“Fuhhh ....” Bima membuang napas panjang ketika melihat rumahnya yang kacau. Dia berkacak pinggang sembari menoleh ke Mena. “Tidak ada sidik jari tertinggal?”Mena menggeleng. “Aku rasa mereka para pekerja profesional.”“Ya Profesional yang merusak barang-barangku. Bagus sekali, Vas bunga pecah, isi bantal berhamburan, majalah sobek. Sebenarnya apa yang mereka cari?”“Enggak ada satu pun yang hilang?” Mena malah menanyakan hal yang sama lagi.“Sejauh ini enggak ada.” Bima menggidikkan bahunya.“Pasti ini ada kaitannya dengan mafia-mafia yang belakangan tertangkap. Ada bandit yang lebih besar lagi dan mungkin saja di bagan kita sendiri.”“Ya, pasti posisi orang itu juga tidak main-main. Bagaimana dengan penemuan mayat kemarin?”“Masih dalam proses autopsi. Kemungkinan mayat itu sengaja dibuang ke sungai supaya di makan buaya untuk menghilangkan jejak. Mayatnya saja tidak lengkap.”“Aku pikir korban mutilasi.” Bima mengernyitkan dahinya.“Bukan, potongan tubuhnya tidak rata seperti gigi
Siti dan tiga bocah sangat terkejut melihat benda itu ternyata sudah hilang dari kotak kaca. Bocah itu saling berbisik-bisik, dan Siti membelalak menatap mereka.“Apanya yang seram?! Tak ada pula benda di dalam kotak ini! Haish. Mengganggu orang saja.” Siti mengangkat tangannya hendak menjitak Loli dan kedua temannya.“Tadi ada kok Kak Siti. Iya kan Nit, Sil?” Lirik Loli pada kedua temannya.“Iya Kak, beneran tadi kita lihat benda itu gerak-gerak sendiri,” Nita menimpali.“Beneran Kak, kita enggak bohong kok. Hii Sisil jadi merinding.” Sisil bergidik.“Halah ya sudah lah. Lagi pula kalau tidak ada bagus juga. Dari pada kalian ketakutan terus.” Siti berbalik badan dan melihat petugas sedang membersihkan benda bersejarah di dalam kotak lain. Dia pun bertanya pada petugas. “Mas lihat benda pusaka yang ada di sini enggak?”“Oh mungkin lagi dibersihkan sama petugas lain, Mbak.” Petugas itu kembali bekerja.“Tuh dengar kan, bendanya sedang dibersihkan bukan menghilang karena hantu.” Siti be
“Tadi siang saya baru dari Satya Loka,” jelas Siti pada Bima“Kamu ke sana ngapain?” Bima terheran ada keperluan apa Siti bisa sampai ke museum artefak dan peninggalan barang-barang kuno.“Menemani Loli studi turr”“Study tour.” Bima membenarkan bahasa Siti.“Ya begitulah sama saja.” Siti berdiam diri sejenak kemudian melanjutkan kalimatnya. “Tadi memang ada pembersihan benda-benda bersejarah di sana. Saya tidak tahu kalau tahu-tahu ada benda yang hilang.”“Berarti mungkin saja staf kebersihan yang mengambilnya.” Lelaki itu kini mengelus dagunya. “atau mungkin ada orang yang menyuruhnya. Kalau begitu saya berangkat sekarang.” Dipakainya jaket yang tergantung untuk menjaganya dari udara dingin di luar.“Sebentar.” Siti ikut mengambil tasnya.“Kamu di rumah saja.” Bima berdiri masih mengancingi jaketnya.“Kenapa? Kan kamu belum sehat betul. Nanti kalau ada apa-apa.”Bima semakin suka dengan kekhawatiran sang istri, itu tandanya Siti sudah benar-benar membuka hati untuknya. Lelaki itu p
“Iya. Kenapa? kamu mengenal benda ini?” tanya Bima penasaran.Siti beringsut duduk Masih terus memerhatikan foto-foto yang dia pegang. “Kamu ingat cerita saya, ada benda peninggalan nenek saya yang harus saya cari."“Maksudmu tongkat ini?” tunjuk Bima ke foto yang dipegang Siti.“Benda ini juga yang saya cari,” lanjut Siti lagi.“Bagaimana kamu bisa membuktikan ini milik keluargamu? Benda ini memiliki silsilah sendiri Siti. Kamu baca ini.” Bima membeberkan siapa yang menemukan benda itu, yang mengaku keturunan si pemilik.“Dia bukan pemiliknya, saya yang kehilangan benda itu.”“Tapi benda ini sudah berpindah kepemilikan menjadi milik negara. Orang itu mengembalikannya pada negara.”“Saya tidak akan pernah memberikannya pada siapa pun!” Siti marah ketika tahu benda yang dicarinya sudah bukan miliknya lagi. Berani-beraninya orang-orang itu me
“Di mana tongkat itu?! Serahkan cepat pada saya!” Siti membengis begitu Pram membawanya ke rumah megah dengan banyak penjaga di sana. Ruangan kedap suara, cat dinding berwarna hitam, dan pencahayaan remang. Siti mengedarkan pandangannya ke sekeliling namun hanya ada cermin yang memantulkan bayangannya. “Kamu ingin menipu saya?!”“Saya tidak ingin menipu kamu. Siti Maymunah Lampir.” Pram tersenyum miring begitu mengucapkan nama lengkap Siti.Siti terkejut bagaimana lelaki itu bisa tahu namanya, dia pun segera bertanya. “apa yang kamu ketahui tentang saya?”“Tidak banyak. Saya hanya mencari tahu dari mana tongkat itu berasal, dan saya menemukan kamu Siti.”“Apa maumu?!”Tembok di belakang Siti berputar menunjukkan sisi lain, sebuah meja kerja lengkap dengan seseorang yang tengah terduduk di sana mengamati Siti. Pria tua yang tidak dia kenal kini tengah memegang tongkat sakti miliknya.“Saya tahu kau sangat menginginkan benda ini.” Pria itu mengelus kepala tengkorak di tongkat Siti. “Ja
“Lampir ....” Siti mencari panggilan itu di tengah hutan. Rumput-rumput tinggi, semak belukar mengotori kakinya. Pohon-pohon besar menutupi awan, sekeliling Siti hanya ada pemandangan hijau, coklat dan gelap. Siti menyibak ranting-ranting yang menjulur menyentuh kepalanya, Daun-daun merambat bergelantungan, udara basah dan bau tanah.“Lampir ....” panggilan kedua terasa semakin dekat saat dia menghampiri bibir gua. Siti masuk ke dalam tempat kelelawar bergelantungan memenuhi langit-langit gua. Dari balik dinding batu seorang yang dia hormati muncul.“Nenek!” terkesiap Siti bersimpuh di tanah.Srintil berjalan bungkuk menduduki batu memegangi tongkat miliknya. Membuang wajah enggan menatap Siti. “Sudah sering kali kuingatkan. Tapi tampaknya Kau semakin larut dalam dunia manusia. Kau lupa siapa dirimu Lampir. Sepertinya aku salah mengangkatmu menjadi murid, tak ada pun baktimu padaku.”“Jangan lah Nenek berkata demikian. Saya masih mengusahakan tongkat pemberian Nenek, sungguh saya aka
“Apa kamu yakin tempatnya di sini?” tanya Bima memastikan sebelum mereka masuk ke rumah megah di depan.“Ya saya yakin.”Mereka masuk ke rumah itu lewat pintu belakang. Dengan sensor di tangannya Bima mematikan sistem keamanan. Menumbangkan beberapa penjaga dari arah yang tidak dia kira, agar Siti bisa menyelusup dari atap. Mengikuti pengarahan Siti agar bisa sampai pada ruangan yang Siti maksud.Dari atap Bima melihat orang-orang di dalam rumah melalu lubang exhaouse. Menunggu ruangan sepi barulah mereka turun menggunakan tali sling. Ruangan dikunci, Bima harus membuka kunci itu dengan hati-hati. Sementara Siti mengedarkan pandangan ke sekeliling memastikan tidak ada penjaga.Semua berjalan cukup aman sampai pintu terbuka. Sebuah ruangan berpelitur hitam, dengan banyak cermin di dalam seperti perkataan Siti. Siti. Perempuan itu meraba dinding untuk membuka ruang rahasia. Tempat di mana terakhir kali Siti melihat tongkat sakti miliknya di letakkan. Bima ikut menelusuri dinding, dia
Siti tengah berada di dalam kamar megah, dia belum pernah mendapat fasilitas bagus di kamarnya seperti sekarang. TV layar besar, kamar mandi bagaikan kolam, kasur yang sangat empuk melebihi kasur di rumah Bima. Bima, entah bagaimana keadaan suaminya sekarang. Tubuh Siti digeledah oleh pelayan perempuan dan dia mengambil semua peralatan mata-mata Siti termasuk gawainya. Lantas bagaimana dia menghubungi Bima dan mencari tahu bagaimana keadaan suaminya. Siti semakin merasa bersalah, kalau bukan karena dirinya membawa Bima ke rumah ini mungkin sekarang mereka masih bersama. Siti termenung memandangi jendela, bahkan dia tidak menghiraukan pelayan datang membawakan makanan untuknya. Sampai terdengar langkah berat, suara sepatu beradu dengan lantai granit. “Sudah dua piring makanan di sini, masih tidak mau makan juga?” tanya pria itu, Siti hanya menangkap bayangannya melalui ekor mata. “Saya tak selera makan,” jawab Siti masih memalingkan wajah. “Saya tidak memaksa kamu untuk makan. Ters
“Sebenarnya saya tidak percaya pada dia.” Datok Ranggih melirik Siti berganti melirik tongkat sakti yang Siti pegang.“Datok, percayalah Siti tidak bermaksud--" kalimat Bima terjeda oleh Siti.“Bima, wajar bila ada yang tidak percaya pada saya,” Siti menyadari betul kebodohannya 600 tahun mempercayai Serintil.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang Lampir?” tanya Datok Ranggih masih menilik penjelasan Siti. “Apa kau ingin Bima membukakan pusaran waktu kembali?”“Apa kamu ingin kembali ke kehidupan lamamu Siti?” kini mata Bima berkaca-kaca. Dia tahu Siti masih terjebak pada zaman yang tidak seharusnya. Mungkinkah Siti masih ingin memperbaiki masa lalunya?“Saya ...” Siti menjeda kalimatnya. Dia memberikan tongkat saktinya pada Bima. “Pertama saya ingin mengembalikan tongkat pusaka ini pada negara.” Lalu dia menggenggam tangan Bima seraya memandangi kedua manik ma
“Ke mana dia pergi Malik?” tanya Datok Ranggih yang kini sudah berubah menjadi manusia.“Saya tidak tahu Datok. Dia sudah nekat! Saya cemas malah Uda Bima nanti yang terbawa tipu muslihat istrinya.”“Istrinya?! Apa maksud kau?” lelaki tua itu terkejut menilik Malik.Mengetahui kesalahannya Malik langsung membungkuk di depan gurunya. “Maaf Datok. Saya berhutang janji pada Uda Bima agar tidak mengatakan rahasia ini.”“Jelaskan pada saya apa maksud perkataan kau tadi!”“Sebelum Uda Bima tahu dirinya adalah Inyiak Balang. Dia sudah menikah dengan Lampir, Datok. Dia juga tidak tahu istri yang dia nikahi sebenarnya adalah Lampir.”Datok Ranggih hanya bisa menggeleng lemah. “Mengapa sedari kemarin kau tak bilang pada Datok! Tak tahukah kau, dengan melibatkan cinta nyawa Bima terancam. Lampir pandai merayunya, bertipu muslihat berpura-pura lemah di depan Bima sampai anak m
Dalam kabut hitam nan pekat, meski mata Siti memejam saat menyilangkan kedua kakinya di atas batu tempat sang guru dahulu sering bertapa. Mata batinnya melihat sesosok itu datang dari balik kabut hitam. Rambut putih, punggung bengkok, kulit keriput dan celak mata hitam. Serintil mengikik berjalan pelan ke arah Siti. “Bagaimana keadaanmu Lampir?” “Tidaklah baik Nek. Mengapa Nenek tidak pernah bicara kalau dialah Inyiak yang saya cari.” Mata Siti terus memejam, ya dia hanya bisa menemui Serintil lewat perantara mimpi atau bersemedi seperti sekarang. “Kau pikir aku lebih sakti dari Batara Kala? Aku sudah sering kali berkata padamu jangan sekali-sekali mempercayai manusia. Kau terperdaya pada cinta Siti, tidak ingatkah kau bertapa menyakitkannya leluhur Inyiak muda itu melukaimu. Mereka semua sama sebab dalam diri pemuda itu mengalir darah murni Inyiak, darah dari Kumbang si busuk itu! Sebelum dia terlanjur melukaimu, bunuh dia Lampir ... sebelum dia membunuhmu ... jebak dia dengan per
“Astagfirullah ... uda kenapa?” tanya Malik begitu Bima mendatangi tempat tinggalnya. Dadanya berdarah jalannya sempoyongan. Begitu masuk Bima langsung terduduk di lantai, dia mengeluarkan tusuk konde dari dalam kantungnya.“Saya ... saya sudah bertemu dia.” Bima memberikan tusuk konde itu pada Malik.“Lampir? Dia menusuk Uda?”Bima tidak menjawab, dia masih syok, linglung, entah apa lagi sebutannya. “Saya pikir dia akan langsung membunuh saya.”Malik menilik ujung tusuk konde itu kemudian mengendus. “Dia tidak membubuhkan racun bunga kalmia. Lampir selalu membubuhkan racun di setiap senjatanya.”Bima tertegun, berarti Siti memang tidak berniat membunuhnya. Jikalau dia memang ingin membunuh Bima saat itu. Lampir bisa menggunakan tongkat saktinya seperti yang dia lakukan pada Rodrigo dan Pram. Siti hanya menancapkan ujung tusuk konde kecil ke dada Bima. “Mengapa ... kami harus saling membunuh?” tanya Bima bersandar pada dinding.“Karena dia sudah berjanji akan membunuh semua keturuna
“Katakan di mana perempuan busuk itu?!” Pram menarik rambut Bima hingga kepalanya menengadah. Dia belum puas menyiksa Bima sampai lelaki itu bicara.“Saya tidak tahu!” Tentu saja Bima bisa langsung menghabisi mereka semua dengan kekuatan tersembunyinya andai kata dia boleh membunuh banyak orang tanpa takut jati dirinya terbuka.“Katakan! Atau saya akan menghabisimu perlahan!”“Lebih baik saya mati dari pada mengatakannya!”Pram menertawakan Bima. “Mana mungkin aku percaya pada polisi yang menyembunyikan seorang penyihir. Kalian pasti berkomplot dan kau Bima ... kau telah mencoreng institusi negara dengan menyembunyikan tongkat itu.”“Siti bukan penyihir! Dan kau yang telah berkhianat pada negara! Memalukan!” Bima membuang ludah mengenai Pram.“Beraninya kau!” Pram kembali menarik rambut Bima lalu berseru pada anak buahnya. “Siksa dia sampai bicara!&rdqu
“Sudah aku bilang kan Bima. Dia enggak mungkin bisa kabur kalau bukan agen mata-mata yang diberi perangkat canggih.” Pandangan Mena berkeliling ke segala penjuru. Memerhatikan slot jeruji yang masih utuh. Mencari cela untuk Siti kabur. Tidak ada, semua masih rapi seperti sediakala.“Saya akan mencarinya sendiri. Dia pasti menemui saya.” Bima tidak menyangka istrinya bisa menghilang lagi. Dia pun bingung bagaimana cara menghubungi gawai Siti. Tak ada guna, sebab gawai itu sudah hilang entah ke mana.Bima kembali ke rumah berharap bisa menemukan Siti, Tapi nihil. Dari rumah satu ke rumah lainnya Bima datangi, semua rumahnya yang berupa-rupa itu pun masih kosong tak ada jejak manusia. Bima meremas kepalanya pertanda lelah sudah menghinggapi dirinya. Bima teringat perkataan Malik tentang penyihir hitam yang mungkin saja mencelakai keluarga Bima bukan hanya klan inyiak saja. Sontak Bima bergegas mencari Malik, mungkin saja Siti diculik dengan makhluk gaib bukannya melarikan diri seperti pe
“Saya sudah tahu semuanya,” kata Bima langsung membuka percakapan dengan Malik. Dia menengok ke pemuda itu kemudian berkata, “berarti ... kamu harimau yang menolong saya waktu itu?”“Ya, saya datang ke sini sebagai utusan untuk membimbing Uda Bima.”“Saya tidak perlu dibimbing.” Bima mengembalikan kertas pemberian Malik. “Ini silakan ambil kertas ini. Saya sudah memutuskan untuk tidak ikut campur pada urusan inyiak, saya akan tetap menjadi Bima sebagai manusia dan tidak ada sangkut pautnya lagi dengan dunia-dunia gaib kalian.”Malik menahan tangan Bima agar dia tidak pergi. “Tunggu, Uda tidak bisa berdiam diri saja. Mau tidak mau Uda harus menerima jati diri Uda sebagai seorang Inyiak balang.Bima merasa kesal, dia mendorong Malik dan menarik kerah pakaiannya. “Kenapa? Kenapa saya harus menjadi Inyiak?! Saya punya kehidupan sendiri, saya sudah cukup tenang dengan kehidupan saya. Hidup saya adalah pilihan saya! Bukan kamu yang menentukannya!”“Tidak ada pilihan selain menerima dirimu a
Bima terjaga lebih dulu, pagi ini dia merasa sangat bahagia bisa bersama sang istri. Semua kalutnya hilang sudah selepas semalam mereka memadu kasih menjalani ibadah suami istri. Bima menopang kepalanya dengan sebelah tangan sambil memandang Siti. Menatap perempuan itu tertidur lelap seperti orang yang terjaga selama seminggu penuh. Bima tersenyum mengelus wajah ayu sang istri, kulitnya yang lembut, anak rambut tipis yang berada di pangkal keningnya, hidung mungil dan bibir merekah. Tak tahan Bima ingin menciumnya lagi. “Eng.” Siti membuka kelopak matanya perlahan. Kemudian menyipit. “Maaf saya mengganggu tidur kamu. Habis ... kamu membuat saya jatuh cinta sepanjang waktu.” Bima merekahkan senyumnya pada Siti. “Pagi-pagi sudah merayu.” Siti memukul kecil dada bidang Bima. “Siapa yang merayu, memang kenyataannya begitu." Kinu Bima berganti mengecup jemari Siti. Sang istri membalas dengan senyum malu-malu. Siti mendekatkan kepalanya bersandar pada tubuh Bima dalam satu selimut. Jemar
“Sebenarnya ... ibu sudah berjanji pada ayahmu untuk tidak menceritakannya padamu.”Bima menatap Ratna sendu. “Bu, ini bukan hanya persoalan janji. Tapi ini menyangkut jati diri Bima, Bu. Bahkan bisa meluas lagi. Tolong Bu ....”Ratna terdiam sejenak sebelum memulai ucapannya, “Sesungguhnya Seluruh keluargamu sangat memedulikanmu Bima. Dulu mereka sangat mendambakan kelahiranmu, engkaulah Inyiak Balang terakhir yang mereka tunggu-tunggu. Mereka bilang kamu adalah penyelamat. Namun begitu isi kitab Sarisang sampurna berubah. Orang tuamu mulai takut, mereka menyembunyikan identitasmu dari siapa pun termasuk dari suku mereka.”“Apa itu Inyiak Balang? Lalu apa isi dari kitab itu?”“Kamu adalah keturunan manusia harimau. Separuh jiwamu adalah siluman. Darah itu mengalir kental dari kedua orang tuamu yang sama-sama keturunan Inyiak, dan kamu adalah Inyiak sempurna dari Inyiak-Inyiak yang tersisa. Kamu adalah Inyiak penutup dari inyiak yang sudah ada. Lalu tiba-tiba isi kitab para Inyiak ber