Pagi itu, tepat saat jarum jam menunjukan angka 8. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapan sebuah bangunan klasik yang cukup mewah juga megah.Hal itu membuat sosok pria berjas hitam dengan tubuhnya yang kekar berjalan cepat, guna membukakan pintu untuk penumpang di dalamnya.“Dimana dia?” Dengan memakai dress berwarna hitam, serta kacamata gelap yang bertengger manis di hidung mancungnya, wanita itu menoleh, menatap seorang pengawal yang tidak asing lagi baginya.“Tuan ada di dalam, mari saya antar!” gumam pria yang diketahui bernama Max itu.Si wanita pun hanya menggangguk kecil sebagai jawaban, sebelum akhirnya turut melangkahkan kaki jenjangnya guna mengikuti langkah lebar Max.“Semua masih tampak sama,” batin wanita itu, saat netranya berhasil menelisik setiap furniture dan hiasan yang berada di dalam rumah tersebut.Mereka berdua terus berjalan dengan angkuhnya, melewati setiap lorong yang dihiasi lampu-lampu klasik, serta lukisan mewah di setiap dindingnya.Hanya terdenga
“Mas, tolong dengerin aku!” Wanita berambut sebahu itu, berhasil menahan pergelangan tangan kekar milik Raka.“Aku sibuk!” sinis Raka melirik tajam. Lantas pria itu kembali melangkah dan tentu langsung diikuti oleh Devina dari belakang.“Aku minta maaf!” ujarnya kembali, saat keduanya berhasil memasuki ruang kerja Raka. Raka sendiri tidak menjawab, pria itu hanya diam dengan terus menatap buku jurnal perusahaan yang tengah ia buka. “Aku beneran nggak sengaja! Aku janji gak bakal ngulangin hal bodoh itu lagi,” Semenjak kejadian kala itu, Raka benar-benar mengabaikan Devina, menganggap wanita itu tidak pernah ada dan melupakan hubungan keduanya. Tentu saja, hal itu membuat Devina semakin mengerang marah, dan semakin menaruh benci kepada Hanny.Akhirnya Raka mendongak, pria itu menatap wajah sang sekretaris yang sudah berdiri tepat di sampingnya. “Kamu masih sayang, ‘kan sama aku?” Nafas jengah layaknya penuh beban, berhasil Raka hembuskan. Tak bisa dipungkiri, Seberat apapun usahan
“Makasih ya, Sayang!” Devina semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Raka. Mereka berdua terus menempel layaknya sebuah surat dan perangko.“Hari ini aku seneng banget,” senyuman semakin mengembang sempurna, membuat Raka turut terhanyut di dalamnya.Hingga tanpa sadar seorang gadis kecil berhasil menangkap siluet keduanya.“Itu ibuk!” pekik gadis cantik pemilik mata teduh, yang tengah duduk di teras sekolah, menunggu jemputan yang akan membawanya kembali ke rumah. “Iya, Hau yakin itu ibuk.”Satpam yang tengah lengah saat berjaga di gerbang, membuat Haura dengan mudah keluar dari area sekolah dan turun langsung ke jalan raya.“Ibuk, tungguin Haura! Haura mau peluk ibuk,” serunya terdengar sayu di sepanjang jalan. Matanya penuh harap, berusaha mencuri perhatian perempuan berambut sebahu, yang tengah melangkah menuju mobil mewah dan berakhir menghilang dibalik pintu mobil. Naasnya, semua harapan itu hancur ketika mobil mewah yang ditumpangi Devina melaju pergi, meninggalkan Haura
“Gak enak banget ya jadi Haura!” ucap Tiar setelah kembali dari dapur dengan membawa beberapa potong roti untuk kedua temannya.Sembari mencomot sepotong roti dari piring Tiar, Tania mengangguk setuju. “Untung masih ada mas Yuda yang sayang banget sama dia,” “Ya karena itu, aku selalu ngajak kalian buat main sama dia,” celetuk Hanny menatap kedua temannya secara bergantian.“Dia gadis yang ceria,” imbuhnya menatap kosong ke arah depan, “ Dan dia, adalah gadis yang pintar menyembunyikan luka.” Tanpa sadar setetes air berhasil membasahi pipinya, Tania yang sadar akan hal itu, segera mendekat lantas mendekap tubuh Hanny dengan kuat.“Gue jadi penasaran deh, siapa sih sebenarnya ibunya itu? Nggak punya hati banget!” gerutu Tiar sedikit emosiTania mengedikan bahu, “Udah ninggalin anak di panti asuhan, selingkuh lagi.” “Kok lo bisa tau kalau ibunya Haura selingkuh?” Tiar menoleh ke arah Tania, membuat gadis itu cengo seketika.“Hah,”Tiar berdecak kesal, kini tatapannya lurus ke arah Tan
Dalam kegelapan malam, rintik hujan terus turun membasahi bumi. Tiap tetes yang dihasilkan layaknya sebuah kisah yang mengalir dalam diam.Dengan tatapan sendu, Devina menyaksikan setiap tetesan itu jatuh ke permukaan tanah. Perlahan tangannya turut bergerak guna mengusap lengannya yang terasa dingin karena terpaan angin malam.“Are you okay?”Sembari menampilkan seulas senyum, wanita bersurai sebahu itu mendongak, tanpa mengeluarkan sepatah katapun.“No! You not okay.” Pria berahang tegas yang tak lain, dan tak bukan adalah Raka itu, segera merangkul tubuh Devina dari belakang, berusaha menghilangkan hawa dingin pada tubuh sang sekretaris.“Aku nggak papa, Mas,” gumam Devina, sedikit tertawa tatkala Raka berhasil mengambil sebuah kecupan pada pipi mulusnya.“Terus kamu ngapain di luar malem-malem. Nggak mau nemenin aku di dalem?” Setengah berbisik, Raka kembali melemparkan pertanyaan.Devina menoleh, menatap wajah Raka yang berada tepat di samping wajahnya, lantas ia belai wajah tamp
“Kamu belum pulang, Mas?” Devina yang baru saja membuka suara, merasa terkejut dengan lengan Raka yang tiba-tiba semakin memeluk erat tubuhnya dari samping.Sembari terus menduselkan kepalanya pada punggung wanita itu, Raka menggeleng lemas. “Nggak, masih nyaman disini,” ujarnya dengan suara serak khas orang bangun tidur. Tentu hati wanita mana yang tidak senang mendapat penuturan seperti itu, sedangkan biasanya pria itu sudah menghilang pagi-pagi seperti ini. “Mbak Hanny, gak nyariin kamu emang?” Devina memutar posisi tubuhnya, menjadi miring menghadap Raka.Raka tidak menjawab, pria itu tampak terdiam. Membuat Devina menyerngit penuh tanya. “Mas, kamu lagi ada masalah sama mbak Hanny?” Tak ingin terus penasaran wanita itu memutuskan untuk bertanya, yang nyatanya pertanyaan itu membuat Raka menghela nafasnya.“Nggak!” “Terus kenapa? Biasanya kamu juga lebih peduli sama istri kamu itu daripada aku.” Devina kembali merubah posisinya menjadi duduk, dan langsung diikuti oleh Raka.“M
Rumah yang biasanya tersusun dengan rapi, kini tak lagi nampak seperti itu. Semuanya terlihat berantakan, banyak barang yang tercecer di lantai. Dan di sudut ruangan, Hanny tampak diam mematung pandangannya kosong ke arah depan, bahkan wanita itu sama sekali tak memperdulikan keadaan ponselnya yang terus berdering sejak tadi.“Bodoh! Bukankah kamu sudah tahu semuanya sejak dulu? Lantas apa yang membuatmu sehancur ini, Hanny?” Wanita itu terus bermonolog pada diri sendiri, memberikan pertanyaan yang sampai detik ini tidak tau apa jawabannya.Pikirannya kalut, hatinya hancur. Rumahnya runtuh, tidak ada lagi yang tersisa. Semuanya terasa kacau, dan hancur lebur menjadi satu. “Han, kamu bisa!” Ia terus bergumam, mencoba menyemangati dirinya sendiri. Namun, seperdetik setelah itu, bersamaan dengan matanya yang memejam, meruntuhkan segala cairan bening yang masih bersemayam dalam kelopak matanya. Hanny menggeleng lemah. “Aku nggak bisa! Aku nggak sekuat itu” racaunya berulang kali. Tid
Seperti yang sudah Devina janjikan sebelumnya, wanita itu baru saja memasuki sebuah cafe bernuansa modern guna menemui seseorang yang terus mendesaknya untuk bertemu.“Ada apa? Aku lagi sibuk, cepet ngomong!” celetuk wanita itu, sesaat setelah sampai pada satu meja yang sudah dihuni oleh seorang yang tengah menunduk dengan topi berwarna putih menutupi kepalanya.Terdengar helaan nafas dari laki-laki itu. Namun gak urung ia mendongak, guna menatap penuh wajah mantan istrinya itu. “Ini tentang Haura,”Haura, bayangan gadis kecil pemilik mata teduh yang telah lama tak ia jumpai itu, langsung terlintas di kepalanya.“Di mana dia? Ada apa dengan dia?” Tak dapat lagi dipungkiri, meskipun wajah wanita itu tampak datar tanpa ekspresi, tetapi suaranya sudah cukup membuat Yuda mengerti bahwa Devina kini tengah dirundung rasa panik.Seringaian berhasil terbit di bibir Yuda, pria itu lantas berdiri, guna mensejajarkan tinggi keduanya. Meskipun hasilnya ia lebih tinggi daripada mantan istrinya
“Bunny!”“Hanny!”Teriakan yang menggema secara bersamaan, berhasil mengambil alih atensi Hanny, membuat wanita itu sontak menoleh guna mencari sumber suara, dan melemparkan senyum, sembari melambaikan tangan, ke arah Haura, juga Tania yang berada di tepian jalan.“Hanny, minggir! Di belakang lo!” Dengan wajahnya yang sudah pucat pasi, Tania kembali berteriak dengan lantang, membuat Hanny menyerngit heran. Namun, tak urung wanita itu menoleh, tapi sayang. Semuanya terlambat.Motor yang terus melaju kencang ke arahnya, membuat kakinya kelu untuk bergerak, saat itu juga netranya membulat sempurna dengan perasaan tak karuan.“Awas!” Hingga teriakan itu kembali menggema, bersamaan dengan tubuhnya yang terhuyung tak tentu arah, dan berakhir dengan suara tabrakan yang begitu nyaring hingga memekikkan telinga. “Hanny!” Tania yang sudah berlari, reflek menghentikan langkahnya, dengan mata yang berembun detik itu juga. Sedangkan yuda, dengan cepat pria itu menutup wajah Haura, tak membiarkan
“Maksudnya pindah?” Tania reflek berdiri dan berbalik badan untuk menatap Tiar yang tengah berdiri.Tiar tidak langsung menjawab, pria itu lebih dulu menghela nafas berat, lantas membalas tatapan Tania tak kalah intens. “ Aku mau ajak Haura pergi dari sini. “Lebih tepatnya, pergi dari kota ini. Aku gak bisa tinggal di sini terus,” imbuhnya sembari menelisik keadaan sekeliling ruangan dengan senyum yang semakin pudar. Jika boleh jujur, Tiar sudah nyaman berada di rumah pemberian Hanny itu. Namun ia juga masih sadar diri. Ia tidak bisa berhutang budi pada wanita itu.“Jangan bilang, ini karena masalah Hanny sama devina?” Tania kembali bergumam, dengan suaranya yang tiba-tiba bergetar. Pertanyaan itu berhasil membuat Tiar langsung menundukan kepala, apalagi saat melihat wajah Tania yang tiba-tiba memerah, dengan mata yang berkaca-kaca.“Emangnya Bunny, sama Ibu punya masalah apa? Gara-gara Haura ya!” Sial sepertinya kedua orang dewasa itu telah melupakan sosok malaikat kecil yang seja
“Ooo … Jadi selama ini kita makan di resto milik pelakor!” Seorang wanita paruh baya memekik dengan begitu lantang. Disambung dengan suara ricuh dari pelanggan lain yang turut mencibir sosok Devina. Tentu saja, mendengar hal itu membuat Hanny merasa puas dengan perlawanan yang ia berikan. Cukup sudah berdiam diri, kini wanita hamil itu akan turun untuk beraksi.“Mending, kita pergi dari sini! Gak usah lagi makan disini. Bisa-bisa laki kita diembat juga sama dia.” Seorang wanita lain, turut nimbrung, lantas berjalan mendekati Devina, tanpa aba-aba ia langsung menyiramkan segelas air yang tergeletak diatas meja. “Dasar pelakor! Tau rasa kamu sekarang!” tuturnya tersenyum senang. Devina yang mendapatkan serangan mendadak, tentu saja berhasil dibuat terkejut. Wanita itu reflek menutup mata, tatkala segelas air langsung terjun membasahi seluruh wajahnya.Devina semakin dibuat naik pitam, dadanya yang bergemuruh, semakin panas saat menghela nafas, dengan kasar ia meraup wajahnya sendiri
Tania yang baru saja hendak pergi bekerja, harus terlonjak kecil tatkala mendapati sang sahabat sudah berdiri di ambang pintu rumahnya, kini wanita itu tak lagi tinggal di apartemen, ia memutuskan untuk kembali ke kediaman kedua orang tuanya. Tania segera meraih punggung Hanny untuk ia cengkram dengan kuat, netranya menelisik setiap jengkal tubuh wanita hamil di hadapannya. “ Hanny? Kok kesini gak bilang-bilang.”Hanny menggeleng, sembari menerbitkan seulas senyum ia meraih tangan Tania untuk ia genggam. “Ada perlu sama kamu,” “Yaudah yuk masuk!” Tania berniat menarik tubuh Hanny untuk melangkah masuk, tetapi wanita itu langsung menolak. Tentu saja, hal itu langsung membuat Tania menyerngit penuh tanya. “Nanti aja deh, Tan. Kamu mau berangkat kerja ‘kan,” tutur Hanny bermaksud untuk kembali beranjak dari sana. Namun, dengan cepat Tania langsung menahan tangannya.“Nggak papa, gue bisa tukeran shift sama dokter lain.” kilah Tania, yang langsung mengeluarkan benda pipih dari dalam
“Udah kenyang?” Tania yang saat ini teng duduk diatas trotoar, menoleh ke arah Yuda yang baru saja memberinya pertanyan.“Udah!” balasnya sembari menunjukan deretan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi.“Yaudah ayok!” Yuda lebih dulu berdiri, bukannya segera mengikuti, Tania justru hanya mendongak dengan menampilkan lipatan-lipatan pada dahinya.“Mau kemana?” wanita itu kembali bertanya dengan wajah cengonya, dan melihat itu membuat Yuda tak lagi bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk terangkat.Malam ini, pria itu berhasil melihat siapa Tania yang sebenarnya, bukan gadis bar-bar yang suka asal ceplos, melainkan gadis unik dengan segala kelemotannya. Jadi sekarang dia sudah tidak heran lagi, kenapa Tiar suka sekali memarahi wanita di hadapannya itu. “Pantesan,” Tanpa sadar Yuda berucap, membuat Tania semakin menyerngit penuh tanya, begitu pula dengan dirinya yang juga tampak syok sendiri.“Apanya?” Tania bertanya. Yuda menggeleng cepat.“Bukan apa-apa!” Kali ini, Tania tidak bern
Tak perlu waktu yang lama, taxi yang ditumpangi Tania sudah sampi di tempat tujuan. Sebelum benar-benar beranjak, Tania membayar dan mngucapkan terimakasih kepada pria paruh baya yang sudah mengantarkannya dengan semangat.Seulas senyum pun langsung terbit di wajah cantik wanita itu, tatakal mendapti sebuah Toko bunga yang sudah tutup, lantas netranya bergerak pada favilliun kecil yang ada disebelahnya.“Akhirnya sampai juga,” gumamnya, sebelum kembali melangkah, dan langsung mengetuk pintu yang ada di hadapannya saat ini.“Permisi!” Tania kembali bergumam saat belum juga mendapat respon dari dalam.Gadis itu menghela nafas, “Apa udah pada tidur ya?” tanyanya pada diri sendiri, lantas ia melihat jam yang melingkar cantik di pergelangan tanganya. “Masa iya udah tidur, ‘kan masih jam segini!” sambungnya dilanda rasa bimbang. “Ck! aish!” Wanita itu berdecak, sembari menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Lagi lupa lo ngapain sih, dateng kesini malem-malem. Gak jelas banget s
Sepeninggal kedua temannya, kini tatapan Hanny fokus ke arah depan, wanita itu sama sekali tak mengindahkan keberadaan sang suami yang berada tepat di sampingnya.Awalnya tidak ada yang membuka suara, semua tampak tengah fokus pada pikiran masing-masing. Hingga sang pria lah yang lebih dulu berdehem, tetapi sayang deheman utu sama sekali tak membuat sang istri menoleh ke arahnya. “Sayang,” panggil Raka setengah berbisik, bersamaan dengan itu, tangannya turut bergerak mengusap surai panjang milik Hanny.“Apa?” Akhirnya Hanny menoleh, walaupun tatapannya terlihat sangat tidak bersemangat. “Maafin aku ya!” balas Raka mengulum senyum.“Buat apa?” sembari menarik sebelas alisnya untuk terangkat, Hanny terkekeh singkat.Tangan yang masih setia mengusap surai sang istri, perlahan turun dan berhenti tepat pada kedua tangan Hanny, kemudian ia genggam tangan itu seerat mungkin. “Maaf, aku udah lali jaga kamu!” pria itu berkata penuh penyesalan, saat berhasil mencium kedua tangan sang istri de
Detik demi detik berlalu dengan begitu cepat, menggantikan menit menjadi jam, dan siang menjadi malam. Dan kini, Raka sudah berdiri tegak di hadapan pintu apartemen milik mantan sekretaris.Hampir 5 menit berlalu, tetapi sang empu tak juga kunjung menampakkan batang hidungnya, membuat Raka semakin frustasi.“Dev, ayo dong buka pintunya! Aku mau masuk!” Pria itu terus mengetuk daun pintu dihadapannya dan sesekali berteriak dengan lantang, berharap wanita di dalam sana segera keluar.“Aku masuk, atau pintunya aku dobrak!” Habis sudah kesabaran Raka, pria itu berucap dengan tegas, dan penuh intimidasi.Sedangkan di dalam sana, tepat diatas ranjang, Devina yang tengah berkutat dengan layar laptopnya menghela nafas jengah. Namun, tak urung wanita itu tetap beranjak menuju pintu utama.“Dobrak aja, kalau kamu berani!” katanya tatkala hampir mencapai daun pintu. “Devina!” Teriakan Raka kembali terdengar, membuat Devina mau tidak mau langsung memutar kunci dan membuka pintu tersebut.“Apa?
Sesuai yang sudah Tiar katakan sebelumnya, tepat setelah 3 jam berlalu, pria tampan berkacamata itu segera melepas jas putih yang sedari tadi melekat di tubuhnya.Menyisakan sebuah kemeja panjang berwarna Biru, yang saat itu juga langsung ia gulung hingga mencapai siku.Dan tidak perlu waktu lama, pria dewasa itu seger! menekan pedal gas mobilnya untuk segera menemui sang sahabat. Hampir 15 menit berlalu dan kini Tiar sudah sampai pada sebuah rumah megah nan tampak sepi.“Tumben lo pulang?” Tiar berujar setelah berada di ambang pintu, membuat sang pemilik rumah yang tengah terduduk di sofa ruang tamu reflek menoleh.Dan tanpa menunggu disuruh, pria itu langsung bergerak dan mengambil duduk tepat di samping Tania.“Telat 15 menit,” cibir Tania mengecek jam di pergelangan tangannya sendiri.“Ck! Lo kira gue iron man, bisa terbang kemana saja?”“Emang iron man bisa terbang?” balas Tania menanggapi ucapan tidak berfaedah dari Tiar.“Hust! Diem. Gue gak tau dan gak mau tau!” Dengan cepat T