Kafkha merangkul pinggang Bunga, mengajak istrinya itu ke dapur karena wanita itu tidak ingin makan malam di kamar, ia ingin berkumpul dengan semua orang di dapur. Berbeda dengan Risa, ia berpura-pura tidak sanggup ke dapur dan lebih ingin makan malam menjauh dari Jelita karena tidak ingin wanita paruh baya itu membuatnya kesal lagi. "Ris di kamar? Bukannya luka di kaki Bunga lebih parah dari lukanya? Bunga saja masih bisa ke sini," kata Jelita sambil memainkan sendok di piringnya."Mungkin kakinya masih terasa sakit, Ma. Nanti aku antar makan malam ke kamarnya," ucap Kafkha sambil membantu Bunga duduk. "Mama bukan berbicara mengenai makanan, tetapi sikapnya itu. Jangan terlalu memanjakannya," ujar Jelita, kesal melihat anaknya itu terus membela Risa."Ma … biarkan saja. Sekarang nikmati saja makanannya. Kasihan makanannya ikut mendengar perdebatan kita," kata Bunga, sengaja mengajak Jelita bercanda agar mertuanya itu melupakan kekesalannya."Bisa saja kamu. Makan biar cepat sembuh,
Risa dengan mata waspada memasukkan bubuk ke dalam susu yang akan di antar Jelita ke kamar Bunga, itu untuk menantu kesayangan wanita paruh baya itu. Bubuk tersebut bisa membuat orang jadi halusinasi. Ia ingin membuat Bunga seperti orang depresi agar di tempatkan di rumah sakit jiwa dan tidak menjadi penghambat lagi sebagai satu-satunya wanita dalam hidup Kafkha.Kedatangan Jelita ke dapur membuat Risa mengalihkan perhatian ke minumannya yang juga sudah dipersiapkan Jelita, ia tersenyum sambil meneguk susu itu dengan posisi berdiri di samping meja makan. "Kalau minum itu duduk," tegur Jelita. Salah lagi. Wanita paruh baya itu kembali menegurnya, membuatnya terlihat selalu tampak buruk setiap hari dan tidak ada benarnya. "Maaf, Ma," ucap Risa dan menaruh gelas susu itu ke atas meja. Setelah itu, Risa berjalan keluar dari dapur bersama bibir bergerak, mengoceh dalam hati dengan wajah kesal. Ekspresinya itu berubah setelah berada di ruang tamu, ketika melihat Kafkha hendak keluar dari
Risa berdiri di depan pintu ruangan Kafkha sambil merapikan penampilan, berharap pria itu bisa tertarik padanya melalui penampilan fisik. Sarah memperhatikannya dengan kesal, kedua tangan mencengkeram menahan kesal dari jarak beberapa meter dari persembunyiannya. Tangan Risa mengetuk pelan pintu ruangan itu. Suara Kafkha yang menyahut dari dalam membuat Risa mendorong pintu ke dalam, melangkah kaki pelan memasuki ruangan itu bersama ekspresi tersenyum senang. Dalam hitungan detik volume senyuman itu berkurang setelah melihat wujud Danar duduk di depan Kafkha. Kedua bola mata Danar terbelalak kaget melihat wujud Risa yang begitu mirip dengan sepupunya itu. "Risa," lirih Danar sambil berdiri. "Siapa dia? Daffa Danareksa?" Risa membaca nama di seragam Danar dalam hatinya dengan ekspresi yang sempat bingung berubah menjadi senyuman ramah. "Dia kakak sepupu wanita yang mirip denganku itu. Dokter Sarah pernah mengatakannya," kata Risa, masih berbicara dalam hati. "Risa? Itu benar kamu?"
Risa berjalan pelan memasuki kamar Bunga dan Kafkha dalam balutan gaun warna maron dengan rambut disanggul. Ia mengeluarkan lipatan kertas obat dari dompet dalam genggamannya, ia memasukkan bubuk yang sama ke dalam susu yang ada di atas meja ketika Bunga sedang berada di kamar mandi. “Permainan semakin asik saja. Sebentar lagi kamu akan dikirim ke rumah sakit jiwa,” kata Risa, tersenyum licik. Risa bergegas keluar dari kamar Bunga setelah mendengar bunyi handle pintu. Setelah menutup pintu kamar, ia berdiri di depan pintu kamar itu dengan senyuman licik, posisinya berdiri membelakangi pintu. Ekspresi liciknya mulai memudar setelah melihat Jelita berjalan menaiki tangga. “Mama,” sapanya dengan senyuman ramah. “Kamu mau ke mana dengan pakaian begitu? Kamu ngapain di sini?” Jelita hanya melontarkan pertanyaan dengan nada tajam, bukannya membalas sapaan itu. “Mengapa Mama tidak menyukaiku? Apa di masa lalu aku selalu menjahati Mama? Jika begitu, aku minta maaf,” ucap Risa, memasang w
Risa bergegas meninggalkan rumah sakit dalam kecamuk rasa khawatir dan ketakutan yang memburu jiwanya. Kakinya berjalan di tepi jalan sambil memegang kalung yang diberikan Kafkha semalam sambil berpikir sesuatu di benaknya dengan sorot mata tidak tenang. “Jangan sampai semua yang aku lakukan sia-sia. Apa yang harus aku lakukan?” Risa berpikir keras. Ponsel berdering dari tas yang ada di jinjingan tangannya, ia mengeluarkan ponsel itu dari sana dan melihat Kafkha adalah orang yang sedang menghubunginya. Ketakutannya bertambah, ia memasukkan ponselnya kembali ke tas dan melayangkan mata ke sekitaran mencari taksi. Ia melambaikan tangan ke arah taksi yang akan melewati keberadaannya. Di perjalanan pulang, Risa masih tidak tidak. Ia berpikir keras mencari cara untuk bisa mengembalikan situasi seperti semula. Tetapi, ia tidak memiliki cara yang ampuh, kecuali lari. Setelah sampai di rumah, Risa bergegas masuk ke dalam rumah itu dengan gelagat cepatnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jel
Sarah ikut berada dalam kekhawatiran karena rahasia Risa palsu itu sudah terbongkar dan dalam pengejaran polisi. Ia mengemudikan mobil mencari wujud Risa di sepanjang jalan sejak dari rumah Kafkha, ketika ia mengintip dari kejauhan. “Di mana Stella?” Mata Sarah mencari-cari di sekitaran jalan. Wujud Stella terlihat sedang bertengkar dengan seorang pria di tepi jalan. Mereka saling tarik-menarik tas jinjing yang ada di tangan Stella. Pria itu adalah Lintang, yang tidak diketahui Sarah merupakan kekasih Stella, Risa palsu itu. “Lepas! Dasar pengkhianat! Bisa-bisanya kamu bersekongkol bersama mereka,” kata Stella dengan wajah marah.“Kamu yang lebih dulu berkhianat padaku. Kamu mau meninggalkanku demi dokter tampan itu setelah berusaha membunuhku. Sekarang, kamu yang harus melepaskan tanganmu dari tas ini karena itu milikku sebagai kompensasi atas apa yang sudah kamu lakukan,” kata Lintang, tertawa ringan. Sarah keluar dari mobil setelah menepikan mobilnya, ia berjalan pelan dengan ma
Zuni diundang datang ke kediamannya oleh Kafkha karena mereka ingin membicarakan tentang kondisi mental Bunga. Sebelum itu, mereka duduk menikmati secangkir kopi dimalam yang dingin itu dengan Jelita yang ikut duduk bersama mereka dengan Raisa dalam gendongannya. Kafkha sudah menceritakan semua keanehan yang ditunjukkan Bunga, begitu juga dengan penjelasan yang diberikan Jelita. Saat itu tujuan mereka bukan ingin menghindari Hunga, tetapi ingin membuat wanita itu kembali membaik. “Mungkin saja. Meninggalkannya Ibunya saat itu cukup mengguncang mentalnya, ditambah lagi dengan trauma lamanya dengan pria itu. Kondisinya harus ditindak lanjuti sesegera mungkin agar tidak mencapai taraf di mana harus diasingkan ke rumah sakit jiwa,” kata Zuni. “Tidak, menantuku tidak gila,” bantah Jelita, salah memahami maksud tujuan Zuni berkata. “Saya tau Bu Jelita. Bisa dibilang, Bunga saat ini berada dalam depresi berat dan harus segera ditangani dengan benar. Kalau begitu, bisa saya bertemu dengann
Kafkha meninggalkan Raisa bersama Bunga di ruangannya, ia ingin menangani beberapa pasien di beberapa kamar yang di rumah sakit itu. Hatinya masih was-was meninggalkan Raisa bersama Bunga, tetapi ia berusaha percaya istrinya itu bisa menangani anak tersebut. Setelah Kafkha meninggalkan ruangannya, Sarah berjalan masuk, mengira Kafkha masih berada ruangan tersebut. “Bunga,” kata Sarah, mengurangi volume senyuman yang lebar.“Dokter Sarah,” kata Bunga dan mengalihkan mata ke tangan Sarah yang menenteng bekal makanan di mana di dalamnya terdapat kue buatan Sarah sendiri.“Ini, berikan ini kepada Kafkha. Dia suka dengan kue krim coklat,” kata Sarah sambil menaruh bekal makanan itu ke atas meja. Bunga menganggukkan kepala. Sarah mengajak Raisa yang ada di pangkuan Bunga berbicara. Ia mengambil anak itu dari gendongan ibu sambungnya dan menggendongnya beberapa saat. “Kamu sudah mendengar berita tentang Risa palsu itu? Dia sudah dimakamkan kemarin,” kata Sarah, berbicara dengan tersenyum