“Iya. Kenapa? kamu mengenal benda ini?” tanya Bima penasaran.
Siti beringsut duduk Masih terus memerhatikan foto-foto yang dia pegang. “Kamu ingat cerita saya, ada benda peninggalan nenek saya yang harus saya cari."
“Maksudmu tongkat ini?” tunjuk Bima ke foto yang dipegang Siti.
“Benda ini juga yang saya cari,” lanjut Siti lagi.
“Bagaimana kamu bisa membuktikan ini milik keluargamu? Benda ini memiliki silsilah sendiri Siti. Kamu baca ini.” Bima membeberkan siapa yang menemukan benda itu, yang mengaku keturunan si pemilik.
“Dia bukan pemiliknya, saya yang kehilangan benda itu.”
“Tapi benda ini sudah berpindah kepemilikan menjadi milik negara. Orang itu mengembalikannya pada negara.”
“Saya tidak akan pernah memberikannya pada siapa pun!” Siti marah ketika tahu benda yang dicarinya sudah bukan miliknya lagi. Berani-beraninya orang-orang itu me
“Di mana tongkat itu?! Serahkan cepat pada saya!” Siti membengis begitu Pram membawanya ke rumah megah dengan banyak penjaga di sana. Ruangan kedap suara, cat dinding berwarna hitam, dan pencahayaan remang. Siti mengedarkan pandangannya ke sekeliling namun hanya ada cermin yang memantulkan bayangannya. “Kamu ingin menipu saya?!”“Saya tidak ingin menipu kamu. Siti Maymunah Lampir.” Pram tersenyum miring begitu mengucapkan nama lengkap Siti.Siti terkejut bagaimana lelaki itu bisa tahu namanya, dia pun segera bertanya. “apa yang kamu ketahui tentang saya?”“Tidak banyak. Saya hanya mencari tahu dari mana tongkat itu berasal, dan saya menemukan kamu Siti.”“Apa maumu?!”Tembok di belakang Siti berputar menunjukkan sisi lain, sebuah meja kerja lengkap dengan seseorang yang tengah terduduk di sana mengamati Siti. Pria tua yang tidak dia kenal kini tengah memegang tongkat sakti miliknya.“Saya tahu kau sangat menginginkan benda ini.” Pria itu mengelus kepala tengkorak di tongkat Siti. “Ja
“Lampir ....” Siti mencari panggilan itu di tengah hutan. Rumput-rumput tinggi, semak belukar mengotori kakinya. Pohon-pohon besar menutupi awan, sekeliling Siti hanya ada pemandangan hijau, coklat dan gelap. Siti menyibak ranting-ranting yang menjulur menyentuh kepalanya, Daun-daun merambat bergelantungan, udara basah dan bau tanah.“Lampir ....” panggilan kedua terasa semakin dekat saat dia menghampiri bibir gua. Siti masuk ke dalam tempat kelelawar bergelantungan memenuhi langit-langit gua. Dari balik dinding batu seorang yang dia hormati muncul.“Nenek!” terkesiap Siti bersimpuh di tanah.Srintil berjalan bungkuk menduduki batu memegangi tongkat miliknya. Membuang wajah enggan menatap Siti. “Sudah sering kali kuingatkan. Tapi tampaknya Kau semakin larut dalam dunia manusia. Kau lupa siapa dirimu Lampir. Sepertinya aku salah mengangkatmu menjadi murid, tak ada pun baktimu padaku.”“Jangan lah Nenek berkata demikian. Saya masih mengusahakan tongkat pemberian Nenek, sungguh saya aka
“Apa kamu yakin tempatnya di sini?” tanya Bima memastikan sebelum mereka masuk ke rumah megah di depan.“Ya saya yakin.”Mereka masuk ke rumah itu lewat pintu belakang. Dengan sensor di tangannya Bima mematikan sistem keamanan. Menumbangkan beberapa penjaga dari arah yang tidak dia kira, agar Siti bisa menyelusup dari atap. Mengikuti pengarahan Siti agar bisa sampai pada ruangan yang Siti maksud.Dari atap Bima melihat orang-orang di dalam rumah melalu lubang exhaouse. Menunggu ruangan sepi barulah mereka turun menggunakan tali sling. Ruangan dikunci, Bima harus membuka kunci itu dengan hati-hati. Sementara Siti mengedarkan pandangan ke sekeliling memastikan tidak ada penjaga.Semua berjalan cukup aman sampai pintu terbuka. Sebuah ruangan berpelitur hitam, dengan banyak cermin di dalam seperti perkataan Siti. Siti. Perempuan itu meraba dinding untuk membuka ruang rahasia. Tempat di mana terakhir kali Siti melihat tongkat sakti miliknya di letakkan. Bima ikut menelusuri dinding, dia
Siti tengah berada di dalam kamar megah, dia belum pernah mendapat fasilitas bagus di kamarnya seperti sekarang. TV layar besar, kamar mandi bagaikan kolam, kasur yang sangat empuk melebihi kasur di rumah Bima. Bima, entah bagaimana keadaan suaminya sekarang. Tubuh Siti digeledah oleh pelayan perempuan dan dia mengambil semua peralatan mata-mata Siti termasuk gawainya. Lantas bagaimana dia menghubungi Bima dan mencari tahu bagaimana keadaan suaminya. Siti semakin merasa bersalah, kalau bukan karena dirinya membawa Bima ke rumah ini mungkin sekarang mereka masih bersama. Siti termenung memandangi jendela, bahkan dia tidak menghiraukan pelayan datang membawakan makanan untuknya. Sampai terdengar langkah berat, suara sepatu beradu dengan lantai granit. “Sudah dua piring makanan di sini, masih tidak mau makan juga?” tanya pria itu, Siti hanya menangkap bayangannya melalui ekor mata. “Saya tak selera makan,” jawab Siti masih memalingkan wajah. “Saya tidak memaksa kamu untuk makan. Ters
“Pramono?!” Mena terheran-heran mendengar nama itu dalam cerita Bima. “Bagus dia dipecat sama Pak Gunadi. Sepertinya ini faktor dendam juga. Apa mungkin ya dia dipekerjakan seseorang?” “Mungkin juga. Rasanya enggak mungkin kalau dia punya algojo banyak, dan rumah besar. Eh, coba tolong Mbak Mena cari tahu rumah di ini.” Bima memberikan alamat dari record GPS-nya pada Mena. Mena mulai mencarinya dengan perangkat lunak. "Rumah itu atas nama Tuan Rodrigo.” “Siapa?” tanya Bima lagi. “Belum tahu, aku perlu mencari data-datanya lagi.” “Baiklah kalau begitu, nanti kabari aku lagi.” Bima bangkit dari kursi. “Kamu mau ke mana?” “Memasang penyadap ke rumah tadi.” “Heh, jangan sekarang situasinya belum tepat. Kamu mau mereka mengeroyokmu lagi. Kita harus mengatur strategi ulang.” “Aku enggak bisa diam saja. Siti masih berada di sana. Bagaimana kalau mereka melukai Siti?” Bima memang belum. Bercerita pada Mena perihal Siti menjadi agen ganda. Lebih naik tidak bercerita sebelum Bima benar-
“Halo Bima, apa kamu baik-baik saja?!” Suara Mena dari HT Bima terdengar. Bima masih syok dia terdiam beberapa lama memandangi tubuhnya yang kini sudah berubah menjadi manusia. Luka bekas tembakkan pada bahunya sudah tidak ada. Dia bercermin lagi ke kaca spion mobil mengamati wajah dan menepuki pipinya. Apa barusan dia bermimpi lagi?“Bima, tolong jawab! Apa kamu baik-baik saja! Aku mendengar suara tembakan dari penyadap.”“Bima?!”Mendengar teriakan Mena dari HT, Bima langsung mengangkatnya. “Ya, ini saya. Saya baik-baik saja.”“Apa yang terjadi?”“Segera kalian datang ke sini. Ada lima belas orang mati dan lima di antaranya hanya pingsan.”Tak lama Mena bersama pasukannya datang. Mereka menggeledah isi rumah juga memeriksa para mayat. Sedang orang-orang yang mulai sadar dibawa ke rumah sakit dengan ambulans.“Apa kamu yang melakukannya?” tanya Mena pada Bima yang sedang berkacak pinggang.Bima menggeleng. “ketika saya datang seperti ada asap tebal menyelimuti seluruh ruangan rumah.
“Sebenarnya ... ibu sudah berjanji pada ayahmu untuk tidak menceritakannya padamu.”Bima menatap Ratna sendu. “Bu, ini bukan hanya persoalan janji. Tapi ini menyangkut jati diri Bima, Bu. Bahkan bisa meluas lagi. Tolong Bu ....”Ratna terdiam sejenak sebelum memulai ucapannya, “Sesungguhnya Seluruh keluargamu sangat memedulikanmu Bima. Dulu mereka sangat mendambakan kelahiranmu, engkaulah Inyiak Balang terakhir yang mereka tunggu-tunggu. Mereka bilang kamu adalah penyelamat. Namun begitu isi kitab Sarisang sampurna berubah. Orang tuamu mulai takut, mereka menyembunyikan identitasmu dari siapa pun termasuk dari suku mereka.”“Apa itu Inyiak Balang? Lalu apa isi dari kitab itu?”“Kamu adalah keturunan manusia harimau. Separuh jiwamu adalah siluman. Darah itu mengalir kental dari kedua orang tuamu yang sama-sama keturunan Inyiak, dan kamu adalah Inyiak sempurna dari Inyiak-Inyiak yang tersisa. Kamu adalah Inyiak penutup dari inyiak yang sudah ada. Lalu tiba-tiba isi kitab para Inyiak ber
Bima terjaga lebih dulu, pagi ini dia merasa sangat bahagia bisa bersama sang istri. Semua kalutnya hilang sudah selepas semalam mereka memadu kasih menjalani ibadah suami istri. Bima menopang kepalanya dengan sebelah tangan sambil memandang Siti. Menatap perempuan itu tertidur lelap seperti orang yang terjaga selama seminggu penuh. Bima tersenyum mengelus wajah ayu sang istri, kulitnya yang lembut, anak rambut tipis yang berada di pangkal keningnya, hidung mungil dan bibir merekah. Tak tahan Bima ingin menciumnya lagi. “Eng.” Siti membuka kelopak matanya perlahan. Kemudian menyipit. “Maaf saya mengganggu tidur kamu. Habis ... kamu membuat saya jatuh cinta sepanjang waktu.” Bima merekahkan senyumnya pada Siti. “Pagi-pagi sudah merayu.” Siti memukul kecil dada bidang Bima. “Siapa yang merayu, memang kenyataannya begitu." Kinu Bima berganti mengecup jemari Siti. Sang istri membalas dengan senyum malu-malu. Siti mendekatkan kepalanya bersandar pada tubuh Bima dalam satu selimut. Jemar