Ghara menghela napas panjang, memejamkan mata sebentar, sembari melonggarkan kancing atas krah, seraya menyandarkan diri ke kursi kantor. Ekor matanya merambat kearah atap berusaha melepas penat yang terasa sangat melelahkan sekali. Sebab kasus yang kini harus ia tangani nyatanya tak semudah menangkap komunitas mucikari.
Selang beberapa saat terdengar daun pintu kantornya terketuk. Pria bermanik mata spektrum blue itu menilik ke sumber suara, kemudian berdiri dan membuka pintu."Rapatnya akan dimulai sepuluh menit lagi, jangan buang waktu Bu Dea buat nungguin lo," ucap Dimas salah satu rekan kerjanya."Duluan Dim, bentar lagi gue nyusul," balasnya sambil menatap rekannya itu tanpa minat.Terdengar ketukan pantofel beradu dengan granit, semakin lama bunyinya kian nyaring. Pertanda sebuah kaki mendekat, sosok tampan yang terlihat dari manik mata tajamnya membuat Ghara pria dewasa yang sudah berkepala tiga itu masih saja terlihat manis.Malam yang hampir larut nyatanya tidak membuat sebuah kantor investigasi tempatnya bekerja itu terkesan tidur, karena Ghara harus menghadiri rapat dengan beberapa Pejabat di kantornya."Saya belum terlambat, 'kan?" ucap pria yang tak lain adalah Ghara.Sementara mereka semua yang sudah berkumpul di sana hanya melempar senyum, kemudian salah satu dari team sedevisinya mendorong sebuah kursi ke belakang berniat untuk memberi tempat duduk melingkar yang menghadap sebuah monitor besar untuk presentasi malam itu."Bisa kita mulai sekarang, semua team sudah lengkap, Bu!" interupsi Laurent salah satu asisten pribadi Bosnya.Malam itu semua devisi datang lebih awal untuk mengikuti jalannya meeting selama kurang lebih enam puluh menit. Sebuah pertemuan penting yang akan membahas tentang rencana penggerebekan komunitas penjualan anak, prostitusi dan eksploitasi. Satu hal yang tidak netra Ghara lewatkan sejak meeting itu dimulai adalah gelagat aneh dari seorang wanita. Tentu, Ghara ingat pernah melihat wanita itu sebelumnya. Walaupun posisi duduk Ghara dan wanita itu dalam barisan yang sama, gelagat aneh dari arahnya terlihat sangat jelas meskipun terhalang dari beberapa karyawan lain.Meskipun rapat malam itu bisa dibilang berjalan lancar, namun Ghara merasa hasil akhirnya masih belum sesuai dengan prediksinya. Lagi-lagi ia dituntut habis-habisan oleh Biro Investigasi yang dikembangkan untuk tujuan membela Negara dan pemberdayaan masyarakat yang mencakup dengan Komnas HAM, pemberdayaan wanita dan perlindungan anak itu untuk lebih ekstra, seolah-olah hasil dari kerja kerasnya selama ini belum cukup menguras tenaga.Semua staff Biro Investigasi malam itu sudah undur diri, kemudian Ghara beranjak kearah meja kerjanya, dan lanjut mengemasi barang-barang serta melirik jam tangan yang sudah menunjukan pukul 00:00, lalu ia pun terperanjat. Mengingat hampir 24 jam berada di kantor. Tentu hal ini bukan hanya sekedar membuat isi kepalanya semakin terkesan gila, demi mengejar jabatannya.Getar ponsel di atas kenap mengambil alih perhatian Ghara.
Ayo, kapan? ucap wanita yang terdengar dari speaker handphonenya.
Ghara menarik napas dalam, lalu mendaratkan bokongnya kembali di high chair.
Iya, Bu! jawabnya singkat.
Iya terus, Ibu itu lho-
Bu.., Ghara menyela petuah ibunya yang selalu saja sama.
Sabar, iya Ghara cari, imbuhnya.
Udah tiga puluh lima tahun, Nak!
Iya Bu, tiga puluh lima tahun. Tapi Ghara juga nggak harus sembarangan, tentunya Ibu juga nggak mau mantu yang sembarangan juga, 'kan?
Janji sama Ibu ya. Nanti pas acara reuni keluarga, Kamu harus datang bawa calon itu untuk Ibu.
Bu, Ghara nggak janji, tapi Ghara usahakan.
Kamu itu lho-
Iya Bu, ganteng, mapan, apa lagi? Sela Ghara kesal.
Pinter! Sudah tahu, 'kan. Berarti sudah nggak ada alasan lagi untuk nggak janji sama Ibu.
Iya...,iya...,iya... Ya sudah Ghara pulang dulu. Assalamualaikum Ibu cantik.
Waalaikum sallam.
Huft!
Ghara kembali menghembuskan napas dangkal yang sedari tadi tertahan karena ocehan ibunya.
Tentu dalam kondisi seperti ini, Ghara benar-benar harus memutar otak. Ghara memang tampan, tapi entahlah, ia sangat payah perihal jodoh. Sepertinya ia harus segera meminta jawaban dari sang ahli percintaan satu itu, siapa lagi kalau bukan Yava.
Gimana? tanya Ghara begitu teleponnya tersambung.
Lo baca itu pesan yang gue kirim! jawab Yava singkat lalu mematikan teleponnya sepihak.
Begitu telepon dimatikan, Ghara langsung buru-buru cek pesan yang dikirim Yava.
Yava: Gue udah dapat pesanan lo. Datangi lokasi yang udah gue kirim besok pagi jam 10, jangan sampai terlambat. Ingat, jangan sampai terlambat, semenit saja. Ngerti!
Seketika Ghara pun loncat kegirangan setelah membaca pesan yang dikirim Yava melalui Whatsappnya.
Ghara: Lo bener-bener sahabat terbaik gue. Balasnya.
***
Paginya Ghara sudah berada di tempat sesuai alamat yang dikirim Yava melalui Whatsappnya tadi malam. Ia datang tiga puluh menit lebih dulu sesuai rencananya. Tiba-tiba beberapa pesan singkat kembali muncul memenuhi beranda layar handphonenya.
Yava: Kirim lima belas juta ke rekening gue sekarang juga, buat ganti booking tempat sama bayar agensinya.
Yava: Masalah harga, lo nego sendiri aja. Pesan kedua yang dikirim Yava.Gila! Batin Ghara setelah membaca pesan yang dikirim Yava. Lima belas juta belum termasuk ongkos ketemu orangnya? Apa-apaan ini! Ghara mengumpat kesal sekali lagi.Ghara: Lo, meras gue? balasnya gusar, lalu menekan tombol send di layar handphonenya.Yava: 'Kan gue udah bilang, kalau dalam keadaan kepepet kayak gini, cuma duit yang bisa nolong lo. Gue cuma lakuin apa yang lo suruh aja! Balas Yava.Ghara: Hadeh, gue kira nggak semahal ini fuck! umpatnya. Lalu kembali berjalan kearah pintu masuk hotel sesuai alamat yang dikirim Yava."Atas nama bapak siapa?" tanya resepsionis, begitu Ghara tiba di depannya.
"Ghara!" jawabnya sedikit ketus."Baik, Bapak Ghara Dewangga, benar?" tanya perempuan itu meyakinkan customernya."Ya!" respon Ghara cepat, karena tidak ingin mengulur waktunya terlalu lama."Ruang GA 2002 ya Pak, Bapak naik ke lantai 22 lalu belok kiri. Kamar paling ujung dekat jendela, ini access cardnya," jelas resepsionis itu sembari menyodorkan access card kearah Ghara."Makasih."Tiba di lantai dua puluh dua depan kamar GA 2002, Ghara seperti ragu ingin meneruskan langkahnya. Pelacur mana yang Yava sewa hingga mau di tempat yang hanya mampu di huni oleh orang-orang kaya saja. Persetan! Akhirnya Ghara menempelkan acces card dan mendorong pintu kamar hotel.Demi apa! Wanita itu sudah ada di dalam sana.Ghara termangu di ambang pitu, benar-benar hendak mengurungkan niatnya setelah melihat sosok dan penampilan wanita yang tengah berdiri menghadap kearah jendela."Selamat datang Pak Ghara!" sapanya, sembari tetap pada posisinya.Ghara mengayun-ayunkan tangannya, entah gugup atau apa, yang jelas bukan wanita semacam ini yang Ghara minta. Wanita ini memang cantik meskipun dipandang dari belakang, tubuh jenjang dan body goalsnya memang mampu menggugah birahi para pria. "Waktu Anda hanya tiga puluh menit saja, silakan Bapak mulai sekarang juga!" tukasnya saat mendapati Ghara yang hanya diam, seperti tak memiliki hasrat bercinta. Sementara wanita itu masih berdiri diam di tempatnya."Aaa-""Saya tidak mau menghabiskan waktu dengan orang yang terlalu banyak bicara! Ingat Saya berada di sini gunanya untuk apa?""Apakah Pak Ghara pernah lihat Saya sebelumnya?" wanita itu berbalik dan mendekati Ghara."Ya!" jawabnya menahan gugup begitu tahu wanita yang telah disewa Yava adalah Mistha, seketika Ghara menundukkan wajahnya begitu menatap mata lentik, dan bibir sexy yang terbalut warna merah merona."Apa Bapak hanya mau diam dan cuma bicara hal yang nggak ada gunanya?" Mistha menatap Ghara yang sedikit menunduk."Saya-""Buka baju Anda!" sela Mistha."Sisa lima belas menit, cukup untuk orgasme pria seperti Anda!" Mistha melonggarkan tangan yang semula menelungkup di atas dadanya.Ghara menggelengakan kepalanya pelan."Tu-tunggu!" ucap Ghara terbata-bata, begitu Mistha mulai menarik ikatan tali lingerinya."Tunggu apa lagi?" sergah Mistha tak sabaran."Saya datang buka untuk itu!" jelas Ghara penuh rasa gugup."Munafik!" Mistha tersenyum sinis mendengar perkataan konyol Ghara."Anda sudah membuang-buang waktu Saya," kelit Mistha sembari mendongakkan kepala Ghara ke depan wajahnya."Sa-saya, mau minta bantuan Anda kalau bisa," Ghara mencoba mengendurkan emosi Mistha.Sementara Mistha terus berjalan mengelilingi tubuh Ghara."Saya bukan pelacur murahan yang bisa Anda manfaatkan begitu saja!" katanya sembari menarik dasi Ghara, hingga tubuhnya membentur dua benjolan keras di dada Mistha."Mistha!" ucap Ghara setelah Mistha mendorong keras tubuhnya."Anda menyebut nama Saya!" Mistha menarik kembali tubuh Ghara, mengangkat wajahnya. Sementara Ghara mengerjap-ngerjapkan mata, alih-alih ia sedang terancam bahaya.Sumpah demi dewa, Ghara benar-benar menahan gugup setengah mati bertemu dengan pelacur sekelas Mistha. Ternyata, ada wanita yang lebih galak lagi selain mantan pacarnya yang sudah mirip indukan Singa. "Waktu Anda habis, ini nomor rekening Saya. Silakan Pak Ghara kirim setidaknya di bawah 3 digit ke rekening Saya," Mistha menyodorkan secarik kertas berisi nomor rekening kearah Ghara.Ghara terkejut setengah melongo, tiga digit. Batinnya!"Beri Saya kesempatan untuk bicara sebentar saja," Ghara berusaha menjeda aktifitas Mistha yang mulai mengemasi barang-barangnya."Sayangnya setiap waktu Saya, bukan hanya untuk meladeni orang-orang yang nggak berkepentingan seperti Anda!" tuturnya sembari tetap mengacuhkan Ghara."Saya akan membooking semua waktu Anda, Saya akan membayar semuanya asal Anda mau bicara baik-baik dan membantu Saya," tukas Ghara, keceplosan. Entah itu karena kepepet atau memang merasa sudah kepalang tanggung."Jangan sok kaya!"Mistha mendekat kembali kearah Ghara. Menarik napas, membuangnya asal, merasa Ghara benar-benar membuat waktunya terbuang sia-sia."Saya memang tidak kaya, tapi saya serius dan janji akan membayar sesuai permintaan Anda," kini ucapan Ghara terkesan serius."Menarik juga rupanya tawaran, Anda!" Mistha tersenyum simpul."Izinkan Saya bicara, dan hitung berapa saja waktu yang telah Saya habiskan bersama Anda untuk membayar waktu setiap harinya," pungkasnya sekali lagi untuk meyakinkan niatnya."Sayangnya saya tidak pernah percaya dengan pria yang hanya berkata di bibir saja," Mistha mendelik, menolak tawaran Ghara yang semula hanya terkesan negosiasi semata."Oke, baik! Saya akan kirim sekarang juga, waktu yang telah saya habiskan selama 30 menit , serta Dp untuk bicara di tempat lain. Selebihnya Saya akan bayar setelah rencana kita selesai," Ghara meraih ponsel disakunya, lalu mengirim sejumlah dana ke nomor rekening Mistha."Silakan dicek," ucap Ghara setelah menutup ponselnya.Ghara benar-benar nggak habis pikir, jika hari ini ia harus mengeluarkan uang ratusan juta hanya untuk bertemu pelacur sekelas Mistha."Jadi mau Anda apa?" kata Mistha, begitu mereka tiba di tempat yang berbeda."Bantu Saya datang ke acara reuni keluaga," jawab Ghara."Trus?""Pura-pura jadi pacar Saya.""Ide gila!" jawab Mistha sembari memalingkan mukanya."Tolong bantu Saya, Saya mohon...," Ghara sedikit meminta belas kasihan Mistha."Maaf Saya nggak bisa.""Mistha," Ghara memelas sekali lagi.Sementara Mistha merasa jijik dengan sikap Ghara yang merajuk seperti pria tak berguna."Saya bilang, Saya nggak bisa. Jadi jangan memaksa!""Saya janji akan membayar semua waktu Anda, termasuk mengambil semua jadwal pria yang telah antri menunggu anda,"Mistha memicing, pria tolol! Batinnya."Saya cuma butuh waktu anda paling lama dua hari selama kita nginap di Surabaya, begitu setelahnya. Saya nggak akan ganggu Anda lagi. Saya janji!""Gimana?" imbuhnya, begitu Mistha tak menanggapi perkataannya."Nginap?" tanya Mistha akhirnya.Ghara mengangguk.Mistha tampak berpikir sejenak. Dua hari sepertinya bukan waktu yang lama untuk bisa mendapatkan dana dan segera melunasi hutang-hutangnya ke Vall Ankala."Saya akan kabari anda secepatnya, berikan nomor handphone Anda," Mistha menyodorkan ponselnya ke arah Ghara. Begitu selesai, Mistha langsung pergi meninggalkan Ghara.Selesai mandi. Terlihat dari pantulan cermin, Mistha sedang mengenakan dalaman warna merah yang dipadukan dengan maxi dress tipe bonnie belahan selutut. Lengkap dengan jam tangan yang sedang diikatkan di pergelangannya, serta tas merk senada. Setelah menyisir rambut, Mistha mengintip sebuah ponsel yang bergetar di atas kasur. Sebuah pesan masuk dari nomer yang tersimpan dikontak, “Bajingan Tua". Bajingan Tua: Bersiap-siaplah untuk segera membusuk di penjara wanita gila. Anda berani bermain-main dengan Saya, silakan terima resikonya. Saya rasa Anda perlu menyiapkan dana untuk menebus mucikari baru dan hutang-hutang Anda sekarang juga! Shit! Mistha mengumpat kasar setelah membaca pesan yang baru saja dikirim Vall Ankala. Persetan! Gerutunya sekali lagi. Rupanya Vall Ankala berhasil membuat darah Mistha berdesir hebat dari ujung kaki hingga kepala. Terlihat dari gelagat Mistha yang mulai merasa amarahnya sudah memuncak sampai ubun-ubunnya, mengacak-acak rambut, mengusap wajah tegangn
Setelah mengantar Mistha ke apartement, Ghara langsung menuju ke kantor demi memenuhi panggilan dari Bos besarnya. "Pak, Ghara," Panggil Laurent sekretaris Erick Choii, begitu melihat Ghara melintasi bilik ruang kerja. Ghara mendongak tanpa bicara. Menyayangkan langkahnya yang separo sudah di ambang pintu ruang kerja. Sementara Laurent hanya berisyarat kecil dengan memiringkan jempol kanannya kearah ruangan Erick Choii. Ghara mengangguk tanda mengerti. Selang beberapa saat, karena tidak ingin terlalu lama mengacuhkan permintaan Bos besarnya itu, akhirnya Ghara bersiap untuk menuju ruangan Erick. Ghara berdehem sebelum mengetuk pintu, lalu disambut hangat oleh Laurent yang setia membukakan pintu setiap tamu yang berkepentingan dengan Erick. "Silakan duduk," sambut Erick sembari tersenyum lebar. Tentu hal ini sangat aneh, aneh sekali. Belum pernah sekalipun Ghara melihat Erick sehangat ini saat bicara dengan semua bawahan di kantor Biro Investigasinya. "Buka," Perintah Erick setela
Sesuai kesepakatan yang telah disetujui kemarin, akhirnya hari ini Ghara dan Mistha terbang ke Surabaya untuk menghadiri acara reuni keluarganya. Melihat Mistha yang tampak masih belum terlalu fokus dengan apa yang telah direncanakan Ghara. Dalam perjalanan itu, Mistha masih tampak belum begitu yakin dengan semua hal yang akan terjadi di luar ekspektasinya, gelagat anehnya pun mengundang rasa penasaran Ghara. "Mistha..." "Hmm..." Ghara mengulurkan segelas coffe yang baru saja dibeli sebelum masuk ke dalam bandara. "Ada apa?" tanya Ghara begitu melihat Mistha menerima uluran gelas itu tanpa mengindahkan kehadirannya. Mistha diam. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya sekarang. "Cerita aja kalau memang lagi ada masalah, siapa tahu Saya bisa bantu," tukas Ghara setelah mencecap coffe yang ada di tangan kirinya. Mistha menghela napas panjang, sembari memandangi gelas coffe yang ada di tangannya. "Setiap orang pasti punya masalah masing-masing. Saya tahu, dikontrak memang Anda
Sorenya semua keluarga Ghara sudah berkumpul di rumahnya. Termasuk saudara laki-laki dan perempuan dari bapaknya, karena memang kebetulan acara reuni yang dihadiri semua keluarga besar hari ini bertepatan dengan acara arisan yang kebetulan bapak dan ibu Ghara yang menjadi tuan rumahnya. "Dek, kata Ibu. Kamu tadi siang janji sama Bapak?" tanya kakak perempuan Ghara. Ghara tak menjawab, masih menimbang-nimbang jika ia disuruh menepati janji itu hari ini. "Kamu sudah tahu kondisi, Bapak kayak gimana, 'kan?" imbuh kakaknya begitu tidak mendapat jawaban dari Ghara. "Kak-" "Dek," sergah kakanya cepat. "Nunggu apa lagi, Mistha udah sesuai dengan harapan Ibu sama Bapak. Lihat semua saudara juga udah mendukung kalian, mau nunda sampai umur berapa lagi. Kurang apa lagi, Mistha cantik, sholeh, rajin." ucap kakaknya sembari menoleh kearah Mistha yang tengah membenarkan posisi jilbabnya. "Tapi nggak harus sekarang, Kak!" bantah Ghara. "Masmu sudah menyiapkan semuanya, Bapak yang nyuruh. Aca
Mistha beranjak ke kamar mandi pagi itu. Membasahi wajah, sikat gigit, lalu mengganti pakaian yang masih digunakan semalam. Sejenak langkahnya terhenti begitu melihat Ghara yang masih tertidur pulas di atas sofa. Mistha memandangi wajah oval Ghara, ternyata Ghara termasuk hasil pahatan Tuhan yang sempurna, gumamnya. Alis tebal, jambang tipis disekeliling rahang tegasnya, serta anak rambut yang memenuhi kening, membuat Ghara tidur saja masih terlihat memesona. Apalagi jika Mistha menatap manik mata spectrum Ghara. Satu hal yang sangat dihindari Mistha adalah jatuh cinta, terlebih jatuh cinta kepada pria yang saat ini tengah dipandangi. Hati dan pikiran Mistha benar-benar berperang! Saat hati ingin berperan, namun pikiran berkata tinggalkan. "Sudah bangun, Nduk," sapa ibu Ghara mengagetkan Mistha. Mistha membalas senyum ucapan wanita yang sedang memakai mukena. "Mau ikut Sholat di Masjid?" imbuhnya. Mistha gelagapan, lalu menggaruk-garuk kepala yang benar-benar gatal karena jilbab y
Ghara mengetuk pintu kamar Mistha. Tidak ada sahutan dari sana, lalu Ghara menyeruak masuk begitu tidak mendapat respon apa-apa. "Ada apa?" tanya Ghara begitu melihat Mistha seperti dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. "Mistha," tanya Ghara sekali lagi, begitu melihat Mistha hanya duduk sembari memegangi kedua tungkai. "Hei, ada apa?" tanya Ghara lagi sembari mendekati Mistha yang sudah merubah posisi dan menggigit jari jemari. "Kita balik ke Jakarta sekarang!" jawab Mistha lirih. "Iya, balik. Cerita dulu ada apa?" desak Ghara masih penasaran. "Nggak usah ikut campur masalah gue. Ngerti!" bentak Mistha dengan sebutan yang sudah berbeda. "Saya masih Suamimu, jadi sudah seharusnya tahu masalahmu!" tukas Ghara sedikit meninggi. "Ghara! Lo-" Mistha mendelik, sembari mengarahkan satu jari tepat di depan wajah Ghara, lalu Mistha mendengkus memukul agin berusaha membuang kekesalannya."Sttt..., tenang dulu. Nggak perlu emosi kayak gitu, iya oke, fine. Saya nggak akan cari tahu dan
"Mistha," sapa Ghara saat mendapati Mistha yang tengah duduk termenung di kursi ayunan taman samping rumah Ghara. Mistha merubah posisi yang semula menyangga dagu dengan kedua tangan di atas paha begitu melihat Ghara berdiri di hadapannya dan membawa shoping bag, lalu Ghara menyodorkan benda tersebut kearah Mistha. Sebuah explosion box warna pink. "Buka," perintah Ghara. "Apa?" tanya Mistha sembari memandangi Ghara yang tangan kanannya masih di dalam satu saku celana, berdiri diam dengan seringai wajah handsomenya. "Buka," perintah Ghara lagi. Mistha menerima uluran explosion box dari tangan Ghara, lalu menarik ujung pita benda tersebut. Terbelah menjadi empat bagian sama rata, namun di dalam box itu masih ada box kecil terbungkus rapi kain berwana pink muda. "Box yang satunya jangan dibuka dulu kalau Kamu belum benar-benar membutuhkannya," ucap Ghara, sementara Mistha masih sibuk membaca setiap sisi yang tertuliskan, Blessed, House, Happyness, dan Help. Tentu Mistha sangat penas
Bunyi air mendidih keluar dari sebuah teko pagi itu berhasil mengusik tidur pulas Mistha, seketika bias matanya merambat kesekeliling, berusaha menerka kejadian semalam, cangkir wine, sisa lemon dan daun mint-Ah sial! Mistha ingat, tentu otak primitifnya semalam sudah terlanjur menguasai diri yang tak mampu menahan hormon testoteron yang seketika memuncak. Reflek tangannya menggamit pakaian berwarna putih di lantai begitu melihat tubuhnya tak tersintal sehelai kain. "Selamat pagi," ucap pria dari balik punggung bidangnya, sembari sibuk mengaduk kopi di atas meja ruang makan. Mistha mengumpulkan nyawa, setengah sadar berjalan kearah Ghara sembari mengusap-usap kedua mata dengan punggung tangannya. Ghara seketika tertawa geli, melihat baju yang tengah dikenakan Mistha. Sejurus Mistha memandang kearah dada, ternyata ia sedang memakai kemeja putih yang kemarin dipakai Ghara. Anehnya, baju itu melekat dengan kancing tak sempurna, membuat sembulan kesar di samping
"Sayang, Aku berangkat dulu ya!" ucap Mistha sembari sibuk menata barang-barang yang akan dibawa. Kemudian Ghara menghampiri Mistha yang nampak cantik pagi itu. "Hati-hati, hubungi Aku secepatnya jika ada apa-apa!" balasnya. Mistha tersenyum, kemudian berjalan ke arah Ghara. Memeluk erat tubuh Ghara yang tengah mencium keningnya. Setelah memastikan Mistha pergi, akhirnya Ghara bersiap diri untuk menemui Dokter sesuai janjinya hari ini. Ia mengenakan celana jeans dan hoodie. Tidak berpakaian rapi seperti biasa yang dipakai setiap pagi untuk berangkat ke kantor. Saya izin hari ini, Pak Dewa! Jaga mereka, jangan sampai mereka bertindak konyol. ucapnya begitu telephonenya tersambung. Siap, Pak! balas Dewa kemudian mengakhiri percakapan melalui telephone yang dilakukan Ghara dalam perjalanan menemui Dokter sesuai janjinya. Sementara Ghara sudah tiba di lokasi. Ia masih menunggu Dokter itu disalah satu kedai kopi. Beberapa saat setelah kedatangannya, Dokter itu tak juga menampakkan b
Mendengar ucapan Vall Anakala, Ghara mencebikkan bibirnya. Ia bahkan sudah tak peduli lagi dengan ancaman pria biadab yang berdiri penuh dengan kejumawaan dihadapannya saat ini. Apa pun yang terjadi, Ghara harus menangkap lintah darat licin yang selama ini selalu lolos dari tangannya. "Pikirkan matang-matang ucapanku sebelum Anda benar-benar menyesal, Pak Ghara!" ulang Vall Ankala meyakinkan Ghara. Alih-alih Ghara rela melepaskan lintah darat licin ini menyeberangi kepungan hilir dan pergi begitu saja. "Lakukan jika Anda bisa. Tapi, ingat! Saya memiliki satu senjata yang selama ini Anda simpan rapat-rapat Pak Vall Ankala," balas Ghara yakin. Ghara tentu berpikir, berkas yang kini ada di tangan Nathe Rose adalah satu-satunya pusaka Vall Ankala dan Erick Choii yang sebentar lagi akan ungkap terang-terangan di persidangan. "Silakan ikut Kami. Anda tentu tak punya pilihan lagi, siapa yang bisa menyelamatkanmu sekarang?" ucap Ghara sembari menatap semua anak buah Vall Ankala yang berha
"Tolong..., tolong selamatkan Kami!"Lamat-lamat Ghara mendengar suara beberapa orang yang merintih kesakitan, berharap seseorang datang menyelamatkan dirinya.Demi untuk memastikan asal suara itu, Ghara pun melepas Morse yang menjadi alat komunikasi dengan team Jack'o Justice. Lalu ia menerobos lorong panjang, sebuah jalan setapak menuju tempat pengeboran tambang silika."Tolong selamatkan Kami, Pak! Tempat ini akan segera meledak," ucap seorang pria begitu ia melihat kehadiran Ghara.Ghara terkejut mendengar ucapan pria itu, benarkah yang ia katakan? Batin Ghara.Saat Ghara memakai morse kambali dan berniat untuk menjalin komunikasi dengan team yang berada di luar tempat penambangan, rupanya morse itu sudah tidak berfingsi seolah tidak dapat menerima sinyal suara lagi, sehingga ucapannya pun tak ada yang mendengar.Begitu Forge mulai bergetar, perlahan-lahan tempat pengeboran itu pun akhirnya terguncang membuat tubuhnya hampir terperosok kejurang, Ghara sedikit lagi nyaris tumbang.
"Aku terjebak dalam permainan mereka! Aku akan membantu Kalian untuk membuka kode akses itu, tapi ada satu hal yang harus Kalian tepati!" "Katakan! Jika itu mendukung proses investigasi Kami dan Anda tidak terbukti bersalah, maka Kami akan melindungi Anda, Kami menjamin Anda kembali ke Amstelveen dengan selamat Bu Carrolyn." "Rahasiakan identiasku dan jangan pernah beri tahu mereka bahwa Aku membantu Kalian!" "Hanya itu saja?" "Segera bebaskan Aku, begitu pintu itu terbuka!" katanya. "Permintaan Anda Saya setujui untuk sementara ini, namun Anda harus melalui proses evaluasi terlebih dahulu. Jangan khawatir, seperti apa yang Saya katakan diawal. Kami akan segera membebaskan Anda begitu Anda tidak terbukti bersalah, bagaimana setuju?" Carrolyn menganggukkan kepala, tanda bahwa dia menyetujui kesepakatan itu. Pun ia yang merasa terjebak dalam situasi ini, berharap segera di bebaskan dan segera menghirup napas lega begitu para belut-belut licin yang bersembunyi di bawah tanah itu te
Setelah mendapatkan kesaksian dari Louis, akhirnya Ghara pun kembali mengerahkan team Jack'o Justice untuk bergerak lebih cepat. Berkat satu nama kota yang sudah dikantongi team pun akhirnya bergerak menuju Amstelveen, bekerjasama dengan anggota inteligent setempat. Tidak butuh waktu lama bagi inteligent profesional yang berpencar mengepung pergerakan Carrolyn disebuah bar ternama malam itu. Saksi tersangka berhasil Kami tangkap, Pak! Kami akan segera kembali sesuai jadwal penerbangan international esok hari. Laporan selesai! ucap salah satu anggota Jack'o Justice yang diutus Ghara untuk berangkat menjemput Carrolyn kala itu. Laksanakan! Siap. Laksanakan, Pak Komandan! jawabnya kemudian menutup telephone roaming yang tersambung antar Negara itu. Amstelveen menjadi satu-satunya tempat persembunyian Carrolyn, ia berada di kota bagian Nord Holland itu memang tidak semata-mata melarikan diri dari sesuatu yang telah disembunyikan selama ini. Melainkan, Carrolyn memang warga Negara Asin
"Ada apa, Sayang?" tanya Mistha.Ghara tersentak, seketika mengusap air mata yang tumpah ruah tak tertahankan. Kemudian, ia menunjukkan iPad itu ke arah Mistha. Begitu Mistha lihat gambar yang tersimpan di galery pad drawing, ia pun turut terkejut. Benarkah Adzan yang menggambar ilustrasi ini? Batin Mistha."Ini bisa menjadi bukti, Louis tidak akan bisa mengelak lagi!" ucap Ghara."Tenang, Sayang. Istirahatlah terlebih dahulu, jangan terlalu memikirkan apa pun. Tidak mudah bagimu untuk menerima situasi ini, Aku paham. Tapi kesehatanmu lebih penting, Kita bahas nanti jika kondisimu sudah baikan," sahutnya memperhatikan Ghara yang terlihat lelah.Sepertinya apa yang dikatakan Mistha benar! Ghara butuh istirahat untuk mengembalikan kondisi dan konsentrasinya untuk mengurus kasus-kasus yang datang bertubi-tubi. Sehingga malam itu, Ghara mencoba memejamkan mata. Mengosokan pikirannya tentang apa pun, termasuk pikiran tentang kematian Adzan yang begitu membuatnya terpukul.***"Pagi Sayang!
Mistha menghampiri Ghara yang tertunduk lemas memegangi kedua tungkai. Rasanya, tubuh Mistha ikut bergetar, jantungnya berdebar-debar. Melihat suaminya nampak frustasi seperti itu, membuat Mistha hampir tak bisa menggerakkan badannya untuk mendekat. "Bagaimana jika Adzan tak selamat, Sayang?" ucap Ghara lirih. Mendengar ucapan itu, Mistha merengkuh tubuh Ghara, memberi semangat dan kekuatan, bahwa Adzan pasti bisa disembuhkan. "Aku nggak bisa bayangin anak sekecil itu harus menjalani operasi yang membuat dia tak bisa kembali normal seperti dulu," ucap Ghara saat ia menandatangi persetujuan pembedahan colostomi karena terjadi infeksi dan pembengkakan pada usus besar Adzan pasca keracunan. Ia benar-benar tak menyangka jika hal itu membuat Adzan cacat permanen. "Adzan pasti sembuh, Sayang!" ucap Mistha menguatkan. Satu jam kemudian, operasi colostomi pun selesai. Dokter yang baru saja keluar dari ruang pembedahan menginformasikan, bahwa kondisi Adzan semakin kritis sehingga harus di
"Brassery TownHouse!" jawab Mistha. "Siapa nama Louis sebenarnya?" tanya Ghara yang sebenarnya sudah mencurigai satu nama yang dibahas waktu rapat kemarin siang. "Alexander Louis!" jawab Mistha sesuai nama yang tertera dinomor rekeningnya. "Kamu tahu di mana Louis tinggal?" tanya Ghara lagi. Mistha menggeleng, karena setiap pertemuan mereka selalu di coffe shop bahkan pertemuan awalnya saja di Brassery TownHouse dan Mistha hanya memiliki nomor handphonenya. "Hubungi Louis sekarang, Aku tahu Kamu masih simpan nomornya. Katakan bahwa Kamu akan memberikan uang sesuai permintaan terakhirnya!" kata Ghara. "Sayang! Aku tidak mau berhubungan dengan pria itu lagi," sahut Mistha. "Kamu tahu siapa Louis sebenarnya?" Mistha menggeleng, merasa bahwa dia sama sekali tak mengerti latar belakang Louis selain berandal yang mengakibatkan kematian Kirana. "Louis adalah saksi kunci dari kasus Vall Ankala. Hubungi Dia secepatnya dan rencanakan janji temu, bilang kalau Kamu tidak melibatkan siapa
Setelah kejadian kemarin, Mistha paham bahwa Ghara satu-satunya pria yang mampu bertahan menghadapi dirinya yang keras kepala dengan ke sabaran luar biasa. Sikap Ghara dalam menyelesaikan masalah membuat Mistha terpukul lalu sadar bahwa tidak ada pria yang memiliki jiwa lembut seperti Ghara. Demi menebus kesalahannya itu, Mistha bertekad tidak akan mengecewakan Ghara lagi-pun ia berjanji akan menuruti semua perintah Ghara. Termasuk membantu Ghara mengusut semua kasus-kasus yang menjadi tanggung jawabnya sekarang. "Malam Sayang," sapa Ghara begitu ia tiba di rumah. Mistha tersentak! Sadar dari lamunannya begitu mendapati sang suami mematung tepat di depannya. "Selamat malam Sayang," balasnya manis kemudian membantu Ghara melepas jas kebesarannya. "Adzan dimana?" tanya Ghara. "Tidur," sahut Mistha. "Tumben," cetus Ghara aneh. "Kayaknya kecapekan," pungkasnya. Kemudian Ghara beranjak ke kamar Adzan. Memastikan bahwa ponakannya itu baik-baik saja, diiringi langkah Mistha di belak