Cecil meraung kala Devan semakin memperdalam ciumannya. Sekuat tenaga gadis itu mendorong tubuh Devan agar jauh darinya, tapi percuma saja, bila tenaga lelaki itu 10X lebih kuat darinya."Lep pash!" ucap Cecil kesusahan. Bukan melepas, lelaki itu malah semakin tertantang. Aroma cherry dan rasa legit yang tercecap dari bibir gadis itu, membuat Devan semakin tertantang untuk menerobos langit-langit mulut Cecil yang masih tertutup rapat. Tak kunjung terbuka, Devan menghentikan aksinya. Napasnya yang mulai terengah, mencoba dinetralkan kembali. Devan pun memasok oksigen banyak-banyak, sama halnya dengan Cecil yang terengah-engah. Ia pun menarik napas panjangnya.Sebelum Devan meraih kembali bibir itu, Cecil memalingkan wajahnya. Emosinya mendidih, kurang ajar sekali Devan mengambil ciuman pertamanya.Tanpa mneoleh pada Devan, Cecil melontarkan makian. "Kurang ajar banget! Beraninya kamu ambil ciuman pertamaku."Devan memaksa Cecil untuk menatapnya. Lelaki itu memegang dagu Cecil dengan p
Setelah berhasil mencecap manisnya bibir Cecil untuk yang ke dua kalinya, akhirnya Devan melepas pangutan itu. Cecil menatap Devan nyalang, karena lelaki itu hampir membuatnya kehilangan napas.Dengan napas memburu, Cecil mantap melayangkan tangannya di pipi Devan. Saking kerasnya tamparan Cecil, pipi putih mulus milik Devan sampai memerah.Lelaki itu memegangi wajahnya yang memanas, ia berusaha maklum jika Cecil emosi atas kekurang ajaran yang dirinya lakukan. Tapi lelaki itu juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan diri sendiri atas hasratnya yang memburu.Berada di dekat Cecilia, membuat otaknya sedikit gila. Bahkan, lelaki itu menyadarinya.Tatapan Cecil dan Devan saling beradu. Tubrukan manik coklat Keduanaya, terlihat menjam. Sekuat tenaga, Cecil berusaha tidak menangis."Kamu pantas dapat itu. Dasar laki-laki berengsek!" Cecil memukul dada Devan dengan brutal. Ia merasa sakit hati atas apa yang Devan lakukan.Dengan tenaga yang penuh, Devan berusaha mendekap tubuh Cecil yang mero
Zaki sedikit memberi ruang, untuk bosnya yang sedang dipengaruhi luapan emosi. Ia pun pamit undur diri dari ruangan sang pemilik perusahaan."Tenangkan dirimu, Van. Aku kembali ke ruangan dulu."Devan hanya melirik sepintas, lalu mengangguk lemah. "Silakan."Setelah mendapat izin dari sang atasan, Zaki pun beranjak meninggalkan ruangan ber AC itu."Assalamualaikum," pamitnya."Waalaikumussalam."Devan hanya bisa menatap punggung Zaki yang menghilang di ambang pintu.Sepeninggal Zaki, Devan berusaha mengalihkan pikirannya soal Dela. Seketika, fokusnya tertuju pada Cecil. Entah mengapa, bayangan sosok Cecil tiba-tiba terlintas di kepalanya."Sedang apa gadis itu sekarang?" gumamnya lirih pada diri sendiri.Tanpa berlama-lama, Devan bergegas menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja. Jarinya yang lincah, berkutat mencari kontak Cecilia di sana.Setelah berhasil menemukan kontak Cecil, Devan langsung menekan tobol dengan gambar gagang telepon yang tertera.Di tempat yang berbeda, Ceci
Cecil memutuskan untuk menunggu di luar, daripada di kamar, nanti Devan bisa mengambil kesempatan.Cuaca yang terik membuat gadis itu harus berpanas-panasan dengan sinar matahari. Matanya yang silau, terus menyipit seiring dengan naiknya sang surya."Rumah segede gini, gak ada tempat yang teduh. Bikin taman kek!" Cecil memaki dalam hati. Tangannya gatal untuk mengubah halaman luas ini menjadi taman yang cantik.Tak lama, deru mobil terdengar cukup keras, membuat gadis berpita itu mengalihkan atensinya. Ia menatap mobil Devan yang mulai berhenti.Pintu mobil terbuka bersamaan dengan kaki panjang yang menapak di atas tanah, menampakkan sosok Devan yang berdiri gagah dengan setelan jasnya.Laki-laki itu mengernyit kala melihat Cecil yang berdiri memegangi tas di kepalanya. "Ngapain panas-panasan?"Cecil menurunkan tas yang menjadi pelindung kepalanya. Ia menatap Devan nyalang sebelum akhirnya berjalan menuju mobil lelaki itu. "Pakai tanya lagi."Devan dibuat geleng-geleng dengan tingkah
Tawa Cecil masih mengudara. Gadis itu terlihat sangat puas setelah berhasil meledek Devan habis-habisan. "Ketawa yang puas! Enak aja doain orang biar cepet mati. Kalau mau mati, sendiri aja, gak usah ajak-ajak!"Cecil meringis. Ia menemukan sisi baru Devan yang menurutnya sangat menggemaskan. Seperti beda dari sosok Devan yang kasar dan arogan, sosok yang berdiri di sebelahnya sangatlah lembut dan peduli.Tiba-tiba, suasana kembali hening. Cecil terdiam, lalu menatap lama Devan. Nampaknya, gadis itu mulai bertingkah laku. Untuk menutupi debar di dada, tangannya sibuk menyugar poni yang panjangnya sedikit lebih jauh dari angin. Rambut pajang nan legam itu, berterbangan indah, membuat Devan tak kuasa menahan tangannya.Devan berdehem, membuat Cecil menghentikan lamunannya."Ekhem! Maaf, rambut kamu berantakan. Sini, aku bantu rapihin."Bak patung pancoran, Cecil diam membisu. Ia menganggukkan kepala, sebagai persetujuan atas pernyataan Devan.Setelah mendapat izin dari sang empunya, De
Cecil menatap nyalang pada Devan penuh kebencian. Mata elangnya menyorot tajam lelaki itu dengan dendam yang berusaha ia kendalikan."Omong kosong!" Meski diambang kemarahan, Cecil harus tetap terlihat tenang. Dirinya tidak boleh terpancing emosi, yang mungkin bisa membuatnya menyesal. Cecil mendorong tubuh Devan menjauh, lalu berkata, "Udah ah! Aku laper, mau makan.""Dih, aneh! Tadi marah-marah, sekarang minta makan!" tukas Devan. Tak menghiraukan, Cecil memilih meninggalkan Devan dan duduk di meja makan yang tersedia.Devan berjalan menghampiri Cecil. Menarik kursi lalu ikut duduk. Melihat mood gadis itu yang sedang tidak baik, Devan berinisiatif menawarinya makan. "Mau makan apa?""Menunya mana?" Tempat VVIP yang ia pesan, memang tidak menyediakan menu. Buat apa dibikin menu, kalau pelayanan dan kokinya saja sudah dipesan khusus melayani mereka."Gak ada menu. Sebutin aja yang kamu mau. Pasti dibikinin."Sempat takjub, Cecil menatap tak percaya. Baru pertama kali ia pergi ke tempa
Devan mengerang kesal dengan tangan mengepal emosi. Matanya memejam menahan perih, lalu mengelap wajahnya dengan tissue yang ada."Cecilia!!! Ceroboh sekali jadi orang! Jorok!" Devan memaki Cecil. Lelaki itu bahkan tak tahan dengan sang sekretaris."Ma'af. Aku gak sengaja," ujar Cecil lirih sambil berdiri dan menghampiri Devan. Membantu lelaki itu untuk membersihkan semburan minumannya."Menyingkir! Nanti tambah sial."Devan menyuruh Cecil untuk menjauh dari hadapannya. Bukan tanpa alasan, mengingat kecerobohan gadis itu, Devan merasa tidak yakin jika Cecil becus membantunya.Diperintahkan untuk menjauh, Cecil kembali ke tempatnya. Rasa bersalah belum sepenuhnya hilang. Dia memang ceroboh."Apa yang kamu lakukan, Cecil? Kamu sudah melakukan kesalahan besar! Tamatlah riwayatmu setelah ini." Cecil menggigit bibir bawahnya. Diam seribu bahasa tanpa berani memandang Devan. Gadis itu tertunduk lemah, sembari memainkan kaki."Ayo, pulang!" tukas Devan.Bukannya mematuhi, pertanyaan bodoh ma
Di dekat Cia, Devan dan Cecil saling melempar ledekan. Ketiganya tertawa lepas bak tak ada beban. Setelah melihat apa yang dialami Cia, Cecil merasa lebih bersyukur sekarang. Ternyata masih banyak orang yang masalahnya lebih besar. Cecil memanggil Cia. "Cia, sini deketan sama Kak Cecil. Kak Devan bau, belum mandi."Wajah Devan ditekuk masam. Tidak terima mendapat ledekan, Devan bangkit. Sengaja menghampiri Cecil, dan memiting perempuan itu di dalam ketiaknya. "Nih, Cium."Cecil meronta-ronta. Cia yang di dekatnya hanya tertawa cekikikan melihat ulah Cecil dan Devan. "Cia, tolongin Kakak. Kak Devan bau ketek."Setelah puas memberi pelajaran pada Cecil, barulah Devan melepasnya. Devan menatap Cecil tajam, lalu beralih menatap Cia. "Cia mau digituin juga?" Devan mengedipkan satu matanya.Cecil yang terlepas, akhirnya bernapas lega. "Jangan mau, keteknya bau, Cia."Dengan malas, Devan memutar bola mata. Dia tidak segan-segan memberi pelajaran pada Cecil. Devan kemudian merangkul gadis it
Cecil tertawa lebar dengan seringai liciknya. Gadis itu kemudian merogoh ponsel di tasnya. "Terima kasih Dela, untuk semua pengakuannya. Tunggulah, sebentar lagi polisi akan datang dengan surat penangkapan kalian. Maaf, kelicikan harus dibalas dengan lebih licik."Cecil menepuk pipi Dela yang terlihat sangat pucat. Mendengar kata polisi, gadis itu langsung mematung. "Ap--apa maksudmu?" Tak kunjung menjelaskan, Devan pun ikut mencecar. "Sayang, ada apa ini?"Cecil mendekat, untuk mengikis jaraknya dan Devan. Dia lalu menepuk pundak lelaki itu pelan. "Aku tahu aktingmu sangat buruk, Sayang. Aku gak yakin bisa menjebak Dela dalam peragkapmu. Maaf, jika aku harus melibatkan Mas Sean dalam drama ini. Awalnya, niatku ke sini memang ingin mengucapkan selamat tinggal pada lelaki baik yang sudah kuanggap seperti abang. Tapi setelah aku melihat Dela memergoki kami berpelukan, aku yakin, dia pasti akan bicara buruk tentang aku. Jadi, aku sengaja, meminta Mas Sean untuk memelukku lebih erat." Ce
Giginya gemertak menahan emosi. Kalau tidak ada Cecil yang menghalangi, mungkin Devan akan langsung menghabisi Sean di tempat."Berdiri kamu!" Devan menarik kasar lengan Cecil menjauh dari Sean. Wajahnya terlihat sangat merah. Entah apa yang ada di pikiran Devan sekarang.Cecil berdiri dengan sedikit terhuyung. Dia takut-takut menatap Devan yang sudah berubah seperti iblis. "Aw, sakit. Pelan-pelan, Mas." Rintihannya sambil melihat memar kemerahan di lengan. Seumur-umur, dia baru melihat sisi iblis seorang Devan.Devan menatap Cecil dengan tatapan membunuh. Dia paling tidak suka dikhianati seperti ini. "Pelan-pelan, katamu? Dasar wanita murahan! Bisa-bisanya kamu pelukan mesra sama orang lain. Dibayar berapa kamu hah? Kamu istriku, Cecil!"TesSetetes air mata membasahi pipi Cecil. Tidak menyangka, jika Devan akan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitinya. Sementara, dia berusaha mati-matian memuji Devan di depan Sean."Tutup mulutmu! Aku tidak serendah itu, bajingan! Aku masih
Setelah seharian sibuk memanjakan suaminya, akhirnya pagi ini Cecil disibukan dengan pekerjaannya di kantor. Sesuai yang Devan katakan, pagi ini mereka berangkat ke kantor bersama. Tidak ada lagi jemputan dari Laras, karena Zaki sudah melarang gadis itu menjemput Cecilia, sesuai arahan dari Devan."Selamat pagi?" sapa Cecil ramah pada seluruh karyawan yang ditemuinya di lobi. Itu adalah kebiasaan Cecil yang sudah ia geluti sejak masih menjadi pekerja di kantor ini, hingga sekarang menjadi istri seorang bos."Pagi," Devan ikut menyapa, meski tak ada senyum di sana. Wajahnya tampak datar, tapi bagi para karyawan, ini adalah salah satu momen langkah. Sungguh keajaiban dunia. Ada apa dengan Devan pagi ini?Untuk sesaat, para karyawan terbengong dengan pandangan saling tatap. Lalu detik berikutnya, mereka kompak menyunggingkan senyum dan menunduk hormat."Pagi, Pak Devan, Bu Cecil." balas para karyawan ramah pada keduanya yang berjalan beriringan. Tumben sekali mereka berangkat bareng?Se
Usai menikmati bakso mercon, Cecil dan Devan melajukan motor menuju bazar nostalgia. Ya, benar sekali. Kedatangan mereka langsung disambut oleh jajaran penjual jajanan pinggir jalan. Tidak terkecuali sempol dan sate aci. Cecil benar-benar bahagia sekarang."Mas, aku mau itu." Cecil menunjuk kue leker yang masih dimasak dengan arang. Devan sendiri hanya mengangguk membiarkan Cecil memilih jajanan yang dia suka."Beli saja sesukamu." Devan menyerahkan dompetnya pada Cecil. Dengan senang hati Cecil menerimanya.Saat mencari uang kecil, Cecil sama sekali tidak menemukan. 'Huft! Dasar orang kaya!' Cecil menggerutu dalam hati."Mas, pakai uangku saja lah. Punyamu gak ada yang kecil." Keluhnya sambil menyerahkan dompet pada Devan."Belikan saja semuanya. Katanya mau borong? Entar bagi sama orang rumah dan satpam kompleks."Cecil memutar bola matanya. "Lima puluh ribu? Yang benar saja. Kamu bawa motor, masak aku yang repot bawa ini semua? Aku belom cobain jajan lain."Devan mengacak rambut C
"Mas, aku sumpahin ban motormu bocor!" teriak Cecil dengan emosi naik turun. Kali ini, Devan benar-benar berhasil memainkan adrenalinnya. Mulut Cecil bahkan sampai komat kamit merapal doa, saat Devan dengan lihainya menyalip tronton-tronton di depan mereka."Oke, oke. Aku turunin kecepatannya." Devan yang awalnya ingin mengerjai Cecil jadi tak tega, saat melirik kaca spion motor dan mendapati istrinya sangat ketakutan. Perlahan, dia mulai mengurangi kecepatan lajunya.Saat motor bergerak lebih lambat, Cecil bisa menarik napas lega. Dia juga mengedarkan pandangan ke arah pengendara lain."Naik motor seru, Mas. Jadi ingat waktu sekolah." Cecil bercerita dengan antusias. Tapi satu pertanyaan Devan, berhasil membuatnya pucat."Dibonceng siapa kamu. Kamu kan gak bisa motoran." Grep! Cecil menutup mulutnya rapat-rapat. Niatnya curhat, malah jadi boomerang."Eh, anu." Mata Cecil bergerak gelisah. Otaknya dipaksa keras untuk berpikir jawabannya."Anu apa? Dibonceng siapa?" ulang Devan membuat
Devan berjalan menyusuri rumahnya untuk mencari keberadaan Cecil, tapi gadis itu belum juga ditemukan.Untuk sesaat, pria itu menghela napas panjang, lalu senyumnya terbit kala melihat pintu belakang yang terbuka. Feeling-nya kuat mengatakan jika yang dia cari, ada di taman belakang halaman rumah.Tepat dugaan. Di sana, Cecil tampak duduk di sebuah ayunan yang dikelilingi bunga-bunga mawar yang indah. Hangat mentari juga menyambut kedatangan Devan yang berjalan menghampiri Cecil."Kamu di sini? Pantes, aku cari ke depan gak ketemu." Devan menghentikan ayunan, kemudian duduk di hadapan Cecil yang menatapnya jengah."Ngapain cari aku? Aku ke sini, mau cari angin segar."Cecil membuang pandangannya, menatap bunga-bunga yang tumbuh bermekaran.Devan yang merasa diabaikan pun jengah sendiri. "Cil, lihat sini kek. Suamimu mau ngomong, tapi kamu malah kabur."Cecil yang sadar jika Devan tengah serius, dia mulai menegapkan tubuhnya. Bersiap, mendengar petuah Devan. "Mau ngomong apa? Aku sudah
Pagi yang cerah. Seusai sarapan bersama, Devan mengajak Cecil kembali ke kamar. Tentu hari ini Devan tidak akan membiarkan Cecil menganggur barang sedetik."Ma, Devan sama Cecil pamit ke kamar ya."Cecil menoleh pada Devan penuh kewaspadaan. Lelaki itu pasti sudah menyusun rencana sedemikian rupa.Cecil menghela napas. Menatap Utari seolah meminta pertolongan. "Kamu duluan saja, Mas. Aku masih mau ngobrol sama Mama."Utari yang merasa namanya dibawa-bawa pun mengangguk mengiyakan. Kasihan juga Cecil kalau sampai dikurung di kamar. Sudah pasti, Devan akan menjadikan gadis itu sebagai makanan penutup. Apalagi, Devan sudah bilang jika hari ini dia cuti. Sudah pasti menantunya tidak akan keluar kamar."Kamu duluan saja, Van. Mama juga mau minta pendapat Cecil."Bukannya beranjak, Devan malah bertopang dagu dengan wajah ditekuk. Ditatapnya istri dan sang mama bergantian. "Aku tungguin di sini. Jangan lama-lama ngobrolnya. Aku butuh Cecil."Utari berdecak. Menggeleng heran dengan kepala bat
Usai mandi bersama yang berakhir dengan makian panjang Cecilia, Devan keluar dengan mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Cecil sendiri hanya bisa menghela napas ketika suaminya pergi setelah mendapatkan kenikmatannya kembali."Dasar suami gak peka! Istrinya belum selesai malah ditinggal." gerutu Cecilia saat perempuan itu asik berendam di bathtub. Rendaman air hangat, sedikit banyaknya bisa membantu Cecilia melemaskan ototnya yang kaku.Ceklek.Cecilia keluar setelah puas berendam. Dia juga sudah berganti dengan gaun rumahan.Cecil berjalan menuju meja riasnya. Tak sengaja, pandangan Devan dan Cecil bersitatap. Devan yang berduduk santai di tepi ranjang, hanya memandang gadis itu sesaat, sebelum kembali berkutat dengan ponselnya."Aku sudah mengabari Zaki, kalau kita hari ini gak ke kantor. Aku juga sudah kasih tahu Laras, biar gak usah jemput kamu lagi karena mulai besok, kamu berangkat sama aku."Ucapan Devan menghentikan Cecilia yang memoles wajahnya dengan bedak. Dengan cep
Keesokan paginya, Cecil sudah bersiap dengan setelan kemeja kantor dipadu dengan blazer. Gadis itu mematut dirinya di cermin, sambil menyisir rambutnya yang hampir kering. Sementara Devan sendiri baru bangun dari tidur lelapnya.Ingin menyibak selimut, Tapi urung setelah melihat bekas kemerahan yang dia buat semalam. Leher jenjang itu, dapat dia lihat dengan jelas dari pantulan cemin. Mengingat itu, Devan sangat bangga dengan dirinya yang berhasil menato tubuh Cecilia."Cil, kemarilah!" Cecil yang merasa terpanggil pun bergegas mempercepat gerakannya. Setelah rambutnya tersisir rapi, barulah dia berjalan menghampiri Devan."Ada apa?" Matanya penuh selidik, menatap pria yang semalam tengah menganghangatkan ranjangnya."Kamu mau ke mana, rapi begini? Di rumah saja, gak usah kerja hari ini."Cecil membuka mulutnya. Perempuan itu hampir melontarkan sumpah serapah. "Kenapa? Kenapa aku gak boleh kerja? Aku gak sakit, kok. Àku bisa ke kantor.Devan menunjuk leher Cecil dengan jari telunjuk