Risa berjalan pelan memasuki kamar Bunga dan Kafkha dalam balutan gaun warna maron dengan rambut disanggul. Ia mengeluarkan lipatan kertas obat dari dompet dalam genggamannya, ia memasukkan bubuk yang sama ke dalam susu yang ada di atas meja ketika Bunga sedang berada di kamar mandi. “Permainan semakin asik saja. Sebentar lagi kamu akan dikirim ke rumah sakit jiwa,” kata Risa, tersenyum licik. Risa bergegas keluar dari kamar Bunga setelah mendengar bunyi handle pintu. Setelah menutup pintu kamar, ia berdiri di depan pintu kamar itu dengan senyuman licik, posisinya berdiri membelakangi pintu. Ekspresi liciknya mulai memudar setelah melihat Jelita berjalan menaiki tangga. “Mama,” sapanya dengan senyuman ramah. “Kamu mau ke mana dengan pakaian begitu? Kamu ngapain di sini?” Jelita hanya melontarkan pertanyaan dengan nada tajam, bukannya membalas sapaan itu. “Mengapa Mama tidak menyukaiku? Apa di masa lalu aku selalu menjahati Mama? Jika begitu, aku minta maaf,” ucap Risa, memasang w
Risa bergegas meninggalkan rumah sakit dalam kecamuk rasa khawatir dan ketakutan yang memburu jiwanya. Kakinya berjalan di tepi jalan sambil memegang kalung yang diberikan Kafkha semalam sambil berpikir sesuatu di benaknya dengan sorot mata tidak tenang. “Jangan sampai semua yang aku lakukan sia-sia. Apa yang harus aku lakukan?” Risa berpikir keras. Ponsel berdering dari tas yang ada di jinjingan tangannya, ia mengeluarkan ponsel itu dari sana dan melihat Kafkha adalah orang yang sedang menghubunginya. Ketakutannya bertambah, ia memasukkan ponselnya kembali ke tas dan melayangkan mata ke sekitaran mencari taksi. Ia melambaikan tangan ke arah taksi yang akan melewati keberadaannya. Di perjalanan pulang, Risa masih tidak tidak. Ia berpikir keras mencari cara untuk bisa mengembalikan situasi seperti semula. Tetapi, ia tidak memiliki cara yang ampuh, kecuali lari. Setelah sampai di rumah, Risa bergegas masuk ke dalam rumah itu dengan gelagat cepatnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jel
Sarah ikut berada dalam kekhawatiran karena rahasia Risa palsu itu sudah terbongkar dan dalam pengejaran polisi. Ia mengemudikan mobil mencari wujud Risa di sepanjang jalan sejak dari rumah Kafkha, ketika ia mengintip dari kejauhan. “Di mana Stella?” Mata Sarah mencari-cari di sekitaran jalan. Wujud Stella terlihat sedang bertengkar dengan seorang pria di tepi jalan. Mereka saling tarik-menarik tas jinjing yang ada di tangan Stella. Pria itu adalah Lintang, yang tidak diketahui Sarah merupakan kekasih Stella, Risa palsu itu. “Lepas! Dasar pengkhianat! Bisa-bisanya kamu bersekongkol bersama mereka,” kata Stella dengan wajah marah.“Kamu yang lebih dulu berkhianat padaku. Kamu mau meninggalkanku demi dokter tampan itu setelah berusaha membunuhku. Sekarang, kamu yang harus melepaskan tanganmu dari tas ini karena itu milikku sebagai kompensasi atas apa yang sudah kamu lakukan,” kata Lintang, tertawa ringan. Sarah keluar dari mobil setelah menepikan mobilnya, ia berjalan pelan dengan ma
Zuni diundang datang ke kediamannya oleh Kafkha karena mereka ingin membicarakan tentang kondisi mental Bunga. Sebelum itu, mereka duduk menikmati secangkir kopi dimalam yang dingin itu dengan Jelita yang ikut duduk bersama mereka dengan Raisa dalam gendongannya. Kafkha sudah menceritakan semua keanehan yang ditunjukkan Bunga, begitu juga dengan penjelasan yang diberikan Jelita. Saat itu tujuan mereka bukan ingin menghindari Hunga, tetapi ingin membuat wanita itu kembali membaik. “Mungkin saja. Meninggalkannya Ibunya saat itu cukup mengguncang mentalnya, ditambah lagi dengan trauma lamanya dengan pria itu. Kondisinya harus ditindak lanjuti sesegera mungkin agar tidak mencapai taraf di mana harus diasingkan ke rumah sakit jiwa,” kata Zuni. “Tidak, menantuku tidak gila,” bantah Jelita, salah memahami maksud tujuan Zuni berkata. “Saya tau Bu Jelita. Bisa dibilang, Bunga saat ini berada dalam depresi berat dan harus segera ditangani dengan benar. Kalau begitu, bisa saya bertemu dengann
Kafkha meninggalkan Raisa bersama Bunga di ruangannya, ia ingin menangani beberapa pasien di beberapa kamar yang di rumah sakit itu. Hatinya masih was-was meninggalkan Raisa bersama Bunga, tetapi ia berusaha percaya istrinya itu bisa menangani anak tersebut. Setelah Kafkha meninggalkan ruangannya, Sarah berjalan masuk, mengira Kafkha masih berada ruangan tersebut. “Bunga,” kata Sarah, mengurangi volume senyuman yang lebar.“Dokter Sarah,” kata Bunga dan mengalihkan mata ke tangan Sarah yang menenteng bekal makanan di mana di dalamnya terdapat kue buatan Sarah sendiri.“Ini, berikan ini kepada Kafkha. Dia suka dengan kue krim coklat,” kata Sarah sambil menaruh bekal makanan itu ke atas meja. Bunga menganggukkan kepala. Sarah mengajak Raisa yang ada di pangkuan Bunga berbicara. Ia mengambil anak itu dari gendongan ibu sambungnya dan menggendongnya beberapa saat. “Kamu sudah mendengar berita tentang Risa palsu itu? Dia sudah dimakamkan kemarin,” kata Sarah, berbicara dengan tersenyum
Berapa Jam Sebelumnya ....Bunga lupa membawa susu ke rumah sakit, ia memutuskan untuk membelinya di minimarket. Ia ke minimarket itu bersama Raisa yang berada di gendongannya dan saat itu Sarah memperhatikan kepergian mereka. Bunga mengingat jelas tanggal akhir kadaluwarsa susu itu sebelum membawanya ke kasir. Ketika tahu Bunga ingin membeli susu, terlintas dibenak Sarah untuk membuat Bunga disalahkan seperti kejadian sebelumnya di mana Raisa keracunan susu. Sarah mencari susu kadaluwarsa dengan merek yang sama dan menggantinya saat Bunga mengambil paket botol susu di luar rumah sakit. “Aku ingat jelas, susu itu tidak kadaluwarsa,” kata Bunga, masih mengelak. “Cukup! Jangan mengelak lagi,” bentak Kafkha. “Sudah. Semua orang memperhatikan kalian. Jangan begini,” kata Danar setelah menghampiri mereka. Danar menyuruh semua orang kembali ke aktivitas mereka. “Dasar gila!” cercah Kafkha dalam emosi.Kafkha ikut meninggalkan tempat itu dengan membawa Raisa dalam air mata yang terus m
Bunga keluar dari mobil Haidan setelah mobilnya terparkir di tepi jalan, di depan rumah yang ditinggalkan Bunga dan Murni sejak menikah bersama Kafkha. Bunga tidak mau Haidan membawanya ke rumah pria itu, ia memilih untuk tinggal di rumahnya untuk meminimalisir kesalahan paham Kafkha maupun orang-orang.“Kamu yakin akan tinggal di sini?” tanya Haidan sambil mengikuti Bunga berjalan menuju rumah. “Iya. Terima kasih sudah membantuku,” ucap Bunga setelah membuka pintu rumah.“Kalau begitu, aku keluar dulu untuk membeli bahan makan,” ucap Haidan setelah berpikir sejenak. “Tidak perlu repot-repot. Aku bisa membelinya besok,” balas Bunga dan masuk ke dalam rumah, berdiri di pintu. Haidan paham dengan maksud Bunga berdiri di depan pintu. Pria itu pamit meskipun hati terasa berat meninggalkan wanita tersebut di sana sendirian. Bunga menutup pintu rumah, bersandar di sana dengan badan perlahan merendah dan duduk meringkuk dalam tangisan. Tidak ada tempat bersandar lagi baginya, ia merasa ke
Bunga masuk ke mobil Haidan dengan air mata menetes membasahi pipinya. Pandangannya ke depan, malu memperlihatkan rasa sedih. Haidan ikut sedih melihat kesedihan yang tergambar di wajah wanita yang duduk di sampingnya itu, sekaligus penasaran dengan situasi apa yang baru saja dihadapi Bunga sampai menangis. "Kafkha tidak menerima anak itu?" tanya Haida, mengemukakan dugaannya. "Tidak. Bisa kita kembali?" tanya Bunga, menatap Haidan setelah menghapus air mata di pipinya. Haidan menganggukkan kepala dan menstarter mobil, menyalakan mesin mobil, dan mengemudikannya dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan Bunga menangis dalam diam, perkataan Kafkha membius jiwanya dalam rasa sedih. Haidan tidak berani menegur ataupun bertanya, ia membiarkan Bunga sendiri yang akan menceritakannya. Setelah mobil berhenti di tepi jalan, di depan rumah, Bunga keluar dari mobil Haidan dengan wajah lesu. "Terima kasih," ucap Bunga dan lanjut berjalan menuju rumah. Haidan mematikan mesin mobil, ia mengi
Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu
Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “
Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,
Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it
Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se
Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha