"Kamu sudah siap?" tanya Dante melirik ke arah Yuki yang selesai berias.
Wanita itu tampak anggun dengan gaun santai berwarna peach, rambutnya yang lurus sebahu diurai dengan indah. Make-upnya sangat tipis, tapi itu sudah menonjolkan kecantikannya yang natural. Penampilan Yuki benar-benar berbeda, tak seperti kemarin yang terlihat lusuh saat Dante menemukannya. Yuki mengangguk, menatap Dante dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Aku sedikit gugup.""Tidak apa, semuanya sudah kita rencanakan. Jika kamu tidak membuat kesalahan, maka tak ada yang mencurigai kita." Dante mendekati Yuki. "Angkat kepalamu, istriku harus menunjukkan sikap yang percaya diri." Sepasang insan yang menjadi suami istri bohongan itu, mulai keluar dari kamar bersamaan. Berjalan bergandengan tangan turun menuju ruang makan. Bisa Dante rasakan, jika beberapa kali Yuki meremas tangannya. Dia hanya memberikan seulas senyum tipis untuk menenangkan wanita itu.Meja persegi itu sudah ramai karena seluruh keluarga tengah berkumpul. Melihat Dante dan Yuki yang baru saja datang, perhatian mereka langsung teralih. Wira dan Chantria menatap tidak senang. Praja hanya berwajah datar. Hanya Arabella yang bersikap antusias."Selamat pagi," sapa Dante memecah suasana.Dia tersenyum, menggiring Yuki untuk mendekat. Menarik kursi untuk istri bohongannya duduk. Lalu menyusul di sebelahnya kemudian. "Hari pertama dan kalian sudah telat? Apa kamu sudah lupa waktu wajib sarapan kita, Dante?" sindir Chantria--ibu Dante--dengan kesal."Maafkan aku, Ma. Hanya saja kami terlalu lelah semalam," jawab Dante menimpali–memasang wajah penuh senyuman meskipun hatinya jengkel."Ingat ini, Dante, dan bilang pada istrimu juga untuk sudah siap di meja makan jam tujuh pagi," sahut Wira menyela."Sudah diam, jangan buat suasana hatiku tidak enak untuk sarapan." Praja menatap semua orang dengan tajam.Tak ada siapapun yang membantah, mereka langsung memulai sarapan mereka dengan diam. Suasana begitu hening, bahkan terkesan menegangkan dengan adanya masalah yang terjadi."Dante, datang ke ruanganku sekarang!" perintah Praja setelah menyelesaikan makannya. Bahkan tak peduli pada Dante yang belum selesai."Baik, Kek." Dante melihat Yuki sebentar, sebelum akhirnya beranjak mengikuti sang kakek yang sudah pergi lebih dulu.Dua lelaki berbeda usia itu berjalan naik ke lantai atas, menuju ruang kerja pribadi. Disusul oleh ayah Dante kemudian. Sepeninggalan Dante, Yuki sedang terjebak bersama wanita paruh baya yang menjadi mertuanya itu. Dia tak bisa mengelak, ketika ibu Dante membawanya ke ruang santai setelah sarapan berakhir."Jadi, dari mana asalmu?" tanya Chantria menatap Yuki penuh selidik."Aku dari Semarang, Ma," jawab Yuki tenang, mengangkat kepala dengan wajah penuh senyum. Dia mengingat lagi saran Dante, untuk bersikap percaya diri agar tidak mudah ditindas."Lalu bagaimana kalian bertemu dan menikah?" tanya Arabella. Adik Dante itu ternyata mengikuti karena tidak ingin terlewat hal menarik tentang kakak iparnya. Yuki menarik napasnya dalam, lalu menjawab, "Saat itu aku sedang menjalani study tour di Singapore. Perusahaan travel milik Dante mensponsori pendidikan universitasku. Aku tersesat, dan untungnya Dante menolongku. Kami berkenalan dan akhirnya berkencan. Begitulah sampai akhirnya aku hamil dan Dante menikahiku.""Manis sekali, seperti cerita di drama-drama Korea yang sering kulihat," puji Arabella dengan wajah yang dibuat mendramatisir.Tapi tidak dengan Chantria. Wanita itu mengerutkan dahi dalam menatap Yuki. Dia merasa cerita itu tidak masuk akal. "Kapan tepatnya kamu kenal Dante?" tanyanya lagi penuh curiga.Yuki terlihat diam memikirkan sebentar sebelum menjawab, "Dua tahun yang lalu. Kami berkencan selama tujuh bulan, lalu menikah dan mempunyai anak. Baby Aiden berumur enam bulan sekarang."Selama berbohong, jantung Yuki berdegup kencang. Dia bahkan menyadari jika tangannya kini berkeringat dingin. Meskipun begitu, dia tetap menahan semua kegugupannya dan bersikap semuanya baik-baik saja."Apa kamu tidak tahu Dante mempunyai keluarga? Bagaimana bisa kamu menikah tanpa mengabari keluarga dari suamimu?" tanya Chantria kembali, seolah semua yang dikatakan Yuki masih belum cukup baginya. Dia masih ingin terus mengorek, sampai dia benar-benar merasa yakin dan mendapatkan buktinya."Aku tahu," jawab Yuki menganggukkan kepala. "Hanya saja, saat itu Dante bersikeras tidak mau keluarganya tahu. Karena Dante bilang kalian semua akan menentang, sedangkan saat itu aku sedang hamil. Dante mengorbankan keluarganya demi diriku dan juga bayiku."Suasana tegang itu bahkan membuat Yuki tak bisa bernapas dengan normal. Sungguh, dia benar-benar merasa seperti di neraka sekarang. Menginjak bara api yang membakar tubuhnya, tapi dengan mulut terkunci yang membuatnya tak bisa berteriak."Itu berarti kak Dante benar-benar mencintaimu, Kakak Ipar. Dia bah--""Arabella!" ketus Chantria menyela ucapan sang anak. Wanita paruh baya itu menatap adik Dante dengan tajam. "Pergilah, Mama masih ada urusan di sini.""Mama, tapi, kan aku berhak tahu! Aku ingin mendengar kisah cinta romantis kak Dante dan kakak ipar yang seperti cerita drama Korea. Mereka seperti peran utama yang dimabuk asmara dan--""Perlukah aku menjahit mulutmu itu?" sahut Chantria menyela kembali.Hal ini membuat Arabella mendesah. Dia mengerucutkan bibir saat beranjak pergi dengan kaki yang menghentak kesal.Diam-diam Yuki tertawa melihatnya. Dia menutup mulutnya dengan tangan, karena tak ingin mertuanya itu tersinggung dengan sikapnya.Wanita itu berdehem, mengangkat wajahnya penuh percaya diri saat berkata, "Apa masih ada yang ingin kamu ketahui, Mama? Jika tidak, bisakah aku undur diri? Aku telah meninggalkan Adien lama, dia pasti sedang mencariku sekarang."Chantria mendengus tidak suka. Dia berpindah tempat untuk duduk di samping Yuki. Wanita paruh baya itu menatap Yuki tajam, dengan tangan terulur mencengkram pipi Yuki. "Aku tahu ada yang tidak beres denganmu. Aku akan mencari bukti dan mencari alasan mengapa kamu bisa terlibat dengan anakku. Satu lagi, perlu kamu ketahui jika aku tidak akan pernah merestui pernikahanmu. Aku tetap menganggapmu orang asing yang tak sengaja masuk ke keluargaku."Mata Yuki terpejam sekilas, saat ibu Dante menghempaskan wajahnya. Dia merasa sakit, bukan hanya fisik tapi juga hatinya akibat penghinaan ibu Dante itu. Meskipun begitu, dia tidak ingin langsung marah. Yuki ingin bermain halus, agar lawannya itu merasa tidak tenang.Wanita itu tersenyum, lalu bangun dari duduknya sambil terus menatap ibu Dante. Bukannya menyahut tentang ancaman Chantria tadi, Yuki malah bersikap santai dengan berkata, "Apa Mama mau ikut denganku? Mama belum menjenguk cucu Mama.""Tch! Dasar wanita tidak tahu diri!" decak Chantria menggelengkan kepala–tak percaya sikap tak tahu malu dari menantu barunya itu.Yuki mengabaikan sindiran itu. Merasa urusannya telah selesai, akhirnya Yuki beranjak dari sana. Dia berjalan penuh percaya diri sampai di tikungan ruangan lain. Baru saja dia ingin bernapas lega, dia melihat wanita yang semalam ikut dalam rapat keluarga berjalan ke arahnya menatapnya lekat.Praktis Yuki menghentikan langkah, yang membuat wanita ikut berhenti. Kini dua wanita yang sama-sama berpenampilan anggun itu saling menatap tajam satu sama lain seperti seekor singa yang mendapatkan mangsa."Zara."Mendengar suara dari belakang, membuat Yuki menoleh. Dia hanya mengangkat sebelah alisnya ketika melihat ibu mertuanya mendekat padanya. Tidak. Lebih tepatnya pada wanita di depannya.Yuki masih berdiri diam, kali ini terlihat santai dengan melipat tangan di dada. 'Jadi, namanya Zara? Kenapa hanya beda satu alfabet dengan namaku?' gumamnya dalam hati mendadak kesal."Tante," sahut Zara mulai tersenyum, membalas pelukan ibu Dante bahkan mengecup pipi singkat."Apa kamu datang untuk menemui Dante? Aku yakin kamu pasti merindukannya setelah lama tidak bertemu," tutur Chantria bersikap seolah hanya ada Zara di depannya.Hal ini membuat Yuki memutar bola matanya malas. Dia berdehem, sampai dua wanita berbeda usia di depannya itu memperhatikannya.Chantria mengerutkan dahi. "Kenapa masih di sini? Sana pergi!""Kukira Mama menyusul ke sini untuk ikut bersamaku menemui Aiden," jawab Yuki menunjukkan wajah polosnya tanpa tahu malu.Melihat wajah Chantria mulai merah karena marah, Yu
Ruang santai begitu penuh dengan kehadiran dua keluarga yang berkumpul. Begitu Yuki menampakkan diri, dia bisa melihat tatapan tak senang dari semua orang. Kecuali seorang lelaki tua, yang tak lain kakek Dante–Praja Atmaja."Duduklah," pinta Praja. "Jadi, Tuan Larsson, apa yang Anda inginkan sekarang? Bukankah semalam masalah sudah jelas, jika kami akan memperbaiki nama baik kalian yang tercoreng?" Praja memulai pembicaraan, menatap mantan calon besannya lekat setelah semua orang telah duduk. "Seharusnya begitu, tapi Zara, anakku … memilih nama baik kami tercoreng, asalkan dia bisa menagih janji yang Anda ucapkan untuk menikahkan Zara dan Dante." Larsson berkata tegas–mimik wajahnya begitu kaku seolah menyimpan banyak rasa malu. "Ayah, benarkah itu? Kalau iya, seharusnya Ayah tidak membiarkan hal ini terjadi. Keluarga Atmaja adalah orang berprinsip yang tidak pernah ingkar janji. Ayah harus menepati janji menikahkan mereka," tutur Chantria menyela. Suasana begitu tegang, Yuki yan
Yuki bisa merasakan, genggaman tangan Dante semakin erat. Saat dia mendongak, dia menyadari jika raut wajah Dante berubah menjadi geram. Sebelum lelaki itu menghardik meluapkan emosinya, Yuki dengan cepat berbalik dan menatap Zara tajam. "Kamu mengancam suamiku, Zara?" tanyanya cepat–menghentikan Dante yang sudah membuka mulut. "Aku tak ada urusannya denganmu, lebih baik enyahlah!" hardik Zara masih keras kepala. Tampak, orang tua Zara berusaha menenangkan. Tetapi, Zara langsung mundur dan keukeuh menempelkan gunting pada pergelangan tangannya. Sedangkan Chantria, ikut gugup. Begitu pula dengan Wira yang ikut tegang. Hanya Praja Atmaja yang masih duduk, seolah tak terusik dengan kejadian di hadapannya. Yuki mendongak angkuh. "Kamu salah, tentu saja ini ada urusannya denganku. Dante adalah suamiku yang sah!" Dia menekan kata-kata terakhir dengan menggeram rendah. "Apapun yang mengusik Dante, maka itu akan mengusikku juga." Wanita itu tak membiarkan Zara menjawab, langsung seger
Begitu tiba di rumah sakit, Yuki bisa melihat semua orang mondar-mandir dengan panik. Mereka sampai tak menyadari kedatangannya dan Dante, andai saja Dante tidak berdehem. "Jika ada hal buruk yang menimpa Zara, aku tak segan untuk menjebloskan istrimu ke penjara, Dante. Dan aku akan menuntut pertanggung jawabanmu!" hardik Giovani Larsson dengan tatapan tajam. "Anda terlalu berlebihan, Tuan Larsson. Aku yakin Zara baik-baik saja," kata Dante penuh percaya diri–terus menggenggam tangan Yuki seolah tak membiarkan wanita itu jauh darinya. "Tch, mau Zara selamat atau tidak, aku lebih suka dia dipenjara saja!" decak Chantria ikut kesal. Yuki bergeming, hanya diam tanpa sedih sedikit pun dikala semua orang menyalahkan dirinya. Hanya sesekali menarik napasnya dalam, merasa bosan karena harus menunggu. Mau bagaimanapun, pikiran Yuki terbang pada Aideen sekarang. 'Apakah bocah itu masih rewel?' pikirnya tak tenang. Waktu berlalu dalam kesunyian, yang membuat suasana semakin tegang. Tetapi
Mendengar pernyataan Yuki, Dante lagi-lagi terkekeh. Kembali merangkul Yuki, dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Begitu dia telah duduk di balik kemudi, Dante mengatakan, "Aku akan pergi bekerja mulai besok. Kakek menyuruhku untuk datang ke perusahaan. Untuk seterusnya, mungkin kamu akan berada di rumah tanpaku."Yuki yang tadinya tegang, mulai bernapas lega. "Kukira kamu mau pergi meninggalkanku untuk waktu yang lama. Jika hanya dari pagi sampai sore, tenang saja. Aku akan baik-baik saja. Jangan remehkan aku, aku bisa mengatasi semuanya," tuturnya tersenyum. "Aku percaya padamu." Dante reflek mengulurkan tangan, menepuk kepala Yuki pelan. Setelahnya, dia melajukan mobilnya meninggalkan rumah sakit. Dante mengajak Yuki mampir ke swalayan, untuk membelikan perlengkapan Aiden yang belum sempat dibeli kemarin. "Tapi, bagaimana dengan Aiden. Jika dia rewel lagi gimana?" tanya Yuki yang masih saja cemas, memikirkan anaknya. "Aku sudah menelpon rumah. Aiden tak lagi rewel dan kini sed
"Dasar anak tidak tahu diuntung! Dibiayai mahal-mahal untuk kuliah, kamu bukannya belajar, malah membawa bayi! Jika kamu tidak pintar, setidaknya jangan bawa aib dalam keluarga!" Teriakan lantang penuh amarah itu terdengar menggema di ruangan luas yang hanya berisi empat orang. Satu-satunya lelaki yang berada di sana, tampak begitu marah dengan dada naik turun akibat napasnya yang menderu. Sebagai kepala keluarga, dia merasa dipermalukan dengan kelakuan Yuki, putrinya. Sementara itu, Yuki terus saja berlutut di hadapan ayahnya. Dia terus saja menangis terisak sambil menggendong bayi dalam pelukannya. Bahkan, dia tidak mempedulikan penampilannya yang sudah berantakan akibat air mata dan beberapa luka lebam bekas pukulan. "Ayah, aku mohon … dengarkan penjelasanku dulu," pintanya memohon dan sangat memelas. "Penjelasan apalagi, Yuki? Semuanya sudah jelas jika selama ini kamu memang wanita malam!" Kini ibu tiri Yuki yang berbicara. Wanita paruh baya, yang telah menjadi ibunya hampir
"Astaga, Dante! Lihatlah, gara-gara keinginanmu untuk cepat sampai, kita hampir saja membuat orang kehilangan nyawa!" teriak seorang lelaki yang baru saja keluar dari mobil. Dia tampak menghampiri lelaki bernama Dante yang sudah keluar lebih dulu untuk melihat sang “korban”. Sayangnya, Dante tak menggubris ucapan teman–sekaligus sopir keluarganya itu. "Diamlah, Firman! Cepat bantu aku!" Fokus Dante saat ini adalah untuk menolong seorang wanita yang tergeletak di depannya itu. Terlebih, massa mulai berkumpul, seolah siap menghakimi keduanya.Dante langsung mendekap bayi Aiden yang kini tampak rewel dan menangis histeris. Namun, karena canggung dengan anak kecil, Dante pun menyerahkan bayi tersebut pada Firman. Keduanya bergegas membawa Yuki dan anaknya itu masuk ke dalam mobil. Dengan kecepatan tinggi, mobil dibawa menuju sebuah puskesmas yang terdekat dari sana. *****"Sudah kubilang, aku saja yang menyetir. Kenapa kamu keras kepala? Lihatlah, Dante! Sekarang, kita dalam masalah k
Belum sempat Yuki memproses semuanya, Dante tiba-tiba kembali bertanya, “Apa kamu sudah makan? Kalau belum, ayo kita segera ke restoran.”Yuki dibuat begitu bingung oleh lelaki yang baru dikenalnya ini. Dan, sesuai perkataan Dante, kini mereka pun sudah berada di sebuah restoran. Mereka tampak diam selama beberapa saat untuk makan sore bersama.“Ehem.” Dante yang tak sabar mulai berdehem untuk memulai perbincangan, "Bagaimana, Yuki? Apa kamu setuju jadi istriku?""Dante, apa kamu tidak waras? Apa kamu sadar dengan yang kamu rencanakan saat ini?" Namun, bukannya Yuki yang menjawab, justru Firman-lah yang berbicara. Lelaki itu masih menatap protes ke arah Dante."Tidak bisakah kamu diam sebentar, Firman?" keluh Dante terlihat tidak senang. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Firman. Dia mengambil teleponnya kasar dari meja, lalu berpura-pura sibuk dengan benda persegi panjang tersebut.Melihat temannya itu mulai “tenang”, Dante kembali menatap Yuki. "Di rumahku, saat ini, ada
Mendengar pernyataan Yuki, Dante lagi-lagi terkekeh. Kembali merangkul Yuki, dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Begitu dia telah duduk di balik kemudi, Dante mengatakan, "Aku akan pergi bekerja mulai besok. Kakek menyuruhku untuk datang ke perusahaan. Untuk seterusnya, mungkin kamu akan berada di rumah tanpaku."Yuki yang tadinya tegang, mulai bernapas lega. "Kukira kamu mau pergi meninggalkanku untuk waktu yang lama. Jika hanya dari pagi sampai sore, tenang saja. Aku akan baik-baik saja. Jangan remehkan aku, aku bisa mengatasi semuanya," tuturnya tersenyum. "Aku percaya padamu." Dante reflek mengulurkan tangan, menepuk kepala Yuki pelan. Setelahnya, dia melajukan mobilnya meninggalkan rumah sakit. Dante mengajak Yuki mampir ke swalayan, untuk membelikan perlengkapan Aiden yang belum sempat dibeli kemarin. "Tapi, bagaimana dengan Aiden. Jika dia rewel lagi gimana?" tanya Yuki yang masih saja cemas, memikirkan anaknya. "Aku sudah menelpon rumah. Aiden tak lagi rewel dan kini sed
Begitu tiba di rumah sakit, Yuki bisa melihat semua orang mondar-mandir dengan panik. Mereka sampai tak menyadari kedatangannya dan Dante, andai saja Dante tidak berdehem. "Jika ada hal buruk yang menimpa Zara, aku tak segan untuk menjebloskan istrimu ke penjara, Dante. Dan aku akan menuntut pertanggung jawabanmu!" hardik Giovani Larsson dengan tatapan tajam. "Anda terlalu berlebihan, Tuan Larsson. Aku yakin Zara baik-baik saja," kata Dante penuh percaya diri–terus menggenggam tangan Yuki seolah tak membiarkan wanita itu jauh darinya. "Tch, mau Zara selamat atau tidak, aku lebih suka dia dipenjara saja!" decak Chantria ikut kesal. Yuki bergeming, hanya diam tanpa sedih sedikit pun dikala semua orang menyalahkan dirinya. Hanya sesekali menarik napasnya dalam, merasa bosan karena harus menunggu. Mau bagaimanapun, pikiran Yuki terbang pada Aideen sekarang. 'Apakah bocah itu masih rewel?' pikirnya tak tenang. Waktu berlalu dalam kesunyian, yang membuat suasana semakin tegang. Tetapi
Yuki bisa merasakan, genggaman tangan Dante semakin erat. Saat dia mendongak, dia menyadari jika raut wajah Dante berubah menjadi geram. Sebelum lelaki itu menghardik meluapkan emosinya, Yuki dengan cepat berbalik dan menatap Zara tajam. "Kamu mengancam suamiku, Zara?" tanyanya cepat–menghentikan Dante yang sudah membuka mulut. "Aku tak ada urusannya denganmu, lebih baik enyahlah!" hardik Zara masih keras kepala. Tampak, orang tua Zara berusaha menenangkan. Tetapi, Zara langsung mundur dan keukeuh menempelkan gunting pada pergelangan tangannya. Sedangkan Chantria, ikut gugup. Begitu pula dengan Wira yang ikut tegang. Hanya Praja Atmaja yang masih duduk, seolah tak terusik dengan kejadian di hadapannya. Yuki mendongak angkuh. "Kamu salah, tentu saja ini ada urusannya denganku. Dante adalah suamiku yang sah!" Dia menekan kata-kata terakhir dengan menggeram rendah. "Apapun yang mengusik Dante, maka itu akan mengusikku juga." Wanita itu tak membiarkan Zara menjawab, langsung seger
Ruang santai begitu penuh dengan kehadiran dua keluarga yang berkumpul. Begitu Yuki menampakkan diri, dia bisa melihat tatapan tak senang dari semua orang. Kecuali seorang lelaki tua, yang tak lain kakek Dante–Praja Atmaja."Duduklah," pinta Praja. "Jadi, Tuan Larsson, apa yang Anda inginkan sekarang? Bukankah semalam masalah sudah jelas, jika kami akan memperbaiki nama baik kalian yang tercoreng?" Praja memulai pembicaraan, menatap mantan calon besannya lekat setelah semua orang telah duduk. "Seharusnya begitu, tapi Zara, anakku … memilih nama baik kami tercoreng, asalkan dia bisa menagih janji yang Anda ucapkan untuk menikahkan Zara dan Dante." Larsson berkata tegas–mimik wajahnya begitu kaku seolah menyimpan banyak rasa malu. "Ayah, benarkah itu? Kalau iya, seharusnya Ayah tidak membiarkan hal ini terjadi. Keluarga Atmaja adalah orang berprinsip yang tidak pernah ingkar janji. Ayah harus menepati janji menikahkan mereka," tutur Chantria menyela. Suasana begitu tegang, Yuki yan
"Zara."Mendengar suara dari belakang, membuat Yuki menoleh. Dia hanya mengangkat sebelah alisnya ketika melihat ibu mertuanya mendekat padanya. Tidak. Lebih tepatnya pada wanita di depannya.Yuki masih berdiri diam, kali ini terlihat santai dengan melipat tangan di dada. 'Jadi, namanya Zara? Kenapa hanya beda satu alfabet dengan namaku?' gumamnya dalam hati mendadak kesal."Tante," sahut Zara mulai tersenyum, membalas pelukan ibu Dante bahkan mengecup pipi singkat."Apa kamu datang untuk menemui Dante? Aku yakin kamu pasti merindukannya setelah lama tidak bertemu," tutur Chantria bersikap seolah hanya ada Zara di depannya.Hal ini membuat Yuki memutar bola matanya malas. Dia berdehem, sampai dua wanita berbeda usia di depannya itu memperhatikannya.Chantria mengerutkan dahi. "Kenapa masih di sini? Sana pergi!""Kukira Mama menyusul ke sini untuk ikut bersamaku menemui Aiden," jawab Yuki menunjukkan wajah polosnya tanpa tahu malu.Melihat wajah Chantria mulai merah karena marah, Yu
"Kamu sudah siap?" tanya Dante melirik ke arah Yuki yang selesai berias. Wanita itu tampak anggun dengan gaun santai berwarna peach, rambutnya yang lurus sebahu diurai dengan indah. Make-upnya sangat tipis, tapi itu sudah menonjolkan kecantikannya yang natural. Penampilan Yuki benar-benar berbeda, tak seperti kemarin yang terlihat lusuh saat Dante menemukannya. Yuki mengangguk, menatap Dante dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Aku sedikit gugup.""Tidak apa, semuanya sudah kita rencanakan. Jika kamu tidak membuat kesalahan, maka tak ada yang mencurigai kita." Dante mendekati Yuki. "Angkat kepalamu, istriku harus menunjukkan sikap yang percaya diri." Sepasang insan yang menjadi suami istri bohongan itu, mulai keluar dari kamar bersamaan. Berjalan bergandengan tangan turun menuju ruang makan. Bisa Dante rasakan, jika beberapa kali Yuki meremas tangannya. Dia hanya memberikan seulas senyum tipis untuk menenangkan wanita itu.Meja persegi itu sudah ramai karena seluruh keluarga ten
Plak!! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Dante, begitu kepala keluarga Atmaja muncul. Praja Atmaja, selaku kakek Dante itu menatap cucu kesayangannya dengan sorot mata tajam dan wajah yang begitu dingin. "Apa empat tahun hidup di luar negeri membuatmu lupa akan tata-krama, Dante?!" Tubuh Yuki bergetar. Teriakan amarah yang menggelegar di ruangan itu, membuatnya ingat tentang ayahnya yang mengusirnya kala itu saat dia membawa pulang bayi ke rumah. Jantungnya berdegup kencang, yang membuatnya semakin memeluk tubuh Aiden semakin erat. Peristiwa Dante yang mengumumkan sudah menikah kepada semua tamu undangan, membuat pesta menjadi gempar. Wira–dengan segala sopan santunnya mengusir para tamunya dan mengakhiri pesta dengan cepat. Kini, tinggal keluarga Larsson yang ada di sana sebagai calon besan keluarga Atmaja. "Kakek, maaf. Dante–" Bug!! Dante belum menyelesaikan ucapannya, ketika Praja kembali melayangkan sebuah tinju pada wajah Dante. Praktis, Dante tersungkur dengan sud
Belum sempat Yuki memproses semuanya, Dante tiba-tiba kembali bertanya, “Apa kamu sudah makan? Kalau belum, ayo kita segera ke restoran.”Yuki dibuat begitu bingung oleh lelaki yang baru dikenalnya ini. Dan, sesuai perkataan Dante, kini mereka pun sudah berada di sebuah restoran. Mereka tampak diam selama beberapa saat untuk makan sore bersama.“Ehem.” Dante yang tak sabar mulai berdehem untuk memulai perbincangan, "Bagaimana, Yuki? Apa kamu setuju jadi istriku?""Dante, apa kamu tidak waras? Apa kamu sadar dengan yang kamu rencanakan saat ini?" Namun, bukannya Yuki yang menjawab, justru Firman-lah yang berbicara. Lelaki itu masih menatap protes ke arah Dante."Tidak bisakah kamu diam sebentar, Firman?" keluh Dante terlihat tidak senang. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Firman. Dia mengambil teleponnya kasar dari meja, lalu berpura-pura sibuk dengan benda persegi panjang tersebut.Melihat temannya itu mulai “tenang”, Dante kembali menatap Yuki. "Di rumahku, saat ini, ada
"Astaga, Dante! Lihatlah, gara-gara keinginanmu untuk cepat sampai, kita hampir saja membuat orang kehilangan nyawa!" teriak seorang lelaki yang baru saja keluar dari mobil. Dia tampak menghampiri lelaki bernama Dante yang sudah keluar lebih dulu untuk melihat sang “korban”. Sayangnya, Dante tak menggubris ucapan teman–sekaligus sopir keluarganya itu. "Diamlah, Firman! Cepat bantu aku!" Fokus Dante saat ini adalah untuk menolong seorang wanita yang tergeletak di depannya itu. Terlebih, massa mulai berkumpul, seolah siap menghakimi keduanya.Dante langsung mendekap bayi Aiden yang kini tampak rewel dan menangis histeris. Namun, karena canggung dengan anak kecil, Dante pun menyerahkan bayi tersebut pada Firman. Keduanya bergegas membawa Yuki dan anaknya itu masuk ke dalam mobil. Dengan kecepatan tinggi, mobil dibawa menuju sebuah puskesmas yang terdekat dari sana. *****"Sudah kubilang, aku saja yang menyetir. Kenapa kamu keras kepala? Lihatlah, Dante! Sekarang, kita dalam masalah k