Ruang santai begitu penuh dengan kehadiran dua keluarga yang berkumpul. Begitu Yuki menampakkan diri, dia bisa melihat tatapan tak senang dari semua orang.
Kecuali seorang lelaki tua, yang tak lain kakek Dante–Praja Atmaja."Duduklah," pinta Praja. "Jadi, Tuan Larsson, apa yang Anda inginkan sekarang? Bukankah semalam masalah sudah jelas, jika kami akan memperbaiki nama baik kalian yang tercoreng?" Praja memulai pembicaraan, menatap mantan calon besannya lekat setelah semua orang telah duduk. "Seharusnya begitu, tapi Zara, anakku … memilih nama baik kami tercoreng, asalkan dia bisa menagih janji yang Anda ucapkan untuk menikahkan Zara dan Dante." Larsson berkata tegas–mimik wajahnya begitu kaku seolah menyimpan banyak rasa malu. "Ayah, benarkah itu? Kalau iya, seharusnya Ayah tidak membiarkan hal ini terjadi. Keluarga Atmaja adalah orang berprinsip yang tidak pernah ingkar janji. Ayah harus menepati janji menikahkan mereka," tutur Chantria menyela. Suasana begitu tegang, Yuki yang tidak tenang membuat Aiden menangis. Wanita itu tampak kikuk saat ditatap semua orang, lalu berusaha menenangkan Aiden agar tak rewel lagi. "Aku yakin Kakek tidak pernah menjanjikan hal tersebut," ungkap Dante percaya diri–tersenyum tipis. "Apa kamu menyebutku pendusta, Dante?" Larsson menatap tajam. Dante menggeleng pelan, lalu menoleh pada kakeknya. "Kek." Panggilan Dante membuat Praja mengangguk membenarkan. "Aku tidak pernah terlibat dalam urusan perjodohan dengan siapapun." Dia menatap Zara lekat. "Nah, Zara, bisa kamu katakan siapa yang menjanjikan hal itu padamu?" Zara salah tingkah–menatap keluarga Atmaja bergantian dengan gugup. "Mau itu siapa, mereka tetap keluarga Atmaja. Seharusnya kalian tak saling lempar kesalahan dan menghindar dari janji. Kalian harus bersikap tegas, mengusir istri Dante yang sekarang untuk menjadikan Zara-ku menantu kalian!" bentak Larsson menghardik untuk menyelamatkan sang anak yang tidak bisa bicara. Hal ini membuat Dante berdiri. "Tuan Larsson, jika Anda bersikeras memasukkan Zara di keluarga ini, saya jadi curiga Anda memiliki maksud lain. Apakah ini hanya sebatas pernikahan biasa yang Anda idam-idamkan? Atau malah ada maksud terselubung?" Suasana tampak tegang seketika. Hanya Praja yang malah terlihat santai–dengan sesekali terkekeh kecil. "Dante, jaga sikapmu!" hardik Wira memarahi sang anak. Chantria ingin ikut menyela. Tapi, dia terganggu dengan rengekan bayi di sebelahnya. Dia menoleh untuk menatap Yuki tajam, yang masih tak menenangkan bayi–baginya."Tak bisakah kamu membuat bayimu terdiam sebentar, hah?" ketus Chantria. Yuki merasa bersalah. "Maaf, Ma. Hanya saja bayiku sedang haus dan–" "Kalau begitu cepat susui, kenapa malah duduk diam di sini? Kehadiranmu bahkan tak ada gunanya, kamu boleh pergi sekarang!" usir Chantria kesal. Yuki menunduk, menyembunyikan sorot kesedihan di matanya. Dia menarik napasnya dalam sebelum kembali bersikap percaya diri. "Kalau begitu, ayo Sayang!" ajaknya menatap Dante kemudian. Chantria melihat itu semakin jengkel. "Dante harus tinggal, dia masih ada urusan di sini." "Maaf, Ma. Hanya saja, urusan anakku lebih penting dari ini," tutur Dante menyela. Dia mendekat pada Yuki. "Aiden rewel karena semalam belum minum susu. Kami lupa membawa stok susunya, dan berniat membelinya sebelum Kakek memanggil kami tadi." "Membeli susu?" beo Chantria mengerutkan alis. "Kalian memberikan susu formula pada Aiden?" teriaknya nyaring. Melihat Dante mengangguk, membuat Chantria semakin berang. Dia bertambah benci pada Yuki dan terus menatapnya dengan sorot mata tajam. "Tch, ibu macam apa yang membiarkan anaknya tidak minum asi dan memberikannya susu formula?" sindirnya ketus. "Kamu bahkan tak bisa menjadi ibu yang baik, bagaimana bisa menjadi menantu keluarga Atmaja?" "Ma!" keluh Dante. Lagi-lagi, Yuki tak bisa membantah. Toh nyatanya dia memang tak bisa menyusui. Lagipula, bagaimana dia bisa menyusui jika Aiden bukanlah anaknya? 'Andai semua orang tahu?' pikir Yuki. Sentuhan lembut di bahu Yuki membuatnya tersadar. Saat menoleh, dia melihat Dante di sampingnya–tengah merangkulnya. Seketika hati Yuki menghangat dengan sikap Dante. Dan sikap percaya dirinya kembali. "Definisi ibu yang baik bukan hanya diukur dari menyusuinya dengan asi atau tidak. Anda telah salah menilai saya dengan hal itu. Kenapa Anda tak memberikan waktu untuk menjelaskan, jika saya mengalami sebuah kondisi yang tidak bisa memberikan asi pada anak saya? Lagipula, entah baik atau tidak, saya sudah menjadi menantu Anda sekarang!"Ucapan tegas penuh percaya diri Yuki membuat semua orang tercengang. Tak menyangka wanita yang baru saja masuk di keluarga Atmaja itu, berani menentang nyonya rumah. Melihat wajah pias ibunya, entah kenapa membuat Dante senang. Dia bangga pada Yuki yang menjalani peran antagonis di keluarganya. "Jadi, Mama, dengar apa yang dikatakan istriku? Aku tak ingin mengulangi semua kata-kata itu. Kami pamit!" tutur Dante, yang langsung merangkul Yuki dan membawanya pergi dari sana. "Dante!" Tetapi, Zara tak membiarkan hal itu terjadi. Wanita itu tiba-tiba berdiri, dengan sebuah gunting di tangannya yang menancap pada pergelangan tangan kirinya. Hal ini membuat semua orang menoleh, dan langsung membelalak lebar. "Jika kamu meninggalkanku dan membatalkan perjodohan kita, lebih baik aku mati saja!"Yuki bisa merasakan, genggaman tangan Dante semakin erat. Saat dia mendongak, dia menyadari jika raut wajah Dante berubah menjadi geram. Sebelum lelaki itu menghardik meluapkan emosinya, Yuki dengan cepat berbalik dan menatap Zara tajam. "Kamu mengancam suamiku, Zara?" tanyanya cepat–menghentikan Dante yang sudah membuka mulut. "Aku tak ada urusannya denganmu, lebih baik enyahlah!" hardik Zara masih keras kepala. Tampak, orang tua Zara berusaha menenangkan. Tetapi, Zara langsung mundur dan keukeuh menempelkan gunting pada pergelangan tangannya. Sedangkan Chantria, ikut gugup. Begitu pula dengan Wira yang ikut tegang. Hanya Praja Atmaja yang masih duduk, seolah tak terusik dengan kejadian di hadapannya. Yuki mendongak angkuh. "Kamu salah, tentu saja ini ada urusannya denganku. Dante adalah suamiku yang sah!" Dia menekan kata-kata terakhir dengan menggeram rendah. "Apapun yang mengusik Dante, maka itu akan mengusikku juga." Wanita itu tak membiarkan Zara menjawab, langsung seger
Begitu tiba di rumah sakit, Yuki bisa melihat semua orang mondar-mandir dengan panik. Mereka sampai tak menyadari kedatangannya dan Dante, andai saja Dante tidak berdehem. "Jika ada hal buruk yang menimpa Zara, aku tak segan untuk menjebloskan istrimu ke penjara, Dante. Dan aku akan menuntut pertanggung jawabanmu!" hardik Giovani Larsson dengan tatapan tajam. "Anda terlalu berlebihan, Tuan Larsson. Aku yakin Zara baik-baik saja," kata Dante penuh percaya diri–terus menggenggam tangan Yuki seolah tak membiarkan wanita itu jauh darinya. "Tch, mau Zara selamat atau tidak, aku lebih suka dia dipenjara saja!" decak Chantria ikut kesal. Yuki bergeming, hanya diam tanpa sedih sedikit pun dikala semua orang menyalahkan dirinya. Hanya sesekali menarik napasnya dalam, merasa bosan karena harus menunggu. Mau bagaimanapun, pikiran Yuki terbang pada Aideen sekarang. 'Apakah bocah itu masih rewel?' pikirnya tak tenang. Waktu berlalu dalam kesunyian, yang membuat suasana semakin tegang. Tetapi
Mendengar pernyataan Yuki, Dante lagi-lagi terkekeh. Kembali merangkul Yuki, dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Begitu dia telah duduk di balik kemudi, Dante mengatakan, "Aku akan pergi bekerja mulai besok. Kakek menyuruhku untuk datang ke perusahaan. Untuk seterusnya, mungkin kamu akan berada di rumah tanpaku."Yuki yang tadinya tegang, mulai bernapas lega. "Kukira kamu mau pergi meninggalkanku untuk waktu yang lama. Jika hanya dari pagi sampai sore, tenang saja. Aku akan baik-baik saja. Jangan remehkan aku, aku bisa mengatasi semuanya," tuturnya tersenyum. "Aku percaya padamu." Dante reflek mengulurkan tangan, menepuk kepala Yuki pelan. Setelahnya, dia melajukan mobilnya meninggalkan rumah sakit. Dante mengajak Yuki mampir ke swalayan, untuk membelikan perlengkapan Aiden yang belum sempat dibeli kemarin. "Tapi, bagaimana dengan Aiden. Jika dia rewel lagi gimana?" tanya Yuki yang masih saja cemas, memikirkan anaknya. "Aku sudah menelpon rumah. Aiden tak lagi rewel dan kini sed
"Dasar anak tidak tahu diuntung! Dibiayai mahal-mahal untuk kuliah, kamu bukannya belajar, malah membawa bayi! Jika kamu tidak pintar, setidaknya jangan bawa aib dalam keluarga!" Teriakan lantang penuh amarah itu terdengar menggema di ruangan luas yang hanya berisi empat orang. Satu-satunya lelaki yang berada di sana, tampak begitu marah dengan dada naik turun akibat napasnya yang menderu. Sebagai kepala keluarga, dia merasa dipermalukan dengan kelakuan Yuki, putrinya. Sementara itu, Yuki terus saja berlutut di hadapan ayahnya. Dia terus saja menangis terisak sambil menggendong bayi dalam pelukannya. Bahkan, dia tidak mempedulikan penampilannya yang sudah berantakan akibat air mata dan beberapa luka lebam bekas pukulan. "Ayah, aku mohon … dengarkan penjelasanku dulu," pintanya memohon dan sangat memelas. "Penjelasan apalagi, Yuki? Semuanya sudah jelas jika selama ini kamu memang wanita malam!" Kini ibu tiri Yuki yang berbicara. Wanita paruh baya, yang telah menjadi ibunya hampir
"Astaga, Dante! Lihatlah, gara-gara keinginanmu untuk cepat sampai, kita hampir saja membuat orang kehilangan nyawa!" teriak seorang lelaki yang baru saja keluar dari mobil. Dia tampak menghampiri lelaki bernama Dante yang sudah keluar lebih dulu untuk melihat sang “korban”. Sayangnya, Dante tak menggubris ucapan teman–sekaligus sopir keluarganya itu. "Diamlah, Firman! Cepat bantu aku!" Fokus Dante saat ini adalah untuk menolong seorang wanita yang tergeletak di depannya itu. Terlebih, massa mulai berkumpul, seolah siap menghakimi keduanya.Dante langsung mendekap bayi Aiden yang kini tampak rewel dan menangis histeris. Namun, karena canggung dengan anak kecil, Dante pun menyerahkan bayi tersebut pada Firman. Keduanya bergegas membawa Yuki dan anaknya itu masuk ke dalam mobil. Dengan kecepatan tinggi, mobil dibawa menuju sebuah puskesmas yang terdekat dari sana. *****"Sudah kubilang, aku saja yang menyetir. Kenapa kamu keras kepala? Lihatlah, Dante! Sekarang, kita dalam masalah k
Belum sempat Yuki memproses semuanya, Dante tiba-tiba kembali bertanya, “Apa kamu sudah makan? Kalau belum, ayo kita segera ke restoran.”Yuki dibuat begitu bingung oleh lelaki yang baru dikenalnya ini. Dan, sesuai perkataan Dante, kini mereka pun sudah berada di sebuah restoran. Mereka tampak diam selama beberapa saat untuk makan sore bersama.“Ehem.” Dante yang tak sabar mulai berdehem untuk memulai perbincangan, "Bagaimana, Yuki? Apa kamu setuju jadi istriku?""Dante, apa kamu tidak waras? Apa kamu sadar dengan yang kamu rencanakan saat ini?" Namun, bukannya Yuki yang menjawab, justru Firman-lah yang berbicara. Lelaki itu masih menatap protes ke arah Dante."Tidak bisakah kamu diam sebentar, Firman?" keluh Dante terlihat tidak senang. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Firman. Dia mengambil teleponnya kasar dari meja, lalu berpura-pura sibuk dengan benda persegi panjang tersebut.Melihat temannya itu mulai “tenang”, Dante kembali menatap Yuki. "Di rumahku, saat ini, ada
Plak!! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Dante, begitu kepala keluarga Atmaja muncul. Praja Atmaja, selaku kakek Dante itu menatap cucu kesayangannya dengan sorot mata tajam dan wajah yang begitu dingin. "Apa empat tahun hidup di luar negeri membuatmu lupa akan tata-krama, Dante?!" Tubuh Yuki bergetar. Teriakan amarah yang menggelegar di ruangan itu, membuatnya ingat tentang ayahnya yang mengusirnya kala itu saat dia membawa pulang bayi ke rumah. Jantungnya berdegup kencang, yang membuatnya semakin memeluk tubuh Aiden semakin erat. Peristiwa Dante yang mengumumkan sudah menikah kepada semua tamu undangan, membuat pesta menjadi gempar. Wira–dengan segala sopan santunnya mengusir para tamunya dan mengakhiri pesta dengan cepat. Kini, tinggal keluarga Larsson yang ada di sana sebagai calon besan keluarga Atmaja. "Kakek, maaf. Dante–" Bug!! Dante belum menyelesaikan ucapannya, ketika Praja kembali melayangkan sebuah tinju pada wajah Dante. Praktis, Dante tersungkur dengan sud
"Kamu sudah siap?" tanya Dante melirik ke arah Yuki yang selesai berias. Wanita itu tampak anggun dengan gaun santai berwarna peach, rambutnya yang lurus sebahu diurai dengan indah. Make-upnya sangat tipis, tapi itu sudah menonjolkan kecantikannya yang natural. Penampilan Yuki benar-benar berbeda, tak seperti kemarin yang terlihat lusuh saat Dante menemukannya. Yuki mengangguk, menatap Dante dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Aku sedikit gugup.""Tidak apa, semuanya sudah kita rencanakan. Jika kamu tidak membuat kesalahan, maka tak ada yang mencurigai kita." Dante mendekati Yuki. "Angkat kepalamu, istriku harus menunjukkan sikap yang percaya diri." Sepasang insan yang menjadi suami istri bohongan itu, mulai keluar dari kamar bersamaan. Berjalan bergandengan tangan turun menuju ruang makan. Bisa Dante rasakan, jika beberapa kali Yuki meremas tangannya. Dia hanya memberikan seulas senyum tipis untuk menenangkan wanita itu.Meja persegi itu sudah ramai karena seluruh keluarga ten
Mendengar pernyataan Yuki, Dante lagi-lagi terkekeh. Kembali merangkul Yuki, dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Begitu dia telah duduk di balik kemudi, Dante mengatakan, "Aku akan pergi bekerja mulai besok. Kakek menyuruhku untuk datang ke perusahaan. Untuk seterusnya, mungkin kamu akan berada di rumah tanpaku."Yuki yang tadinya tegang, mulai bernapas lega. "Kukira kamu mau pergi meninggalkanku untuk waktu yang lama. Jika hanya dari pagi sampai sore, tenang saja. Aku akan baik-baik saja. Jangan remehkan aku, aku bisa mengatasi semuanya," tuturnya tersenyum. "Aku percaya padamu." Dante reflek mengulurkan tangan, menepuk kepala Yuki pelan. Setelahnya, dia melajukan mobilnya meninggalkan rumah sakit. Dante mengajak Yuki mampir ke swalayan, untuk membelikan perlengkapan Aiden yang belum sempat dibeli kemarin. "Tapi, bagaimana dengan Aiden. Jika dia rewel lagi gimana?" tanya Yuki yang masih saja cemas, memikirkan anaknya. "Aku sudah menelpon rumah. Aiden tak lagi rewel dan kini sed
Begitu tiba di rumah sakit, Yuki bisa melihat semua orang mondar-mandir dengan panik. Mereka sampai tak menyadari kedatangannya dan Dante, andai saja Dante tidak berdehem. "Jika ada hal buruk yang menimpa Zara, aku tak segan untuk menjebloskan istrimu ke penjara, Dante. Dan aku akan menuntut pertanggung jawabanmu!" hardik Giovani Larsson dengan tatapan tajam. "Anda terlalu berlebihan, Tuan Larsson. Aku yakin Zara baik-baik saja," kata Dante penuh percaya diri–terus menggenggam tangan Yuki seolah tak membiarkan wanita itu jauh darinya. "Tch, mau Zara selamat atau tidak, aku lebih suka dia dipenjara saja!" decak Chantria ikut kesal. Yuki bergeming, hanya diam tanpa sedih sedikit pun dikala semua orang menyalahkan dirinya. Hanya sesekali menarik napasnya dalam, merasa bosan karena harus menunggu. Mau bagaimanapun, pikiran Yuki terbang pada Aideen sekarang. 'Apakah bocah itu masih rewel?' pikirnya tak tenang. Waktu berlalu dalam kesunyian, yang membuat suasana semakin tegang. Tetapi
Yuki bisa merasakan, genggaman tangan Dante semakin erat. Saat dia mendongak, dia menyadari jika raut wajah Dante berubah menjadi geram. Sebelum lelaki itu menghardik meluapkan emosinya, Yuki dengan cepat berbalik dan menatap Zara tajam. "Kamu mengancam suamiku, Zara?" tanyanya cepat–menghentikan Dante yang sudah membuka mulut. "Aku tak ada urusannya denganmu, lebih baik enyahlah!" hardik Zara masih keras kepala. Tampak, orang tua Zara berusaha menenangkan. Tetapi, Zara langsung mundur dan keukeuh menempelkan gunting pada pergelangan tangannya. Sedangkan Chantria, ikut gugup. Begitu pula dengan Wira yang ikut tegang. Hanya Praja Atmaja yang masih duduk, seolah tak terusik dengan kejadian di hadapannya. Yuki mendongak angkuh. "Kamu salah, tentu saja ini ada urusannya denganku. Dante adalah suamiku yang sah!" Dia menekan kata-kata terakhir dengan menggeram rendah. "Apapun yang mengusik Dante, maka itu akan mengusikku juga." Wanita itu tak membiarkan Zara menjawab, langsung seger
Ruang santai begitu penuh dengan kehadiran dua keluarga yang berkumpul. Begitu Yuki menampakkan diri, dia bisa melihat tatapan tak senang dari semua orang. Kecuali seorang lelaki tua, yang tak lain kakek Dante–Praja Atmaja."Duduklah," pinta Praja. "Jadi, Tuan Larsson, apa yang Anda inginkan sekarang? Bukankah semalam masalah sudah jelas, jika kami akan memperbaiki nama baik kalian yang tercoreng?" Praja memulai pembicaraan, menatap mantan calon besannya lekat setelah semua orang telah duduk. "Seharusnya begitu, tapi Zara, anakku … memilih nama baik kami tercoreng, asalkan dia bisa menagih janji yang Anda ucapkan untuk menikahkan Zara dan Dante." Larsson berkata tegas–mimik wajahnya begitu kaku seolah menyimpan banyak rasa malu. "Ayah, benarkah itu? Kalau iya, seharusnya Ayah tidak membiarkan hal ini terjadi. Keluarga Atmaja adalah orang berprinsip yang tidak pernah ingkar janji. Ayah harus menepati janji menikahkan mereka," tutur Chantria menyela. Suasana begitu tegang, Yuki yan
"Zara."Mendengar suara dari belakang, membuat Yuki menoleh. Dia hanya mengangkat sebelah alisnya ketika melihat ibu mertuanya mendekat padanya. Tidak. Lebih tepatnya pada wanita di depannya.Yuki masih berdiri diam, kali ini terlihat santai dengan melipat tangan di dada. 'Jadi, namanya Zara? Kenapa hanya beda satu alfabet dengan namaku?' gumamnya dalam hati mendadak kesal."Tante," sahut Zara mulai tersenyum, membalas pelukan ibu Dante bahkan mengecup pipi singkat."Apa kamu datang untuk menemui Dante? Aku yakin kamu pasti merindukannya setelah lama tidak bertemu," tutur Chantria bersikap seolah hanya ada Zara di depannya.Hal ini membuat Yuki memutar bola matanya malas. Dia berdehem, sampai dua wanita berbeda usia di depannya itu memperhatikannya.Chantria mengerutkan dahi. "Kenapa masih di sini? Sana pergi!""Kukira Mama menyusul ke sini untuk ikut bersamaku menemui Aiden," jawab Yuki menunjukkan wajah polosnya tanpa tahu malu.Melihat wajah Chantria mulai merah karena marah, Yu
"Kamu sudah siap?" tanya Dante melirik ke arah Yuki yang selesai berias. Wanita itu tampak anggun dengan gaun santai berwarna peach, rambutnya yang lurus sebahu diurai dengan indah. Make-upnya sangat tipis, tapi itu sudah menonjolkan kecantikannya yang natural. Penampilan Yuki benar-benar berbeda, tak seperti kemarin yang terlihat lusuh saat Dante menemukannya. Yuki mengangguk, menatap Dante dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Aku sedikit gugup.""Tidak apa, semuanya sudah kita rencanakan. Jika kamu tidak membuat kesalahan, maka tak ada yang mencurigai kita." Dante mendekati Yuki. "Angkat kepalamu, istriku harus menunjukkan sikap yang percaya diri." Sepasang insan yang menjadi suami istri bohongan itu, mulai keluar dari kamar bersamaan. Berjalan bergandengan tangan turun menuju ruang makan. Bisa Dante rasakan, jika beberapa kali Yuki meremas tangannya. Dia hanya memberikan seulas senyum tipis untuk menenangkan wanita itu.Meja persegi itu sudah ramai karena seluruh keluarga ten
Plak!! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Dante, begitu kepala keluarga Atmaja muncul. Praja Atmaja, selaku kakek Dante itu menatap cucu kesayangannya dengan sorot mata tajam dan wajah yang begitu dingin. "Apa empat tahun hidup di luar negeri membuatmu lupa akan tata-krama, Dante?!" Tubuh Yuki bergetar. Teriakan amarah yang menggelegar di ruangan itu, membuatnya ingat tentang ayahnya yang mengusirnya kala itu saat dia membawa pulang bayi ke rumah. Jantungnya berdegup kencang, yang membuatnya semakin memeluk tubuh Aiden semakin erat. Peristiwa Dante yang mengumumkan sudah menikah kepada semua tamu undangan, membuat pesta menjadi gempar. Wira–dengan segala sopan santunnya mengusir para tamunya dan mengakhiri pesta dengan cepat. Kini, tinggal keluarga Larsson yang ada di sana sebagai calon besan keluarga Atmaja. "Kakek, maaf. Dante–" Bug!! Dante belum menyelesaikan ucapannya, ketika Praja kembali melayangkan sebuah tinju pada wajah Dante. Praktis, Dante tersungkur dengan sud
Belum sempat Yuki memproses semuanya, Dante tiba-tiba kembali bertanya, “Apa kamu sudah makan? Kalau belum, ayo kita segera ke restoran.”Yuki dibuat begitu bingung oleh lelaki yang baru dikenalnya ini. Dan, sesuai perkataan Dante, kini mereka pun sudah berada di sebuah restoran. Mereka tampak diam selama beberapa saat untuk makan sore bersama.“Ehem.” Dante yang tak sabar mulai berdehem untuk memulai perbincangan, "Bagaimana, Yuki? Apa kamu setuju jadi istriku?""Dante, apa kamu tidak waras? Apa kamu sadar dengan yang kamu rencanakan saat ini?" Namun, bukannya Yuki yang menjawab, justru Firman-lah yang berbicara. Lelaki itu masih menatap protes ke arah Dante."Tidak bisakah kamu diam sebentar, Firman?" keluh Dante terlihat tidak senang. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Firman. Dia mengambil teleponnya kasar dari meja, lalu berpura-pura sibuk dengan benda persegi panjang tersebut.Melihat temannya itu mulai “tenang”, Dante kembali menatap Yuki. "Di rumahku, saat ini, ada
"Astaga, Dante! Lihatlah, gara-gara keinginanmu untuk cepat sampai, kita hampir saja membuat orang kehilangan nyawa!" teriak seorang lelaki yang baru saja keluar dari mobil. Dia tampak menghampiri lelaki bernama Dante yang sudah keluar lebih dulu untuk melihat sang “korban”. Sayangnya, Dante tak menggubris ucapan teman–sekaligus sopir keluarganya itu. "Diamlah, Firman! Cepat bantu aku!" Fokus Dante saat ini adalah untuk menolong seorang wanita yang tergeletak di depannya itu. Terlebih, massa mulai berkumpul, seolah siap menghakimi keduanya.Dante langsung mendekap bayi Aiden yang kini tampak rewel dan menangis histeris. Namun, karena canggung dengan anak kecil, Dante pun menyerahkan bayi tersebut pada Firman. Keduanya bergegas membawa Yuki dan anaknya itu masuk ke dalam mobil. Dengan kecepatan tinggi, mobil dibawa menuju sebuah puskesmas yang terdekat dari sana. *****"Sudah kubilang, aku saja yang menyetir. Kenapa kamu keras kepala? Lihatlah, Dante! Sekarang, kita dalam masalah k