabat sudah berdiri di ambang pintu rumahnya, kini wanita itu tak lagi tinggal di apartemen, ia memutuskan untuk kembali ke kediaman kedua orang tuanya. Tania segera meraih punggung Hanny untuk ia cengkram dengan kuat, netranya menelisik setiap jengkal tubuh wanita hamil di hadapannya. “ Hanny? Kok kesini gak bilang-bilang.”Hanny menggeleng, sembari menerbitkan seulas senyum ia meraih tangan Tania untuk ia genggam. “Ada perlu sama kamu,” “Yaudah yuk masuk!” Tania berniat menarik tubuh Hanny untuk melangkah masuk, tetapi wanita itu langsung menolak. Tentu saja, hal itu langsung membuat Tania menyerngit penuh tanya. “Nanti aja deh, Tan. Kamu mau berangkat kerja ‘kan,” tutur Hanny bermaksud untuk kembali beranjak dari sana. Namun, dengan cepat Tania langsung menahan tangannya.“Nggak papa, gue bisa tukeran shift sama dokter lain.” kilah Tania, yang langsung mengeluarkan benda pipih dari dalam
“Udah kenyang?” Tania yang saat ini teng duduk diatas trotoar, menoleh ke arah Yuda yang baru saja memberinya pertanyan.“Udah!” balasnya sembari menunjukan deretan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi.“Yaudah ayok!” Yuda lebih dulu berdiri, bukannya segera mengikuti, Tania justru hanya mendongak dengan menampilkan lipatan-lipatan pada dahinya.“Mau kemana?” wanita itu kembali bertanya dengan wajah cengonya, dan melihat itu membuat Yuda tak lagi bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk terangkat.Malam ini, pria itu berhasil melihat siapa Tania yang sebenarnya, bukan gadis bar-bar yang suka asal ceplos, melainkan gadis unik dengan segala kelemotannya. Jadi sekarang dia sudah tidak heran lagi, kenapa Tiar suka sekali memarahi wanita di hadapannya itu. “Pantesan,” Tanpa sadar Yuda berucap, membuat Tania semakin menyerngit penuh tanya, begitu pula dengan dirinya yang juga tampak syok sendiri.“Apanya?” Tania bertanya. Yuda menggeleng cepat.“Bukan apa-apa!” Kali ini, Tania tidak bern
Tak perlu waktu yang lama, taxi yang ditumpangi Tania sudah sampi di tempat tujuan. Sebelum benar-benar beranjak, Tania membayar dan mngucapkan terimakasih kepada pria paruh baya yang sudah mengantarkannya dengan semangat.Seulas senyum pun langsung terbit di wajah cantik wanita itu, tatakal mendapti sebuah Toko bunga yang sudah tutup, lantas netranya bergerak pada favilliun kecil yang ada disebelahnya.“Akhirnya sampai juga,” gumamnya, sebelum kembali melangkah, dan langsung mengetuk pintu yang ada di hadapannya saat ini.“Permisi!” Tania kembali bergumam saat belum juga mendapat respon dari dalam.Gadis itu menghela nafas, “Apa udah pada tidur ya?” tanyanya pada diri sendiri, lantas ia melihat jam yang melingkar cantik di pergelangan tanganya. “Masa iya udah tidur, ‘kan masih jam segini!” sambungnya dilanda rasa bimbang. “Ck! aish!” Wanita itu berdecak, sembari menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Lagi lupa lo ngapain sih, dateng kesini malem-malem. Gak jelas banget s
Sepeninggal kedua temannya, kini tatapan Hanny fokus ke arah depan, wanita itu sama sekali tak mengindahkan keberadaan sang suami yang berada tepat di sampingnya.Awalnya tidak ada yang membuka suara, semua tampak tengah fokus pada pikiran masing-masing. Hingga sang pria lah yang lebih dulu berdehem, tetapi sayang deheman utu sama sekali tak membuat sang istri menoleh ke arahnya. “Sayang,” panggil Raka setengah berbisik, bersamaan dengan itu, tangannya turut bergerak mengusap surai panjang milik Hanny.“Apa?” Akhirnya Hanny menoleh, walaupun tatapannya terlihat sangat tidak bersemangat. “Maafin aku ya!” balas Raka mengulum senyum.“Buat apa?” sembari menarik sebelas alisnya untuk terangkat, Hanny terkekeh singkat.Tangan yang masih setia mengusap surai sang istri, perlahan turun dan berhenti tepat pada kedua tangan Hanny, kemudian ia genggam tangan itu seerat mungkin. “Maaf, aku udah lali jaga kamu!” pria itu berkata penuh penyesalan, saat berhasil mencium kedua tangan sang istri de
Detik demi detik berlalu dengan begitu cepat, menggantikan menit menjadi jam, dan siang menjadi malam. Dan kini, Raka sudah berdiri tegak di hadapan pintu apartemen milik mantan sekretaris.Hampir 5 menit berlalu, tetapi sang empu tak juga kunjung menampakkan batang hidungnya, membuat Raka semakin frustasi.“Dev, ayo dong buka pintunya! Aku mau masuk!” Pria itu terus mengetuk daun pintu dihadapannya dan sesekali berteriak dengan lantang, berharap wanita di dalam sana segera keluar.“Aku masuk, atau pintunya aku dobrak!” Habis sudah kesabaran Raka, pria itu berucap dengan tegas, dan penuh intimidasi.Sedangkan di dalam sana, tepat diatas ranjang, Devina yang tengah berkutat dengan layar laptopnya menghela nafas jengah. Namun, tak urung wanita itu tetap beranjak menuju pintu utama.“Dobrak aja, kalau kamu berani!” katanya tatkala hampir mencapai daun pintu. “Devina!” Teriakan Raka kembali terdengar, membuat Devina mau tidak mau langsung memutar kunci dan membuka pintu tersebut.“Apa?
Sesuai yang sudah Tiar katakan sebelumnya, tepat setelah 3 jam berlalu, pria tampan berkacamata itu segera melepas jas putih yang sedari tadi melekat di tubuhnya.Menyisakan sebuah kemeja panjang berwarna Biru, yang saat itu juga langsung ia gulung hingga mencapai siku.Dan tidak perlu waktu lama, pria dewasa itu seger! menekan pedal gas mobilnya untuk segera menemui sang sahabat. Hampir 15 menit berlalu dan kini Tiar sudah sampai pada sebuah rumah megah nan tampak sepi.“Tumben lo pulang?” Tiar berujar setelah berada di ambang pintu, membuat sang pemilik rumah yang tengah terduduk di sofa ruang tamu reflek menoleh.Dan tanpa menunggu disuruh, pria itu langsung bergerak dan mengambil duduk tepat di samping Tania.“Telat 15 menit,” cibir Tania mengecek jam di pergelangan tangannya sendiri.“Ck! Lo kira gue iron man, bisa terbang kemana saja?”“Emang iron man bisa terbang?” balas Tania menanggapi ucapan tidak berfaedah dari Tiar.“Hust! Diem. Gue gak tau dan gak mau tau!” Dengan cepat T