Entar sudah berapa kali Danita mondar-mandir di depan ruang tamu. Dia melihat jam di tangan, sudah hampir Isya. Tetapi Darren belum ada kabar. Danita sudah menelepon Amarudin, katanya Darren sudah tidak ada di kantor. Perasaan khawatir pun tiba-tiba saja menyeruak. Bagaimana kalau misalkan mereka berbuat salah atau di luar batas? Karena ingin segera menikah atau lebih buruknya ada sesuatu yang terjadi antara Darren beserta Aluna. Sang paruh baya itu jadi insecure sendiri, karena semua atas dasar penglihatannya kala di mall. Namun orang yang diutus untuk mengikuti mereka mengatakan keduanya berbelanja mengelilingi mall. Itu artinya Darren maupun Aluna baik-baik saja. Lantas, kenapa anaknya tidak juga pulang? Danita sudah mengirimkan pesan bahkan menelepon anaknya, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Ini semakin memperburuk suasana hati dan pikiran Danita. Dia tidak bisa berdiam diri lagi dan segera menelepon Amarudin untuk mencari tahu di mana keberadaan anaknya. Tetapi baru juga
"Alika?" tanya Aluna saat melihat ponselnya berdering.Dia sampai lupa untuk bercerita perihal Darren kepada temannya itu. Tanpa berpikir dua kali, akhirnya Aluna pun menerima panggilan dari Alika."Halo, Alika?" "Gawat, Aluna!" seru Alika langsung menyela perkataan dari temannya itu."Gawat? Gawat apa?" tanya Aluna penasaran dan juga kebingungan.Alika pun langsung menceritakan perihal Amar yang tiba-tiba saja datang ke ruang kerja Alika, bahkan pria itu sampai mengancam Alika kalau tidak mau membantunya berhubungan dengan Aluna. Mendengarnya Aluna sangat kaget. Dia sampai menggeleng-gelengkan kepala, tidak menyangka dengan semua itu.Ternyata memang Amar itu terobsesi kepadanya, bukan hanya karena alasan suka atau mencintai. Dia sudah benar-benar gila. "Sudah, jangan ikuti kemauannya." "Tapi masalahnya elo tidak boleh bermain-main dengan orang seperti Amar. Walaupun dia pendiam, biasanya orang seperti itu justru membahayakan. Yang gue takutkan, dia itu akan mencelakai elo," teran
"Gue tuh udah coba tanya dia maunya apa. Gue juga udah berusaha deketin ibunya, bersikap sewajarnya saja. Bahkan gue udah nawarin untuk bayarin utang-utang mereka, tapi Aluna marah-marah sama gue." "Ya jelaslah, dia marah karena yang diharapkan itu bukan cuma uangnya saja." "Loh, perjanjian pernikahan gue juga dengan Aluna atas dasar utang-utangnya itu," ucap Darren masih berusaha mempertahankan pendapatnya sendiri. Ya, yang tahu tentang perjanjian pernikahan dan Aluna adalah sebagai istri bayaran hanyalah Amarudin. Dia juga meminta sahabatnya itu untuk bungkam. Ini demi kebahagiaan Danita, karena Amarudin tahu sendiri seperti apa kisah cinta Darren yang begitu pelit. Bahkan pria itu kalau saja tidak disuruh menikah, dia tidak akan pernah mau menjalin hubungan rumah tangga sampai kapan pun. Hanya saja, karena ada Danita, barulah Darren melakukan ini semua. "Iya, seperti yang lo bilang sebelumnya, kan? Aluna itu tetap bersikukuh menolakku walaupun memberinya satu miliar. Tapi kar
"Buat lo pernah jatuh cinta? Lo berikan perhatian-perhatian yang begitu tulus kepada Monica. Itu adalah salah satu cara untuk mendapatkan simpati seorang gadis seperti Aluna." Mendengar nama Monica yang disebutkan, wajah Darren langsung berubah dingin. Ada kebencian yang terkilat di matanya. Walaupun hatinya masih mencintai Monica, tetapi luka yang diberikan oleh wanita itu juga cukup dalam. Hingga sampai bertahun-tahun lamanya sang pria belum juga membuka hati, malah membuat benteng pertahanan yang sangat tinggi agar tidak ada satu pun perasaan yang bisa masuk menyentuh hatinya. "Tolong jangan bicarakan dia lagi. Gue nggak mau. Kalau gue memberikan perhatian seperti Monica dulu, itu sama halnya gue membuat Aluna jatuh cinta sama gue.""Bukankah itu lebih bagus dibandingkan lo malah pura-pura menikah dan menyewanya menjadi istri bayaran? Itu akan menyakitinya, lo akan membuat Aluna janda dengan status perawan. Itu akan lebih menyakitkan terutama buat Aluna. Lo tahu kan, rumah tang
"Aluna, apa kamu baik-baik saja atau kamu sakit?" tanya Darren akhirnya mengajukan pertanyaan. Dia tidak suka melihat Aluna yang diam seperti ini. Rasanya aneh saja. Biasanya gadis itu selalu mengomel dan marah-marah kepada Adrian, tetapi sekarang Aluna seperti seseorang yang pendiam. Sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun sedari mereka berangkat dengan tatapan yang tak bisa diartikan oleh sang pria. Darren benar-benar penasaran apa yang sebenarnya dipikirkan oleh gadis itu. Dia juga bertanya-tanya, apa mungkin Aluna sedang menghadapi masalah besar, tetapi tidak mau bercerita kepadanya. Memikirkannya saja membuat Darren merasa pusing sendiri. Dia tidak tahan jika terus-terusan memendam pertanyaan tanpa ada jawaban yang pasti. "Tidak, Pak. Saya baik-baik saja," jawab gadis itu, langsung menoleh kembali ke jendela, menatap jalanan. Entah apa yang menarik di sana, tetapi menurut Darren tidak ada sesuatu yang sama sekali bisa menjadi pusat perhatian untuk Darren. "Kalau kamu
Aluna menggeram kesal. Dia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Entah kenapa baru saja dia berusaha untuk bersikap baik kepada Darren, tetapi pria ini selalu saja membuat masalah dan membuat gadis itu emosi.Bagaimana tidak? Sebelumnya Darren tidak pernah mengatakan kalau dia dibawa sebagai calon istri, pantas saja tiba-tiba sang pria mengajaknya berbelanja dan memberikan banyak barang, jika tak ada tujuannya yang harus dilakukan oleh Aluna. Gadis itu pun kesal bukan main. Dia tidak kuat lagi jika hanya diam dan menerima semua perlakuan Darren. "Kenapa Bapak tidak bilang, sih, kalau ada rencana seperti ini?!" tanya Aluna dengan nada tinggi. Darren tampak mengernyit dengan alis yang bertautan. Wajahnya juga terlihat marah melihat reaksi Aluna yang berubah drastis seperti itu. Darren jadi kebingungan sendiri. Padahal baru saja beberapa menit yang lalu gadis itu tampak baik dan lemah lembut, tetapi sekarang sudah kembali ke sifat aslinya. "Kenapa sih kamu tiba-tiba marah lagi? Mem
"Jawaban macam apa itu? Kenapa kamu tidak pernah serius ketika aku bertanya serius?" tanya Darren, dia benar-benar tidak suka dengan reaksi gadis di depannya ini. Aluna yang sebelumnya sedang menikmati hidangan langsung terhenti. Dia menatap bosnya dengan sinis. 'Apalagi yang diinginkan pria tua ini?!'Dia benar-benar tidak habis pikir. Ada saja masalah yang ditimbulkan Darren, sampai mereka harus terus-terusan bertengkar hanya masalah sepele. Lagian jawaban Aluna menurutnya demokratis. Kalau memang Darren ingin tahu, cari tahu sendiri. Lagi pula Aluna tidak berniat memberitahu apa saja informasi pribadinya. "Loh, memangnya apa yang salah, Pak? Saya kan sudah menjawab, kalau memang Bapak ingin tahu, cari tahu saja sendiri." Daren menghela napas kasar. Dia menyandarkan punggungnya sembari menatap gadis itu dengan tajam. Entah bagaimana mengatur gadis ini. Dia benar-benar hampir kewalahan, tidak mengerti lagi cara berpikir Aluna yang berbeda dengan gadis-gadis lainnya. "Apa susahny
Selama perjalanan, Darren benar-benar sama sekali tidak memedulikan Aluna. Pria itu memilih untuk membaca majalah, menonton televisi atau makan. Tetapi berbeda sekali dengan Aluna. Dia sangat bosan, tidak tahu harus melakukan apa. Mau menggunakan ponsel pun takut malah ditegur, jadi akhirnya gadis itu memilih untuk berdiam diri. Lalu, karena terlalu lama berdiam akhirnya tanpa sadar Aluna tertidur, karena posisinya yang tidak dekat jendela gadis itu tak sengaja menyandarkan kepalanya di bahu Darren. Sang pria terkesiap, lalu menoleh dan menyadari jika Aluna itu sedang menyandar ke bahunya. Beberapa kali dia berusaha untuk menyingkirkan kepala Aluna, tetapi sayangnya karena Aluna terlalu nyenyak, gadis itu kembali bersandar di bahu Darren. Akhirnya pria itu mau tidak mau menyerah dan membiarkan sang gadis tidur di bahunya. "Dasar gadis aneh! Dia bisa tidur di saat seperti ini? Apalagi sampai berani menyandar di bahu pria yang belum menjadi suaminya. Bagaimana kalau itu bukan aku? Bi
"Lo tahu ngga? Tadi itu Bu Aluna keluar dari ruangan Pak Darren dengan wajah marah. Terus tak lama kemudian Pak Darren juga keluar, dia malah kebingungan." Tak sengaja Alika mendengar pembicaraan salah satu rekan kerjanya yang tempat duduknya bersebelahan dengan dia. Sontak Alika pun menoleh dengan alis saling bertautan. "Tunggu, tunggu, tunggu! Kalian berdua lagi ngomongin apa?" tanya Alika membuat kedua wanita itu langsung menoleh. "Ini temen lo tuh, Aluna. Katanya udah keluar dari kantor Pak Darren dengan wajah marah. Apa mereka bertengkar, ya?" tanya salah satu di antara mereka kepada Alika, membuat sang gadis kaget. "Salah lihat kali," ucap Alika, karena nggak mau sampai salah bicara atau diam saja. Takut jika rekan-rekan kerjanya berpikiran macam-macam terhadap dua orang itu. "Mana mungkin salah lihat! Orang gue lihat sendiri, kok," timpal salah satunya yang sedang berdiri. "Bu Aluna kan teman lo, apa nggak sebaiknya lo cari tahu? Jangan-jangan mereka sedang bertengkar ata
Darren dan Aluna saling pandang. Pria itu tampaknya benar-benar baru sadar apa yang sudah dikatakannya barusan. Apalagi melihat Aluna yang marah dengan wajah memerah, dia itu juga melihat kalau sang gadis mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ini bahaya. Jika seorang Aluna bisa marah seperti ini, artinya dia sudah keterlaluan mengatakan hal tadi. "Aluna, dengarkan aku dulu. Tadi itu--" "Nggak, Pak. Cukup! Saya sudah mengerti. Bapak menilai saya serendah itu. Padahal Bapak sendiri yang membuat aturan, tapi Bapak yang melanggarnya. Harusnya Bapak sadar, kalau bukan karena saya mungkin saat ini Bapak masih dikejar-kejar untuk mencari jodoh." "Iya, aku tadi salah. Aku benar-benar minta maaf dan tidak sengaja mengatakan itu." "Tidak sengaja, Pak? Bapak spontan mengatakan itu sambil tertawa. Itu membuat harga diri saya diinjak-injak." "Loh, aku tidak menginjak harga dirimu. Aku benar-benar menghormatimu, bahkan aku khawatir terjadi sesuatu kepadamu. Sampai mencari ke mana-mana."Al
Darren langsung memundurkan tubuhnya, tapi dia masih menatap gadis itu dengan tajam. Entah kenapa reaksi yang diberikan oleh Darren membuat Aluna ketakutan sendiri. Mungkinkah pria itu tahu kalau dirinya tidak ada di pantry saat itu. "Jangan bohong! Aku tadi ke pantry dan tidak ada siapa-siapa." Seketika Aluna hanya bisa terdiam, suaranya tidak keluar sama sekali menandakan kalau dirinya benar-benar sudah terpojok. Gadis itu merutuki diri, tapi juga tidak tahu harus berbuat apa-apa. Sebab dirinya malu jika berhadapan dengan Darren. Saat ini saja kalau Darren tidak memberikan ekspresi marah, mungkin kelebatan saat mereka melakukan adegan ciuman itu akan kembali terulang. "Katakan, Aluna. Kenapa kamu menghindariku? Apa gara-gara aku menciummu?"Tubuh Aluna menegang. Wajahnya saat ini benar-benar memerah. Haruskah Darren mengatakan hal seperti itu di depan gadis yang belum pernah tersentuh oleh pria manapun? Ini memalukan untuk Aluna. Gadis itu sampai menunduk karena malu. Melihat r
Aluna memejamkan mata. Benar kata Alika. Dia tidak mungkin menghindari Darren, sebab satu ruangan dan juga satu rumah. Akhirnya Aluna menghela napas panjang sembari memejamkan mata. Berusaha untuk tenang. Ini menyangkut temannya, tidak mungkin kalau misalkan dia terus-terusan menghindar dari Darren, yang akan kena tetap saja Alika. "Oke, kalau gitu gue harus kembali ke tempat gue." "Nah, bagus seperti itu! Ya, sudahlah. Lagian kalau misalkan lo malu sama suami lo sendiri, diam saja. Lo tinggal berusaha untuk ngelupain kejadian itu.""Ya, nggak bisa kayak gitu dong, Alika.""Ya, terus gue harus gimana? Lo kan nggak bisa tiap hari menghindar. Sudah, pokoknya lo hadapin kenyataan itu. Lagian kan baru satu kali, mungkin ada yang kedua, yang ketiga." "Apa?!" Aluna melotot, kembali terperangah. Membuat Alika tertawa. Setelah itu sang gadis pun memilih untuk pergi dari hadapan temannya. Dia harus menyelesaikan tugas. Kalau misalkan tugasnya diselesaikan oleh orang lain, bisa-bisa akan me
Entah sudah berapa lama Darren mondar-mandir di depan Alika. Sebenarnya ingin mengajukan protes dan keluar dari ruangan ini, tentu saja karena pekerjaannya sudah banyak. Bahkan makan siangnya tadi tidak selesai sebab Darren tiba-tiba saja menyuruhnya ke kantor. Sekarang malah melihat bosnya mondar-mandir tak jelas dengan wajah bingung serta kusut.Darren mengusap kasar rambutnya dan mengerang keras. Alika sampai terduduk tega karena kaget mendengar itu. Sang pria menoleh kepada Alika, lalu berkacak pinggang. Membuat gadis itu meneguk saliva dengan susah payah, karena takut jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. "Begini saja, kamu pastikan Aluna pergi ke mana." "Apa?! Jadi, maksudnya saya harus mencari Aluna?""Betul!" "Tapi, Pak. Bagaimana dengan kerjaan saya?" "Gampang, aku akan menyuruh orang untuk mengerjakan sisa kerjaanmu." "Tapi, Pak--" "Diam, Alika! Jangan protes apa-apa lagi. Kamu dengar kan perkataanku tempo hari? Kamu harus melakukan apa saja agar memberikan informa
Tak lama kemudian akhirnya Alika pun datang ke kantor Darren. Dia melihat ke sekitar, tak mendapati Aluna. Gadis itu langsung meneguk saliva dengan susah payah, ini pasti gara-gara Aluna yang tiba-tiba saja pergi saat dihampiri oleh bosnya. Dia benar-benar merutuki, kenapa harus dirinya yang terlibat dalam masalah ini? Namun, mau bagaimana lagi? Menolak pun rasanya tak mungkin. Bisa-bisa pria itu akan memecatnya dan mem-blacklist Alika dari semua perusahaan yang ada di kota ini. "Duduk!" seru Darren, membuat Alika dengan rasa takut. Wajahnya tampak ketakutan dengan tubuh yang bergetar."Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?" Alika pura-pura menggelengkan kepala. Walaupun dia tahu, Alika tidak mau sampai salah bicara atau temannya akan dalam masalah lagi. "Baiklah, langsung saja to the point. Ke mana Aluna pergi?" "Toilet," jawab Alika langsung, membuat Darren mengerjapkan mata berkali-kali. Tak percaya. "Toilet?" tanya Darren lagi, yang langsung diangguki oleh gadis itu."Tapi, a
Aluna tiba-tiba saja menegang, keringat dingin bermunculan di telapak tangan dan juga sulit sekali untuk meneguk saliva. Langkah Darren semakin pasti mendekati Aluna. Dia jadi bingung harus melakukan apa, sampai tiba-tiba satu ide terlintas. "Gue mau ke toilet." Aluna tiba-tiba saja berdiri dan pergi dari hadapan Alika, membuat gadis itu syok. Begitu juga dengan Darren yang tiba-tiba saja melihat Aluna pergi dari sana. "Loh, lo mau ke mana?!" seru Alika melihat Aluna begitu cepat berjalan menjauh darinya. Sementara itu Darren juga dengan cepat berjalan mendekat kepada Alika. "Istriku mau ke mana?" tanya Darren yang tiba-tiba saja membuat Alika kaget sembari duduk dengan wajah ketakutan. "Dia mau ke mana?" tanya Darren lagi memastikan, membuat Alika tiba-tiba saja terserang syok. "Kamu kenapa diam saja?! Aku bertanya kepadamu!" seru Darren yang berhasil membuat Alika terkesiap. "Anu ... dia ke toilet," ucap Alika dengan cepat, membuat Darren mengalami syok, lalu tanpa mengataka
"Lo jangan diem aja kayak gini, dong! Gue kan jadi bingung harus ngapain. Sebenarnya apa yang terjadi, sih? Kalau misal lo diam aja, ya udah deh gue pergi," ujar Alika, akhirnya kesel sendiri karena dari tadi Aluna hanya diam saja.Saat gadis itu hendak berdiri, Aluna langsung menarik tangan temannya untuk duduk."Oke, oke. Gue akan cerita," ucap Aluna membuat Alika akhirnya bisa bernapas lega. Aluna memberikan isyarat agar Alika mendekat kepadanya, lalu dengan perasaan campur aduk Aluna membisikkan sesuatu kepada gadis itu.Bola mata Alika membulat dengan mulut terperangah. "Lo beneran habis--""Sssttt!" Aluna langsung berdesis sembari menempelkan jari telunjuk ke bibir."Jangan keras-keras!" seru Aluna berusaha untuk melihat ke sekitar. Untunglah orang-orang yang sedang sibuk mengambil makan siangnya, jadi hanya sebagian yang menoleh lalu kembali ke aktivitas semula. Alika masih tampak syok, tapi dia tetap tenang dan mengikuti semua yang diminta oleh temannya. "Sudah jangan dis
Karyawan itu sudah keluar untuk tanda tangan, tetapi Aluna masih enggan untuk masuk ke ruangan Darren. Gadis itu merutuki diri. Kenapa juga harus satu lingkup ruangan dan hanya disekat tembok kecil yang terbuat dari kayu itu? Sama saja bohong!Dia benar-benar harus bisa bertemu dengan Darren. Sementara saat ini tangan dan tubuhnya terasa dingin. Jantung juga berdetak dengan sangat kencang, karena benaknya tiba-tiba saja teringat dengan kejadian tadi. Gadis itu sampai memukul-mukul kepalanya sendiri."Apa sih yang sudah aku lakukan tadi?! Ngapain juga aku ciuman sama Pak Darren?" gumamnya dengan perasaan yang sangat malu. Sungguh, ini pertama baginya. Walaupun memang Darren adalah suami Aluna, tetapi mereka sudah berjanji untuk tidak saling menyentuh. Ini benar-benar membuat dirinya kikuk sekali.Untungnya saat dia merasa kacau, tiba-tiba saja bel istirahat berbunyi. Dengan cepat Aluna pergi ke kantin. Dia sama sekali tidak masuk ke dalam untuk membereskan beberapa berkas. Sekarang ya