"Apa pak Sakti yakin mau bawa non Ginata pergi?" tanya si pengaruh yang menatap khawatir ke arah Ginata yang tampak tertidur lelap dalam gendongan Sakti."Saya gak bisa ninggalin dia sendirian. Lagipula saya sudah konsultasi ke dokter kalo Ginata udah cukup aman untuk diajak berpergian menggunakan pesawat," sahut Sakti meyakinkan.Mendengar tekad Sakti, sang pengasuh pun hanya bisa memberitahu hal-hal dasar yang bisa Sakti lakukan kalau-kalau Ginata rewel dan tak nyaman selama perjalanan. "Semoga usaha pak Sakti buat ketemu Mamanya non Ginata bisa memberikan hasil yang baik. Saya doakan semoga Mamanya non Ginata bisa ikut pulang dan berkumpul lagi dengan pak Sakti," doanya untuk Sakti.Sakti pun tersenyum simpul dan mengangguk mengaminkan doa itu. Lantas kemudian ia pun turun dari mobil, dan menggeret kopernya untuk segera pergi masuk ke dalam bandara.Setelah check in, Sakti pun terus melangkahkan kakinya menuju lounge khusus untuk penumpang Kelas Bisnis, dan selama perjalanan menuj
Ketukan pada pintu apartemennya, membuat Citra yang saat itu baru saja selesai mengeringkan rambutnya pun segera berjalan ke arah pintu dan melihat Daniel yang mengangkat sekotak pizza di depan interkom. Seolah sudah tahu kalau Citra tengah melihat ke arahnya."Ayo buka pintunya, kita sarapan pizza bersama?" ujarnya pada interkom sembari memamerkan senyuman manisnya.Citra terkekeh geli lalu bergegas membuka pintu lebar-lebar untuk membiarkan Daniel masuk."Anda ngajak saya sarapan pizza, mentang-mentang pas anda ngasih saya pizza, saya bilang kalo itu pengalaman pertama saya memakannya?" ujar Citra mencibir Daniel dengan jenaka.Daniel terkekeh geli lalu mengacungkan kotak putih yang ia bawa di tangan kirinya. "Gak cuma pizza kok. Aku juga bawa ayam goreng tepung."Kali ini Citra pun ikut tertawa geli. "Masuklah," ujarnya mempersilakan.Dengan senang hati Daniel pun melangkah masuk dan tanpa merasa perlu bertanya pada Citra, ia langsung duduk di sofa dan dengan santainya membuka maka
"Syukurlah. Ternyata benar kamu ada di sini," ujar Sakti dengan suara tercekat.Ia menatap tak percaya pada perempuan yang kini berdiri di depannya.Itu benar-benar Citra, istrinya."Citra ak-" Sakti tak bisa melanjutkan kalimatnya ketika Citra tiba-tiba mengambil satu langkah mundur dan buru-buru menutup pintu apartemennya di depan wajah Sakti.Untuk beberapa saat Sakti membeku di tempatnya, ketika merasakan sudut hatinya terluka atas penolakan itu. Padahal, sebelum memberanikan diri datang ke sini, ia sudah berusaha mempersiapkan hatinya.Helaan napas berat pun terdengar Sakti, sebelum kemudian ia mendekat pada interkom. "Aku tahu kamu akan semarah ini padaku, tapi bisakah kamu buka pintunya dan kita bicara sebentar? Ini demi Ginata, kumohon...."Hening. Tak ada respon sama sekali."Aku yang melakukan kesalahan, tapi Gina gak melakukan kesalahan apapun. Kalo kamu mau, kamu bisa menghukumku. Jangan Gina. Karena keegoisanku, sekarang Gina harus ikut menderita. Kesehatannya akan membu
"Apa ada orang lain yang sekarang mengisi hati kamu. Apa Daniel?"Citra menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Enggak sama sekali. Mas Daniel hanya teman," bantahnya."Kamu boleh menghukum aku, Citra. Kamu boleh mukul aku, kamu boleh tampar aku, kamu boleh tendang aku sesuka kamu. Limpahkan semua amarah kamu ke aku, aku gak masalah. Aku mohon... kembali jadi istriku." Kali ini Sakti dengan berani meraih kedua tangan Citra dan menggenggamnya erat-erat, ia bahkan melayangkan tatapan putus asanya pada Citra."Aku gak punya hak untuk menghukum kamu, Andhika. Gak perlu ada penyesalan apapun karena keputusan kamu udah benar, kita memang gak bisa hidup bersama. Terutama aku yang memang gak pantes berada di antara kamu dan Gina.""Jangan bilang begitu. Kamu lihat? Aku bahkan masih pake cincin pernikahan kita ke manapun aku pergi. Aku gak pernah melepasnya karena aku masih menganggap pernikahan ini. Kamu masih Mamanya Gina, Citra... ayo kita pulang. Kamu mungkin betah di sini, tapi aku gak bisa t
"Apa yang terjadi? Kamu kelihatan capek," tanya Daniel begitu melihat bagaimana wajah lelah Citra ketika membukakan pintu untuknya.Ditanya seperti itu, Citra hanya tersenyum lemah lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Saya baik-baik saja. Saya cuma sedikit kurang tidur," jawabnya lalu kemudian mempersilakan Daniel masuk."Anda mau saya buatkan teh hangat?""Air putih aja. Aku bawa makanan untuk kita sarapan," sahutnya seraya mengeluarkan bingkisan yang ia bawa itu lalu menatanyap ke atas meja.Sekali lagi Citra mengulas senyum lemahnya, sebelum pergi ke pantry untuk mengambil segelas air putih. Beberapa kali Citra menghela napas lelah, sebelum kemudian duduk di depan Daniel dan memberikan segelas air putih untuknya."Apa menu hari ini?" tanya Citra, sembari memperhatikan bagaimana Daniel menyusun alat makan di atas meja.Daniel mengangkat wajahnya lalu kemudian melayangkan senyuman lebar. "Hari ini aku bawa makanan dari restoran timur tengah. Kamu pasti akan suka karena aku beli menu
Hari minggu yang cukup kelabu karena awan hujan yang membentang di langit mulai terlihat berat, dan seperti siap untuk mengguyur bumi.Tak lama berselang, rintik-rintik hujan pun turun lalu berubah jadi hujan begitu deras. Di balkon unit apartemennya, Citra bisa melihat bagaimana seluruh kota mulai basah. Beberapa pejalan kaki mulai berteduh, sementara pengendara mobil tetap melaju di jalanan walau dengan menurunkan kecepatan."Hujannya deras," gumam Citra lalu kemudian menolehkan kepalanya ke belakang untuk sekadar mendapati Daniel yang duduk di sofa, sembari menatap ke arahnya lekat-lekat. "Anda pasti gak bisa pulang sekarang. Apa gak apa-apa?""Gak masalah kok. Aku senang bisa terus berada di sini karena aku jadi bisa lebih lama memastikan kalo kamu baik-baik aja."Citra terkekeh kecil mendengar jawaban itu, lalu kemudian kembali memalingkan wajahnya untuk menatap pemandangan dari balkon.Cukup lama ia menikmati pemandangan kota dan begitu larut dalam pikirannya sendiri, sampai-sam
"Mau berdansa bersamaku?" ajak Daniel seraya mengulurkan tangannya pada Citra yang masih setia menengadahkan wajah dengan kedua mata terpejam.Mendengar itu, perlahan Citra pun membuka mata dan menegakan kepalanya untuk sekadar menemukan tangan Daniel yang kini terulur di depannya.Sejenak, Citra mengusap wajahnya untuk sekadar menghapus air mata juga air hujan yang sudah mulai membuat wajahnya tak nyaman. Lantas kemudian ia pun menganggukan kepalanya sebagai jawaban 'iya' atas ajakan Daniel.Perlahan dia mengulurkan tangan dan menyambut uluran tangan Daniel, sehingga pria itu langsung tersenyum dan bergerak menggenggan kedua tangan Citra."Bisa kita mulai sekarang dansanya?" tanya Daniel memastikan."Iya. Tapi, saya gak pernah dansa. Lagipula gak ada musik dansanya kan, gimana kita bisa berdansa?""Coba tajamkan pendengaranmu."Citra menajamkan pendengarannya, sesuai dengan arahan Daniel. Lalu kemudian ia mengernyitkan dahi karena tak secuil pun mendengar alunan musik."Saya gak deng
"Kenapa anda bicara begitu ke Andhika, bukankah kita sudah sepakat untuk berteman aja?" tegur Citra seraya mengambil kembali ponselnya dengan kesal untuk sekadar mendapati kalau sambungan telepon sudah lebih dulu berakhir, padahal ia sama sekali belum memastikan apakah Sakti akan membawa Gina padanya atau tidak."Kali ini anda keterlaluan, Mas Daniel. Sekalipun anda akan bilang kalo ini adalah salah satu cara untuk membuat Andhika cemburu.""Maaf Citra, tapi ucapanku tadi bukanlah alasan untuk membuat Sakti cemburu. Aku memang akan menjadikanmu milikku kalau Sakti terus mengganggumu."Semua kalimat itu Daniel ucapkan dengan begitu serius, dan hal itu mengusik ketenangan hati Citra. "Saya pikir kita udah pernah membahas hal itu sebelumnya dan keputusan akhir sudah kita buat.""Aku bersedia jadi temanmu, tapi aku gak pernah berjanji akan terus jadi temanmu. Suatu hari nanti aku tetap akan menjadikanmu istriku, dan itu tak akan berubah.""Anda ternyata masih tak mengerti sekalipun beber
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang