Satu minggu berlalu setelah kepergian Citra dari rumah ini, dan selama itu pula tiap kali pulang kerja Sakti akan berdiri di ambang pintu kamar yang pernah ditempati oleh Citra untuk sekadar memandangi koper-koper yang masih berada di tempatnya, tanpa berpindah barang satu inci pun.Sesekali, Sakti melihat bayangan bagaimana waktu Citra beraktivitas di kamar ini, lalu kemudian ia akan menggelengkan kepalanya cepat-cepat untuk mengenyahkan semua bayangan itu dari kepalanya."Sebenarnya apa sih yang kamu lakukan, Sakti? Kamu gak seharusnya mengingat dia lagi," gumamnya menegur diri sendiri.Selanjutnya, Sakti pun melangkah mundur dan berbalik pergi untuk menuju kamarnya. Di sana ia menemukan Ginata tidur dengan lelap di dalam box bayinya, sedangkan pengasuhnya berada di dapur untuk istirahat."Tatiana, aku harus bagaimana? Apa menurutmu keputusanku untuk membesarkan Ginata tanpa memberinya figur seorang ibu?" gumam Sakti seraya duduk pada tepian tempat tidur untuk bisa menatap langsung
"Puas kamu sekarang karena bisa ngejar-ngejar Citra lagi, sampai-sampai buat pergi ke persidangan pun gak sudi?" sindir Vina sinis yang pada detik itu sudah berdiri di depan Badra yang melamun di teras rumahnya. Sementara itu, Badra tak menjawab sama sekali. Ia tetap tenggelam pada lamunannya, seolah tak pernah sekalipun mendengar ucapan Vina. "Aku udah berusaha membatalkan peceraian ini. Kamu harusnya datang ke persidangan dan bantu aku buat membatalkan perceraian di antara kita," ujar Vina menambahkan. Kali ini kalimat itu sedikit mengusik Badra, sehingga ia pun tersadar dari lamunannya dan dengan enggan ia menolehkan wajahnya pada Vina. "Jangan berharap lebih dariku karena aku sudah sangat muak denganmu. Ngeliat kamu yang kembali mengemis minta aku membatalkan peceraian setelah kamu dibuang selingkuhan kamu tuh bikin aku sadar kalo ternyata begini rasanya berada di posisi Citra. Dulu aku ngebuang Citra dan anak yang dikandungnya demi kamu, lalu aku dibuang olehmu demi laki-laki
"Citra gak ada di sini," ujar ayah Citra yang sedikit kebingungan karena kedatangan Sakti yang mendadak. Terlebih ketika Sakti yang mendadak menanyakan keberadaan Citra. "Bukannya Citra teh sama kamu? Apa dia pamit pergi ke sini tanpa bilang dulu?" Lanjutnya bertanya.Sakti tak langsung menanggapinya walaupun ia mendengar pertanyaan itu karena dia pun kini merasa begitu pening. Ia juga tak mungkin harus mengatakan yang sebenarnya pada ayah Citra tentang situasi yang sedang terjadi."Saya pikir Citra pergi ke rumah orang tuanya, makanya saya ke sini.""Tapi, Citra emang gak ada dan gak pernah ke sini lagi. Terakhir ke sini pas sama kamu waktu itu. Emangnya ada apa, kalian bertengkar terus Citra kabur dari rumah?" kali ini ibu Citra yang menyahut dembari menyajikan segelas teh hangat dan sepiring wafer untuk Sakti.Sakti menggelengkan kepalanya. "Bukan apa-apa. Kalo bisa, bapak, apa boleh tolong panggilkan Badra buat saya? Ada yang mau saya tanyakan ke dia.""Bisa, bisa. Sebentar bapak
Sakti sudah mengelilingi area yang Badra bilang jarak tempuh dari area itu ke taman pemakaman hanya berjarak 30 menit saja.Itu petunjuk yang tak spesifik, tapi Sakti tetap nekat mencari area yang sesuai petunjuk itu dan pada akhirnya yang ia dapatkan hanya bagaimana kepalanya terasa hampir pecah karena sampai sekarang ia tak tahu keberadaan Citra di mana rimbanya."Sialan,Sakti! Kau bahkan tak pernah tahu tempat apa yang mungkin akan dikunjungi istrimu sendiri," makinya pada diri sendiri. "Selama hidup bersamanya, kau malah semakin tak mengenalnya."Dengan kemarahan yang menggunung di hatinya, Sakti pun memilih untuk menepikan mobilnya dan berhenti di bahu kanan jalan. Pada situasi yang membuatnya sangat frustrasi itu, Sakti mengacak rambutnya lalu berakhir menelungkupkan wajahnya di atas stir.Saat itu Sakti masih berulang kali merutuki dirinya sendiri. Ia menyesali fakta bahwa sebagai seseorang yang berstatus sebagai suami citra dan bahkan hampir 1 tahun lamanya tinggal bersama, t
"Apa sekarang aku bisa punya kesempatan buat ngisi hati kamu?" tanya Daniel menambahkan.Sementara Citra tak langsung menjawab. Ia hanya termangu, sembari menatap Daniel lekat-lekat dengan kepalanya yang mendadak kosong.Pasalnya, selama tinggal di Belanda, walau tinggal di tempat terpisah dengan Daniel. Daniel selalu mengajak Citra jalan-jalan, entah untuk sekadar menyusuri tiap jalan terotoar, mengunjungi museum, atau bahkan mengajaknya makan di restoran yang menyajikan makanan khas Belanda yang enak. Saat itu Citra pikir Daniel adalah pria baik yang hanya merasa iba pada perempuan malang sepertinya, Citra tak menyangka kalau hari ini akan terjadi. Hari dimana Daniel benar-benar mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan.Awalnya Citra ingin sekali berpura-pura tak mengerti ucapan Daniel dan akan memilih tertawa lalu menganggapnya sebagai lelucon karena Daniel sedang bercanda padanya, tapi di situasi yang sudah sangat jelas ini dimana Daniel secara terang terangan mengatakan p
Citra terdiam di tempatnya karena ucapan Daniel yang sedikit mengusik sudut hatinya. Benarkah begitu? Benarkah alasan terbesar Citra merasa sedih berkepanjangan karena ia yang jatuh cinta pada Sakti, bukan karena ia kecewa pada Sakti yang mengusir dan tak ingin mendengar penjelasan darinya?Helaan napas resah pun kemudian terdengar dari Citra yang kembali sadar dari keterkejutannya. "Saya gak tahu. Entah benar saya sudah mencintai Andhika sedalam itu atau tidak, yang saya tahu saya menyukai Andhika dan saya sendiri yang menjadikannya pusat dunia saya."Senyum kecut pun seketika tercipta di wajah Daniel untuk beberapa saat, sebelum kemudian berubah jadi senyum simpul. "Eh, kamu tahu gak kalo taman bunga tulip ini adalah taman bunga terbesar di dunia? Banyak banget jenis bunga tulipnya dan indah banget kan?" ujar Daniel tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.Dari nada suara dan ekspresinya, Daniel kembali terlihat begitu antusias ketika menjelaskan tentang tempat ini pada Citra. Seolah pem
"Apa pak Sakti yakin mau bawa non Ginata pergi?" tanya si pengaruh yang menatap khawatir ke arah Ginata yang tampak tertidur lelap dalam gendongan Sakti."Saya gak bisa ninggalin dia sendirian. Lagipula saya sudah konsultasi ke dokter kalo Ginata udah cukup aman untuk diajak berpergian menggunakan pesawat," sahut Sakti meyakinkan.Mendengar tekad Sakti, sang pengasuh pun hanya bisa memberitahu hal-hal dasar yang bisa Sakti lakukan kalau-kalau Ginata rewel dan tak nyaman selama perjalanan. "Semoga usaha pak Sakti buat ketemu Mamanya non Ginata bisa memberikan hasil yang baik. Saya doakan semoga Mamanya non Ginata bisa ikut pulang dan berkumpul lagi dengan pak Sakti," doanya untuk Sakti.Sakti pun tersenyum simpul dan mengangguk mengaminkan doa itu. Lantas kemudian ia pun turun dari mobil, dan menggeret kopernya untuk segera pergi masuk ke dalam bandara.Setelah check in, Sakti pun terus melangkahkan kakinya menuju lounge khusus untuk penumpang Kelas Bisnis, dan selama perjalanan menuj
Ketukan pada pintu apartemennya, membuat Citra yang saat itu baru saja selesai mengeringkan rambutnya pun segera berjalan ke arah pintu dan melihat Daniel yang mengangkat sekotak pizza di depan interkom. Seolah sudah tahu kalau Citra tengah melihat ke arahnya."Ayo buka pintunya, kita sarapan pizza bersama?" ujarnya pada interkom sembari memamerkan senyuman manisnya.Citra terkekeh geli lalu bergegas membuka pintu lebar-lebar untuk membiarkan Daniel masuk."Anda ngajak saya sarapan pizza, mentang-mentang pas anda ngasih saya pizza, saya bilang kalo itu pengalaman pertama saya memakannya?" ujar Citra mencibir Daniel dengan jenaka.Daniel terkekeh geli lalu mengacungkan kotak putih yang ia bawa di tangan kirinya. "Gak cuma pizza kok. Aku juga bawa ayam goreng tepung."Kali ini Citra pun ikut tertawa geli. "Masuklah," ujarnya mempersilakan.Dengan senang hati Daniel pun melangkah masuk dan tanpa merasa perlu bertanya pada Citra, ia langsung duduk di sofa dan dengan santainya membuka maka
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang