Bunga memilih diam di kamar daripada berkeliaran di bawah, melihat wujud Risa yang terasa menjadi pengusik jiwanya. Ia duduk dengan punggung bersandar ke bantal yang ikut menyandar ke kepala ranjang bersama tangan memainkan laptop, melanjutkan cerita novel yang baru ditulisnya beberapa Minggu lalu mengenai pernikahannya dan Kafkha. Novel yang masih berada di konflik awal itu masih belum berkepala, berjudul, karena Bunga' tidak tahu judul yang pas untuk ceritanya itu. Sudah beberapa bab yang ditulisnya. Tulisan itu berakhir di bab karakter utama pria bertemu dengan karakter wanita yang dicintainya, maksud Risa, dan perlahan melupakan karakter wanita yang sebelumnya dianggap sebagai karakter utama wanitanya, yaitu dirinya. Semua alur yang ditulis sama seperti cerita dan Kafkha. "Entahlah. Mungkin bukan aku karakter utama wanitanya. Mengapa aku terlalu berharap ini adalah kisahku dan Kafkha. Padahal, aku hanya menjadi orang ketiga di antara mereka," kata Bunga, tersenyum miris. Bunga s
Ketika Bunga sedang bersantai di rumah, Haidan datang bersama Zuan. Pria itu mengajak adik sepupunya itu belajar di rumah itu sebagai perundingan mereka saat itu. Selama dua minggu terakhir perundingan itu tidak dilaksanakan karena Bunga berlibur. Ini kali pertamanya Zuan akan les secara pribadi bersamanya di rumah itu. Bunga menurunkan kaki yang berada di atas sofa ke lantai. Semula semua tubuhnya berada di atas sofa dengan mata menyaksikan film di televisi. "Kak," sapa Zuan sambil menyalami tangannya. "Duduk," suruh Bunga dengan senyuman. Zuan dan Haidan duduk di bangku yang berbeda, Zuan duduk di samping Bunga dengan buku-buku diletakkan ke atas meja. "Sepi. Semua orang di mana?" tanya Haida sambil menoleh kiri, kanan, depan, dan belakang."Mama dan Raisa ke rumah sakit. Risa juga di luar, sedangkan Kafkha bekerja. Hanya aku di rumah," jelas Bunga.Bunga berdiri, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman. Setelah membuka kulkas, ia mencium bau bahan dapur yang membuatny
"Dokter Sarah?" tanya Haidan sambil melihat layar ponsel yang sudah berada dalam genggamannya itu.Suara Bunga membangunkan Haidan dari fokus terhadap ponsel itu, ia menaruh kembali ponsel itu ke posisi semula agar tidak disadari Risa nantinya. Ia bergegas mengambil kotak obat itu dan membawanya ke ruang tamu bersama benak diganggu oleh pemikiran mengenai hubungan Risa dan Sarah. "Ini," ucap Haidan dan duduk di sofa, membiarkan Bunga menangani wanita itu. Kafkha bergegas masuk memasuki rumah setelah mendengar suara desis kesakitan Risa dan ekspresi wajahnya dari pintu rumah. Kecemasannya kepada wanita yang memiliki wajah mirip dengan mendiang istrinya itu membuatnya menepikan Bunga sampai istri keduanya itu tersapu ke samping, jatuh dari simpuannya sampai menghentak ke perutnya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Haidan sambil membantu Bunga bangkit dari lantai dan duduk di sofa, di sampingnya.Bunga menggelengkan kepala sambil tersenyum, tidak ingin menampakkan luka di hatinya kala meli
Kafkha merangkul pinggang Bunga, mengajak istrinya itu ke dapur karena wanita itu tidak ingin makan malam di kamar, ia ingin berkumpul dengan semua orang di dapur. Berbeda dengan Risa, ia berpura-pura tidak sanggup ke dapur dan lebih ingin makan malam menjauh dari Jelita karena tidak ingin wanita paruh baya itu membuatnya kesal lagi. "Ris di kamar? Bukannya luka di kaki Bunga lebih parah dari lukanya? Bunga saja masih bisa ke sini," kata Jelita sambil memainkan sendok di piringnya."Mungkin kakinya masih terasa sakit, Ma. Nanti aku antar makan malam ke kamarnya," ucap Kafkha sambil membantu Bunga duduk. "Mama bukan berbicara mengenai makanan, tetapi sikapnya itu. Jangan terlalu memanjakannya," ujar Jelita, kesal melihat anaknya itu terus membela Risa."Ma … biarkan saja. Sekarang nikmati saja makanannya. Kasihan makanannya ikut mendengar perdebatan kita," kata Bunga, sengaja mengajak Jelita bercanda agar mertuanya itu melupakan kekesalannya."Bisa saja kamu. Makan biar cepat sembuh,
Risa dengan mata waspada memasukkan bubuk ke dalam susu yang akan di antar Jelita ke kamar Bunga, itu untuk menantu kesayangan wanita paruh baya itu. Bubuk tersebut bisa membuat orang jadi halusinasi. Ia ingin membuat Bunga seperti orang depresi agar di tempatkan di rumah sakit jiwa dan tidak menjadi penghambat lagi sebagai satu-satunya wanita dalam hidup Kafkha.Kedatangan Jelita ke dapur membuat Risa mengalihkan perhatian ke minumannya yang juga sudah dipersiapkan Jelita, ia tersenyum sambil meneguk susu itu dengan posisi berdiri di samping meja makan. "Kalau minum itu duduk," tegur Jelita. Salah lagi. Wanita paruh baya itu kembali menegurnya, membuatnya terlihat selalu tampak buruk setiap hari dan tidak ada benarnya. "Maaf, Ma," ucap Risa dan menaruh gelas susu itu ke atas meja. Setelah itu, Risa berjalan keluar dari dapur bersama bibir bergerak, mengoceh dalam hati dengan wajah kesal. Ekspresinya itu berubah setelah berada di ruang tamu, ketika melihat Kafkha hendak keluar dari
Risa berdiri di depan pintu ruangan Kafkha sambil merapikan penampilan, berharap pria itu bisa tertarik padanya melalui penampilan fisik. Sarah memperhatikannya dengan kesal, kedua tangan mencengkeram menahan kesal dari jarak beberapa meter dari persembunyiannya. Tangan Risa mengetuk pelan pintu ruangan itu. Suara Kafkha yang menyahut dari dalam membuat Risa mendorong pintu ke dalam, melangkah kaki pelan memasuki ruangan itu bersama ekspresi tersenyum senang. Dalam hitungan detik volume senyuman itu berkurang setelah melihat wujud Danar duduk di depan Kafkha. Kedua bola mata Danar terbelalak kaget melihat wujud Risa yang begitu mirip dengan sepupunya itu. "Risa," lirih Danar sambil berdiri. "Siapa dia? Daffa Danareksa?" Risa membaca nama di seragam Danar dalam hatinya dengan ekspresi yang sempat bingung berubah menjadi senyuman ramah. "Dia kakak sepupu wanita yang mirip denganku itu. Dokter Sarah pernah mengatakannya," kata Risa, masih berbicara dalam hati. "Risa? Itu benar kamu?"
Risa berjalan pelan memasuki kamar Bunga dan Kafkha dalam balutan gaun warna maron dengan rambut disanggul. Ia mengeluarkan lipatan kertas obat dari dompet dalam genggamannya, ia memasukkan bubuk yang sama ke dalam susu yang ada di atas meja ketika Bunga sedang berada di kamar mandi. “Permainan semakin asik saja. Sebentar lagi kamu akan dikirim ke rumah sakit jiwa,” kata Risa, tersenyum licik. Risa bergegas keluar dari kamar Bunga setelah mendengar bunyi handle pintu. Setelah menutup pintu kamar, ia berdiri di depan pintu kamar itu dengan senyuman licik, posisinya berdiri membelakangi pintu. Ekspresi liciknya mulai memudar setelah melihat Jelita berjalan menaiki tangga. “Mama,” sapanya dengan senyuman ramah. “Kamu mau ke mana dengan pakaian begitu? Kamu ngapain di sini?” Jelita hanya melontarkan pertanyaan dengan nada tajam, bukannya membalas sapaan itu. “Mengapa Mama tidak menyukaiku? Apa di masa lalu aku selalu menjahati Mama? Jika begitu, aku minta maaf,” ucap Risa, memasang w
Risa bergegas meninggalkan rumah sakit dalam kecamuk rasa khawatir dan ketakutan yang memburu jiwanya. Kakinya berjalan di tepi jalan sambil memegang kalung yang diberikan Kafkha semalam sambil berpikir sesuatu di benaknya dengan sorot mata tidak tenang. “Jangan sampai semua yang aku lakukan sia-sia. Apa yang harus aku lakukan?” Risa berpikir keras. Ponsel berdering dari tas yang ada di jinjingan tangannya, ia mengeluarkan ponsel itu dari sana dan melihat Kafkha adalah orang yang sedang menghubunginya. Ketakutannya bertambah, ia memasukkan ponselnya kembali ke tas dan melayangkan mata ke sekitaran mencari taksi. Ia melambaikan tangan ke arah taksi yang akan melewati keberadaannya. Di perjalanan pulang, Risa masih tidak tidak. Ia berpikir keras mencari cara untuk bisa mengembalikan situasi seperti semula. Tetapi, ia tidak memiliki cara yang ampuh, kecuali lari. Setelah sampai di rumah, Risa bergegas masuk ke dalam rumah itu dengan gelagat cepatnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jel
Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu
Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “
Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,
Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it
Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se
Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha