Devina memandang kepergian sepasang suami istri itu dengan ekspresi wajah yang semakin gelap. Hatinya dipenuhi rasa marah dan kecewa. Lantas tanpa ragu, ia memutuskan untuk menyusul mereka, dengan langkah cepat dan tegas.Sedangkan di dalam sana, sepasang suami istri yang masih saling merangkul mesra itu harus berpisah di ujung ruangan, tatkala Raka hendak pergi ke kamar mandi meninggalkan Hanny sendirian. Hanny sendiri langsung beranjak hendak kembali ke kamar tidurnya. “Hanny, tunggu!”Mendengar panggilan itu, membuat Hanny kembali mengurungkan niatnya untuk melangkah pergi, kemudian dengan senyuman yang mengembang sempurna, ia berbalik badan, menatap Devina yang ternyata tengah berlari ke arahnya, dengan kedua tangan mengepal di kedua sisi tubuh.“Why?” tanya Hanny santai, tak lupa ia juga menarik sebelah alisnya setinggi mungkin, mencoba memberikan tatapan remeh, pada lawan yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya Melihat itu, membuat Devina menahan nafasnya sejenak, netrany
Hari sudah kembali berganti, tetapi Devina tak kunjung berhasil membuat kedua kelopak matanya untuk tertutup. Suara bentakan Raka terus berputar di dalam memori kepalanya, juga bayangan wajah Hanny yang tampak polos,terus membuat dada wanita itu bergemuruh tak terkendali.Hingga akhirnya, setelah matahari tak lagi malu-malu menunjukan wujudnya, Devina bergegas keluar kamar guna mencari keberadaan sosok Raka. Dan ya, tampaknya dunia tengah berpihak kepada wanita itu. Buktinya baru saja beberapa langkah, mata Devina berhasil menangkap siluet tubuh Raka yang bergerak menuju dapur, tak mau menyiakan kesempatan, wanita itu segera berlarian kecil guna menemui Raka.“Mas,”Suara yang terdengar cukup lirih itu, berhasil menelisik pendengaran Raka, membuat pria yang tengah membuatkan susu untuk sang istri terlonjak kecil, tetapi tak urung ia tetap berbalik badan, menatap pelaku yang ternyata masih berada di ambang pintu dapur.Karena merasa tak mendapat imbal balik, wanita itu kembali melangka
Pagi ini, Devina lebih dulu sampai di apartemennya, meninggalkan ketiga orang lainnya di pulau Dewata sana. Persis seperti yang telah Raka ucapkan sebelumnya, pria berahang tegas benar-benar memisahkan maskapai penerbangan mereka.Dengan kasar, wanita bersuarai sebahu itu membuak pintu apartemen, lantas tanpa permisi ia melempar tasnya ke sembarang arah,“Gila tu perempuan! Muka doang yang polos!” Tangan wanita itu terkepal kuat diatas meja, bersamaan dengan dadanya yang naik turun karena nafas tak beraturan.“Bisa-bisanya dia, memfitnah saya!” Wanita itu bergerak maju, menuju cermin yang ada di sudut ruangan, lantas tangan kanan bergerak guna menyibakkan rambut sebahu yang menghalangi pandangan matanya saat tengah menikmati pantulan dirinya sendiri.“Hanny Diratama,” cicit Devina yang kini sudah bersedekap dada, dengan menampilkan seulas senyum penuh kebencian dan kemarahan, “Kamu pikir saya akan menyerah begitu saja?”Seulas senyum itu kini telah berubah menjadi tawa yang terdengar
“Hatinya Hanny!” Tiar yang terkesiap dengan jawaban spontan dari mulut Tania, perlahan kembali menarik tubuhnya untuk menjauh, dengan membenarkan posisi jaketnya pria itu berusaha stay cool layaknya tak punya beban. Namun, dalam otak mungilnya, sudah dapat dipastikan jika ia tengah mengumpati habis-habisan sahabat karibnya itu, dan sampai detik ini ia masih dibuat tidak habis pikir dengan kelakuan, juga tingkah Tania yang benar-benar di luar prediksi bmkg. Sudah jelas ekspresi Tiar saat ini tidak ingin bercanda, tetapi wanita itu malah mengacaukan semuanya.Melihat perubahan ekspresi Tiar yang tampak lebih dingin dan tajam, membuat Tania dengan segera membekap mulutnya sendiri, “Ups, sorry. Gak sengaja!” “Berisik! Lupain yang tadi!” desis pria itu pada akhirnya. Tania mengangguk pasrah.“Jelasin, maksud dari isi dokumen yang lo buat ini!” Kini giliran Tania yang terkesiap karena ulah Tiar yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat besar tepat di hadapannya.
“Tiar, kamu disini?” Suara lembut yang berhasil menelisik indra pendengaran Tiar, dalam sekejap berhasil mengubah tatapan bengis pria itu menjadi lebih tenang, meski tak mengendurkan raut dinginnya sedikitpun.“Hanny, I'm so sorry!” Dengan suaranya yang sedikit serak, pria itu langsung memeluk tubuh Hanny begitu eratnya. Karena kurangnya persiapan, hal itu berhasil membuat tubuh sang wanita terhuyung, beruntung tubuh Tiar mampu menahan bebannya. “Tiar!” panggil wanita itu lagi, berusaha melepaskan pelukan antar keduanya.Namun, bukannya terlepas justru Tiar semakin erat merengkuh tubuh ringkih Hanny, membuat sang empu semakin menyerngit penuh tanya, apalagi saat samar-samar ia mendengar suara isakan keluar dari mulut sahabatnya itu. “Are you okay?” bisik wanita tepat di samping telinga Tiar, yang nyatanya hal itu membuat Tiar melepas pelukan dan melemparkan tatapan tak terima.“Kenapa?” “Bodoh!” umpat Tiar, sembari menyentil kening si wanita. Mendengar umpatan Tiar, yang penuh
Setelah perdebatan yang cukup sengit, kini ketiga insan itu memutuskan untuk duduk bersama di atas sofa yang empuk. Hanny terus berceloteh panjang lebar guna meluruskan segala permasalah yang berujung perdebatan antar kedua sahabatnya.“Jadi, lo masih mau pertahanin hubungan lo sama si brengsek itu?” Meskipun terdengar cukup ketus dan tak terima, Tiar tetap menjaga ekspresi wajahnya setenang mungkin.“Ck!” decak Tania lantas melirik pria itu menggunakan ekor matanya. “Dia punya nama!” imbuhnya, sesaat setelah kembali menatap ke arah Hanny.“Iya, sorry. Gue khilaf” acuh Tiar, mencoba mengalihkan pandangan, disertai hembuskan nafas penuh kepasrahan.Pria itu sudah memutuskan untuk ikut andil dalam permainan kedua temannya, melakukan apapun yang mereka inginkan, serta berjanji agar tidak melakukan kekerasan jika memang tidak diperlukan.“Huft! Gue tandain muka lo!” batin Tiar, dan tanpa kedua temanya sadari, kini kedua tanganya sudah ikut mengepal kuat di samping tubuhnya.“Jadi gimana
“Silahkan saja laporkan Tania, jika Anda berani!”Suara yang tegas itu, berhasil mengambil alih atensi semuanya, siapa yang berbicara? Tentu saja Hanny Diratama, wanita itu mengangkat kepalanya, menatap remeh Devina sembari terus berjalan mendekat.“Saya juga bisa melaporkan Anda! Karena Anda sudah berani berselingkuh dengan suami saya!” Tepat di hadapan Devina wanita itu berdiri, tatapannya tampak teduh, tetapi cukup menusuk. Senyumnya tampak manis. Namun, senyum itu justru membuat orang sekitarnya bergidik ngeri.“Dengan bukti akurat yang saya punya. Saya bisa membuat Anda mendekam di jeruji besi lebih lama. Dan satu lagi, saya bisa pastikan reputasi kamu akan hancur sebentar lagi!”Perlahan tapi pasti Devina menurunkan kembali tangannya, meskipun tidak kentara tetapi ucapan Hanny berhasil membuat nyalinya menciut saat itu juga, apalagi soal reputasi baik yang susah payah ia bangun. “Pergi dari sini! Atau polisi sendiri yang akan menjemput Anda, sekarang!”Masih dengan tatapan ben
Entah sudah keberapa kali, Haura terus menghembuskan nafas jengah. Tampaknya gadis kecil itu sudah mulai bosan menunggu kehadiran sang Ayah yang tak kunjung datang.“Ayah, kok lama banget sih,” gerutunya dengan kepala yang sudah tertekuk, menatap sepasang sepatu berwarna pink yang melekat di kakinya.“Haura, kamu belum dijemput ya?”Merasa tak asing dengan suara yang baru saja menelisik indra pendengarannya, membuat Haura segera mendongak guna memastikan bahwa tebakannya benar.“Clarisa!” Haura berseru, lantas menggeleng pelan, “Ayah masih belum jemput aku,” imbuhnya diiringi senyuman manis yang melekat di wajah bulat nya.Gadis yang kerap disapa Clarisa itupun mengangguk mengerti, lantas ia turut mendongak guna menatap sang bunda yang masih setia memegang kedua bahunya.“Ada apa, Sayang?” Sembari bertanya wanita muda itu langsung duduk guna menyetarakan tingginya dengan sang anak.“Bunda boleh nggak kalau kita anterin Haura pulang dulu, kasihan Haura nanti disini sendirian,” pinta gad
“Bunny!”“Hanny!”Teriakan yang menggema secara bersamaan, berhasil mengambil alih atensi Hanny, membuat wanita itu sontak menoleh guna mencari sumber suara, dan melemparkan senyum, sembari melambaikan tangan, ke arah Haura, juga Tania yang berada di tepian jalan.“Hanny, minggir! Di belakang lo!” Dengan wajahnya yang sudah pucat pasi, Tania kembali berteriak dengan lantang, membuat Hanny menyerngit heran. Namun, tak urung wanita itu menoleh, tapi sayang. Semuanya terlambat.Motor yang terus melaju kencang ke arahnya, membuat kakinya kelu untuk bergerak, saat itu juga netranya membulat sempurna dengan perasaan tak karuan.“Awas!” Hingga teriakan itu kembali menggema, bersamaan dengan tubuhnya yang terhuyung tak tentu arah, dan berakhir dengan suara tabrakan yang begitu nyaring hingga memekikkan telinga. “Hanny!” Tania yang sudah berlari, reflek menghentikan langkahnya, dengan mata yang berembun detik itu juga. Sedangkan yuda, dengan cepat pria itu menutup wajah Haura, tak membiarkan
“Maksudnya pindah?” Tania reflek berdiri dan berbalik badan untuk menatap Tiar yang tengah berdiri.Tiar tidak langsung menjawab, pria itu lebih dulu menghela nafas berat, lantas membalas tatapan Tania tak kalah intens. “ Aku mau ajak Haura pergi dari sini. “Lebih tepatnya, pergi dari kota ini. Aku gak bisa tinggal di sini terus,” imbuhnya sembari menelisik keadaan sekeliling ruangan dengan senyum yang semakin pudar. Jika boleh jujur, Tiar sudah nyaman berada di rumah pemberian Hanny itu. Namun ia juga masih sadar diri. Ia tidak bisa berhutang budi pada wanita itu.“Jangan bilang, ini karena masalah Hanny sama devina?” Tania kembali bergumam, dengan suaranya yang tiba-tiba bergetar. Pertanyaan itu berhasil membuat Tiar langsung menundukan kepala, apalagi saat melihat wajah Tania yang tiba-tiba memerah, dengan mata yang berkaca-kaca.“Emangnya Bunny, sama Ibu punya masalah apa? Gara-gara Haura ya!” Sial sepertinya kedua orang dewasa itu telah melupakan sosok malaikat kecil yang seja
“Ooo … Jadi selama ini kita makan di resto milik pelakor!” Seorang wanita paruh baya memekik dengan begitu lantang. Disambung dengan suara ricuh dari pelanggan lain yang turut mencibir sosok Devina. Tentu saja, mendengar hal itu membuat Hanny merasa puas dengan perlawanan yang ia berikan. Cukup sudah berdiam diri, kini wanita hamil itu akan turun untuk beraksi.“Mending, kita pergi dari sini! Gak usah lagi makan disini. Bisa-bisa laki kita diembat juga sama dia.” Seorang wanita lain, turut nimbrung, lantas berjalan mendekati Devina, tanpa aba-aba ia langsung menyiramkan segelas air yang tergeletak diatas meja. “Dasar pelakor! Tau rasa kamu sekarang!” tuturnya tersenyum senang. Devina yang mendapatkan serangan mendadak, tentu saja berhasil dibuat terkejut. Wanita itu reflek menutup mata, tatkala segelas air langsung terjun membasahi seluruh wajahnya.Devina semakin dibuat naik pitam, dadanya yang bergemuruh, semakin panas saat menghela nafas, dengan kasar ia meraup wajahnya sendiri
Tania yang baru saja hendak pergi bekerja, harus terlonjak kecil tatkala mendapati sang sahabat sudah berdiri di ambang pintu rumahnya, kini wanita itu tak lagi tinggal di apartemen, ia memutuskan untuk kembali ke kediaman kedua orang tuanya. Tania segera meraih punggung Hanny untuk ia cengkram dengan kuat, netranya menelisik setiap jengkal tubuh wanita hamil di hadapannya. “ Hanny? Kok kesini gak bilang-bilang.”Hanny menggeleng, sembari menerbitkan seulas senyum ia meraih tangan Tania untuk ia genggam. “Ada perlu sama kamu,” “Yaudah yuk masuk!” Tania berniat menarik tubuh Hanny untuk melangkah masuk, tetapi wanita itu langsung menolak. Tentu saja, hal itu langsung membuat Tania menyerngit penuh tanya. “Nanti aja deh, Tan. Kamu mau berangkat kerja ‘kan,” tutur Hanny bermaksud untuk kembali beranjak dari sana. Namun, dengan cepat Tania langsung menahan tangannya.“Nggak papa, gue bisa tukeran shift sama dokter lain.” kilah Tania, yang langsung mengeluarkan benda pipih dari dalam
“Udah kenyang?” Tania yang saat ini teng duduk diatas trotoar, menoleh ke arah Yuda yang baru saja memberinya pertanyan.“Udah!” balasnya sembari menunjukan deretan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi.“Yaudah ayok!” Yuda lebih dulu berdiri, bukannya segera mengikuti, Tania justru hanya mendongak dengan menampilkan lipatan-lipatan pada dahinya.“Mau kemana?” wanita itu kembali bertanya dengan wajah cengonya, dan melihat itu membuat Yuda tak lagi bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk terangkat.Malam ini, pria itu berhasil melihat siapa Tania yang sebenarnya, bukan gadis bar-bar yang suka asal ceplos, melainkan gadis unik dengan segala kelemotannya. Jadi sekarang dia sudah tidak heran lagi, kenapa Tiar suka sekali memarahi wanita di hadapannya itu. “Pantesan,” Tanpa sadar Yuda berucap, membuat Tania semakin menyerngit penuh tanya, begitu pula dengan dirinya yang juga tampak syok sendiri.“Apanya?” Tania bertanya. Yuda menggeleng cepat.“Bukan apa-apa!” Kali ini, Tania tidak bern
Tak perlu waktu yang lama, taxi yang ditumpangi Tania sudah sampi di tempat tujuan. Sebelum benar-benar beranjak, Tania membayar dan mngucapkan terimakasih kepada pria paruh baya yang sudah mengantarkannya dengan semangat.Seulas senyum pun langsung terbit di wajah cantik wanita itu, tatakal mendapti sebuah Toko bunga yang sudah tutup, lantas netranya bergerak pada favilliun kecil yang ada disebelahnya.“Akhirnya sampai juga,” gumamnya, sebelum kembali melangkah, dan langsung mengetuk pintu yang ada di hadapannya saat ini.“Permisi!” Tania kembali bergumam saat belum juga mendapat respon dari dalam.Gadis itu menghela nafas, “Apa udah pada tidur ya?” tanyanya pada diri sendiri, lantas ia melihat jam yang melingkar cantik di pergelangan tanganya. “Masa iya udah tidur, ‘kan masih jam segini!” sambungnya dilanda rasa bimbang. “Ck! aish!” Wanita itu berdecak, sembari menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Lagi lupa lo ngapain sih, dateng kesini malem-malem. Gak jelas banget s
Sepeninggal kedua temannya, kini tatapan Hanny fokus ke arah depan, wanita itu sama sekali tak mengindahkan keberadaan sang suami yang berada tepat di sampingnya.Awalnya tidak ada yang membuka suara, semua tampak tengah fokus pada pikiran masing-masing. Hingga sang pria lah yang lebih dulu berdehem, tetapi sayang deheman utu sama sekali tak membuat sang istri menoleh ke arahnya. “Sayang,” panggil Raka setengah berbisik, bersamaan dengan itu, tangannya turut bergerak mengusap surai panjang milik Hanny.“Apa?” Akhirnya Hanny menoleh, walaupun tatapannya terlihat sangat tidak bersemangat. “Maafin aku ya!” balas Raka mengulum senyum.“Buat apa?” sembari menarik sebelas alisnya untuk terangkat, Hanny terkekeh singkat.Tangan yang masih setia mengusap surai sang istri, perlahan turun dan berhenti tepat pada kedua tangan Hanny, kemudian ia genggam tangan itu seerat mungkin. “Maaf, aku udah lali jaga kamu!” pria itu berkata penuh penyesalan, saat berhasil mencium kedua tangan sang istri de
Detik demi detik berlalu dengan begitu cepat, menggantikan menit menjadi jam, dan siang menjadi malam. Dan kini, Raka sudah berdiri tegak di hadapan pintu apartemen milik mantan sekretaris.Hampir 5 menit berlalu, tetapi sang empu tak juga kunjung menampakkan batang hidungnya, membuat Raka semakin frustasi.“Dev, ayo dong buka pintunya! Aku mau masuk!” Pria itu terus mengetuk daun pintu dihadapannya dan sesekali berteriak dengan lantang, berharap wanita di dalam sana segera keluar.“Aku masuk, atau pintunya aku dobrak!” Habis sudah kesabaran Raka, pria itu berucap dengan tegas, dan penuh intimidasi.Sedangkan di dalam sana, tepat diatas ranjang, Devina yang tengah berkutat dengan layar laptopnya menghela nafas jengah. Namun, tak urung wanita itu tetap beranjak menuju pintu utama.“Dobrak aja, kalau kamu berani!” katanya tatkala hampir mencapai daun pintu. “Devina!” Teriakan Raka kembali terdengar, membuat Devina mau tidak mau langsung memutar kunci dan membuka pintu tersebut.“Apa?
Sesuai yang sudah Tiar katakan sebelumnya, tepat setelah 3 jam berlalu, pria tampan berkacamata itu segera melepas jas putih yang sedari tadi melekat di tubuhnya.Menyisakan sebuah kemeja panjang berwarna Biru, yang saat itu juga langsung ia gulung hingga mencapai siku.Dan tidak perlu waktu lama, pria dewasa itu seger! menekan pedal gas mobilnya untuk segera menemui sang sahabat. Hampir 15 menit berlalu dan kini Tiar sudah sampai pada sebuah rumah megah nan tampak sepi.“Tumben lo pulang?” Tiar berujar setelah berada di ambang pintu, membuat sang pemilik rumah yang tengah terduduk di sofa ruang tamu reflek menoleh.Dan tanpa menunggu disuruh, pria itu langsung bergerak dan mengambil duduk tepat di samping Tania.“Telat 15 menit,” cibir Tania mengecek jam di pergelangan tangannya sendiri.“Ck! Lo kira gue iron man, bisa terbang kemana saja?”“Emang iron man bisa terbang?” balas Tania menanggapi ucapan tidak berfaedah dari Tiar.“Hust! Diem. Gue gak tau dan gak mau tau!” Dengan cepat T