Rasa sakit menyengat di setiap inci tubuhku, seperti ribuan pisau tajam yang menembus kulit. Namun, di tengah badai bayangan yang menyerangku dari segala arah, aku tetap menggenggam pusaka itu erat-erat, meski tanganku mulai gemetar hebat. Pusaka di tanganku terasa semakin panas, nyalanya semakin terang hingga tak tertahankan, seolah merespons tekadku yang menguat seiring rasa sakit ini.“Aku tidak akan menyerah!” aku berteriak, suaraku menggelegar di ruang yang dipenuhi bayangan. Dengan seluruh energi yang tersisa, kutekan pusaka ke depan, membiarkan cahaya panasnya meledak dalam satu hentakan. Aku tak tahu apakah ini akan berhasil, tapi aku tak peduli lagi.Badai bayangan itu tersentak, gelombang cahaya dari pusaka menyapu mereka, menghantam ribuan bilah tajam yang mulai melebur dalam cahaya yang kian menyala-nyala. Sosok hitam di depanku meringis, retak-retak di tubuhnya semakin lebar, pecahan bayangan beterbangan dari tubuhnya seperti debu. Namun, alih-alih melemah, tatapannya sem
Suara lembut itu seperti belaian hangat yang menembus kegelapan di sekitarku, menenangkan tapi penuh kekuatan yang tak terbantahkan. Perlahan-lahan, kesadaranku mulai kembali, meski tubuhku terasa berat seperti tertimpa beban yang tak terlihat. Aku mencoba membuka mata, dan dalam remang-remang yang samar, kulihat sosok anggun yang berdiri di depanku. Jubahnya berwarna merah darah, dihiasi perhiasan emas berkilauan yang menyatu dengan kulitnya yang pucat, sementara matanya memancarkan ketegasan yang dalam dan menenangkan.“Kanjeng Ratu,” bisikku, tak percaya pada apa yang kulihat.Dia tersenyum tipis, penuh wibawa. “Kau telah melewati banyak cobaan, Raden Ayu. Tapi tugasmu belum selesai.”Jantungku berdegup cepat, memukul keras di dadaku. Napas masih berat dan tubuhku terasa lemah. “Apa yang harus kulakukan, Kanjeng Ratu?” tanyaku, meski suaraku masih gemetar.Ia melayangkan tangan halusnya ke arahku, dan tiba-tiba kabut hitam di sekitar kami mulai bergerak membentuk sebuah pintu berca
Saat kabut itu terpecah, aku bisa merasakan embusan angin segar dari dunia luar menyapu wajahku. Mataku yang sebelumnya terpejam karena tak tahan melihat cahaya terang-benerang perlahan terbuka. Keindahan pemandangan membuatku terpana. Rasanya aku seperti berada di surga. Kucubit lenganku, berusaha menyadarkan diri. Aku takut jika ini adalah mimpi. Titik yang sebelumnya menghilang entah ke mana, kini dari kejauhan melambaikan tangan padaku. Aku mulai mendekatikanya, tetapi selama berjalan ke arahnya, mataku tak bisa berkedip. Ada banyak hewan yang sudah dinyatakan punah. Di sini ada burung dodo yang berwarna-warni, badak bercula satu, Ibex pyrenean yang tengah berlari diburu harimau bali, Auroch Eurasia yang sedang merumput, bahkan Elang ekor putih dan sekelompok kupu-kupu biru besar yang menari-nari di udara.Aku terpana, melangkah perlahan sambil mengamati setiap detail keindahan yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Hewan-hewan itu berjalan dan terbang dengan damai, seolah tahu
Aku menganggukkan kepala, dan langsung mendekati celah itu. Kulihat mereka dengan seksama. Dari kejauhan ini terasa seperti lingkaran guntur yang berlubang hitam, tetapi semakin kumendekat aku bisa melihat bongkahan batu. Kumasukkan diriku ke lubang gelap itu.Tanpa sengaja aku menghela panjang karena tiba-tiba berada di dimensi lain. "Hutan asli!" kejutku. Saat meneoleh ke belakang aku tidak melihat apapun. Tameng dari Wilayah Alam Pusaka tidak bisa dilihat dari sini. Ku genggam pusakaku dengan erat sembari memejamkan mata, "masuk?" tanyaku entah pada siapa."Masuk, Raden," jawab Dalbo yang sudah di depanku dengan ringisan kecil. Aku terjerembat dan hampir terjatuh, keran tiba-tiba dia depan wajahku."Bikin kaget saja!" Dalbo hanya bisa meringis. Sepertinya itu cara dia tersenyum, tapi pandanganku menjadi aneh karena posturnya yang abnormal. Titik cekikikan melihatku, sedangkan Mbok Lasti dan Kanjeng Ratu beserta para jajarannya menahan tawa. Itu terlihat dari bibir mereka yang terk
Lorong di depanku gelap dan berkelok panjang, seperti mulut gua yang menyembunyikan rahasia kelam di dalamnya. Bau besi dan kelembapan yang menusuk hidung semakin kuat seiring langkahku yang terayun maju. Ditemani gemerisik kecil dari tetesan air yang jatuh dari dinding batu, suasana di sekitar lorong ini begitu mencekam, membuat setiap napas yang kuhirup terasa berat. Di ujung sana, cahaya redup memantul di lantai, mengundangku untuk mendekat. Aku melangkah hati-hati, menajamkan pendengaranku di setiap langkah. Ruangan ini terlalu tenang, tapi ketenangannya adalah ketenangan yang mencekam, seperti peringatan tak terlihat. Saat semakin mendekat ke arah cahaya, kulihat lorong ini mulai bercabang dan bercabang lagi, membentuk labirin panjang yang seolah dibuat untuk membuat siapa pun tersesat. Tiba-tiba, sayup-sayup, suara percakapan terdengar di depan sana. Aku menahan napas, menghentikan langkah dan menajamkan pendengaran. Bahasa mereka terdengar kasar, nadanya mengancam, diiringi b
Aku beringsut lebih dekat, karena penasaran dengan dua orang yang baru saja datang. Suara percakapan itu semakin jelas, dengan nada yang tegas dan penuh ancaman. Aku mataku menyipit dan menahan napas. Aku merasa akan terjadi sesuatu yang penting. Sebelumnya aku merekam memakai kamera biasa, kali ini aku ingin melakukan live streaming. Internet tiba-tiba tersambung di salah satu roater bunker. Tak ada sandi dan aku bisa membuka sosial mediaku. Segera kutulis caption. [Bantu rekam layar!] Setelah memastikan rekaman di ponselku berjalan tanpa suara. Sosok di depanku mulai berbicara dengan nada penuh amarah dan kesombongan. Ku usahakan untuk melihat wajah mereka. Nahasnya jantungku seakan terhenti sejenak saat mengetahui orang itu. Mereka adalah Sony, ayah Wendy dan Ghiselle."Tanah Timur itu harus segera kita ambil alih," kata Sony dengan suara rendah. "Aiden memang bodoh jika berpikir tanah itu hanya sebidang lahan tak berarti. Padahal, semua harta karun dan kekayaan hewan langka ada d
“Sayang sekali aku tidak bisa menghabisinya saat ada di jurang hutan ini. Sepertinya aku terlalu percaya diri,” kata Hendro, melirik Sony sambil tersenyum kecut. Alis Sony langsung tertaut rapat. "Siapa yang kamu maksud?""Dea," jawab Hendro sangat datar.Sony menendang salah satu kerangkeng hingga membuat hewan di dalamnya meraung keras. "Bukankah dia sudah mati diserang macan?"Hendro menggeleng. "Kalau memang diserang? Kenapa aku bisa bertemu dengannya saat di jurang itu. Apalagi tiba-tiba dia menghilang begitu saja.""Mustahil! Sebenarnya apa yang terjadi?"Hendro yang menyerangku di gerbang Wilayah Alam Pusaka segera menggeleng. Kali ini aku menyadari jika kedua orang itu memiliki selisih paham, sehingga Hendro yang membeberkan semuanya. Pria itu memilih diam, padahal saat bertemu ia mengincar pusakaku."Entahlah. Sekarang timku sedang mencari keberadaannya. Aku meminta mereka menyamar menjadi tim sar untuk mengelabui keluarga Aiden." Hendro mengusap tangannya yang baru saja diin
Tubuhku seketika menegang saat suara penjaga itu meneriakkan keberadaanku. Keringat dingin menetes di pelipis, dan detak jantungku semakin kencang. Aku tak punya banyak waktu. Genggamanku pada pusaka di tangan semakin erat, berharap benda ini bisa menjadi pelindung terakhirku.Langkah kaki berat mereka semakin mendekat. Aku tahu bahwa aku tak akan bisa berlari jauh dalam kondisi lorong yang penuh jebakan ini. Namun, tekad untuk membawa kebenaran ini ke dunia luar membuatku harus berpikir cepat. Tanpa membuang waktu, aku melihat ke sekeliling, mencoba mencari cara untuk kabur. Dinding batu di sebelah kiriku tampak tak rata, dengan beberapa celah yang mungkin bisa kugunakan untuk bersembunyi.Aku menghamburkan diri ke salah satu celah itu dan bersembunyi, menahan napas dan berusaha agar suara detak jantungku yang memburu tidak terdengar oleh mereka. Terdengar suara langkah mereka yang semakin dekat, dan kurasakan udara di sekelilingku menjadi semakin mencekam. Sementara itu, live-stream
Dokter itu tertawa lembut, seolah ingin menenangkan kami. "Dea, hasil tes menunjukkan bahwa kamu hamil. Kamu berada dalam kondisi yang sangat baik, meskipun sempat mengalami mual dan kelelahan. Namun, jangan khawatir. Kondisi ini sangat normal, terutama jika ada perubahan fisik atau emosional."Aku terdiam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Hamil? Aku hamil? Pikiranku terasa berputar. Tidak ada yang pernah menyebutkan ini sebelumnya, dan tentu saja, aku tidak pernah memikirkan hal ini."Aiden." aku berbisik, suaraku gemetar. "Aku hamil?"Aiden menggenggam tanganku lebih erat. "Iya, Sayang. Kamu hamil. Ini berita yang luar biasa, kamu jangan cemas. Kita akan menghadapinya bersama-sama."Aku terdiam, merasakan campuran perasaan yang sangat dalam. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, namun di sisi lain, aku merasa cemas. Bagaimana kami akan menjalani semua ini? Apa arti semua ini untuk kami? Dan yang terpenting, apakah kami siap dengan segala perubah
Dengan langkah yang berat, Aiden menarikku pergi dari pinggir sungai yang seakan berusaha menahan kami. Aku bisa merasakan kekuatan Alam Pusaka yang menahan kami, seolah tempat ini tidak ingin kami pergi begitu saja. Suasana yang tadinya penuh keindahan kini terasa penuh dengan ancaman yang tak terduga. Namun aku percaya pada suamiku, dan aku tahu, ia tidak akan membiarkan aku terluka.Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kami tiba di batas Alam Pusaka, tempat yang menjadi pemisah antara dua dunia. Keindahan yang dulu kurasakan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa lega yang datang saat kami kembali ke dunia manusia.Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku sedikit lebih baik. Rasa mual yang semula mengguncang perlahan mulai hilang, dan aku bisa merasakan kembali kekuatan dalam tubuhku. Aiden melepaskan pelukannya, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang masih ada di tubuhnya."Kita sudah kembali," katanya dengan suara yang lebih tenang, namun masih terdengar kelelahan. "Tapi aku r
Selama di Alam Pusaka. Aku bisa melihat keindahan yang tidak bisa kulihat selama di dunia manusia. Meskipun aku tidak bisa melihat Aiden secara jelas, setidaknya aku bisa melihatnya dalam bentuk bayangan. "Aku senang sekali melihatmu berlari dan menari seperti ini, Sayang. Ada perasaan sedih juga karena biasanya aku yang membantumu melakukan aktivitas sehari-hari. Di sini, kamu bisa melakukannya sendiri," ucap suamiku lembut, suaranya mengalir seperti aliran sungai yang jernih di depan kami, menenangkan sekaligus menghangatkan.Kami duduk di pinggir sungai yang indah, airnya yang jernih mengalir begitu tenang. Suasana ini begitu damai, dan aku merasa seolah dunia ini hanya milik kami berdua. Di sini, aku tidak merasa terbebani oleh keterbatasan penglihatanku. Alam Pusaka, dengan segala keajaibannya, memberiku kebebasan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku bisa merasakan udara yang lebih segar, aroma bunga yang jarang ditemukan di dunia manusia, dan setiap detik terasa begitu b
Pagi itu, di ruang tamu yang hangat, suasana terasa berbeda. Aiden, suamiku duduk di depan keluarga besarnya, seakan hendak mengungkapkan sesuatu yang penting. Aku berada di sampingnya dengan tenang, meski tampak sedikit cemas. Keluarga sudah berkumpul, mendengar dengan penuh perhatian."Aiden, kamu tampaknya tidak seperti biasanya," kata Oma menyelidik situasi. "Ada apa? Kamu biasanya lebih ceria kalau bicara soal perusahaan."Aiden menarik napas dalam-dalam. "Aku dan Dea akan pergi berbulan madu," ucapnya dengan nada yang mantap, tetapi ada keraguan yang samar terbersit. Semalam kami sudah mengobrol, dan ia sempat mengungkapkan keresahan. Takut kalau tempat itu akan menstimulus traumaku. Namun, aku meyakinkannya. karena di sana aku bisa melihat pemandangan banyak hal karena diselimuti alam gaib. "Ke mana?" tanya Mama Rita, tertarik. "Ada tujuan spesial, Nak?""Alam Pusaka," jawab suamiku, membuat suasana hening seketika. Dea menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang datang
Malam itu, suasana ruang makan sudah penuh kehangatan. Aroma makanan khas keluarga memenuhi udara, membuat perutku yang tadinya gelisah kini mulai terasa lapar. Semua orang sudah duduk di tempatnya masing-masing, berbincang dengan riang. Aku dan Aiden datang terakhir, menambahkan kursi di sisi meja untuk kami berdua. Mama Rita langsung tersenyum hangat melihat kami. “Akhirnya kalian datang. Kami sudah hampir mulai, loh.” Aiden membantu menarik kursiku dengan lembut, memastikan aku duduk dengan nyaman sebelum ia duduk di sebelahku. “Maaf, kami agak terlambat,” katanya dengan nada santai. “Dea tadi masih butuh waktu untuk bersiap.” Andre yang duduk di ujung meja, bercanda sambil tertawa kecil. “Ah, Aiden. Kamu makin romantis saja.” Semua orang di meja tertawa, kecuali aku yang hanya bisa tersenyum gugup. Rasanya sulit menyesuaikan diri dengan perhatian sebanyak ini. Namun, Aiden, yang sejak tadi menggenggam tanganku di bawah meja, memberiku rasa percaya diri. Setelah semua mak
Aku terdiam sejenak, merasakan pipiku mulai memanas mendengar ajakan Aiden. Suaranya begitu lembut dan menggoda, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.“Aiden,” panggilku pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugupku. “Kamu tahu aku tidak terlalu suka dengan ide itu. Lagipula, aku belum terbiasa dengan semua ini.”Aiden tertawa kecil, lalu duduk di sampingku. “Sayang, aku tidak memaksamu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman. Setelah semua yang kita lalui, aku merasa kita pantas menikmati momen yang tenang bersama.”Aku merasakan tangannya menggenggam jemariku dengan lembut, seakan memberikan kehangatan yang menenangkan. “Kita tidak harus buru-buru, Dea. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, sepenuhnya untukmu.”Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk merespons. “Kamu terlalu manis, Aiden. Kamu bisa gendong aku?”Aiden terdiam sejenak, lalu aku mendengar tawanya yang lembut dan penuh kehangatan. “Tentu saja, Sayang
"Titik!" pekikku tak sadar. Makhluk halus yang hendak pergi itu langsung berbalik ke arahku."Raden Ayu!" kagetnya. Dia kemudian berteriak. "Woy! Dalbo! Raden Ayu bisa melihatku!"Dalam hitungan sekejap sosok yang panggil pun datang. "Benar Raden bisa melihat kami?""Benar, Dalbo. Bagaimana kabar kalian.""Kami semua baik, Raden Ayu," jawab Dalbo. "Yang dikatakan Kanjeng Ratu benar-benar terjadi," ujar Titik. Aku bisa melihat bagaimana ekspresinya. Namun tiba-tiba seseorang keluar dari kamar mandi."Aiden?""Iya, Sayang?" ia mendekat ke arahku. "Kenapa masih memanggilku dengan nama? Panggil Sayang dong." Kemudian hendak menciumku, tetapi segera kutahan."Apa kamu tidak malu dilihat mereka?" cegahku karena Dalbo dan Titik terperangah melihat kami."Mereka?""Titik dan Dalbo. Mereka sedang di sini kan? Bahkan mereka terkejut melihat kamu mau menciumku."Aiden bergeming. "Kamu bisa melihat mereka? Bukannya Ayah bilang kalau kamu bahkan tidak bisa melihat apapun termasuk dunia gaib?""Se
Aku menenggak salivaku dengan paksa. Saling mencintai? Waktu seakan berhenti saat tebakan tersebut terlontar padaku. Sedangkan Aiden tampak enteng menjawab pertanyaan tersebut."Aku memang cinta sama De, Oma. Tapi belum tentu dengan Dea." Pria itu melepaskan keluhan hatinya yang kukira tak akan dibahas lagi.Ruangan mendadak hening setelah pengakuan Aiden. Nahasnya aku pun gugup, "A-aku..." Kalimat itu menggantung, rasa bingung menderai kepalaku."Kalau begitu, kamu harus berjuang lebih cerdas lagi Aiden," sahut Oma. "Begitu ya, Oma?""Iya dong, Aiden. Zaman sekarang kerja keras doang kan nggak cukup," kekeh Oma."Siap, Oma!" ucap Aiden yang langsung berdiri. Entah apa yang dia lakukan, tetapi semua orang tergelak karea dia. Saat gemuruh tawa mulai mereda, Oma bertanya padaku dengan lembut."Dea," panggilnya lembut penuh kasih."Iya, Oma?""Apa kamu nyaman bersama Aiden?" Aku terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut terasa tak membebankan dibandingkan sebelumnya. "Nyaman, Oma.""Syukurla
"Gausah pegang-pegang istriku. Pegang istrimu sendiri sana!" nyolot Aiden. "Yaelah. Jabat tangan doang," balas Andre. Sayangnya aku cukup terkejut saat orang lain memanggil namaku. "Hai, Dea. Sudah lama tidak bertemu." Kali ini suaranya terdengar lembut. Itu adalah Ghiselle. Perempuan yang sebelumnya memusuhi dengan terang-terangan. Namun, hari ini aku merasakan frekuensi yang cukup nyaman daripada pertemuan terakhir kami."Iya. Ghiselle." Baru saja menjawab, "Iya Dea. Ak-" ucapan wanita itu terputus karena Mama Rita memanggil kami untuk segera bergabung ke ruang makan."Ayo, De," ajak Aiden kembali membawaku berjalan tanpa tongkat. Langkah kakinya yang lebar sudah ia kontrol mengikuti langkah kakiku. Aku bisa merasakan perubahannya yang sebelumnya kikuk menjadi sangat santai hari ini. Sepertinya ia sudah sangat cocok menjadi relawan untuk orang tuna netra sepertiku. Dia bahkan bisa mengingat detail kecil keperluan sehari-hari. Banyak hal yang ia rubah agar menjadi tempat inklusi ba