Dengan tenang Sakti duduk di meja kerjanya, sambil fokus mengecek beberapa berkas yang harus ia tanda tangani, ketika Daniel masuk ke dalam ruangannya dan menyapa dengan santai. Seolah tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka."Gimana, Citra udah cerita tentangku padamu?" tanyanya.Sakti melirik Daniel sejenak, sebelum kembali fokus pada berkas yang dibacanya. "Dia gak cerita apapun dan gak mungkin akan cerita. Mungkin karena Citra gak tertarik padamu," sahut Sakti tenang. Namun, begitu tajam menusuk dada Daniel."Kau sengaja mengejek karena masih kesal padaku?"Kali ini Sakti mengangkat bahunya ringan. "Aku gak punya energi untuk mengejekmu. Aku cuma ngomongin fakta kalo mungkin aja Citra gak akan tertarik padamu karena mulai hari ini dia akan memutuskan kembali pada mantan suaminya."Seketika itu pula kedua mata Daniel pun terbelalak sempurna dan langsung menatap Sakti tak habis pikir. "Kok bisa? Kok dibiarin gitu aja, apa gak inget apa yang laki-laki itu lakukan pada Citra? Kau
"Kamu sungguh berpikir kalo aku sangat bahagia dengan situasi ini?" tanya Citra. Alih-alih menjawab ucapan selamat yang penuh sindiran dari Sakti.Dan dengan ringannya, Sakti menganggukan kepalanya sebagai jawaban 'iya'. Tanpa sekalipun menyadari perubahan ekspresi wajah Citra. "Iya, aku melihat kamu terpaku cukup lama menatap tumpukan pakaian dan sekotak perhiasan itu, bukankah itu artinya kamu sangat bahagia kan?"Kali ini Citra yang mendengus setelah mendengar semua ucapan Sakti yang saat itu ia kategorikan sebagai tuduhan dan ejekan. Namun, di detik berikutnya ia pun mengulas senyum tipis di wajahnya."Begitukah? Apa menurutmu kalung ini juga cantik?" sahut Citra yang mendadak memakai kalung pemberian Daniel lalu memamerkannya pada Sakti. Seolah kalung itu benar-benar pemberian dari Badra dan dia begitu senang saat mengenakannya."Kamu terlihat bagus memakai kalung. Tapi sayang kalungnya justru kelihatan murahan. Kamu gak cocok pake barang begitu," komentar Sakti sebelum kemudian
Dalam hidup, katanya pasang surut kehidupan itu sudah biasa. Katanya cukup jalani saja, nanti pun semuanya berlalu dengan sendirinya.Namun, bagaimana kalau semua pasang surut yang menyakitkan itu tak pernah berlalu? Citra merasa kalau segala kesakitan yang dideritanya tak kunjung reda. Seolah Tuhan memang sengaja tak memberinya hari libur dari semua nestapa ini."Kamu teh terlalu jumawa karena akhirnya bisa hidup lebih baik. Sampe lupa kalo sedih dan kecewa bisa dateng kapan aja tanpa tahu arahnya dari mana," gumam Citra seraya menghembuskan napas berat.Di taman belakang rumah Sakti, ia duduk di gazebo dan menengadahkan wajah juga memejamkan matanya untuk sekadar membiarkan semilir angin membelai lembut pipinya.Pada momen itu, Citra sengaja mengosongkan pikirannya. Membuat dirinya terasa melayang terombang-ambing mengikuti irama angin yang bertiup, sampai kemudian sesuatu yang lembut dan harum tiba-tiba menempel di kedua pipinya dan sekaligus membuat Citra tersentak lalu perlahan me
Beberapa kali Sakti berdeham untuk sekadar menenangkan debar jantungnya yang mendadak berdegup tak karuan. Dia butuh waktu untuk memastikan dirinya benar-benar tenang sebelum menjawab pertanyaan Citra agar suaranya tak terdengar tercekat."Kamu tanya apa aku akan baik-baik saja?" sahut Sakti mengulang pertanyaan Citra. Lantas kemudian iq pun terkekeh kecil. "Aku gak akan hancur sekalipun kamu pergi. Kalo kehadiran Badra emang segitunya bikin kamu dilema karena kamu masih punya perasaan yang besar untuknya setelah semua yang terjadi, aku gak masalah. Kamu gak perlu memikirkan aku ataupun Gina. Toh dari beberapa bulan awal menjalani semua ini, kamu memang pengen berhenti. Jadi, silakan berhenti. Kamu gak harus mikirin aku ataupun Gina.""Andhika, maksud aku-""Maksud kamu memang begitu kan dari awal? Jangan mengelak, Citra. Aku cukup tahu kalo alasan kamu memulai pembicaraan soal Badra yang mengajak rujuk terus pura-pura perasaanku juga kontrak di antara kita tuh cuma formalitas karena
Dibalik pintu kamar kostnya. Citra menangis terduduk sembari memeluk dirinya sendiri. Ia terisak-isak pilu dengan suara tangis yang begitu menyayat hati.Citra menyesali semuanya, tapi ia juga tahu kalau dirinya tak punya jalan untuk kembali. Ia bahkan bingung kenapa dirinya harus merasa sesedih ini. Entah apa yang terjadi, entah hal spesifik apa yang membuatnya merasa sesakit hati ini, entah karena perpisahannya dengan Sakti dan Gina atau karena ia diusir secara tiba-tiba. Ia tak tahu."Aku harus gimana sekarang? Harus pergi ke mana? Kenapa tiba-tiba rasanya begitu hampa," gumam Citra nelangsa. Kali ini ia memukul-mukul dadanya berulang kali untuk melampiaskan segala sakit yang dirasakannya. "Padahal aku yakin sudah mempersiapkan hati, tapi kenapa tetap saja aku jadi merasa kehilangan arah."Kini Citra menekuk kedua kakinya, lalu memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajah di sana. Saat itu ia bahkan tak peduli sekalipun suara tangisannya akan mengganggu tetanggo kost, padahal in
"Makasih ya Citra karena kamu akhirnya memperbolehkan aku buat gendong anak kita. Aku janji, kali ini aku bakal jaga anak kita, aku gak bakal ngebiarin kamu ataupun anak kita terluka lagi."Sudut bibir Citrq berkedut, mengulas seyuman getir setelah mendengar ucapan terima kasih juga janji besar dari Badra.Janji itu udah terlalu terlambat untuk bisa ditepati. Batin Citra.Di tengah-tengah perjalanan, Badra tiba-tiba saja mengurangi kecepatan motornya dan perlahan berhenti di pinggir jalan."Kenapa berhenti? Tempatnya masih cukup jauh," tegur Citra.Namun, Badra tak menanggapinya. Alih-alih segera kembali melajukan motornya, sebaliknya Badra justru merogoh sesuatu di saku celananya lalu kemudian sedikit menoleh ke belakang untuk menatap ke arah Citra."Siniin tangan kamu," pintanya tiba-tiba.Citra menautkan kedua alisnya tak mengerti. "Mau ngapain?""Siniin aja tangannya. Ada yang mau aku kasih ke kamu, baru setelah itu kita jalan lagi buat ke tempat yang kamu maksud."Dengan enggan, C
Citra melepas cincin emas dari jari manisnya itu lalu kemudian dengan entengnya menjatuhkan cincin itu di depan wajah Badra, seolah benda itu bukan barang berharga."Kamu tanya apa aku mencintai kamu kan, Kang? Jawabannya, pernah. Aku pernah mencintai kamu, bahkan diantara rasa benci aku ke kamu pun perasaan itu tetap ada. Tapi, semuanya udah berubah. Sekarang hati aku kosong dan hampa. Kamu udah gak ada artinya, kang... kamu gak berharga. Aku muak sama kamu yang dateng dengan janji-janji manis dan juga penyesalan setelah kamu disakitin perempuan pilihan kamu. Aku pernah mati satu kali karena kehilangan anak aku, kang. Tapi, setelah dengan Sakti dan mulai mengabdikan diri untuk dia dan bayinya... aku mulai kembali memutuskan untuk kembali hidup. Mereka jadi tujuan aku, kang. Bukan lagi kamu. Kita gak akan pernah bisa rujuk karena semua kesalahan yang kamu buat adalah kesalahan fatal yang gak akan bisa kamu tebus sekalipun kamu menghabiskan seumur hidup kamu untuk minta maaf," ujar Cit
Satu minggu berlalu setelah kepergian Citra dari rumah ini, dan selama itu pula tiap kali pulang kerja Sakti akan berdiri di ambang pintu kamar yang pernah ditempati oleh Citra untuk sekadar memandangi koper-koper yang masih berada di tempatnya, tanpa berpindah barang satu inci pun.Sesekali, Sakti melihat bayangan bagaimana waktu Citra beraktivitas di kamar ini, lalu kemudian ia akan menggelengkan kepalanya cepat-cepat untuk mengenyahkan semua bayangan itu dari kepalanya."Sebenarnya apa sih yang kamu lakukan, Sakti? Kamu gak seharusnya mengingat dia lagi," gumamnya menegur diri sendiri.Selanjutnya, Sakti pun melangkah mundur dan berbalik pergi untuk menuju kamarnya. Di sana ia menemukan Ginata tidur dengan lelap di dalam box bayinya, sedangkan pengasuhnya berada di dapur untuk istirahat."Tatiana, aku harus bagaimana? Apa menurutmu keputusanku untuk membesarkan Ginata tanpa memberinya figur seorang ibu?" gumam Sakti seraya duduk pada tepian tempat tidur untuk bisa menatap langsung
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang