"Kamu baik-baik aja?" tanya Daniel seraya menatap heran pada Vina yang kini duduk di depannya sambil menikmati satu cup prapucino ukuran besar, lalu kemudian dia pun mulai beralih melirik perut Vina yang sudah rata.
Sementara Vina menanggapi pertanyaan itu dengan menganggukan kepalanya semangat. Ia bahkan dengan santainya menyunggingkan senyuman senang pada Daniel."Iya, aku baik-baik aja kok kamu gak perlu khawatir. Semuanya udah mulai tenang dan aman. Aku juga udah mengajukan cerai buat segera pisah dari Badra," jawabnya ringan.Namun, Daniel tak terlihat senang setelah mendengar jawaban itu. Dia menautkan kedua alisnya, sembari menatap Vina dengan tatapan tak bersahabat."Apa bayimu baik-baik aja?" tanya Daniel lagi. Kali ini ia menatap Vina dengan resah.Sedangkan Vina lagi-lagi mengangguk semangat dan menjawab dengan ringannya. "Aku melahirkannya, tapi sayangnya dia meninggal. Bayi itu katanya masih suci dan bersih kan? Mungkin diaSambil menggendong Ginata, Citra berjalan menuju ruang tamu untuk sekadar menemukan Daniel duduk nyaman di sofa ruang tamu sembari melayangkan senyuman lebar kepadanya."Andhika-Nya lagi gak ada di rumah. Mungkin baru pulang nanti sore. Kalo ada keperluan sama Andhila anda boleh-""Aku emang datang buat ketemu kamu kok," ujar Daniel setelah menyela ucapan Citra.Pupil mata Citra melebar mendengar kalimat itu, lalu kemudian ia pun menatap Daniel dengan tatapan bingung."Mau ketemu saya?""Ini, untukmu." Daniel mengulurkan buket bunga mawar merah berukuran sedang pada Citra. Dan di antara bunga-bunga itu, ada sebuah kotak beludru merah berbentuk hati yang bisa langsung Citra kenali sebagai kotak perhiasan.Dengan ragu, Citra menerima uluran bunga. Sejenak, ia membuka kotak perhiasan yang ada di antara buka itu untuk sekadar menemukan sebuah kalung emas berbandul kupu-kupu yang dipenuhi mutiara. Sontak saja hal itu pun langsung membuat Citra menoleh dan menatap Daniel keberatan."Saya ga
"Kau bilang apa, ha?!" bentak Sakti pada Daniel yang kini tengah duduk begitu tenang di sofa tamu di ruangan kerjanya.Kedua mata Sakti berkilat marah pada Daniel, sedangkan Daniel justru menanggapinya dengan mengangkat kedua bahunya ringan."Aku bilang kalo aku ini bersungguh-sungguh ingin menjadikan Citra istriku. Aku mau dia jadi milikku.""Apa kau gila? Apa aku membayarmu untuk hal kayak gini?" cibir Sakti. Masih dengan kemarahan yang sama."Enggak. Aku dibayar cuma untuk memberikan ganjaran pada mantan suami Citra, dan aku sudah selesai menjalankannya. Tugasku berakhir dan sekarang aku mau Citra," lagi-lagi Daniel menanggapi kemarahan Sakti dengan entengnya."Citra itu istriku," tegas Sakti dengan rahang yang menegang."Istri kontrak lebih tepatnya. Kalian akan berpisah setelah Gina cukup besar untuk mengerti situasi, kan? Pernikahan kalian cuma formalitas. Jadi, gak ada salahnya kalo aku juga mendekati Citra."Seketika Sakti memicingkan matanya, menatap Daniel dari ujung rambut
"Pergi. Aku gak mau denger apapun lagi, semuanya udah cukup," usir Citra. Alih-alih menanggapi penyesalan dan permohonan putus asa yang diucapkan oleh Badra secara panjang lebar."Kamu masih punya perasaan cinta padaku kan, Citra? Semuanya terlihat jelas di wajah kamu. Aku mohon beri aku kesempatan, sekali aja." Badra perlahan bangkit berdiri dan untuk sejenak ia menyeka sisa-sisa air matanya, lalu kemudian tanpa aba-aba ia melangkah maju dan mengulurkan tangannya untuk meraih Citra.Namun, Citra yang masih dalam kendali penuh atas dirinya sendiri sekalipun tengah dibelenggu amarah dan rasa terkejut pun detik itu juga langsung mendorong dada Badra dengan sekuat tenaga yang ia punya, sehingga hal itu pun mampu membuah tubuh Badra benar-benar terdorong ke belakang melewati ambang pintu."Jangan sok tahu tentang hidupku, Kang. Kamu gak tahu apapun," desis Citra tajam.Kali ini ia benar-benar terburu-buru menutup pintu rumah tepat di depan wajah Badra dan langsung menguncinya rapat-rapat
Citra tak menjawab apapun pertanyaan dari Sakti. Ia hanya diam dengan kedua mata yang menyorot kosong."Hei," panggil Sakti seraya menangkup wajah Citra dan mengarahkan sang istri untuk menatap ke arahnya. "Jangan melamun kayak gitu, kamu ngebuat aku jadi super khawatir."Sementara Citra tetap saja diam. Alih-alih menjawab, dia malah kembali menitikan air mata dan menatap sendu pada Sakti untuk beberapa saat, sebelum kemudian tiba-tiba ia memeluk leher Sakti dan menenggelamkan wajahnya di sana.Tangis Citra tak terdengar, tapi Sakti bisa merasakan bahunya basah karena air mata istrinya. Tanpa banyak bicara lagi, Sakti pun balas memeluk Citra dan mengusap lembut punggung sang istri untuk memberikan ketenangan.Sakti membiarkan Citra menumpahkan segala kesedihannya, sekalipun Sakti masih belum tahu alasan dari kesedihan itu. Sakti hanya memberikan ruang agar Citra bisa merasa sedikit lega terlebih dahulu dari rasa sedihnya, sebelum Citra benar-benar
Sambil memeluk buket bunga mawar putih, Citra berjalan mendahului Sakti untuk segera menghampiri makam putranya. Sedangkan Sakti yang berada di belakangnya hanya melangkah dengan tenang tanpa terburu-buru sampa sekali, sampai kemudian pada jarak 2 meter dari pusaranya Argantara, Citra tiba-tiba berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang menatap Sakti se4mbari melayangkan tatapan kosongnya."Apa bisa biarkan aku punya waktu berdua dengan Arga dulu, Andhika? Kamu bisa menemui Tatiana setelah aku selesai dengan Argantara."Mendengar permintaan sekaligus perintah itu, Sakti pun tak bisa melakukan apapun selain mengangguk mengiyakan. Ia memilih duduk di sebuah bangku, seiring dengan tatapan matanya yang terus terpaku pada Citra yang mulai melangkah ke dekat makam Argantara.Di depan pusara mendiang putranya itu, Citra terduduk lesu. Perlahan ia memeluk nisan bertuliskan nama sang anak dengan kening yang sengaja ia tempelkan di sana.Tangis Citra tiba-tiba pecah. Tangisan pilu yang bahkan
Dengan tenang Sakti duduk di meja kerjanya, sambil fokus mengecek beberapa berkas yang harus ia tanda tangani, ketika Daniel masuk ke dalam ruangannya dan menyapa dengan santai. Seolah tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka."Gimana, Citra udah cerita tentangku padamu?" tanyanya.Sakti melirik Daniel sejenak, sebelum kembali fokus pada berkas yang dibacanya. "Dia gak cerita apapun dan gak mungkin akan cerita. Mungkin karena Citra gak tertarik padamu," sahut Sakti tenang. Namun, begitu tajam menusuk dada Daniel."Kau sengaja mengejek karena masih kesal padaku?"Kali ini Sakti mengangkat bahunya ringan. "Aku gak punya energi untuk mengejekmu. Aku cuma ngomongin fakta kalo mungkin aja Citra gak akan tertarik padamu karena mulai hari ini dia akan memutuskan kembali pada mantan suaminya."Seketika itu pula kedua mata Daniel pun terbelalak sempurna dan langsung menatap Sakti tak habis pikir. "Kok bisa? Kok dibiarin gitu aja, apa gak inget apa yang laki-laki itu lakukan pada Citra? Kau
"Kamu sungguh berpikir kalo aku sangat bahagia dengan situasi ini?" tanya Citra. Alih-alih menjawab ucapan selamat yang penuh sindiran dari Sakti.Dan dengan ringannya, Sakti menganggukan kepalanya sebagai jawaban 'iya'. Tanpa sekalipun menyadari perubahan ekspresi wajah Citra. "Iya, aku melihat kamu terpaku cukup lama menatap tumpukan pakaian dan sekotak perhiasan itu, bukankah itu artinya kamu sangat bahagia kan?"Kali ini Citra yang mendengus setelah mendengar semua ucapan Sakti yang saat itu ia kategorikan sebagai tuduhan dan ejekan. Namun, di detik berikutnya ia pun mengulas senyum tipis di wajahnya."Begitukah? Apa menurutmu kalung ini juga cantik?" sahut Citra yang mendadak memakai kalung pemberian Daniel lalu memamerkannya pada Sakti. Seolah kalung itu benar-benar pemberian dari Badra dan dia begitu senang saat mengenakannya."Kamu terlihat bagus memakai kalung. Tapi sayang kalungnya justru kelihatan murahan. Kamu gak cocok pake barang begitu," komentar Sakti sebelum kemudian
Dalam hidup, katanya pasang surut kehidupan itu sudah biasa. Katanya cukup jalani saja, nanti pun semuanya berlalu dengan sendirinya.Namun, bagaimana kalau semua pasang surut yang menyakitkan itu tak pernah berlalu? Citra merasa kalau segala kesakitan yang dideritanya tak kunjung reda. Seolah Tuhan memang sengaja tak memberinya hari libur dari semua nestapa ini."Kamu teh terlalu jumawa karena akhirnya bisa hidup lebih baik. Sampe lupa kalo sedih dan kecewa bisa dateng kapan aja tanpa tahu arahnya dari mana," gumam Citra seraya menghembuskan napas berat.Di taman belakang rumah Sakti, ia duduk di gazebo dan menengadahkan wajah juga memejamkan matanya untuk sekadar membiarkan semilir angin membelai lembut pipinya.Pada momen itu, Citra sengaja mengosongkan pikirannya. Membuat dirinya terasa melayang terombang-ambing mengikuti irama angin yang bertiup, sampai kemudian sesuatu yang lembut dan harum tiba-tiba menempel di kedua pipinya dan sekaligus membuat Citra tersentak lalu perlahan me
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang