"Kenapa anda bicara begitu ke Andhika, bukankah kita sudah sepakat untuk berteman aja?" tegur Citra seraya mengambil kembali ponselnya dengan kesal untuk sekadar mendapati kalau sambungan telepon sudah lebih dulu berakhir, padahal ia sama sekali belum memastikan apakah Sakti akan membawa Gina padanya atau tidak."Kali ini anda keterlaluan, Mas Daniel. Sekalipun anda akan bilang kalo ini adalah salah satu cara untuk membuat Andhika cemburu.""Maaf Citra, tapi ucapanku tadi bukanlah alasan untuk membuat Sakti cemburu. Aku memang akan menjadikanmu milikku kalau Sakti terus mengganggumu."Semua kalimat itu Daniel ucapkan dengan begitu serius, dan hal itu mengusik ketenangan hati Citra. "Saya pikir kita udah pernah membahas hal itu sebelumnya dan keputusan akhir sudah kita buat.""Aku bersedia jadi temanmu, tapi aku gak pernah berjanji akan terus jadi temanmu. Suatu hari nanti aku tetap akan menjadikanmu istriku, dan itu tak akan berubah.""Anda ternyata masih tak mengerti sekalipun beber
"Jangan bersikap kayak gini, Citra. Tolong jangan membuat aku jadi berharap lebih."Sensasi membara menjalari pergelangan tangannya yang dicekal oleh Sakti, membuat Citra kemudian menghela napas dan perlahan mengurai genggaman itu."Kamu demam. Jangan banyak protes, cepat istirahat aja."Setelahnya, Citra pun benar-benar melenggang pergi ke dapur dan mulai bersiap memasak bubur dengan bahan makanan yang ia bawa.Sememtara Sakti yang sudah tak bisa menahan rasa linu pada tiap tulangnya itu pun akhirnya tak bisa berbuat apapun lagi selain melangkah menuju sofa dan membaringkan tubuhnya di sana untuk beristirahat."Ini menyebalkan," keluh Sakti seraya menutup mata dengan lengannya.Ia benar-benar merasa tak berdaya, dan melihat Citra yang harus repot mengurusnya dan Gina di situasinya yang tak berdaya seperti ini, membuat Sakti benar-benar kesal. Dia tak suka dirinya yang lemah seperti ini dihadapan Citra yang sedang ingin ia perjuangkan."Kamu ngomel ke siapa?" tegur Citra yang kini sud
Semalaman Citra tidur memeluk Ginata dan berulang kali terbangun saat bayi itu mengigau."Apa sebegitunya kamu kangen sama mama, makanya sampe sakit?" guman Citra lirih, seraya memandangi wajah Gina yang pagi ini tertidur lelap di atas tempat tidur setelah kenyang minum ASI. "Maaf... karena hari itu mama pergi tiba-tiba tanpa memikirkan kondisimu."Dibelainya lembut pipi Ginata yang kini terlihat lebih kurus itu. Demamnya mulai mereda, tapi sesekali bayi mungil itu merengek disela-sela tidurnya."Apa tidak apa-apa kalo aku tetap jadi ibumu?" gumamnya lagi kembali bertanya pada Ginata, sekalipun tahu kalau ia tak akan mendapatkan jawaban apapun.Citra hanya bimbang. Di satu sisi ia sudah begitu mantap mengatakan pada Sakti kalau dirinya akan mempertimbangkan kemungkinan mereka yang akan rujuk, tapi di sisi lain ia begitu takut. Ia takut kalau pada akhirnya ia akan dibuang lagi hanya karena ia tak memenuhi standar apapun dalam kehidupan Sakti yang terlalu sempurna dari segala sisi.Suar
Segelas martini itu Daniel minum dengan tak semangat. Pandangan matanya bahkan hanya menatap kosong ke depan pada objek botol-botol minuman beralkohol yang berjajar rapi di rak dinding bar."Obsesi? Padahal aku yakin ini cinta," gumam Daniel seraya tersenyum getir tatkala ia memutar kembali ucapan Citra di ingatannya.Hembusan napas kasar pun kemudian terdengar dari Daniel, seiring dengan ia kehilangan selera dengan minumannya sendiri. Dengan lesu, ia menatap nanar segelas martini yang hanya berkurang sedikit itu.Pikirannya melayang jauh kembali pada ingatan bagaimana segala ucapan menyakitkan Citra lontarkan untuk menolak perasaannya yang egois. Ya, Daniel sangat sadar kalau ia egois, tapi sialnya ia tak ingin merasa bersalah untuk hal itu. "Citra bilang kayak gitu karena dia yang sedari awal belum bisa nerima orang baru buat masuk ke dalam hatinya. Ya, dia cuma bersikap denial. Dia gak tahu apapun tentang aku," gumannya kembali bicara pada dirinya sendiri.Helaan napas berat berul
"Lantas kamu mau aku bagaimana, apa kamu mau aku berlutut? Maka aku akan berlutut di kaki kamu dan meminta maaf sejuta kali kalo kamu mau," cicit Sakti. Ia berusaha tetap membuat nada suaranya terdengar tenang."Kamu cuma harus buktiin kalo kamu beneran bisa aku pertimbangkan. Aku gak mau ngerasa dibuang lagi. Aku gak mau disia-siakan lagi," tegas Citra. "Aku gak mau mati untuk kesekian kalinya karena kamu.""Maaf, maafkan aku. Aku gak tahu harus bersikap kayak gimana lagi. Aku gak tahu gimana caranya agar kamu bisa percaya sama aku dan mau nerima aku lagi.""Ya makanya jalani aja hukuman yang aku buat untuk kamu. Aku bakal jadiin kamu tujuan hidup aku lagi setelah aku yakin kamu gak bakal ngebuang aku lagi. Pernikahan kita cuma pernikahan kontrak, jadi aku bakal pergi pas kontraknya selesai. Uang yang kamu kasih pun akan aku kasih lagi setelah aku kerja.""Aku berulang kali bilang kalo aku cinta sama kamu. Udah gak ada kontrak di antara kita, anggap itu gak pernah ada. Aku mau kita m
Jantung Citra sempat berhenti berdetak saat pagi-pagi buta bel apartemennya dibunyikan dari luar, lalu di detik berikutnya ia bisa menghela napas lega karena ketakutannya tak terbukti.Orang yang terpampang di interkom bukanlah Sakti, seperti perkiraannya. Namun, melihat Daniel yang berada di depan pintu apartemennya tak lantas membuatnya merasa tenang sepenuhnya.Sejenak, Citra menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan napasnya perlahan, sebelum kemudian ia pun membukakan pintu apartemennya itu untuk Daniel."Hai, udah sarapan?" tanyanya pada Citra begitu mereka saling bertatapan.Ada perasaan tak nyaman dan canggung, tatkala Citra ingat kalau sebelumnya ia dan Daniel terlibat percakapan yang cukup menguras emosi, tapi melihat bagaimana sekarang Daniel kembali datang dan melakukan kebiasannya seolah tak pernah terjadi apapun di antara mereka, membuat Citra tentu saja merasa tak tega jika harus mengabaikan keberadaan pria itu.Senyum tipis pun kemudian tercipta di wajah Citra, seiri
"Aku? Aku sedang menunjukan kalo aku akan mencintaimu secara luar biasa dan ini baru permulaan. Gimana, hari ini udah siap untuk pergi kencan?" ajak Sakti dengan sorot mata yang berbinar. Kentara sekali kalau dia datang dengan begitu bersemangat."Kamu jangan bersikap aneh," tegur Citra ketus.Namun, sikap dingin dan ucapan ketus dari Citra kali ini tak mempengaruhi Sakti. Dia tetap mengulas senyuman manisnya dan mempertahankan binar semangatnya."Bersikap aneh? Enggak kok. Aku cuma melakukan apa yang akan laki-laki lakukan ketika mencintai perempuan yang jadi kekasihnya. Jadi, sekarang ayo masuk, berdandan yang cantik dan dandani Gina juga lalu kita pergi bersama untuk berkencan. Seperti keluarga kecil yang bahagia," ujarnya ringan.Ada desir aneh yang saat itu terasa di hati Citra, tapi secepat kilat Citra berusaha menepis perasaan itu. Ia hanya berpikir kalau dirinya tak boleh merasa luluh secepat ini, sebelum ia bisa memastikan Sakti akan benar-benar layak untuk ia jadikan tujuan
"Kita mau ke mana?" tanya Citra ditengah-tengah perjalanan mereka dengan tujuan yang entah ke mana."Ke tempat indah yang paling terkenal di Belanda," jawab Sakti begitu riang. Kedua matanya bahkan berbinar-binar, kentara sekali kalau dia begitu bersemangat ingin mengajak Citra ke sana."Ke kebun tulip?" "Loh sudah tahu?"Citra menganggukan kepalanya. "Iya tahu karena mas Daniel pernah ngajak aku ke sana. Tempatnya super bagus, memanjakan mata sejauh mata memandang. Cocok juga kalo bawa Ginata," komentarnya tanpa sekalipun menyadari perubahan ekspresi Sakti setelah mendengar ucapannya."O-Oh begitu? Kalo begitu kita gak jadi ke sana. Biar aku cari referensi tempat yang bagus lainnya," ujar Sakti tiba-tiba membatalkan niatnya.Tidak, Citra tak bermaksud ingin memudarkan semangat Sakti ataupun mengolok-olok Sakti. Ia hanya ingin mengatakan kalau dirinya pernah ke sana dan sangat setuju kalau mereka akan mengajak Gina ke sana, tapi ia tak tahu kalau komentarnya justru akan membuat Sakti
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang