Dengan wajah yang berurai air mata, Citra duduk dengan risau di ruang tunggu untuk boarding pass. "Kenapa lama sekali? Aku harus segera pulang," gumam Citra putus asa. Sambil menggendong Ginata, berulang kali ia memandangi layar pemberitahuan pesawat yang akan ditumpanginya menuju Jakarta."Hei, tenanglah. Semuanya akan terasa sulit kalo kamu over panik kayak gini," ujar Daniel menenangkan. Dengan lembut ia menangkup wajah Citra dan perlahan menyeka air mata perempuan itu. "Tarik napas dan hembuskan perlahan, Citra. Bernapaslah dengan baik supaya dadamu tak terasa sesak dan sakit. Bayi bisa merasakan kesedihan ibunya. Kalo kamu stress dan panik, hal serupa juga akan dialami oleh Ginata."Setelah mendengar itu, Citra pun perlahan berhenti menangis. Ia menuruti ucapan Daniel dengan menarik napas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya secara perlahan.Butuh beberapa kali melakukannya, sampai akhirnya Citra bisa sedikit merasakan kalau hatinya mulai tenang."Mas Daniel," panggilnya pa
Lebam ungu di area dekat mata yang membuat separuh wajahnya tampak bengkat, perban yang mengelilingi kening juga membebat tangan kirinya, leher yang dipakaikan penyangga, belum lagi beberapa luka gores yang menghiasi beberapa titik di wajah dan tubuhnyq Sakti.Citra hanya bisa menangis pilu melihat pemandangan itu. Rasa takut dan penyesalan seketika merasuk ke dalam hati dan memenuhi seisi rongga dadanya. Citra dibuat sesak oleh kesedihannya sendiri."Kenapa kamu harus pergi nganterin dia, Andhika? Seberapa berartinya dia sampe kamu harus berakhir kayak gini, hm?" tanya Citra nelangsa. Dia terus berusaha mengajak Sakti berbicara sekalipun tahu pertanyaannya tersebut tak mungkin akan segera terjawab oleh Sakti yang masih tak sadarkan diri.Tak lama kemudian fokus Citra teralihkan oleh suara pintu yang dibuka. Dia pun menolehkan wajahnya untuk sekadar mendapati seorang dokter dengan dua orang perawat datang menghampirinya."Ibu keluarganya pasien?" tanya dokter itu yang langsung mendapat
"Apa dia belum juga sadar?" tanya Daniel.Hari ini dia akhirnya datang menghampiri Sakti untuk memastikan sendiri kondisi dari sahabatnya itu dan detik itu pula dia merasa sangat sedih dengan pemandangan yang dilihatnya.Citra menggelengkan kepalanya lemah dan dia pun menatap Sakti dengan kesedihan yang sama. Sebutir air mata yang entah untuk keseberapa kalinya itu mulai kembali meleleh membasahi pipinya."Udah 3 hari dan Andhika belum juga sadar. Situasi ini terlalu membuat saya kalut dan kebingungan sendiri. Saya takut," cicitnya.Mendengar itu, Daniel pun mengulurkan tangannya untuk mengusap bahu Citta beberapa saat, sebelum kemudian dia pun beralih menyentuh tangan Sakti dan menggenggamnya selayaknya genggaman antar teman."Hei, bukankah kita sudah lama gak saling bicara? Bangunlah. Akan aku izinkan kau memukulku sekali kalau kau bangun secepatnya. Apa kau tak kasihan pada Citra dan Ginata yang sangat khawatir padamu?" ucap Daniel mencoba mengajak Sakti bicara. Ada penyesalan besa
Dengan resah, Citra berjalan cepat di lorong rumah sakit itu menuju ruang rawat inap Sakti. Air mata sudah membasahi wajahnya dari sejak ia berada di rumah, dan begitu ia sampai di depan ruang rawat suaminya itu air matanya pun kian mengalir deras."Andhika," panggilnya sembari terisak-isak pedih.Dipeluknya Ginata yang tengah berada dalam gendongannya itu erat-erat, sebelum kemudian dia pun perlahan melangkahkan kakinya masuk ke dalam dan menghampiri Sakti yang tengah ditangani oleh dokter dan beberapa perawat.Pada detik itu, Citra pun menoleh pada Daniel yang hanya berdiri kaku di tempatnya. Hanya kedua matanya saja yang terpaku menatap bagaimana Sakti yang tengah mendapatkan beberapa penanganan dari dokter."Mas Daniel, apa Andhika beneran-" Citra tak melanjutkan kalimatnya ketika ia mendapatkan anggukan kepala dari Daniel sebagai jawabannya.Air mata kian mengucur deras. Citra memeluk Ginata kian erat untuk berusaha membuat bayi itu berada dalam rengkuhannya."Sakti tadi benar-be
"Gimana kalo kita bekerja sama, Daniel? Mari buat mereka berpisah. Aku bisa mendapatkan Sakti kembali dan aku akan membiarkanmu mendapatkan perempuan itu?"Mendengar penawaran yang tak terduga itu, Daniel hanya terdiam untuk beberapa saat lalu kemudian melayangkan tatapan tak habis pikir pada Agnes dengan sebelah alisnya yang terangkat."Kamu gak waras ya? Bisa-bisanya kamu ngomong hal kayak gitu. Jangan coba-coba melakukannya, Agnes. Hari dimana Citra menangis, itu akan jadi hari yang sama dimana aku akan membuatmu menangis juga," tegurnya sarat akan ancaman."Kenapa jangan? Kamu mencintai perempuan itu dan aku mencintai, Sakti. Sama seperti kamu yang sebesar itu mencintai perempuan udik itu, aku juga punya perasaan yang sebesar itu dalam mencintai Sakti," ujar Agnes menimpali dengan masih begitu keras kepala.Daniel sampai menghembuskan napas resah setelah mendengar semua kalimat yang diucapkan perempuan itu. Bahkan, Daniel mulai kehilangan selera pada secangkir kopi miliknya. "Awa
Di dalam kamar rawat inapnya, Sakti hanya bisa mengerjapkan mata dan menatap bosan ke arah televisi yang menampilkan berita.Hari ini hanya ada dia di kamar ini karena Citra pulang ke rumah untuk menemani Gina yang sudah beberapa hari ini dia biarkan bersama dengan pengasuh.Sakti baru saja hendak mematikan televisi, ketika sudut matanya melihat keberadaan Daniel di ambang pintu. Pria itu terlihat ragu-ragu untuk masuk."Kau di sini?" sapa Sakti dengan tenang. Tak ada setitik pun nada tak suka dalam suaranya, ia sudah bisa menyapa Daniel lagi seperti dulu-dulu.Disapa seperti itu untuk sesaat Daniel tampak kikuk dan canggung, lalu kemudian setelah menghembuskan napas berat, dia pun melangkah masuk membawa parsel buah dan berjalan menghampiri Sakti."Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya Daniel. Kali ini dia pun berusaha bersikap biasa saja dan bahkan duduk santai pada sofa, sambil menatap ke arah Sakti. Lantas ia pun menaruh parsel buah yang dibawanya itu ke atas nakas.Sakti mengan
Badra berderai air mata dan mulai terisak-isak pilu sembari terus memandangi ponsel milik Citra yang menampilkan potret bayi mungil yang terlihat pucat."Dia punya mata dan bibir mirip denganku, sedangkan alis dan wajahnya mirip dengamu. Untuk sesaat aku ngeliat wajahnya mirip aku, tapi kemudian aku melihatnya mirip dengan kamu, Citra. Secara keseluruhan dia sangat mirip denganmu... Argantara sangat tampan," ujarnya sambil terus menangis."Berhenti menangis dan kembalikan hp-Nya. Kamu udah liat wajahnya, jadi ingat wajah itu seumur hidup kamu seperti yang kamu bilang. Sekarang sebaiknya kamu juga pergi," ujar Citra dingin.Lantas kemudian dia pun kembali berniat untuk segera pergi dari sana. Namun, lagi-lagi Badra menyela langkahnya dengan tiba-tiba bertanya-"Apa kamu bahagia, Citra?""Kenapa tanya begitu?" ketus Citra balik bertanya."Aku cuma mau memastikan aja kalo kamu bahagia setelah kita berpisah karena aku pikir, setelah perpisahan kita yang menyakitkan kamu berhak bahagia dan
Beberapa bulan berlalu....Sakti pun akhirnya bisa pulang ke rumah. Perban dan jahitan pada lukanya sudah dilepas dan Sakti dikatakan sembuh."Mana pelukannya? Aku udah sembuh sekarang," ujar Sakti begitu mereka berada di dalam kamar pribadinya.Citra yang baru saja selesai menaruh tas berisi pakaian suaminya itupun seketika menoleh dan menatap cemberut ke arah Sakti yang sudah merentangkan kedua tangannya lebar-lebar untuk menunggu sebuah pelukan."Kayak anak kecil," gerutunya, tapi tetap melangkahkan kakinya menghampiri Sakti dan menghambur memeluk suaminya itu erat-erat.Sementara Sakti justru tak sekalipun mengindahkan gerutuan itu. Sebaliknya, dia malah menghela napas lega dan semakin mengeratkan pelukannya pada Citra."Akhirnya aku bisa peluk kamu dengan leluasa. Aku kangen banget sama kamu," ucapnya.Citra mendengus geli mendengar ucapan suaminya itu. "Kamu ngomong begitu seolah kita gak ketemu sangat lama, padahal tiap hari aku ketemu kamu.""Justru karena itu. Kita setiap har
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang