Setelah perdebatan yang cukup sengit, kini ketiga insan itu memutuskan untuk duduk bersama di atas sofa yang empuk. Hanny terus berceloteh panjang lebar guna meluruskan segala permasalah yang berujung perdebatan antar kedua sahabatnya.“Jadi, lo masih mau pertahanin hubungan lo sama si brengsek itu?” Meskipun terdengar cukup ketus dan tak terima, Tiar tetap menjaga ekspresi wajahnya setenang mungkin.“Ck!” decak Tania lantas melirik pria itu menggunakan ekor matanya. “Dia punya nama!” imbuhnya, sesaat setelah kembali menatap ke arah Hanny.“Iya, sorry. Gue khilaf” acuh Tiar, mencoba mengalihkan pandangan, disertai hembuskan nafas penuh kepasrahan.Pria itu sudah memutuskan untuk ikut andil dalam permainan kedua temannya, melakukan apapun yang mereka inginkan, serta berjanji agar tidak melakukan kekerasan jika memang tidak diperlukan.“Huft! Gue tandain muka lo!” batin Tiar, dan tanpa kedua temanya sadari, kini kedua tanganya sudah ikut mengepal kuat di samping tubuhnya.“Jadi gimana
“Silahkan saja laporkan Tania, jika Anda berani!”Suara yang tegas itu, berhasil mengambil alih atensi semuanya, siapa yang berbicara? Tentu saja Hanny Diratama, wanita itu mengangkat kepalanya, menatap remeh Devina sembari terus berjalan mendekat.“Saya juga bisa melaporkan Anda! Karena Anda sudah berani berselingkuh dengan suami saya!” Tepat di hadapan Devina wanita itu berdiri, tatapannya tampak teduh, tetapi cukup menusuk. Senyumnya tampak manis. Namun, senyum itu justru membuat orang sekitarnya bergidik ngeri.“Dengan bukti akurat yang saya punya. Saya bisa membuat Anda mendekam di jeruji besi lebih lama. Dan satu lagi, saya bisa pastikan reputasi kamu akan hancur sebentar lagi!”Perlahan tapi pasti Devina menurunkan kembali tangannya, meskipun tidak kentara tetapi ucapan Hanny berhasil membuat nyalinya menciut saat itu juga, apalagi soal reputasi baik yang susah payah ia bangun. “Pergi dari sini! Atau polisi sendiri yang akan menjemput Anda, sekarang!”Masih dengan tatapan ben
Entah sudah keberapa kali, Haura terus menghembuskan nafas jengah. Tampaknya gadis kecil itu sudah mulai bosan menunggu kehadiran sang Ayah yang tak kunjung datang.“Ayah, kok lama banget sih,” gerutunya dengan kepala yang sudah tertekuk, menatap sepasang sepatu berwarna pink yang melekat di kakinya.“Haura, kamu belum dijemput ya?”Merasa tak asing dengan suara yang baru saja menelisik indra pendengarannya, membuat Haura segera mendongak guna memastikan bahwa tebakannya benar.“Clarisa!” Haura berseru, lantas menggeleng pelan, “Ayah masih belum jemput aku,” imbuhnya diiringi senyuman manis yang melekat di wajah bulat nya.Gadis yang kerap disapa Clarisa itupun mengangguk mengerti, lantas ia turut mendongak guna menatap sang bunda yang masih setia memegang kedua bahunya.“Ada apa, Sayang?” Sembari bertanya wanita muda itu langsung duduk guna menyetarakan tingginya dengan sang anak.“Bunda boleh nggak kalau kita anterin Haura pulang dulu, kasihan Haura nanti disini sendirian,” pinta gad
“Abis telponan sama siapa? Seneng banget kayaknya,” Hanny yang baru saja menutup sambungan telepon, reflek menoleh ke sumber suara. Dari kejauhan Raka semakin mengikis jarak antar keduanya, lantas memberikan kecupan singkat pada puncak kepala sang istti sebelum akhirnya memilih duduk dan merangkul bahu Hanny. “Oh, ini Mas. Anaknya temenku, dia itu ngegemesin banget,” jawab Hanny dengan mata penuh binar.Jawaban itu sontak membuat Raka menyerngit penuh tanya, pasalnya yang ia tahu teman sang istri hanyalah Tiar juga Tania, dan mereka sama-sama belum ada yang menikah.“Temen kamu yang mana?” Tak urung Raka tetap bertahya, membuat Hanny reflek menepuk jidatnya sendiri.“Aku lupa belum cerita sama kamu,” jawbnya dengan nyengir kuda, menampilkan deretan gigi-gigi putihnya yang tertata rapi dengan gingsul di sisi kiri.“Kamu sih, sibuk terus!” imbuhnya menyebikkan mulut. Tak lupa ia juga bersedekap dada, melakukan acting layaknya sedang marah.Raka mengulum senyum, lantas dengan cepat m
Pagi itu, tepat saat jarum jam menunjukan angka 8. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapan sebuah bangunan klasik yang cukup mewah juga megah.Hal itu membuat sosok pria berjas hitam dengan tubuhnya yang kekar berjalan cepat, guna membukakan pintu untuk penumpang di dalamnya.“Dimana dia?” Dengan memakai dress berwarna hitam, serta kacamata gelap yang bertengger manis di hidung mancungnya, wanita itu menoleh, menatap seorang pengawal yang tidak asing lagi baginya.“Tuan ada di dalam, mari saya antar!” gumam pria yang diketahui bernama Max itu.Si wanita pun hanya menggangguk kecil sebagai jawaban, sebelum akhirnya turut melangkahkan kaki jenjangnya guna mengikuti langkah lebar Max.“Semua masih tampak sama,” batin wanita itu, saat netranya berhasil menelisik setiap furniture dan hiasan yang berada di dalam rumah tersebut.Mereka berdua terus berjalan dengan angkuhnya, melewati setiap lorong yang dihiasi lampu-lampu klasik, serta lukisan mewah di setiap dindingnya.Hanya terdenga
“Mas, tolong dengerin aku!” Wanita berambut sebahu itu, berhasil menahan pergelangan tangan kekar milik Raka.“Aku sibuk!” sinis Raka melirik tajam. Lantas pria itu kembali melangkah dan tentu langsung diikuti oleh Devina dari belakang.“Aku minta maaf!” ujarnya kembali, saat keduanya berhasil memasuki ruang kerja Raka. Raka sendiri tidak menjawab, pria itu hanya diam dengan terus menatap buku jurnal perusahaan yang tengah ia buka. “Aku beneran nggak sengaja! Aku janji gak bakal ngulangin hal bodoh itu lagi,” Semenjak kejadian kala itu, Raka benar-benar mengabaikan Devina, menganggap wanita itu tidak pernah ada dan melupakan hubungan keduanya. Tentu saja, hal itu membuat Devina semakin mengerang marah, dan semakin menaruh benci kepada Hanny.Akhirnya Raka mendongak, pria itu menatap wajah sang sekretaris yang sudah berdiri tepat di sampingnya. “Kamu masih sayang, ‘kan sama aku?” Nafas jengah layaknya penuh beban, berhasil Raka hembuskan. Tak bisa dipungkiri, Seberat apapun usahan
“Makasih ya, Sayang!” Devina semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Raka. Mereka berdua terus menempel layaknya sebuah surat dan perangko.“Hari ini aku seneng banget,” senyuman semakin mengembang sempurna, membuat Raka turut terhanyut di dalamnya.Hingga tanpa sadar seorang gadis kecil berhasil menangkap siluet keduanya.“Itu ibuk!” pekik gadis cantik pemilik mata teduh, yang tengah duduk di teras sekolah, menunggu jemputan yang akan membawanya kembali ke rumah. “Iya, Hau yakin itu ibuk.”Satpam yang tengah lengah saat berjaga di gerbang, membuat Haura dengan mudah keluar dari area sekolah dan turun langsung ke jalan raya.“Ibuk, tungguin Haura! Haura mau peluk ibuk,” serunya terdengar sayu di sepanjang jalan. Matanya penuh harap, berusaha mencuri perhatian perempuan berambut sebahu, yang tengah melangkah menuju mobil mewah dan berakhir menghilang dibalik pintu mobil. Naasnya, semua harapan itu hancur ketika mobil mewah yang ditumpangi Devina melaju pergi, meninggalkan Haura
“Gak enak banget ya jadi Haura!” ucap Tiar setelah kembali dari dapur dengan membawa beberapa potong roti untuk kedua temannya.Sembari mencomot sepotong roti dari piring Tiar, Tania mengangguk setuju. “Untung masih ada mas Yuda yang sayang banget sama dia,” “Ya karena itu, aku selalu ngajak kalian buat main sama dia,” celetuk Hanny menatap kedua temannya secara bergantian.“Dia gadis yang ceria,” imbuhnya menatap kosong ke arah depan, “ Dan dia, adalah gadis yang pintar menyembunyikan luka.” Tanpa sadar setetes air berhasil membasahi pipinya, Tania yang sadar akan hal itu, segera mendekat lantas mendekap tubuh Hanny dengan kuat.“Gue jadi penasaran deh, siapa sih sebenarnya ibunya itu? Nggak punya hati banget!” gerutu Tiar sedikit emosiTania mengedikan bahu, “Udah ninggalin anak di panti asuhan, selingkuh lagi.” “Kok lo bisa tau kalau ibunya Haura selingkuh?” Tiar menoleh ke arah Tania, membuat gadis itu cengo seketika.“Hah,”Tiar berdecak kesal, kini tatapannya lurus ke arah Tan
“Bunny!”“Hanny!”Teriakan yang menggema secara bersamaan, berhasil mengambil alih atensi Hanny, membuat wanita itu sontak menoleh guna mencari sumber suara, dan melemparkan senyum, sembari melambaikan tangan, ke arah Haura, juga Tania yang berada di tepian jalan.“Hanny, minggir! Di belakang lo!” Dengan wajahnya yang sudah pucat pasi, Tania kembali berteriak dengan lantang, membuat Hanny menyerngit heran. Namun, tak urung wanita itu menoleh, tapi sayang. Semuanya terlambat.Motor yang terus melaju kencang ke arahnya, membuat kakinya kelu untuk bergerak, saat itu juga netranya membulat sempurna dengan perasaan tak karuan.“Awas!” Hingga teriakan itu kembali menggema, bersamaan dengan tubuhnya yang terhuyung tak tentu arah, dan berakhir dengan suara tabrakan yang begitu nyaring hingga memekikkan telinga. “Hanny!” Tania yang sudah berlari, reflek menghentikan langkahnya, dengan mata yang berembun detik itu juga. Sedangkan yuda, dengan cepat pria itu menutup wajah Haura, tak membiarkan
“Maksudnya pindah?” Tania reflek berdiri dan berbalik badan untuk menatap Tiar yang tengah berdiri.Tiar tidak langsung menjawab, pria itu lebih dulu menghela nafas berat, lantas membalas tatapan Tania tak kalah intens. “ Aku mau ajak Haura pergi dari sini. “Lebih tepatnya, pergi dari kota ini. Aku gak bisa tinggal di sini terus,” imbuhnya sembari menelisik keadaan sekeliling ruangan dengan senyum yang semakin pudar. Jika boleh jujur, Tiar sudah nyaman berada di rumah pemberian Hanny itu. Namun ia juga masih sadar diri. Ia tidak bisa berhutang budi pada wanita itu.“Jangan bilang, ini karena masalah Hanny sama devina?” Tania kembali bergumam, dengan suaranya yang tiba-tiba bergetar. Pertanyaan itu berhasil membuat Tiar langsung menundukan kepala, apalagi saat melihat wajah Tania yang tiba-tiba memerah, dengan mata yang berkaca-kaca.“Emangnya Bunny, sama Ibu punya masalah apa? Gara-gara Haura ya!” Sial sepertinya kedua orang dewasa itu telah melupakan sosok malaikat kecil yang seja
“Ooo … Jadi selama ini kita makan di resto milik pelakor!” Seorang wanita paruh baya memekik dengan begitu lantang. Disambung dengan suara ricuh dari pelanggan lain yang turut mencibir sosok Devina. Tentu saja, mendengar hal itu membuat Hanny merasa puas dengan perlawanan yang ia berikan. Cukup sudah berdiam diri, kini wanita hamil itu akan turun untuk beraksi.“Mending, kita pergi dari sini! Gak usah lagi makan disini. Bisa-bisa laki kita diembat juga sama dia.” Seorang wanita lain, turut nimbrung, lantas berjalan mendekati Devina, tanpa aba-aba ia langsung menyiramkan segelas air yang tergeletak diatas meja. “Dasar pelakor! Tau rasa kamu sekarang!” tuturnya tersenyum senang. Devina yang mendapatkan serangan mendadak, tentu saja berhasil dibuat terkejut. Wanita itu reflek menutup mata, tatkala segelas air langsung terjun membasahi seluruh wajahnya.Devina semakin dibuat naik pitam, dadanya yang bergemuruh, semakin panas saat menghela nafas, dengan kasar ia meraup wajahnya sendiri
Tania yang baru saja hendak pergi bekerja, harus terlonjak kecil tatkala mendapati sang sahabat sudah berdiri di ambang pintu rumahnya, kini wanita itu tak lagi tinggal di apartemen, ia memutuskan untuk kembali ke kediaman kedua orang tuanya. Tania segera meraih punggung Hanny untuk ia cengkram dengan kuat, netranya menelisik setiap jengkal tubuh wanita hamil di hadapannya. “ Hanny? Kok kesini gak bilang-bilang.”Hanny menggeleng, sembari menerbitkan seulas senyum ia meraih tangan Tania untuk ia genggam. “Ada perlu sama kamu,” “Yaudah yuk masuk!” Tania berniat menarik tubuh Hanny untuk melangkah masuk, tetapi wanita itu langsung menolak. Tentu saja, hal itu langsung membuat Tania menyerngit penuh tanya. “Nanti aja deh, Tan. Kamu mau berangkat kerja ‘kan,” tutur Hanny bermaksud untuk kembali beranjak dari sana. Namun, dengan cepat Tania langsung menahan tangannya.“Nggak papa, gue bisa tukeran shift sama dokter lain.” kilah Tania, yang langsung mengeluarkan benda pipih dari dalam
“Udah kenyang?” Tania yang saat ini teng duduk diatas trotoar, menoleh ke arah Yuda yang baru saja memberinya pertanyan.“Udah!” balasnya sembari menunjukan deretan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi.“Yaudah ayok!” Yuda lebih dulu berdiri, bukannya segera mengikuti, Tania justru hanya mendongak dengan menampilkan lipatan-lipatan pada dahinya.“Mau kemana?” wanita itu kembali bertanya dengan wajah cengonya, dan melihat itu membuat Yuda tak lagi bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk terangkat.Malam ini, pria itu berhasil melihat siapa Tania yang sebenarnya, bukan gadis bar-bar yang suka asal ceplos, melainkan gadis unik dengan segala kelemotannya. Jadi sekarang dia sudah tidak heran lagi, kenapa Tiar suka sekali memarahi wanita di hadapannya itu. “Pantesan,” Tanpa sadar Yuda berucap, membuat Tania semakin menyerngit penuh tanya, begitu pula dengan dirinya yang juga tampak syok sendiri.“Apanya?” Tania bertanya. Yuda menggeleng cepat.“Bukan apa-apa!” Kali ini, Tania tidak bern
Tak perlu waktu yang lama, taxi yang ditumpangi Tania sudah sampi di tempat tujuan. Sebelum benar-benar beranjak, Tania membayar dan mngucapkan terimakasih kepada pria paruh baya yang sudah mengantarkannya dengan semangat.Seulas senyum pun langsung terbit di wajah cantik wanita itu, tatakal mendapti sebuah Toko bunga yang sudah tutup, lantas netranya bergerak pada favilliun kecil yang ada disebelahnya.“Akhirnya sampai juga,” gumamnya, sebelum kembali melangkah, dan langsung mengetuk pintu yang ada di hadapannya saat ini.“Permisi!” Tania kembali bergumam saat belum juga mendapat respon dari dalam.Gadis itu menghela nafas, “Apa udah pada tidur ya?” tanyanya pada diri sendiri, lantas ia melihat jam yang melingkar cantik di pergelangan tanganya. “Masa iya udah tidur, ‘kan masih jam segini!” sambungnya dilanda rasa bimbang. “Ck! aish!” Wanita itu berdecak, sembari menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Lagi lupa lo ngapain sih, dateng kesini malem-malem. Gak jelas banget s
Sepeninggal kedua temannya, kini tatapan Hanny fokus ke arah depan, wanita itu sama sekali tak mengindahkan keberadaan sang suami yang berada tepat di sampingnya.Awalnya tidak ada yang membuka suara, semua tampak tengah fokus pada pikiran masing-masing. Hingga sang pria lah yang lebih dulu berdehem, tetapi sayang deheman utu sama sekali tak membuat sang istri menoleh ke arahnya. “Sayang,” panggil Raka setengah berbisik, bersamaan dengan itu, tangannya turut bergerak mengusap surai panjang milik Hanny.“Apa?” Akhirnya Hanny menoleh, walaupun tatapannya terlihat sangat tidak bersemangat. “Maafin aku ya!” balas Raka mengulum senyum.“Buat apa?” sembari menarik sebelas alisnya untuk terangkat, Hanny terkekeh singkat.Tangan yang masih setia mengusap surai sang istri, perlahan turun dan berhenti tepat pada kedua tangan Hanny, kemudian ia genggam tangan itu seerat mungkin. “Maaf, aku udah lali jaga kamu!” pria itu berkata penuh penyesalan, saat berhasil mencium kedua tangan sang istri de
Detik demi detik berlalu dengan begitu cepat, menggantikan menit menjadi jam, dan siang menjadi malam. Dan kini, Raka sudah berdiri tegak di hadapan pintu apartemen milik mantan sekretaris.Hampir 5 menit berlalu, tetapi sang empu tak juga kunjung menampakkan batang hidungnya, membuat Raka semakin frustasi.“Dev, ayo dong buka pintunya! Aku mau masuk!” Pria itu terus mengetuk daun pintu dihadapannya dan sesekali berteriak dengan lantang, berharap wanita di dalam sana segera keluar.“Aku masuk, atau pintunya aku dobrak!” Habis sudah kesabaran Raka, pria itu berucap dengan tegas, dan penuh intimidasi.Sedangkan di dalam sana, tepat diatas ranjang, Devina yang tengah berkutat dengan layar laptopnya menghela nafas jengah. Namun, tak urung wanita itu tetap beranjak menuju pintu utama.“Dobrak aja, kalau kamu berani!” katanya tatkala hampir mencapai daun pintu. “Devina!” Teriakan Raka kembali terdengar, membuat Devina mau tidak mau langsung memutar kunci dan membuka pintu tersebut.“Apa?
Sesuai yang sudah Tiar katakan sebelumnya, tepat setelah 3 jam berlalu, pria tampan berkacamata itu segera melepas jas putih yang sedari tadi melekat di tubuhnya.Menyisakan sebuah kemeja panjang berwarna Biru, yang saat itu juga langsung ia gulung hingga mencapai siku.Dan tidak perlu waktu lama, pria dewasa itu seger! menekan pedal gas mobilnya untuk segera menemui sang sahabat. Hampir 15 menit berlalu dan kini Tiar sudah sampai pada sebuah rumah megah nan tampak sepi.“Tumben lo pulang?” Tiar berujar setelah berada di ambang pintu, membuat sang pemilik rumah yang tengah terduduk di sofa ruang tamu reflek menoleh.Dan tanpa menunggu disuruh, pria itu langsung bergerak dan mengambil duduk tepat di samping Tania.“Telat 15 menit,” cibir Tania mengecek jam di pergelangan tangannya sendiri.“Ck! Lo kira gue iron man, bisa terbang kemana saja?”“Emang iron man bisa terbang?” balas Tania menanggapi ucapan tidak berfaedah dari Tiar.“Hust! Diem. Gue gak tau dan gak mau tau!” Dengan cepat T