Dela melirik Zaki yang tampak biasa saja, tidak merasa bersalah atau pun meminta maaf. "Teleponan sama siapa, kamu? Asik banget, kayaknya. Mana nyindir-nyindir lagi!" ujarnya ketus.Zaki melirik Dela dan menanggapi sekenanya. "Selain bermuka dua, kamu orangnya suka kepo ya? Pantes, gak pernah tenang hidupnya."Kata-kata pedas yang keluar dari mulut lelaki itu, benar-benar menusuk di relung Dela. Ya, Zaki memang tidak pernah suka dengan Dela, semenjak perempuan itu ketahuan mata duitan. Bahkan, untuk berpura-pura sekalipun, lelaki itu gak akan bisa."Tutup mulutmu, Zaki! Lancang sekali kamu! Mau dipecat Devan?"Suara Dela terdengar sangat pongah. Membuat Zaki terkekeh mendengarnya. "Sudah kukuatakan, Dela. Kamu siapa di hidup Devan? Hanya Cecil yang berhak memecatku. Bahkan, Devan sekalipun gak ada hak untuk itu! Camkan itu baik-baik." Di mana letak kesangaran Dela tadi? Bahkan, gadis itu terlihat sangat melempem sekarang.Tidak menanggapi, Dela memilih diam. Karena dia tahu, Zaki bu
5 menit, 10 menit, bahkan hampir setengah jam, waktu Devan terbuang hanya ituk membujuk Dela. Tapi, perempuan itu sama sekali tak mau melepasnya.Tidak banyak yang bisa Devan harapkan, lelaki itu hanya melirik Zaki, berharap jika temannya itu mau membantunya membujuk Dela dalam hal ini.Seperti paham maksud Devan, Zaki malah dengan sengaja membiarkan gadis itu terus merengek. Bahkan, dia terkesan abai dan berniat meninggalkan mereka di ruangan ini."Aku pulang dulu. Urus saja wanitamu." Pamit Zaki, yang dibalas pelototan tajam milik Devan. Zaki bahkan hampir terkekeh dibuatnya."Have fun. Aku duluan." Zaki kemudian berlalu, tanpa mempedulikan tatapan garang dari bosnya.Sementara Devan sendiri, masih terus membujuk Dela. "Del, aku mohon, Jangan gini. Aku harus pulang sekarang."Dela mencebikkan bibir sensualnya. Menatap matik hitam kecoklatan yang meneduhkan itu. "Masak baru datang udah mau pergi? Aku kan juga mau kamu perhatiin, Devan. Salah ya, kalau aku minta sedikit waktumu?"Dev
54 panggilan masuk dari Devan tak dijawab. Ya, cecil sengaja tidak memedulikan ponselnya lagi. Meski data internetnya dimatikan, lelaki itu tetap tak menyerah dan mengubahnya menjadi panggilan biasa. Untung saja, ponselnya dimode getar, jadi tidak akan menimbulkan suara yang mengganggu pendengaran.Sementara di tempatnya, lelaki itu kelimpungan, seiring dengan suara ponsel yang terus memanggil. Wajahnya geram, menahan amarah yang luar biasa. "Kamu kenapa, Devan?" tanya Dela menatap heran pada lelaki yang terus bergerak gelisah itu. Dari ekor matanya, Dela bisa melihat kemarahan di mata lelaki itu."Cecil berulah," ucapnya dingin dengan ekspresi tak terbaca. "Berulah gimana? Bukannya dia baru keluar dari rumah sakit?" Dela penasaran, entah apa yang dilakukan Cecil untuk menarik perhatian suaminya. Perempuan itu benar-benar tak bisa dianggap remeh.Devan menarik napas panjang, lalu menghempasnya perlahan. Cuping hidungnya kembang kempis, merasakan amarah yang tak kunjung reda."Nyatan
Setelah menyalurkan hasratnya, Devan berguling di samping Cecil, memberi kecupan singkat pada gadis itu, sebagai rasa terima kasih. "Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah menjaga kehormatan itu untuk suamimu. Maaf, aku sudah merenggutnya darimu."Tidak ada jawaban apa pun, Cecil hanya diam seperti patung. Dia lelah, dia sudah lelah untuk melawan Devan. Cecil bangkit, berniat ke kamar mandi meski dengan menahan rintih, rasanya masih sangat nyeri. "mau ke mana? "Tanya Devan seolah semuanya tidak pernah terjadi apa-apa.""Kamar mandi." Menjawab sekenanya. Bisa dibilang, Cecil akan membiasakan diri untuk irit ngomong sekarang.Devan bangkit dari rebahannya. Ya, meski keduanya sama-sama masih polos, tapi Cecil tidak peduli. Toh, Devan juga sudah melihatnya dalam keadaan naked begini?"Biar aku gendong. Kamu pasti kesakitan."Cecil hanya mengangguk tanpa berniat menanggapi. Mulai sekarang, Cecil tidak akan berontak lagi.Dengan hati-hati, Devan menggendong Cecil ke kamar mandi. Lalu men
Sesampainya di kantor, Cecil dan Laras berpisah. Karena mereka harus menjalankan bagian pekerjaan masing-masing.Cecil berjalan menuju ruangannya. Tapi saat hampir tiba, Direktur keuangan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Aris, memanggil dirinya."Cil," panggil Aris.Cecil yang sebenarnya muak dengan manusia picik itu, dengan susah payahnya mengembangkan senyumnya. Ya, Cecil harus pura-pura mendekati Aris, mengumpulkan bukti-bukti kelicikan mereka untuk diberikan pada Devan. Kalau Cecil hanya berucap tanpa bukti, mana mungkin lelaki itu percaya?"Ya, Mas? Ada apa?" Aris memegang pundak Cecil. Lihatlah, lelaki kurang ajar! Bahkan, Aris tahu jika Cecil adalah istri sepupunya. Tapi tetap saja genit. "Eh, maaf, Mas. Gak enak kalau dilihat orang kantor. Aku sudah bersuami. Nanti mereka mikir macam-macam."Sambil menurunkan tangan Aris di pundaknya, Cecil berujar sungkan."Maaf, maaf. Santai saja, tidak ada yang penting. Kamu nanti siang, ada urusan gak? Kalau gak ada, rencananya aku
Tawa Cecil terdengar menggema. Dia sangat tergelitik dengan sifat arogan Devan yang sangat buruk itu jika sudah kepepet. "Hahaha. Kamu benar-benar mencintaiku, Mas Devan?"Devan bangkit. "Apa maksudmu? Apa perlu kamu tanyakan lagi? Bahkan, aku rela bersujud di kakimu, tadi. Agar kamu tetap tinggal.""Kalau aku menyuruhmu menjauhi Mbak Dela, apa kamu sanggup."Devan mengangguk mantap. "Bahkan, membunuhnya pun akan kulakukan untukmu."Cecil mengikuti gerakan Devan, duduk tenang di sofa yang memang tersedia di ruangan pribadinya. "Gak perlu mengancamku. Aku sendiri bahkan rela menyerahkan tubuhku padamu. Terima kasih, sudah bersikeras mempertahankan rumah tangga kita.""Kamu udah gak benci aku?" tanya Devan memastikan.Cecil menggeleng. "Awalnya aku sangat benci. Kamu menggauliku dengan paksa. Tapi setelah aku tahu semua kebenarannya. Rasa benci itu seketika hilang entah ke mana. Jangan jelaskan apa pun padaku. Aku tahu, semua kebenaran yang bahkan kamu sendiri belum tentu tahu."Alis De
Amarah masih meletup-letup di hatinya. Dengan perasaan dongkol, Devan berlalu dari hadapan Cecil sambil membanting pintu cukup keras.Jeder!"Allahuakbar!" Cecil memegang detak jantungnya yang berlompatan. "Cih! Ngambekan, kayak perawan!"lanjutnya.Setelah meninggalkan ruangan Cecil, Devan kembali ke ruangannya. Bayangan lembut bibir Cecil merasuk pikirannya. Lelaki itu kembali mengerang, kala tak sanggup lagi menahan hasratnya. "Cil, kenapa kamu hobi sekali menyiksaku? Apa menurutmu ini lucu? Oh shit! Aku bahkan hampir gila karenamu."Semenjak tahu jika dirinya harus nunggu lampu hijau dari Cecil, Devan jadi sangat uring-uringan."Oh shit! Bahkan adikku sendiri, gak bisa diajak kompromi."Devan melirik tonjolan di celananya yang sudah memberi hormat. Bahkan, selalu mendesak ingin dikeluarkan dari tempatnya.Gawat! Ini gawat. Bisa-bisa, celana Devan robek kalau harus terdesak begini. Devan benar-benar harus menuntaskannya segera. Dia tidak bisa membiarkan tubuhnya panas dingin. Dengan
"Ckck! Lama sekali hem?"Devan berdecak saat Dela menghampirinya. Melingkarkan tangan di lengan Devan, lalu menyunggingkan senyum manisnya.Cecil yang melihatnya, mengeratkan gigi dengan geram. Refleks, tangannya juga ikut melingkar di lengan Aris.Aris yang diperlakukan seperti itu, jadi salah paham. Dia pikir, Cecil memang memberi lampu hijau padanya, sementara Devan sendiri menatap Cecil dengan tatapan entah.Dela yang melihatnya, terlihat sangat senang. Gadis itu juga berusaha mengompori Devan."Eh, ada Cecil dan Aris juga di sini? Kalian mau ke mana?"Bukan mereka, tapi Devan yang menyahut. "Mereka ingin makan siang berdua. Berhubung kita juga mau melakukan hal yang sama, aku pikir ... kenapa gak double date saja?""Ah, double date ya? Cukup seru. Kita pergi ke restoran depan saja. Di sana sedang ada menu baru dan langsung jadi best seller."Aris pun membuka suara. Padahal, niatnya hanya ingin makan berdua. "Ah, ya. Cecil sudah bilang tadi. Jadi, tujuan kita memang ke sana. Terim