“Kok bisa ya, Kak? Kemarin Kakak minta aku hindari Naysila. Sekarang malah diam-diam Kakak dekat lagi dengan Naysila?!” Alea berjingkat karena terkejut Naysila ternyata selama ini bekerja bersama Ardhan di kantor yang sama. “Oh, karena itu Kakak suruh aku tinggal di rumah Mama Hera?” Prasangka-prasangka buruk seolah menemukan celah untuk bisa lolos diucapkan Alea. “Sabar sayang, kan belum selesai penjelasannya?” Ardhan berkata dengan lembut dan harus berkepala dingin jika sudah menyangkut permasalahan wanita lain. “Jadi yang sering telpon Kakak dengan tanpa nama itu Naysila?” Alea masih mencecar. “Bukan seringlah…” “Iya atau tidak, Kak?” Alea tidak sabar karena Ardhan tidak menjawab apa yang ditanyakannya. “Iya, sayang tapi bukan sering.” “Gak penting sering atau tidak, kenapa tidak menceritakan hal itu? Kan Kakak sendiri yang bilang harus saling terbuka. Kalau aku tidak cerita apa-apa Kakak pasti marah. Ternyata malah diam-diam balikan lagi sama Naysila!” Napas Alea sudah nai
“Sayang bangun, sholat shubuh yuk!” Ardhan membangunkan Alea yang terlihat masih lelap itu sambil memastikan istrinya baik-baik saja. Dia mengecup kening Alea yang semalam melayaninya sekali lagi karena hasyratnya yang kembali bangkit. Munafik sekali dirinya. Sering mengingatkan Alea agar menahan diri sampai memasuki trimester ke dua, sementara semalam dia malah menginginkan kembali kegiatan mesra mereka setelah beristirahat sejenak pasca babak panjang pertama selesai. Ardhan hanya ingin Alea tahu, bahwa kepadanya dia akan selalu melabuhkan rasa cintanya yang terus menggelora dari hari ke hari. Alea memegangi kepalanya yang sedikit pusing lalu berjalan keluar kamar menuju dapur untuk membuat sesuatu. Setelah sholat subuh tadi dia kembali tidur karena lelah. Teringat dirinya harus menyiapkan sarapan, Alea pun bangun dengan malas. Sekujur tubuhnya masih begitu lelah, namun senyum terkembang di bibirnya sambil mengelus sang buah hati di perutnya. Senyum itu segera terhenti karena mer
Melihat nama pria itu, Ardhan jadi kesal. Sebulan yang lalu dia hampir mencelakai Alea dan sekarang lagi-lagi masih berusaha menghubunginya. Ardhan akan menanyakan pada Alea apakah pria ini masih suka menghubunginya?“Ada telpon dari Devano!” Ardhan menyodorkan ponsel Alea.“Oh?!”Bibir Alea membentuk huruf O dan dia menatap suaminya itu sambil menelisik apakah akan marah jika Devano menghubunginya? Namun ekspresi yang ditunjukan pria ini sulit ditebak Alea.“Aku angkat dulu ya, Kak?”Alea bangkit menjauh hendak mengangkat panggilan Devano. Ardhan menatapnya karena memilih mengangkat panggilan di luar.Tadinya dia ingin melarangnya. Tapi teringat bahwa dirinya juga sering menerima panggilan dari Naysila dan memilih menjauh saat mengangkatnya. Itu pasti membuat Alea berpikir tidak adil jika dia protes atas hal itu.Antara dirinya dan Naysila tidak ada apa-apa lagi. Dia juga sudah memastikan Nay
Alea tercenung setelah paggilan mereka berakhir. Memikirkan ucapan Devano tentang hubungan suaminya dengan Naysila di kantor. Apa jangan-jangan Ardhan tidak mengijinkannya ikut kelas masak karena tidak mau mengusik kedekatannya lagi dengan Naysila?Duh, otaknya jadi mikir yang negative lagi. Sepertinya dia akan terus berpikiran seperti ini selama Ardhan akan bersama Naysila di kantor. Sementara dia tidak bisa protes karena sudah mengetahui alasan yang disampaikan Ardhan.Ide Devano tidak buruk. Kalau dia ikut kelas masak, setidaknya dia akan tahu bahwa suaminya dan Naysila tidak sedang kembali dekat lagi. Melainkan hanya sebatas bekerja.[Sudah sampai kantor belum, Sayang?] Alea berbasa-basi karena pastilah Ardhan sudah sampai kantor. Ini sudah dua jam sejak dia berangkat tadi.[Ada apa?] balas Ardhan langsung setelah pesan Alea terbaca.[Kakak sibuk?] tanya Alea terkesan receh. Bukankah Ardhan sudah bilang tadi kalau dia sangat sibuk karenanya tidak mengijinkan Alea ikut.Ardhan lang
Dita melihat wanita cantik yang berdiri di hadapannya. Dia dulu pernah mengira bahwa wanita yang sedang berdiri anggun di hadapannya itu adalah adik dari bosnya. Belakangan baru tahu bahwa wanita itu adalah istrinya. Padahal saat itu Ardhan diketahui masih bersama Naysila. Kehidupan para bos memang rumit. Dita tidak perlu membingungkan dirinya memikirkan urusan orang lain. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?” ucap Dita lebih sopan dari sebelumnya karena tahu wanita ini istri bosnya. “Apa Pak Ardhan ada di ruangannya?” tanya Alea lagi. “Oh, Pak Ardhan sedang meeting. Apa ibu sudah menghubungi beliau?” Dita bertanya. “Oh, masih meeting ya?” Alea tahu karena tadi dia sempat bertanya di mana Ardhan akan meeting? Dan Ardhan menjawab bahwa dia akan meeting di kantor saja. “Iya, Bu. Apa anda ingin menunggunya di ruangan?” “Masih lamakah?” Alea mencoba menghechek ponselnya hendak menghubungi Ardhan. Tapi pasti sedang sibuk dan tidak sempat menghecek ponsel. Karenanya Alea tidak jadi mengi
Ponsel Alea bergetar. Ada notifikasi masuk. Dia yang sudah diminta duduk oleh Devano mencoba membaca pesan dari layar ponselnya.Dari Ardhan, dan hanya ada satu kata singkat saja—[YA] untuk membalas pesannya yang menanyakan apakah Ardhan meeting di kantor?Kenapa jawabannya ‘YA’ padahal jelas-jelas Delon tadi bilang Ardhan tidak sedang meeting di kantor.SKY KAFE?NAYSILA?Kepala Alea jadi pusing karena mendengar dua kosa kata itu. Alea ingat pernah ke sana dan bertemu Naysila. Dia bilang tempat itu adalah tempat favorit mereka saat berpacaran. Saat ini mereka berdua di tempat itu? benarkah hanya sekedar meeting?Hatinya sungguh pedih, tapi masih ditahannya. Dia tidak ingin terlihat rapuh apalagi di depan Devano. Takutnya Devano mengiranya tidak bahagia dan akan keberatan dengan sikapnya selama ini seperti sebelum-sebelumnya.Apa yang terjadi sampai Leon yang harusnya meeting di luar bersama Naysila harus digantikan Ardhan? Apa itu hanya trik Ardhan saja agar bisa lebih dekat lagi den
Ardhan membuntuti Alea yang mulai mengemasi makanan di meja. Lalu menahan tangan itu.“Ya sudah, Kakak temani kamu makan malam ya?” ujar Ardhan yang tahu Alea sedang sebal. Mungkin dia pulang malam dan membuatnya menunggu.“Tidak usah, Kak. Kakak sudah makan tadi.” Alea melanjutkan kegiatannya dan berjalan bolak balik dapur ruang makan.“Alea, kamu marah?” tanya Ardhan menahan Alea agar berhenti membereskan meja makan. “Biar nanti aku yang bereskan, tolong kamu duduk saja dan makan.”Ardhan mengambil piring yang akan dibawa Alea ke dapur. Dia pun mendudukan Alea dan mengambilkan makanan untuknya. Entah sebal pada dirinya, kenapa masih mau menurut?“Ingat kau sedang hamil, jaga pola makannya!” tukas Ardhan menyendokan makanan dan menyodorkannya di depan mulut Alea.Alea jadi teringat, bukankah pria ini memang perhatian sejak dulu padanya, tapi tetap menjalin hubungan dengan wanitanya. Seharusnya Alea tidak terlalu percaya diri kalau Ardhan sudah berubah dan benar-benar mencintainya.Du
Ardhan baru saja jogging keliling komplek dan balik ke rumah ketika Toni sudah datang. Dia melihat sopir baru itu sedang mengelap mobil dan menyapanya.“Selamat pagi, Pak?”“Pagi, Toni”Ardhan duduk menselonjorkan kakinya tak jauh dari tempat Toni. Lalu dia berbasa-basi sekedar mengobrol, menanyakan kemana saja kemarin Toni mengantar Alea keluar. “Tidak kemana-mana, Pak. Hanya ke kantor bapak,” jawab Toni. Dia melihat sepertinya Ardhan terkejut.“Ke kantor?”Alea ke kantornya? Kapan itu? Apa saat dia sedang meeting di luar?Ardhan akhirnya bisa mengerti kenapa Alea tadi malam terlihat sebal dan marah padanya. Apa dia tahu kalau dia meeting bersama Naysila?“Apa dia langsung pulang?” tanya Ardhan lagi. Ardhan tidak suka jika saja Alea kemudian malah menghabiskan waktu bersama Devano.“Tidak langsung pulang, Pak. Bu Alea cukup lama di sana. Sore baru pulang.”Fix! Dia pasti bertemu Devano di sana dan pria itu pasti punya seribu akal untuk menahan dan mempengaruhi Alea. Batin Ardhan sam