Suasana canggung mengisi kamar. Mereka masih dengan posisi seperti sebelumnya, di mana Bunga berada di bawah dan kedua tangan Kafkha mengurung tubuhnya, mengungkung tubuh kecil Bunga yang berbaring dengan salah tingkah sampai tidak sanggup menatap wajah pria yang ada di atasnya itu. Kafkha menghela napas dalam dan panjang. Setelah itu, secara pelan bibirnya semakin menurun ke arah wajah Bunga sampai mendarat di dahi wanita itu. Kelembutan yang ditunjukkan ikut dirasakan Bunga. Pria itu beralih mengecup kedua matanya, hidung, kedua pipi, dan berakhir di bibirnya. Tangan Kafkha secara pelan menarik selimut dan menutupi tubuh mereka sampai yang tersisa hanya kepala mereka. Satu demi satu pakaian yang menempel di tubuh mereka keluar dari tepi selimut dan jatuh ke lantai. "Kamu takut?" tanya Kafkha setelah melihat Bunga memejamkan mata dengan dahi mengernyit. "Hanya gugup," balas Bunga, tersenyum ringan."Jika kamu gugup, tutup saja matamu. Kalau sakit, bilang, aku akan lebih lembut la
Kafkha menurunkan Bunga setelah mereka sampai di depan pintu kamar hotel. Raut wajahnya masih sama, dingin. Pria itu berjalan masuk setelah pintu dibuka dan duduk di sofa di mana ada beberapa menu makanan tersaji di dalam kotak makanan. "Ganti pakaianmu dan duduk. Kali ini dengarkan aku," kaya Kafkha sambil memainkan ponsel.Bunga menganggukkan kepala meskipun Kafkha tidak menatapnya. Ia mendekati koper dan mengambil pakaiannya dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Sejenak tangannya berhenti mengenakan pakaian saat mengingat pria bertopeng itu, jiwanya dilanda ketakutan dan menjongkok sambil menutup wajah."Tidak. Jangan dekati aku!" teriaknya, histeris seperti orang gila. Kafkha meletakkan ponsel di atas meja dan berlari masuk ke kamar mandi. Ia membantu Bunga berdiri dan membetulkan pakaian istri. Setelah, itu ia mengajaknya dengan rangkulan bahu keluar dari kamar mandi. "Tenang. Tidak akan ada yang menyakitimu. Aku di sini." Kafkha memeluknya dengan erat dan sesekali mengecup
Kafkha memasuki kamar setelah berbicara bersama Haidan. Raut wajahnya menunjukkan kelesuan, tidak ada rasa senang. Bunga meletakkan majalah yang ada di tangannya ke atas meja sambil membetulkan posisi duduk yang tadi bersandar ke bantal yang tersandar ke kepala kasur. "Kenapa?" tanya Bunga setelah Kafkha duduk di sampingnya. "Tidak ada. Hmm ... malam ini ada pesta kecil-kecilan di tepi pantai. Kamu mau ikut?" tanya Kafkha, tersenyum."Boleh. Tapi ...." Keberadaan pria bertopeng yang diwaspadai membuatnya takut kejadian malam itu akan terulang lagi."Tenang saja, pria itu tidak akan datang," ucap Kafkha, sadar akan hal yang dipikirkan istrinya itu. Bunga tersenyum dan menganggukkan kepala, setuju dan penuh keyakinan tidak akan terjadi sesuatu padanya nanti. Kafkha memeluknya dan bibir yang tersenyum memudar, menunjukkan rasa sedih berbalut keraguan akan rencana yang sudah dibuatnya. Sikap itu membuat Bunga bingung, tidak biasanya pria itu bersikap begitu dekat tanpa ada alasan. "Ki
Kafkha berjalan pelan mendekati Bunga yang sedang berusaha menarik resleting gaun merah muda yang terpasang di tubuhnya. Pria itu dengan romantis menarik resleting itu dan mendaratkan dagu di atas pundak kiri Bunga dengan pandangan mengarah ke cermin yang ada di hadapan mereka. "Kamu cantik. Kamu tahu, gaun seperti ini dan warna merah muda menjadi favoritku. Setiap kali Marissa memakainya, aku selalu memujinya. Kamu cantik sepertinya," puji Kafkha. Pujian itu membuatnya bahagia, meskipun ada sedikit usikan karena menyamakan dirinya dan Marissa. Bunga mengabaikan usikan itu setelah merasa kondisi hubungannya dan Kafkha jauh lebih baik dari sebelumnya, ia bisa merasakan kehangatan tulus pria itu.Ponselnya Kafkha berdering. Ia merogoh alat komunikasi itu dari saku celananya sambil membetulkan posisi tubuh berdiri tegak. Haidan menghubunginya, menyuruhnya segera datang ke tempat acara dan melangsungkan rencana mereka. "Bunga. Tunggu aku di sini. Aku ingin bertemu seseorang dulu di bawa
Kafkha dan Bunga berdiri di antara beberapa tubuh berpasangan yang menari di atas karpet yang terbentang di atas pasir di tepi pantai. Di tangan mereka ada segelas minuman berwarna merah dan sedang berbicara bersama dua pasang suami-istri dalam balutan pakaian jas dan memakai gaun. "Dokter Kafkha, kita benar-benar sudah lama tidak bertemu. Terakhir bertemu empat tahun lalu, bukan begitu?" tanya Raden, seorang pria seusia mereka yang memiliki profesi sama seperti Kafkha, yaitu seorang dokter. "Iya. Di acara peresmian rumah sakit mu. Sekarang bagaimana?" tanya Kafkha. "Semakin berkembang. Fasilitasnya juga mulai lengkap. Lain kali bisa berkunjung. Jika tidak, ikut bergabung bersamaku juga tidak apa-apa," kata Raden dengan sedikit candaan yang menarik tawa mereka. Bunga hanya diam dan tersenyum mendengar mereka berlelucon sejak tadi. "Itu kenapa dokter? Jangan bilang salah pentok saat bermain tengah malam," goda Siska, istri Raden sedang menjadikan luka di dahi Kafkha sebagai topik b
Beberapa kali Kafkha menghubungi nomor Bunga, tetapi sambungan teleponnya tidak berjawab. Nomor istrinya itu aktif, tetapi tidak dijawab. Kafkha memaklumi Bunga tidak menjawab sambungan teleponnya, yang padahal ponsel wanita itu berada di hotel saat ini. Lalu, di mana Bunga? Wanita itu sedang berada di taksi yang akan mengantarnya ke bandara. Dugaan Kafkha benar. Bunga memutuskan akan kembali ke Jakarta. Tangisnya di dalam taksi itu pecah, ingatannya masih membayangi Kafkha bersama Sarah dan merekam jelas perkataan suaminya itu kala itu. "Aku pikir semuanya akan membaik. Tidak butuh waktu tiga bulan bagiku untuk meluluhkan hatinya dan bisa menempatkan diriku di hatinya. Tapi, ternyata semua itu hanya sekedar dugaanku saja. Dasar, aku terlalu berharap sampai membuat imajinasi sendiri," kata Bunga, tersenyum dalam tangisannya.Sebelum Bunga sampai di Bandara, Kafkha lebih dulu sampai di sana. Kakinya melangkah ke beberapa sisi bandara dengan mata mencari-cari wujud Bunga. Ia bertanya
Bunga menggeliatkan tubuh setelah bangun dari tidurnya. Tangan Kafkha memeluk tubuhnya dari samping, membuatnya diam tertegun dan menoleh kaku menatap wajah pria itu. Bibirnya tersenyum ringan mengingat hubungan mereka semalam, itu tiga kali mereka berhubungan sejak menikah. Bunga memainkan jari telunjuknya di hidung Kafkha, membuat pria itu terbangun dari tidurnya dan menatapnya dengan raut wajah datar dan melayangkan senyuman simpul. "Kamu sudah bangun?" tanya Bunga dan memalingkan wajah karena salah tingkah."Em. Bangunlah dan bersiap-siap, kita akan menaiki kapal untuk melihat-lihat keindahan laut," kata Kafkha sambil duduk dan berjalan ke kamar mandi. "Iya," balas Bunga, singkat dengan anggukan kecil.Ketika akan melangkah memasuki kamar mandi, suara ketukan pintu mematikan langkahnya. Bunga bergegas memakai mengambil handuk kimono di lemari dan memakainya, barulah ia berjalan mendekati pintu dan membukanya. Seorang Sarah berdiri di depan pintu kamar itu. Melihat wajahnya memb
Satu tendangan menjatuhkan pria yang hendak meniduri Bunga. Tubuh pria bejat itu terdorong ke meja sampai menjatuhkan lampu meja ke lantai dan membuat Bunga tersadar dari pingsannya. Situasi itu sekejap membuatnya kaget dan bingung, ia kembali mengingat kejadian sebelumnya di mana ada seseorang yang menabraknya dan membekap mulutnya dengan kain."Haidan," lirih Bunga saat menyadari pria yang menendang pria bejat itu adalah temannya. "Kamu baik-baik saja? Dasar pria bejat," cercah Haidan dan berlari menghampiri Bunga setelah memukuli pria itu.Haidan membantu Bunga bangkit dari kasur, ia mengambil tas di atas meja dan merangkul pinggang wanita itu, mengajaknya keluar dari kamar tersebut. "Apa pria itu ingin …." Bunga sengaja menggantungkan perkataannya setelah berada di dalam lift yang akan membawa mereka ke lobi."Jangan pikirkan itu. Sekarang kita temui keamanan hotel untuk menangkapnya sebelum keluar dari hotel ini," kata Haidan dengan napas masih terengah-engah.Setelah keluar da
Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu
Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “
Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,
Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it
Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se
Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha